Jumat, 20 April 2018

hukum taurat

"Kumpulan Khotbah Eka Darmaputera"

Hak Beristirahat untuk yang Bekerja 

Penulis : Eka Darmaputera 

"Beristirahat" adalah antonim dari "bekerja". Seperti "mendorong" adalah lawan kata dari 
"menghela", dan "masuk" adalah lawan kata dari "keluar". 

Karena itu wajar bila orang yang hobinya bekerja, tidak suka beristirahat. Dan 
sebaliknya, orang yang kegemarannya beristirahat, malas bekerja. Konon, menurut para 
ahli, perbedaan sikap ini menjadi salah satu pembeda utama antara sebuah "masyarakat 
tradisional" dan sebuah "masyarakat moderen". 

Pada sebuah masyarakat "tradisional", orang yang tidak harus banyak bekerja dipandang 
berstatus lebih mulia, ketimbang mereka yang mesti banyak berpeluh karena terpaksa 
bekerja keras. Hanya "wong kasar" yang melakukan "kerja kasar". Sementara yang 
berdarah biru tak pantas mengotori tangannya. 

"Bekerja" dilakukan hanya bila terpaksa. Apalagi bekerja dengan mengerahkan otot dan 
tenaga. Kerja jenis ini-"kerja kasar"-diakui memang tidak terelakkan. 

Bagaimana pun piring kotor harus dicuci; sampah harus diangkut; kayu harus dibelah; 
padi harus ditanam dan dipanen. Ya! Namun "kerja kasar" ini, sekali lagi, cuma pantas 
dikerjakan oleh "orang-orang kasar" pula. 

Ini tidak berarti bahwa mereka-orang-orang "tradisional"-itu pemalas. O, sama sekali 
tidak! Mereka mau dan bisa bekerja sangat keras. Tengok saja petani-petani, nelayan- 
nelayan, dan kuli-kuli panggul kita! Mereka adalah pekerja-pekerja keras. 

Cuma saja, "bekerja" itu sendiri-bagi mereka, dan bagi orang lain juga-bukanlah sesuatu 
yang terhormat. Karena itu mereka melakukannya, sebab tidak ada pilihan lain. 

* * * 

DALAM masyarakat modern, "kerja kasar " disebut sebagai "blue collar job". Artinya, 
"pekerjaan kerah biru". Sedang "kerja halus" disebut sebagai "white collar job". 
Pekerjaan "kerah putih". Disebut "biru dan "putih", kemungkinan besar adalah karena 
yang melakukan "kerja kerah putih", tak perlu mengotori pakaiannya. Sedang yang lain 
perlu pakaian kerja yang "tahan kotor"-pakaian biru. 

Tak dapat dipungkiri, pekerjaan "kerah putih" dianggap lebih prestisius ketimbang yang 
"kerah biru". Pekerja kerah putih adalah mereka yang berdasi atau bergaun rapi, duduk di 
ruang yang sejuk berkursi empuk, sibuknya di belakang meja dengan pena, telepon, dan 
komputer mereka. Tak ada peluh menetes. 

Karenanya, mana bisa dibandingkan dengan montir-montir yang berpakaian dekil, 
bekerja di ruang yang hiruk pikuk dan berbau penguk. Dengan juru parkir yang bekerja 
dipanggang terik matahari, mengumpulkan 1000 rupiah demi 1000 rupiah. 



Dengan tukang sampah yang sehari-hari harus menahan bau dan mengais sampah tanpa 
pelindung hidung atau kaus tangan. 

Dengan kuli-kuli pelabuhan yang memanggul beban yang lebih berat ketimbang berat 
badannya sendiri. 

Tapi dalam masyarakat moderen, sikap terhadap "kerja" telah berubah secara radikal. 
Bekerja itu, untuk mereka, adalah mulia. Luhur. Orang- orang yang lebih gemar 
memandikan perkutut ketimbang bekerja keras, mereka pandang sebagai pemalas- 
pemalas dan benalu-benalu masyarakat yang menyebalkan. 

Sebaliknya, semakin banyak tenaga yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan- 
dan karenanya semakin sedikit orang yang berminat melakukannya-diberi penghargaan 
yang relatif lebih tinggi. Karena itu, seorang anak di Amerika dengan tanpa merasa 
minder memperkenalkan ayahnya sebagai "garbage man" (= tukang sampah). 

Perubahan sikap terhadap "kerja", juga sangat jelas kita lihat melalui kisah berikut, yang 
konon benar-benar terjadi. Ketika pada suatu hari, sebagai tanda penghargaan dan 
kekaguman, perdana menteri Jepang berkenan berkunjung ke pabrik Honda. Sudah 
selayaknya, tamu terhormat ini disambut sendiri oleh pucuk pimpinan tertinggi pabrik 
tersebut. Dan itu tidak lain adalah sang presiden direktur, sekaligus pemilik dan pendiri 
Honda Corporation. 

Ketika saat kunjungan kian mendekat, staf terdekat Pak Honda semakin gelisah. Bos 
mereka masih tetap bersantai dengan pakaian bengkelnya, yang di sana sini "kotor" 
terkena tumpahan oli dan sapuan gemuk. 

"Pak, rombongan akan tiba lima menit lagi. Apakah bapak tidak sebaiknya berganti 
pakaian dahulu?", kata mereka- setengah gugup setengah gemetar. "Mengapa aku harus 
tukar pakaian?," sergah sang bos besar, "Pakaian kerja bagiku adalah pakaian yang paling 
terhormat yang bisa dikenakan oleh seseorang". 

* * * 

SEDEMIKIAN terobsesinya orang-orang moderen terhadap kerja, muncullah sebuah 
"penyakit sosial" baru, yaitu penyakit kecanduan kerja. Atau lebih dikenal sebagai 
"workaholic". Orang-orang yang mengidap penyakit ini melihat "bekerja" sebagai satu- 
satunya, bahkan semua- muanya, dalam kehidupan. "Beristirahat" bagi mereka adalah 
"siksaan" (= torture). Penyia-nyian waktu yang tak terampunkan. 

Apakah bekerja melampaui batas tidak membuat mereka lelah? Tentu saja! Tapi 
kelelahan pun-selama masih bisa-akan mereka tekan, dengan maksud masih bisa bekerja 
lebih lama dari pada yang dimungkinkan oleh kekuatan tubuhnya. 



Maka di toko-toko pun berjajar dijual pelbagai jenis "stimulan", yang fungsinya adalah 
menghilangkan rasa lelah. Tapi awas, obat-obatan ini cuma menghilangkan rasa lelah, 
bukan menghilangkan kelelahan itu sendiri! 

AKIBATNYA mudah diramalkan. Secara umum, produktivitas masyarakat meningkat 
hebat. Tapi dampak sampingnya adalah kualitas kesehatan yang menurun dan kehidupan 
keluarga yang rentan. 

Suami dan istri-kedua-duanya hanya memikirkan pekerjaan- hanya "menyisakan", bukan 
dengan sengaja "menyisihkan", waktu bagi pasangannya, yaitu ketika tubuh sudah penat, 
tenaga sudah terkuras, dan emosi telah labil. 

Anak-anak banyak yang bertumbuh liar, karena tak pernah merasakan perhatian dan tak 
pernah menikmati kasih sayang orang tua mereka. Kecuali barangkali diberi uang atau 
dibelikan "play station", guna mengalihkan perhatian dan membungkam protes mereka. 

Hari Minggu, bagi banyak orang, adalah satu-satunya hari di mana mereka bisa bangun 
siang dan tidak melakukan apa-apa, setelah seminggu lamanya tenaga mereka dipacu 
melampaui batas. 

Karena itu, bagi orang-orang ini, ke gereja dianggap merugikan lagi pula tak ada 
manfaatnya. " Sama-sama tidur, lebih baik tidur di rumah dari pada tidur di gereja!," kata 
mereka. 

Kebutuhan spiritual mereka pun, tanpa disadari, tertelantarkan. Dan dengan spiritualitas 
yang "tipis", "miskin" dan "merana" itu, mana mungkin mereka punya kekuatan untuk 
menghadapi tantangan kehidupan moderen yang luar biasa berat. 

* * * 

"ENAM HARI LAMANYA ENGKAU AKAN BEKERJA DAN MELAKUKAN 
SEGALA PEKERJAANMU, TETAPI HARI KETUJUH ADALAH HARI SABAT 
TUHAN, ALLAHMU; MAKA JANGAN MELAKUKAN SESUATU PEKERJAAN ." 
(Keluaran 20:9-10) 

Perintah ini bukan perintah untuk beristirahat, tetapi juga perintah untuk bekerja. Perintah 
untuk bekerja, dan perintah untuk beristirahat. Keduanya- "bekerja" dan 
"beristirahat"-ternyata tidak berlawanan, dan jangan dipertentangkan. 

Keduanya bukan merupakan pilihan "ini atau itu"; "bekerja atau beristirahat". Tapi 
komplementer. Saling melengkapi. Yang satu tak mungkin tanpa yang lain. 

Tidak mungkin orang hanya terus-menerus bekerja, tanpa beristirahat. Tapi mustahil 
pula, bila orang hanya mau beristirahat tanpa bekerja- kecuali bila yang bersangkutan 
sakit parah. Kinerja yang bermutu hanya dapat dihasilkan oleh mereka yang cukup 



beristirahat. Sebaliknya, istirahat yang paling nikmat adalah untuk mereka yang telah 
bekerja paling penat. 

Bukankah perintah Tuhan ini adalah koreksi terhadap gaya hidup banyak orang- 
khususnya sebagian besar pegawai negeri kita? Yaitu pada waktu semestinya bekerja, eee 
malah bersantai ria dan bermalas-malasan- sungguh menyebalkan! Sebaliknya tatkala 
seharusnya sudah bisa beristirahat, terpaksa bekerja keras untuk mengejar ketinggalan. 

Yang Tuhan kehendaki adalah, hidup yang DISIPLIN dan SEIMBANG. Bekerja pada 
waktu bekerja. Beristirahat pada waktu istirahat. Baik dalam melakukan pekerjaan 
sekuler kita, maupun ketika melaksanakan tugas misioner kita. 

"Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, " kata Yesus, "selama hari 
masih siang; (sebab) akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat 
bekerja" (Yohanes 9:4) 

Menurut Yesus, waktu tidak berjalan siklis (= melingkar) melainkan linear (= lurus). 
Untuk masing-masing ada waktunya. Ada waktunya bekerja, ada waktunya beristirahat. 
Setiap saat adalah kesempatan. Peluang yang kadang-kadang cuma sekali datang, lalu tak 
pernah terulang. 

Jadi selama Anda masih diberi kesempatan bekerja, bekerjalah sekeras- kerasnya dan 
sebaik-baiknya! Sebab satu saat "akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun 
yang dapat bekerja". Dan bila "malam" itu datang, maka betapa pun Anda ingin, yang 
akan tersedia cuma penyesalan. Penyesalan tanpa obat. 

Sumber: http://www.glorianet.org/ekadarmaputera/ekadhakb.html 

Buruan Tampar Gue, Dong 
Oleh Eka Darmaputera 

Yesus berkata, "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, 
melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" 
(Matius 5:39). Ya, siapa yang tidak kenal kata-kata ini? 

Namun demikian, saya bayangkan, 99,9 persen orang "waras" di dunia ini akan lebih 
sepaham dengan Nietzsche, yang mengatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap 
"bunuh diri" ("suicidal"). Mula-mula menghancurkan diri sendiri. Akhirnya, meluluh- 
lantakkan seluruh peradaban dunia. 

Betapa tidak! Anda pasti ingat apa yang dikatakan Charles Darwin. Dari pengamatan 
empirisnya, ia menyimpulkan bahwa ciri kehidupan yang terpenting adalah "persaingan". 
Untuk bisa "survive" atau "bertahan hidup", semua makhluk mesti berjuang. Dan siapa 
yang berhasil "survive"? Kata Darwin, yang "survive" adalah makhluk yang paling 
"pas", paling "cocok", paling "fit" dengan kondisi lingkungannya. Survival of the fittest. 



Misalnya ada satu zaman, di mana alam sedemikian kerasnya, sehingga yang mampu 
bertahan hanyalah yang paling kuat dan paling besar. Tapi itu berubah. Digantikan oleh 
zaman, di mana "kuat" dan "besar" justru merupakan kelemahan. Sebab yang dibutuhkan 
adalah "kelincahan" dan "kecerdikan". 

Di sini berakhirlah masa kejayaan makhluk-makhluk raksasa dan perkasa, sejenis 
dinosaurus, brontosaurus, mastodon, dan sebagainya. Dan sebaliknya, justru makhluk- 
makhluk "kecil" sebangsa kura-kura, buaya, dan biawak — yang lebih "fit" - yang lebih 
mampu bertahan. Dan, tentu saja, ... manusia! 

SURVIVAL of the fittest". Makhluk macam apa yang paling "fit", atau paling memenuhi 
syarat, untuk mampu bertahan, memang bervariasi. Orang "bule" lebih tahan di iklim 
dingin. Sedang orang "keling" lebih nyaman di daerah panas. Tanaman teh tumbuh subur 
di Puncak, di daerah pegunungan Tapi jangan harap bisa bertahan di Parangtritis, di 
daerah pantai. 

Ya. Tapi yang jelas, kapan pun dan di mana pun, menurut Nietzsche dan kawan-kawan, 
orang tak akan mampu survive dengan prinsip Yesus: "ditampar pipi kiri, malah 
menawarkan pipi kanan". Guna mampu bertahan - apa lagi berkembang -, kata mereka, 
diperlukan makhluk yang punya "nilai lebih". "Uebermensch". "Super-human". 

Makhluk ini memang tidak mesti seperkasa Gatotkaca, berotot kawat bertulang besi. 
Namun yang pasti, ia juga bukan makhluk yang serba "nrimo" walau "dikuyo-kuyo"; 
artinya, manda diperlakukan apa saja. Yang bila ditampar, malah meminta, "Buruan 
tampar lagi, dong!". Sikap seperti ini tidak "fit" untuk keadaan apa saja. Tidak bakalan 
mampu "survive" di zaman kapan saja. 

BISA saja dalam keadaan-keadaan tertentu, orang cuma bisa diam. Tidak mampu berbuat 
apa-apa. Misalnya, di masa jaya-jayanya rezim Orde Baru, siapa berani terang-terangan 
melawan Soeharto? Tak banyak. Tapi sikap "tiarap" ini hanya boleh untuk sementara. 
Yaitu sampai tiba saat yang tepat untuk berdiri, untuk bertindak, untuk membalas. Kalau 
perlu, plus bunganya sekalian! 

Ini baru bisa disebut sebagai sikap "diam" yang bertanggung-jawab! Tapi bersikap 
seperti yang dianjurkan Yesus - "ditampar pipi kanan, malah menawarkan pipi kiri"? Ini 
adalah sikap "pecundang" yang tidak bertanggung-jawab. 

Sebab bayangkanlah, bila seorang pengusaha, di tengah-tengah persaingan, berkata 
tergopoh-gopoh, "Saya mengalah sajalah!". Bila di tengah-tengah pemilu, seorang 
pemimpin parpol berkata dengan segera, "Bila berminat, ambil sajalah konstituen saya". 
Dan bila seorang komandan pasukan, ketika diserang, buru-buru mengibarkan bendera 
putih, "Silakan Anda kuasai wilayah kami. Kami pergi!" 

Terlebih-lebih bila sikap-sikap tidak wajar itu didasari oleh prinsip, "Janganlah kamu 
melawan orang yang berbuat jahat terhadap kamu". Reaksi orang, tentu, "Lha namanya 



saja "orang berbuat jahat". Kok tidak boleh dilawan sih? Apakah ini tidak sama dengan 
mempersilakan angkara murka bersimaharajalela dengan leluasa?" Benar inikah yang 
dimaksudkan oleh Yesus? 

YANG pertama-tama harus kita katakan adalah, bahwa kita sungguh salah sangka bila 
mengira kata-kata Yesus tersebut adalah menganjurkan sikap lemah atau menyerah. 
Apabila ada orang yang karena takut, lalu buru-buru menawarkan pipinya untuk 
ditampar, maka, ya, ini memang adalah tanda kelemahan. Pengecut. Pecundang. 

Tapi saya yakin, Anda tentu pernah menyaksikan adegan pilem, ketika dua jagoan siap 
berlaga. Yang satu bertubuh kecil, sedang lawannya berperawakan raksasa. Dengan 
lincahnya, si Kecil mengayunkan tinju dan memukul perut lawannya. Buuuk! 

Tapi si Raksasa cuma tertawa mengejek. Ia malah mempersilakan si Kecil menghantam 
lagi perutnya. Dan lagi, dan lagi, dan lagi, sampai kelelahan sendiri. Perkenankanlah kini 
saya bertanya, sikap si Raksasa itu, apakah ini, menurut Anda, adalah tanda kelemahan? 

SAMA SEKALI bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa orang Kristen dianjurkan 
untuk menyontek bulat-bulat sikap si Raksasa. Orang Kristen bukan raksasa. Ia "Daud", 
bukan "Goliat". 

Sikap si Raksasa itu jelas-jelas mencerminkan sikap jumawa, sikap pede yang berlebih- 
lebihan, sikap memandang remeh kekuatan lawan. Kalau pun kelihatannya ia mengalah, 
itu cuma awal saja dari niat sebenarnya yang ada di hatnya. Yakni, niat membalas yang 
berlipat-ganda. Niat menghancurkan lawan habis-habisan. Sebab setelah si Kecil 
kehabisan tenaga, tibalah saat membuatnya jadi bulan-bulanan. Dihantam. Ditendang. 
Ditelikung. Dibanting. Dan si Raksasa itu akan tertawa terbahak-bahak. Puas. 

Sikap kristiani yang dianjurkan Yesus, kita tahu, bukan begitu. Sebaliknya dari bersikap 
jumawa, orang Kristen dituntut rendah hati. Sebaliknya dari percaya berlebih-lebihan 
pada kemampuan diri sendiri, ia menggantungkan diri sepenuh-penuhnya pada kuasa 
Allah. Dan sebaliknya dari dibakar nafsu ingin membalas, ia rindu mengampuni. 

TOH dari ilustrasi di atas, kita dapat menggali satu kebenaran penting. Yaitu bahwa sikap 
seperti yang dianjurkan Yesus itu, ternyata bisa lahir dari kekuatan dan keyakinan diri. 
Bukan, seperti tuduhan Nietzsche, tanda kelemahan dan sikap tidak berdaya semata-mata. 

Dan kekuatan yang luar biasa! Mengapa? Sebab apa sih sebenarnya esensi yang paling 
hakiki dari kata-kata Yesus yang sedang kita bicarakan ini? Jelas bukan soal tampar- 
menampar. 

Ketika Yesus sendiri mengalami - dengan mata tertutup — ditampar oleh serdadu- 
serdadu Romawi, apa yang Ia lakukan? Apakah Ia menyorongkan pipi-Nya yang sebelah 
lagi, seraya berkata, "Buruan tampar gua lagi, dong!"? Tidak, bukan? 



Sebaliknya, dengan penuh wibawa, Ia bertanya, "Apa sebabnya, apa salahku, sehingga 
kalian menampar Aku?" Yesus yang "terdakwa", bersikap sebagai "hakim" yang 
meminta pertanggung-jawaban mereka! 

Yesus tidak "tiarap"! Yesus tidak Cuma "nrimo"! Karenanya, Ia juga mau agar pengikut- 
pengikut-Nya - Anda dan saya - juga begitu! Tidak menjilat-jilat, sekadar supaya 
selamat. Tidak menjual kehormatan, hanya supaya aman. Tidak menukar keyakinan, 
dengan kedudukan. 

BILA tidak menyerah, lalu apa? Menurut pandangan dunia pada umumnya, satu-satunya 
alternatif yang tersedia, bila orang tidak menerima perlakuan orang lain, adalah — apa 
lagi — kalau bukan "membalas". "Mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa". 

"Membalas" adalah sikap "kodrati" manusia. Malah salah satu nilai yang terpuji! 
Misalnya, dari beberapa jenis "keadilan" yang ada, ada satu yang disebut "keadilan 
retributif. Apa ini? Menurut pengertian "keadilan retributif, "adil" itu artinya ialah, 
membalas orang setimpal dengan apa yang dilakukannya. Jadi, pahala bagi yang berbuat 
baik. Dan hukuman bagi yang berlaku jahat. 

Yesus tidak menafikan perlunya "pembalasan" atau "hukuman". Namun Ia juga 
menawarkan alternatif lain. Yang lebih luhur, yang lebih mulia, yang lebih ilahi. Yakni, 
bukan "membalas" melainkan "mengampuni". Bukan "membalas" melainkan 
"mengasihi". 

Mengapa lebih luhur? Sebab ketika kita mampu mengendalikan kecenderungan kodrati 
kita untuk "membalas", itu berarti kita telah membuktikan kemampuan kita 
mengendalikan diri sendiri; mengontrol hawa-nafsu kita. Adakah yang lebih mulia dari 
pada ini? 

Dan dengan itu kita menunjukkan kepada dunia, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan 
yang kita miliki. Bukan untuk melanggengkan permusuhan, tapi mendatangkan 
perdamaian. Bukan untuk melukai, tapi menyembuhkan. Ini amat ilahi, bukan? *** 
191004 



Hamba yang Baik, Setia, dan Dapat Dipercaya 
Oleh Eka Darmaputera 

KAMI pernah punya seorang pelayan. Embah Kromo namanya. Atau cukup kami panggil 
Embah. Ketika saya masih kecil, embah ini, dalam bayangan saya, sudah cukup tua. Saya 
ingat betul sosoknya. Pendek, bungkuk, wajahnya menyungging senyum, bibirnya merah 
karena sirih, dan di sudut kanan mulutnya tembakau susur. 



"Juadah ketan" dan "srundeng kelapa" buatannya — hmmm, nyam, nyam — tak ada 
tandingannya di seluruh dunia! Juga "mangut lele" serta "garang asem" olahannya. 
Dialah si Embah yang kami sayangi bak nenek sendiri — mungkin lebih. 

Bagi kami, Embah sudah bukan "pelayan" dalam arti yang lazim. Ia adalah anggota 
keluarga. Sebagian dari kami. Karena itu — sebagai anggota keluarga — tidak jarang, ialah 
yang memarahi dan menasihati kami. Bukan sebaliknya. 

Kebersamaan yang indah ini berlangsung, sampai pada suatu hari, ia minta izin untuk 
pulang ke desanya. Tempat kelahirannya ini — di lereng gunung Sumbing — nyaris tak 
pernah dijenguknya selama belasan tahun. Ternyata, di situlah Embah mengakhiri 
hidupnya. Sampai saat terakhir, ia tak ingin membuat kami repot. 

Tatkala mendengar berita kematiannya, kami menangis. Diiringi rasa sakit yang 
menghunjam. Dan pedih yang mendalam. Tak dapat kami percaya, bahwa kami tak akan 
melihat Embah Kromo lagi. 

TAPI apa sih persisnya yang membuat si Embah ini begitu istimewa? Prestasi dan 
keterampilan kerjanya memang tidak buruk. Namun sebenarnya juga tidak sangat luar 
biasa. Rata-rata saja. Yang membuat kami begitu mencintainya dan menghormatinya, 
adalah KESETIAANNYA. 

Konon ia mulai bekerja sebagai "PRT" sejak kakek dan nenek saya mulai berumah- 
tangga. Waktu itu, Embah pasti masih gadis belia. Ia menyaksikan ketika paman-paman 
dan bibi-bibi saya dilahirkan dan mengasuh mereka semua. 

Kemudian disaksikannya pula bagaimana para bekas asuhannya itu pada gilirannya juga 
beranak-pinak. Embah ikut mengasuh beberapa di antaranya, termasuk saya dan adik 
saya. 

Jadi ada sekitar lima puluh tahunan lebih ia menjadi bagian dari kehidupan keluarga 
kami. Lima puluhan tahun, di mana ia membuktikan dirinya sebagai "pelayan" yang setia 
dan dapat dipercaya. Selama lima puluhan tahun itu ia diuji, dan lulus nyaris tanpa cela. 
Ini yang membuat ia istimewa. Amat istimewa. Tak ada duanya. 

Karena itu, seandainya Anda bertanya: "Apa yang membuat seorang 'pemimpin' itu 
istimewa?". Jawab saya, tanpa ragu, adalah: "kesetiaan" dan "kredibiltas"nya. Lalu bila 
Anda, belum puas, bertanya pula: "Mengapa demikian?". Maka jawab saya, kembali 
tanpa ragu, adalah: sebab "pemimpin yang baik" seharusnya adalah "pelayan yang baik". 
Karena itu bila seorang "pelayan", lantaran kesetiaan serta kredibilitasnya ia dipuji, maka 
di situ pula kualitas kepemimpinan seorang "pemimpin" itu diuji. 

Menurut Anda, "gelar" atau "sebutan" apa sih yang paling melegakan, paling 
membanggakan, dan paling Anda dambakan, yang Anda harapkan dari Yesus, seselesai 
seluruh kerja Anda di dunia? 



Kalau saya, wah, alangkah berbahagia dan berbunga-bunganya hati saya, sekiranya 
Yesus berkenan memberi sebutan yang sama dengan yang diberikan-Nya, kepada orang 
yang dinilai telah mengelola talentanya dengan baik. 

Gelar atau sebutan apa itu? Sebenarnya sederhana saja. Yaitu, sebutan "hamba yang baik 
dan setia". "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia! Engkau 
telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam 
perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu!" (Matius 25:21, 
23). 

"Hamba-Ku yang baik dan setia"! Gelar dan sebutan ini, bila benar-benar keluar dari 
mulut Allah, aduhai, Bintang Mahaputera Kelas Utama pun jadi seperti tak ada apa- 
apanya! 

Dan yang lebih penting, sebutan tersebut juga menunjuk dengan jelas kualifikasi apa 
yang Allah tetapkan Allah bagi seorang "pemimpin". Apa itu? "Pelayan yang baik dan 
setia"! "Terampil dan mampu" memang perlu, siapa bisa menyangkalnya? Tapi karakter, 
moral dan integritas pribadi lebih perlu lagi! 

PAULUS pun punya keyakinan yang sama. Bila banyak pemimpin, pendeta, dan 
penginjil sekarang, rata-rata ingin jadi primadona dan selebritas, kerinduan Paulus sangat 
sederhana. 

Dengarlah apa yang ia katakan, "Demikianlah hendaknya orang memandang kami: 
sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang 
akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata 
dapat dipercaya" (1 Korintus 4:1-2). 

Wah, berapa gelintir pemimpin atau pendeta atau penginjil sekarang yang masih 
demikian? Yang dambaan utamanya adalah menjadi "hamba yang setia dan dapat 
dipercaya" merupakan dambaan utama? Yang ucapan-ucapannya menyatu dengan 
dengan tindakan? Yang tak mengalami kepribadian-belah baik sewaktu di mimbar 
maupun ketika berada di mana saja? 

Beberapa pejabat gereja menumpahkan keluhan mereka, tentang betapa sebagian besar 
waktu dan energi mereka habis tersita, untuk mengurusi pendeta-pendeta yang 
bermasalah. Dan yang jumlahnya, menurut mereka, kian bertambah. 

Mengapa ini? Sebab utamanya, mudah diduga, adalah karena mereka bukan "hamba- 
hamba yang baik dan setia". Bukan "pelayan-pelayan yang dapat dipercaya", tapi 
"pesolek-pesolek" yang jatuh cinta berat pada diri sendiri, atau materialis-materialis yang 
rakus dan gila harta. Atau megalomania yang mabuk kuasa. Atau demagog-demagog 
yang fasih lidah. Atau apa saja. Tapi jelas, mereka bukan "pelayan-pelayan" yang baik. 
Karena itu, bukan pula "pemimpin-pemimpin" yang baik. 



BEGITU kerap saya menyebut kata "pelayanan", tapi saya baru tersentak sadar, bahwa 
ternyata saya belum menjelaskan, paling sedikit apa yang saya maksudkan, setiap kali 
saya menggunakan kata-kata itu. Perkenankanlah saya "menebus" kealpaan itu — 
sekarang. 

Ini perlu, sebab istilah "pelayanan", seperti pernah kita bicarakan, di zaman kita 
sekarang, telah berkembang menjadi sebuah kata yang manca-makna. Multi-arti. 

Istilah ini dipakai mulai dari "menyerpis mobil' sampai ke "menyerpis pejabat". Di 
dalam Alkitab, kata ini juga mengandung aspek, dimensi, dan variasi makna yang 
beragam. 

Toh bagi saya — di tengah keberagaman itu — nasihat Paulus di bawah ini, merumuskan 
dengan jitu, inti atau esensi "pelayanan" yang paling hakiki. Tulisnya, "(Hendaklah 
kamu) tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya 
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada 
dirinya sendiri. Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya 
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga" (Filipi 2:3-4). 

Dari hati seorang "pelayan" (baca: "pemimpin") tulen, terpancar keelokan dan keindahan 
sejati dari "kerendah-hatian". Sebab "kerendah-hatian", saudara, tidak cukup dibuktikan, 
sekadar hanya dengan kata-kata yang "merendah", namun keluar dari hati yang pongah. 

Tak cukup diperlihatkan sekadar hanya dengan kepala yang tunduk atau jalan 
terbongkok-bongkok, namun dengan tangan siap menikam. Dan lebih tidak kena lagi, 
bila ia coba ditunjukkan dengan sikap bermanis muka. 

Bukti paling sahih dari "kerendah-hatian" adalah "pelayanan". Sebab dengan "melayani", 
kita tidak "mencari kepentingan sendiri" atau "popularitas diri yang sia-sia". 
Sebaliknyalah, kita menempatkan "orang lain" di pusat kepedulian kita. 

"Kepentingan" dan "kebutuhan" orang lain kita rasakan sebagai kepentingan dan 
kebutuhan kita sendiri. "Sesama" menjadi "lebih utama". Orang tidak hanya 
"memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga". 

DI DUNIA ini sebenarnya kita tidak kekurangan orang yang mau memperhatikan 
kepentingan orang lain. Orang-orang yang dengan niat baik ingin menolong orang lain. 
Namun demikian, ini tidak otomatis membuat kita surplus "pelayan". Sekadar punya niat 
baik dan berbuat baik, tidak serta-merta menjadikan yang bersangkutan seorang 
"pelayan". 

Mengapa tidak? Untuk menjawabnya perkenankan saya memanfaatkan sebuah bahan 
refleksi karya Anthony de Mello. Tentang seekor kera yang resah melihat ikan-ikan 
berenang hilir mudik di telaga di depannya. Berulang kali ia berupaya menangkap ikan- 
ikan itu. Tapi hanya seekor yang berhasil ditangkapnya. 



Lalu diapakannya ikan tangkapannya itu? Ternyata ia berlelah-lelah begitu rupa, hanya 
untuk akhirnya meletakkan ikan itu di atas tanah. "Apa gerangan yang kau lakukan itu, 
kera sahabatku ?", tanya kura-kura terheran-heran. "Aku menyelamatkan ikan ini dari 
tenggelam! Sayang cuma berhasil satu ekor saja," jawab si kera. 

Kera itu berniat baik. Ia juga berusaha keras berbuat baik, tapi "baik" dari sudut 
pandangnya sendiri. Tapi tidak dari perspektif dan kepentingan si ikan. Tak terlintas di 
pikirannya bahwa, berbeda dengan dirinya, justru di airlah ikan bisa hidup dengan 
bebasnya. 

Banyak "pemimpin" kita yang benar-benar punya niat baik. Dan yang, saya tahu, telah 
bekerja keras mewujudkan niatnya yang baik itu. Tapi karena ia hanya berbuat banyak 
"untuk" rakyat, tapi tidak "bersama" rakyat, ia tidak dapat disebut seorang "pelayan" 
yang baik. 

Dan sebab ia bukan seorang "pelayan" yang baik, jelaslah, sayang beribu kali sayang, ia 
bukan seorang "pemimpin" yang baik. *** 270904 

"SBY" vs "MEGA" 
"Perubahan" vs "Status Quo"? 
Oleh Eka Darmaputera 

"Madu" dan "racun" 

Bila di dunia peradilan ada semboyan "nothing but the whole truth" - "tiada yang lain, 
kecuali kebenaran yang utuh" — , di dunia periklanan yang berlaku adalah, "anything, but 
the whole truth" — "apa saja, kecuali kebenaran yang menyeluruh". 

Hal yang sama juga terjadi menjelang PEMILU PILPRES II ini. Para kandidat akan 
berbicara mengenai apa saja, kecuali mengungkapkan kebenaran yang seutuhnya - yang 
sepenuhnya. Baik "SBY", maupun "MEGA". 

Semula, menjelang PILPRES II ini, saya bermaksud akan berdiam diri saja. Sebab, apa 
gunanya? Terus terang, saya tak terlalu risau, apakah nanti orang memilih "SBY" atau 
memilih "MEGA". Sebab bila "SBY" yang terpilih, angin sorga toh tak akan berhembus 
seketika. Dan bila "MEGA" yang terpilih, api neraka juga tak akan membakar negeri kita 
serta merta. Indonesia pada dasarnya ya akan begini-begini juga adanya. 

Pilihan di hadapan kita, bukanlah pilihan antara "madu" dan "racun". Mungkin lebih 
kena, bila ditamsilkan sebagai pilihan antara "indomi" dan "alhami". Jauh dari bersifat 
"clear-cut". Berbeda, bila sekiranya yang masuk adalah "Amien Rais" atau "Wiranto". 

"Perubahan" dan "status Quo" 

Jadi, mengapa saya bicara juga? Semata-mata karena saya tak rela melihat masyarakat 
memilih "SBY" atau "MEGA", berdasarkan "mis-informasi" atau bahkan "dis-informasi". 



Dipedayakan oleh isu, slogan, dan jargon yang kedengarannya saja meyakinkan, tapi 
sebenarnya menyesatkan. 

Salah satunya adalah, jargon "perubahan" itu. Seolah-olah memilih "SBY" adalah 
memilih "perubahan", dan memilih "MEGA" berarti memilih "status quo". Sekali lagi 
saya tegaskan, silakah pilih siapa saja, bila itu memang tuntunan dan tuntutan nurani 
Anda! Namun jangan atas dasar slogan itu! Slogan itu menyesatkan! 

Pertama, adalah ilusi besar bila menyangka, bahwa memilih baik "SBY" atau "MEGA" 
akan membawa perubahan yang segera dan mendasar bagi Indonesia. Paling banter yang 
"berubah" adalah "orang"nya. Atau, gaya "kepemimpinan"nya. Tapi nasib rakyat banyak? 
Anda dan saya? Ya tetap "ngos-ngos"an. Percayalah! 

Kedua, tak satu pun dari mereka berhak mengklaim diri sebagai "dewa" atau "dewi 
perubahan". Kedua-duanya - baik "SBY" maupun "MEGA" - sama-sama menghendaki 
"perubahan". Dan . . ..sama-sama punya kecenderungan "status quo"! 

Saya berani berkata begitu, sebab justru karena itulah rakyat memilih mereka. Sekiranya 
rakyat menghendaki "perubahan" yang lebih "berani", maka mereka akan memilih Amien 
Rais dan Siswono. Dan bila rakyat menginginkan "status quo", maka pilihan mereka 
adalah Wiranto. Bukan "SBY", bukan "MEGA" ! 

Lagi pula, anjuran saya, jangan hendaknya kita terlalu alergi terhadap "status quo". 
Dalam situasi-situasi tertentu, mempertahankan "status quo" itu perlu. Mampu 
mempertahankan "status quo" bagi pasien semacam Cak Nur, selama beliau belum 
melewati 'masa krisisnya", sudah merupakan prestasi tersendiri. Justru fatal-lah, bila 
dokter mau memaksakan perubahan yang terlalu cepat dan terlalu drastis. 

Bagi Indonesia yang belum "lepas krisis", pendekatan hati-hati serta perubahan yang 
terukur - tidak grasa-grusu - akan lebih mengena, ketimbang pernyataan "jago-jagoan" 
yang tepat diteriakkan di Bundaran HI, tapi bukan untuk menyelamatkan negeri. 

Konservatifkah saya? Mungkin. Tapi saya berpendapat, bahwa menjalankan negara harus 
berbeda dari pertunjukkan akrobat. Memutuskan sesuatu di sidang kabinet, harus berbeda 
dari unjuk kebolehan di forum diskusi. 

Dan akhirnya, yang ketiga, seandaikata pun benar, "SBY" "by nature" memang lebih 
inovatif ketimbang "MEGA", toh kita tidak boleh terkecoh oleh semangat "pokoknya ada 
perubahan'. Jauh lebih bijaklah, bila terlebih dahulu kita bertanya, "Yang berubah itu 
apanya, pak?". Jangan pernah kita menitipkan "mandat blanko" kepada siapapun! Di 
sinilah agaknya 'kontrak politik" itu menjadi relevan. 

Yang saya kemukakan ini sangatlah krusial. "MEGA" telah kita kenal "belang- 
belang"nya. Tapi "SBY"? Suatu ketika, saya pernah mendengar Salim Said mengatakan 
bahwa salah satu persoalan dengan "SBY" adalah ketidak-jelasan posisinya. Akibatnya, 
bagi sementara kalangan Islam "garis keras", ia memberi kesan terlalu memberi hati 



kepada orang-orang Kristen. Tapi kemudian - mungkin untuk mengubah citra tersebut - 
giliran orang-orang "Kristen"-lah yang dikecewakan, karena ia dianggap terlalu hijau. 

Mega kita kenal, tapi siapa "SBY" yang sesungguhnya? Maksud saya, kita harus jelas 
betul, "perubahan" yang dijanjikan itu perubahan apa, bagaimana, ke mana? 

Siapa yang gagal? 

Isu lain yang menurut saya mengecoh adalah, seolah-olah pilihan di hadapan kita adalah 
memilih antara "sukses" dan "kegagalan". Megawati telah diberi kesempatan, dan gagal. 
Sebab itu, "enough is enough". Ia mesti diganti! Begitu kata beberapa orang. 

Jalan pikiran itu sendiri tidak salah. Demokrasi berarti rakyat berhak memilih atau 
menolak pemimpin-nya. Tapi mengangkat ini sebagai "jargon", wah, tunggu dulu! 

Pertama, seandaikata pun benar bahwa pemerintahan "MEGA" gagal, pertanyaannya 
adalah: siapa yang gagal? Bukankah "SBY" dan "JK" adalah menko-menko utama, pilar- 
pilar pemerintahan MEGA, tiga tahun lamanya? Lalu kini mereka mau mencuci tangan? 
Kualitas kepemimpinan macam apa ini? 

Kedua, benarkan Mega gagal? Bahwa kinerjanya masih jauh dari optimal, ya. Bahwa 
masa tiga tahun pemerintahannya bukanlah sebuah kisah sukses, ya. Bahwa masih 
terdapat begitu banyak pekerjaan yang dibiarkan terbengkelai, ya. 

Tapi apakah itu berarti Mega sama sekali "gagal'? Ini, saya kira, masih bisa 
diperdebatkan secara cerdas, tanpa orang perlu menjadi partisan atau emosional. Yang 
paling jelas adalah, mengatakan bahwa ia seratus persen "gagal", berarti menafikan suara 
rakyat yang menghantarkannya ke putaran kedua. Suara puluhan juta rakyat yang 
mengatakan, bahwa ia layak diberi kesempatan lagi. 

Saya tak punya masalah bila Megawati harus diganti. Tapi mesti ada jaminan, bahwa 
penggantinya lebih baik. Sebab kalau tidak, ya untuk apa? "SBY"-kah pengganti yang 
lebih baik itu? Belum tentu. Isu bahwa pilihan kita adalah antara "kegagalan" dan 
"keberhasilan", adalah isu semu. Sebab pilihan kita sebenarnya adalah, antara 
"kekurangan yang sudah kelihatan" dan "kekurangan yang belum kelihatan". 

Mengapa? Sebab yang acap kita sebut sebagai "kegagalan" Mega, itu 'kan sebenarnya 
adalah interaksi dari tiga faktor: (a) faktor kelemahan yang bersangkutan; (b) faktor 
harapan masyarakat yang terlalu tinggi; dan (c) faktor kondisi obyektif Indonesia yang 
parah. 

Mungkin sekali dalam hal kemampuan pribadi, "SBY" punya banyak keunggulan. Tapi 
bagaimana ia menghadapi faktor kedua dan ketiga? Bukan tidak mungkin, harapan yang 
terlalu tinggi kepada "SBY" sekarang ini, itu pula yang akan mencampakkannya lima 
tahun lagi, sekiranya ia terpilih. Belum lagi bila kita berbicara tentang kondisi obyektif 
Indonesia yang carut-marut - siapa pun presidennya. 



Berat sebelah? 

Apakah tulisan ini tidak terlalu "pro MEGA"? Anda berhak punya anggapan demikian. 
Tapi perkenankan saya mengungkapkan isi hati saya yang sebenarnya. 

Terlepas dari saya ini "pro" siapa, kelemahan saya adalah saya tidak bisa berdiam diri 
ketika melihat kebenaran dibengkokkan, masyarakat dipedayakan, dan ada orang-orang 
yang dibiarkan teraniaya oleh praduga. Sebuah tim sukses barangkali memang 
berkewajiban melakukan hal itu. Tapi hati nurani saya juga berkewajiban untuk, seberapa 
mungkin, meluruskannya. 

Keluhan dan kekecewaan saya terhadap kepemimpinan Megawati, seperti berulang-ulang 
saya kemukakan, bisa lebih atau sama panjangnya dengan siapa pun. Dan kali ini pun, 
dengan segala kerendahan harti, saya ingin memperingatkan beliau. Saya sungguh merasa 
tidak sejahtera, tatkala membaca bahwa seolah-olah Tim sukses "MEGA" menganut 
prinsip, "pokoknya menang dulu". Astaga, bukan begini, mbak, sikap negarawan itu 
seharusnya! 

Bagi-bagi kekuasaan dalam dunia politik praktis, tak mungkin terhindarkan. Yang 
mungkin hanyalah mau berterus terang mengakuinya, atau bersikap munafik 
menyembunyikannya yang, bagi saya, jauh lebih memuakkan. Kemudian, yang namanya 
"Koalisi Kebangsaan" atau "Koalisi Kerakyatan" atau "Aliansi Anu", bagi saya, sama 
saja nilainya. Bukan pilihan antara "elitis" dan "populis'. Semuanya - termasuk yang 
mencatut nama "rakyat" - adalah "elitis" tulen seratus persen! 

Tapi satu hal ini, ingin saya kemukakan dengan sepenuh hati. Yakni, sekiranya saja pada 
akhirnya mbak Mega dan mas Hasyim yang memenangkan pemilihan ini, tolonglah Anda 
ingat, bahwa yang memenangkan Anda itu bukan "koalisi", bukan pula "mesin partai", 
tapi rakyat. Rakyat yang satu per satu berduyun-duyun mencoblos gambar Anda dengan 
tangan mereka. Jadi, kepada mereka-lah hutang Anda yang terbesar! Karena itu, apakah 
juga ada "jatah kursi' tersedia bagi mereka? 

Dan kepada siapa pun - "SBY" atau "MEGA" - yang berhasil menang nanti, saya ingin 
mengatakan, bahwa masa lima tahun itu tidak lama. Tidak terlalu lama bagi rakyat untuk 
mengingat jelas janji-janji Anda. Lima tahun yang akan datang, Anda akan menghadapi 
lagi "pengadilan rakyat". Karena itu, anjuran saya, bukan cuma sekarang saja, Anda perlu 
merebut hati mereka, dengan berjalan pagi atau bernyanyi bersama mereka. Rebutlah hati 
mereka sepanjang lima tahun ini, dengan memenuhi harapan mereka yang paling 
mendesak! Itu utang Anda! 

Dan kepada mereka yang terus bertanya tanpa bosan, siapa pilihan saya 20 September 
mendatang ini, wah, bagaimana ya saya mesti menjawab? Mungkin begini saja. Tanggal 
20 September nanti, saya Cuma mau mengikuti pesan sebuah iklan minyak kayu putih, 
kalau tidak salah, cap "Wang" (bukan nama sebenarnya). Iklan itu berbunyi, "Untuk 
anak, kok coba-coba?!" Saya berkata, "Soal negara kok coba-coba?!" 



Atau mencontoh Gus Dur. Saya ingin menitipkan anak saya pada Mas Hasyim Muzadi - 
silakan bawa dia ikut kampanye. Hanya sayangnya, ia tidak ada di tanah air! *** 090904 

Memimpin dan Melayani 
Oleh Eka Darmaputera 

Menurut Anda, apakah "memimpin" itu? Atau, siapakah "pemimpin" itu? Tebakan saya 
pasti tidak terlalu meleset, bila saya katakan bahwa Anda kira-kira akan menjawab 
begini. Bahwa "memimpin" itu berarti memberi arah, mengelola, mengorganisir, 
mengambil keputusan, mendelegasikan wewenang, membuat perencanaan untuk masa 
depan Dan sebagainya. 

Seorang "pemimpin" yang baik memahami dengan jelas, apa yang ingin dan harus ia 
capai; mengetahui dengan tepat apa yang mesti ia lakukan untuk mencapainya; dan 
memiliki keterampilan untuk mengatur pelaksanaannya. 

Salahkah jawaban-jawaban itu? Sudah pasti tidak! Megawati dinilai oleh beberapa 
pengamat sebagai kurang memuaskan kinerja kepemimpinannya. Mengapa? Terutama 
karena ia gagal memberi arah yang jelas bagi perjalanan bangsa. Tak punya visi yang 
jernih. Atau punya, barangkali. Tapi tak mampu menjadikannya sebagai "visi bersama" 
(= common vision) seluruh anak negeri. 

Sebaliknya dengan Lee Kuan Yew. Orang boleh saja tidak menyukai "gaya"nya, yang 
kadang-kadang memang terkesan arogan dan kurang diplomatis. Tapi siapa dapat 
memungkiri kehebatannya dan keberhasilannya sebagai "pemimpin"? 

Ia menakjubkan dunia, karena suksesnya menata, mengelola dan mengorganisasi 
Singapura. Karena kemampuannya dalam menerjemahkan visi menjadi program nyata. 
Karena kepiawaiannya mengambil keputusan yang tepat, walau acap kali tidak populer 
serta kontroversial. 

Dan yang membuat keberhasilan kepemimpinannya tak terbantahkan, adalah hasilnya. 
Dari sebuah negara-pulau yang semula cenderung mesum, kumuh, dan rawan karena 
dikuasai para gangster, Lee berhasil mengubah Singapura menjadi negara yang paling 
aman, paling bersih, paling tertib, dan salah satu yang paling makmur di dunia. 

SEKIRANYA saja Anda dapat menemukan seseorang, entahkah ia laki-laki atau 
perempuan, yang dalam dirinya mampu memadu dan meramu semua kandungan isi (= 
ingredient) kepemimpinan yang saya sebutkan itu, o, jangan ragu-ragu lagi! Pilih ia jadi 
presiden! Cuma soalnya, mungkinkah menemukan orang seperti itu? Saya 
meragukannya. 

Dan yang lebih gawat lagi adalah ini. Yaitu bila menemukan orang yang berkualifikasi 
seperti itu saja sudah nyaris mustahil, toh ada yang beranggapan - dan anggapan tersebut 
benar — , bahwa persyaratan tersebut masih kurang komplit juga. 



Orang seperti Frank Mendoza, misalnya. Dalam bukunya, "The Making of a Leader", ia 
antara lain menulis, bahwa sekali pun persyaratan tersebut di atas sudah bukan main 
beratnya, ia tetap belum cukup. Belum memadai untuk menjadikan seorang pemimpin 
"benar-benar pemimpin"! 

Menurut keyakinannya, ada satu unsur yang amat esensial, yang belum tersebutkan di 
situ. Apa itu? Yaitu, "pelayanan". Bahwa "memimpin" itu berarti "melayani". 
"Memimpin" itu berarti "mengabdi". "Menghamba". 

Tanpa unsur "pelayanan" ini, unsur-unsur kepemimpinan yang lain itu paling banter 
hanya memungkinkan orang menjadi seorang "pemimpin yang trampil". "A skilled 
leader". Seorang "pemimpin yang mampu". "A capable leader". Tapi belum bisa 
memberinya kualifikasi sebagai seorang "pemimpin yang sejati". "A true leader". 

"Pemimpin sejati" mesti punya sikap mental seorang pelayan. Mesti punya motivasi 
seorang abdi. Mesti bersikap dan bertindak bak seorang hamba. Ia adalah pemimpin yang 
menghamba. Sekaligus, hamba yang memimpin. 

SAYANG sekali, kata atau terminologi yang bagi Mendoza (dan bagi Yesus!) adalah 
"kata kunci" yang begitu sentral - pelayanan — , di zaman kita sekarang cenderung 
menjadi kata "kodian". Menjadi sebuah kata "murahan", yang kian hari kian kehilangan 
pemaknaannya yang asli. 

Awal "tragedi" ini, saya akui, adalah justru karena orang menyadari betapa krusialnya 
"pelayanan" itu. Tapi ironisnya, kesadaran ini pertama-tama muncul di dunia bisnis. Dan 
di lingkungan bisnis inilah, ia dimanfaatkan sehabis-habisnya! 

Mengapa saya sebut "ironis"? Sebab kita tahu, kesadaran akan vitalnya "pelayanan" itu 
'kan dari lingkungan kekristenan asal-muasalnya. Ini ternyata tak berlangsung lama. 
Ketika makna serta semangat "pelayanan" di lingkungan gereja dan kekristenan tengah 
mengalami proses penggerusan yang amat derasnya, dunia bisnis-lah yang 
"menghidupkan"nya kembali. 

Para pelaku bisnis menemukan kembali nilai strategis "pelayanan" itu. Sebab itu di dunia 
ini pulalah, kemudian lahir istilah-istilah yang kini begitu akrab di bibir hampir semua 
orang. "Customer service". "Service center". "After-sale service". Dan jangan lupa, "Bila 
urusan mau lancar, Anda mesti menyediakan "uang serpis"!" 

iService" menjadi kunci sukses dunia niaga sekarang. Dan ini, untuk kesekian kalinya, 
membuktikan kebenaran kata-kata Yesus, betapa "anak-anak kegelapan" lebih cerdik 
ketimbang "anak-anak terang". Kapan, saudaraku, kita akan menghentikan kedunguan, 
kedegilan dan kelambanan kita? 



YANG pantas kita pertanyakan sekarang adalah, apakah "pelayanan" atau "service" yang 
secara universal telah diakui keampuhannya itu, masih setia mengemban makna aslinya? 
Jawabnya, tegas, adalah: Tidak! 

Siapa yang belum pernah mengalami, disambut bak raja atau ratu, dengan senyum manis 
dan tegur sapa yang ramah, ketika memasuki sebuah toko? Para "pelayan" (sic!) itu akan 
mengikuti kita ke mana pun kita pergi, siap memberi informasi yang kita butuhkan. 
Sekali lagi, semua ini dengan sikap hangat dan hormat. 

Tapi jangan terlalu "ge-er", lalu merana, bila dalam sekejap sikap itu hilang lenyap bagai 
uap. Digantikan oleh sikap dingin, acuh tak acuh, bahkan mungkin bibir mencibir serta 
sorot mata menghina. "Huh, udah enggak punya duit, bikin capek gue aje!". Kapan 
perubahan drastis ini terjadi? Yaitu ketika Anda memutuskan tidak membeli apa-apa dari 
mereka. Dan mereka tahu, Anda tidak memberi keuntungan apa-apa untuk mereka. 

Dalam dunia bisnis, pelanggan adalah raja. Mereka akan berusaha "melayani" Anda 
sebaik mungkin. Membuat Anda merasa senyaman mungkin. Memang! Tapi hanya 
selama Anda masih dapat diharapkan akan menguntungkan mereka. 

Jadi silakan bertanya, "pelayanan" itu sebenarnya demi kepentingan siapa? Siapa yang 
diharapkan melayani siapa? Jawabnya amat jelas: "pelayanan" versi bisnis adalah 
"melayani kepentingan sendiri". Swalayan. "Self-service". Ini jelas bukan "melayani" 
seperti yang dikehendaki Yesus. 

YESUS tidak pernah merumuskan secara rinci apa "melayani" itu. Mengusulkan definisi 
yang paling sederhana pun, Ia tidak. Ketimbang mengumbar kata-kata, Ia agaknya lebih 
memilih tindakan nyata. Tapi memang itulah "pelayanan" itu. "Pelayanan" adalah 
"tindakan" atau "aksi". Bukan "rumusan" atau "formulasi". 

Salah satu tindakan itu adalah ketika, setelah makan bersama murid-murid-Nya, Ia tiba- 
tiba bangun dari tempat duduk-Nya. Lalu "menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai 
kain lenan, mengikatkannya pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, 
dan ... mulai membasuh kaki murid-murid-Nya" (Yohanes 13:4-5). 

Ini tentu saja membuat murid-murid-Nya terpana, terkesima dan tak dapat menerima. Tak 
pantas seorang guru membasuh kaki muridnya! Pekerjaan ini adalah pekerjaan "hina". 
Tugas seorang budak. Pelayan. Hamba. Doulos. 

Tapi justru karena itu, Yesus sengaja melakukannya. Ia melaksanakan tugas seorang 
"pelayan". Ia mendemonstrasikan, bahwa Ia adalah - tak kurang dan tak lebih — seorang 
"pelayan"! Dan "Aku telah memberi teladan kepadamu ..." (Yohanes 13:13-14). 

"Melayani"! Di mata dunia, ia sama sekali bukan pekerjaan bergengsi. Oleh karena itu, 
melakukannya membutuhkan "kerendahan hati" dan "penyangkalan diri". Kesediaan 
untuk - bilamana perlu - berjongkok di bawah orang yang kita layani, dan membasuh 
(bukan menjilat!) kakinya. 



Dalam paradigma Yesus, ini sama sekali tidak merendahkan martabat. Sebaliknyalah, 
justru di situlah kehormatan seseorang itu terletak! Benarkah? Ya! Sebab apa yang lebih 
mulia dari pada "kerendahan hati"? Dan apa yang lebih luhur ketimbang "penyangkalan 
diri"? 

Apakah yang "dua" ini bukan tanda kelemahan? So pasti tidak! Sebab tatkala orang 
mampu membuktikan kemampuannya melayani orang lain, ia membuktikan bahwa ia 
mampu mengalahkan diri sendiri. Dan tanyakanlah pada semua jenderal, maka mereka 
akan mengatakan kira-kira, bahwa tak ada keperkasaan yang lebih besar, dari pada bila 
berhasil mengalahkan kecende-rungan serta kepentingan diri sendiri! 

Sebab itu, wahai pemimpin, tunjukkanlah keabsahan Anda, nyatakanlah kebesaran Anda, 
serta buktikanlah kelayakan Anda, sebagai pemimpin sejati - a true leader - melalui 
"kerendahan hati" dan "penyangkalan diri"! Melalui sikap melayani! 

Bukan melalui sikap angkara murka, loba, dan semena-mena! Ini hanya menunjukkan 
ketidakmampuan Anda mengendalikan nafsu hewani Anda! Anda cuma pantas disebut 
"pemimpin palsu". "Pemimpin gadungan". Mungkin ditakuti, tapi pasti diumpat dan 
dilaknat oleh setiap hati! *** 300804 

Daud 

Oleh Eka Darmaputera 

DAPATKAH Anda bayangkan betapa hebohnya, sekiranya "Tessy" atau "Bambang 
Gentolet", dari grup lawak SRIMULAT, juga ramai-ramai ikut mendaftarkan diri untuk 
mengikuti konvensi pemilihan "capres 2004"? "Astagafirulah," saya kira begitu orang 
akan syok dan berteriak. "Ya 'nggak pantas lah, ya?!" 

Begitu pula dengan Daud, sekiranya saja di Israel pada waktu itu dibuka kesempatan 
untuk mendaftar menjadi "cara" atau "calon raja". Nasibnya, saya yakin, pasti tak akan 
lebih baik dari pada "Tessy" atau "Betet" atau "Bambang Gentolet". Gugur sejak awal. 

Bisa saja mereka mampu memenuhi syarat-syarat formalnya. O, bisa! Tapi yang tak 
boleh dilupakan adalah, bahwa di samping syarat-syarat formal, ada syarat-syarat lain. 
Syarat-syarat yang walau tak resmi tertulis, namun dalam praktik jauh lebih menentukan. 
Yakni gambaran serta harapan populer orang, mengenai bagaimana seharusnya "sosok" 
atau "penampilan" seorang pemimpin itu. 

Sering orang di'Vonis" tidak memenuhi syarat, bukan karena mereka "tidak benar", atau 
"tidak baik", atau "tidak mampu". Tapi karena dianggap "ya nggak pantaslah, ya?!" itu 
tadi. Lha kemudian, bila Anda bertanya, apa ukurannya "pantas" atau "tidak pantas" itu? 
O, salah pertanyaan Anda itu! Jangan tanya begitu! Sebab soal "pantas" atau "tidak 
pantas" itu, sepenuhnya adalah urusan "rasa" — bukan "rasio". 



Mengingat semua inilah, kisah mengenai bagaimana Allah — setelah menolak Saul - 
kemudian justru memilih Daud, menjadi amat menarik. 

DIKISAHKANLAH bagaimana Samuel — dengan menahan rasa khawatir yang tidak 
sedikit - berangkat ke Betlehem. Untuk apa? Jago tua ini diutus Allah untuk 
melaksanakan sebuah "missi politik" yang, terus terang, sangat riskan dan berbahaya. 

Sebab, bayangkan saja! Tatkala raja yang lama, Saul, masih duduk dengan aman di 
takhtanya, eee, Samuel nekat-nekatnya mau melantik seorang raja pengganti! Apa lagi ini 
kalau bukan "makar" namanya?! Dan ancaman hukumannya? Mati. 

Samuel menyadari ini. Karena itu, agar tidak menimbulkan kecurigaan, kepada pejabat- 
pejabat kota Betlehem, ia mengatakan bahwa maksud kedatangannya ke kota mereka, 
adalah untuk mempersembahkan ibadah korban. Dengan kata lain, suatu kegiatan yang 
tidak punya dampak politis apa-apa, hingga tak perlu diawasi. 

Untuk ibadah korban ini, secara khusus Samuel mengundang keluarga Isai. Keluarga ini 
adalah keluarga biasa. Artinya, tidak berbahaya secara politis. Tapi mengapa Isai, dan 
bukan yang lain, ini adalah karena perintah Allah sendiri. Sabda-Nya kepada Samuel ". 
sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku" (1 Samuel 16:1). 

KEMUDIAN terjadilah hal yang saya katakan "amat menarik" itu. Manakala keluarga 
Isai muncul satu demi satu, maka yang pertama-tama masuk - tentu saja — adalah si 
sulung, Eliab. Seorang pemuda yang elok parasnya, lagi pula tinggi, besar, serta tegap 
perawakan tubuhnya. Tak heran, bila Samuel - dan siapa saja - serta merta berpikir, 
"Orang muda inilah pasti yang dimaksud Allah!" Ternyata tidak! 

Di mata manusia, penampilan memang alangkah menentukan! Saya ingat apa yang 
dikatakan oleh dramawan dan sineas Teguh Karya almarhum, ketika pada suatu ketika 
berkunjung ke rumah saya. 

Ia mengatakan, betapa perlu dalam persyaratan untuk menjadi seorang pendeta itu - apa 
lagi bila tampil di televisi - ditambahkan pula persyaratan fisik. 

Alasannya? Sebab, katanya, khalayak 'kan tidak hanya mendengarkan ia berbicara. Tapi 
juga "memelototi" parasnya, sosoknya, gerak tubuhnya. Lha kalau parasnya saja sudah 
"bikin perut mulas", ujar Teguh, bagaimana orang berminat menyimak apa yang ia 
katakan? Ini "zaman televisi", bung, bukan "zaman radio"! "Visio", bukan sekadar 
"audio"! 

Bung Karno juga pernah mengatakan, betapa pentingnya penampilan seorang perawat 
itu! Sebab kalau perawat itu bertampang galak, bertubuh tambun, dan bersikap judes, 
maka si pasien hanya akan bertambah sakit dibuatnya! 



BILA saya menceritakan kembali pandangan dua tokoh "idola" saya itu, itu sama sekali 
bukan karena saya mempercayainya. Saya mengungkapkannya, semata-mata karena 
mereka mewakili sikap manusia pada umumnya - termasuk kita.. Yaitu, kecenderungan 
orang untuk menilai, hanya berdasar apa yang dilihatnya. 

Tapi Tuhan tidak. Alkitab berpesan wanti-wanti, agar kita tidak mudah terkecoh oleh 
penampilan seorang pemimpin! Masih ingatkah Anda akan peringatan Yesus, supaya 
berhati-hati terhadap para pemimpin, yang kelihatannya saja "domba" tapi sebenarnya 
"serigala"? Apa lagi Tuhan punya pengalaman buruk dengan Saul, si tampan! (1 Samuel 
9:2). 

Tuhan berbisik di hati Samuel, "Bukan Eliab, wahai Samuel, bukan dia pilihan-Ku!" 
Kata-Nya, "Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah 
menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Alah. Manusia melihat apa yang di 
depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7) 

Setelah Eliab "out", menyusul pula adik-adiknya, Abinadab dan Syama. Semuanya 
bernasib sama. Yaitu, Allah tak berkenan memilih mereka. Maka prosesi para 
"nominator" itu pun segera berhenti. Sebab? Sudah tak ada calon lain lagi-yang pantas! 

"INIKAH anakmu semuanya?", tanya Samuel. Sang ayah, Isai, menjawab, "Masih 
tinggal yang bungsu, tapi sedang menggembalakan kambing domba". 

Si bungsu sedang menggembalakan kambing domba. Sebab boro-boro ikut "konvensi", 
diundang mengikuti ibadah korban pun, si remaja "bau kencur" ini masih belum bisa 
lolos kualifikasi. Belum pantas! Sebab itu, ia ke padang. Menggembalakan kambing 
domba. 

Pertanyaan kita adalah, mengapa Daud? Karena lebih pintarkah ia? Atau lebih salehkah 
ia dibandingkan abang-abangnya? Lebih pintar mengambil hati Allah, mungkin? Bisa 
saja! Sebab untuk bisa berhasil menjadi pemimpin seperti dia, pasti dibutuhkan banyak 
"nilai lebih". Amat banyak. 

Ini pasti! Namun demikian, bila toh saya menokohkannya sebagai "figur sentral" kali ini, 
ini sama sekali bukan terutama karena faktor "manusia"nya. 

Sebagai "tokoh" dan "pemimpin", okelah, ia menjulang tinggi ke awan-awan! Tapi, 
seperti kata sebuah ungkapan, "di atas langit, masih ada langit". Daud, seperti orang- 
orang lain, tetap bukan manusia sempurna. 

Reputasi moralnya pernah cacat berat. Ingat skandal seksnya dengan Batsyeba? Dan 
perlakuannya yang keji atas Uria? Ia pun bukan figur seorang ayah teladan. Ingat 
peristiwa Amnon, Tamar, Absalom, Adonai? 

Dan akhirnya, rapor prestasi pemerintahannya pun, menurut saya, tidak membanggakan. 
Penuh intrik. Penuh dendam. Berdarah-darah. Sedemikian buruk, sehingga Allah tidak 



berkenan mengeluarkan "IMB", ketika Daud mengajukan "proposal" untuk membangun 
Bait Allah di Yerusalem. 

JADI, di mana pentingnya mengangkat kisah ini, dalam rangkaian pembahasan kita 
mengenai "Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab"? Jawabnya: karena dalam kisah ini 
Allah secara eksplisit mengemukakan, pemimpin seperti apa yang Ia kehendaki dan yang 
tidak Ia kehendaki. Ini penting sekali untuk kita ketahui, bukan? 

"Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah 
menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang 
di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati" (1 Samuel 16:7) 

Pertama-tama dan yang paling utama ialah, seorang pemimpin yang murni dan tulus 
hatinya. A man of the heart. Punya integritas moral yang tinggi. A man with integrity. 

Daud dipilih Allah bukan pertama-tama karena ia "berperawakan pemimpin". Sebab 
kalau ini syarat utamanya, maka Eliab atau Abinadab atau Syama-lah yang akan terpilih. 
Tapi bila manusia melihat prestasi, Allah melihat isi. Bila manusia menilai sesuatu 
berdasar penampilan luar, Allah mementingkan motivasi hati. 

Jadi tak pentingkah prestasi? Ijazah? Kemampuan? Wibawa? Penampilan? Tentu saja 
penting. Saya ingat kritik orang terhadap pemimpin-pemimpin seperti Jimmy Carter atau 
Gus Dur. Mengakui bahwa mereka adalah orang-orang baik. Tapi, sayang sekali, bukan 
presiden yang baik. Bukan pemimpin yang efektif. 

Kendati demikian, betapa mengerikannya mempunyai pemimpin yang jenius dan 
berkemampuan tinggi, tapi tidak punya hati. Tuna nurani! Pemimpin macam begini 
adalah bagaikan "monster" yang mungkin gagah perkasa, tapi tak mengenal iba. Ia adalah 
seperti mesin giling yang akan menggilas apa saja. Tanpa rasa. 

Yang ideal tentu saja adalah pemimpin yang paripurna. Punya segala-galanya. Baik 
kemampuan yang tinggi, maupun hati yang suci. Tapi bila terpaksa harus memilih antara 
keduanya, pilihlah pemimpin yang punya hati! 

Tepat sekali ungkapan yang mengatakan, bahwa "masalah yang paling inti, adalah 
masalah hati". "The heart of the problem, is the problem of the heart". Kita punya cukup 
banyak pemimpin dengan kemampuan tinggi. Tapi yang berhati murni?.*** 120804 



Saul 

Oleh Eka Darmaputera 

PEMIMPIN yang layak, bukanlah pemimpin yang tanpa cacat. Mengenai ini, seluruh 
Alkitab sepakat bersatu pendapat. Di mayapada ini, mana ada orang yang seratus persen 
sempurna. Yang membedakan seorang pemimpin dari yang lain, bukanlah karena yang 
satu murni bagai Drupadi, sedang yang lain dengki bagai Patih Sangkuni. 



Ibarat secangkir kopi, semua pemimpin adalah perpaduan berbagai unsur. Campuran 
antara yang hitam dan yang putih. Ada pahitnya, ada manisnya. Ada "kopi"-nya, ada 
"gula"-nya. Hanya saja, di tengah persamaan mereka, ada orang yang dengan serius 
bersedia membereskan masa lalunya dan membenahi masa depannya. Namun sebaliknya, 
ada pula yang justru mengeraskan hati, menyembunyikan semua aibnya, membela diri, 
berlagak suci. 

Di sinilah perbedaan antara seorang pemimpin dan pemimpin lainnya. Dan karena 
perbedaan inilah, tidak semua tokoh dengan masa silam yang kelam, diberi kesempatan 
yang sama. Daud direhabilitasi, tapi Saul tidak. Petrus dipulihkan, sedang Yudas tidak. 

PADA dasarnya, semua manusia itu sama. Anda. Saya. Mereka. Sama-sama merupakan 
campuran atau ramuan antara unsur-unsur "kebaikan" dan unsur-unsur "kejahatan". 
Sama-sama punya kecenderungan "ilahi" maupun "hewani". Begitu pula Saul dan Daud. 
Yudas dan Petrus. Sama-sama pernah terperosok ke lembah dosa. Sama-sama pernah 
terjerat erat oleh bisikan setan. 

Tapi mengapa "nasib" mereka kemudian berbeda? Ini yang perlu kita ketahui, agar 
andaikata, pada satu saat, kita terperosok juga, kita bisa bangun kembali seperti Daud; 
tidak seperti Saul terpuruk selama-lamanya. Bisa kian berbuah-buah seperti Petrus; tidak 
seperti Yudas mati konyol dengan perut terburai. 

Jadi di mana - dari perspektif alkitab - letak perbedaan paling utama antara Saul dan 
Daud? Apakah karena yang satu "orang jahat", dan yang lain "orang baik"? Yang satu 
"anak tiri" Allah, dan yang lain "anak mas?"? Ternyata tidak! Sudah pasti tidak! 

MARI kita mulai dengan SAUL. Tanpa kita sadari, betapa sering kita mengingat dan 
melihat Saul hanya dari "sisi gelap"nya semata. Saul, si raja durjana, manusia angkara 
murka, penindas yang lemah, sewenang-wenang, mabok kuasa! 

Gambaran yang salah dan berat sebelah! Dibandingkan dengan manusia yang cenderung 
menggeneralisasi segala sesuatu - semua orang Cina licik, semua orang Arab pelit — , 
alkitab jauh lebih jujur dan obyektif. 

Saul misalnya. Dengarlah bagaimana, bak mempromosikan penampilan perdana seorang 
kandidat "Mister Universe", Alkitab memperkenalkan Saul. Begini, "(Kish ben Abiel) 
ada anaknya laki-laki, namanya Saul, seorang muda yang elok rupanya. Tidak ada 
seorang pun dari antara orang Israel yang lebih elok dari padanya. Dari bahu ke atas ia 
lebih tingi dari pada setiap orang sebangsanya" (1 Samuel 9:2). 

Allah sendiri yang memilihnya menjadi raja Israel yang pertama. "Orang ini akan 
memegang tampuk pemerintahan atas umat-Ku" (9:17). Dan Roh Tuhan sendiri yang 
akan menguasainya serta menyertainya (10:6,7). 



Jangan Anda serta-merta men"cap" dia sebagai orang yang mabuk kuasa atau penindas si 
lemah. Alkitab mengisahkan apa reaksi spontannya, begitu Saul mendengar bahwa 
Tuhan, melalui Samuel, telah memilih dia. Sama sekali bukan seperti pemenang pemilu, 
yang dengan membusungkan dada — tapi pura-pura merendah — berkata, "Terima kasih 
banyak, Anda telah mempercayai saya. Insya allah, saya tak akan mengecewakan Anda". 

Tidak! Saul dengan tergagap-gagap tak percaya, berkata, "Bukankah aku seorang suku 
Benjamin, suku yang terkecil di Israel? Dan bukankah kaumku yang paling hina dari 
segala kaum suku Benyamin?" (9:21). 

Ia juga bukan makhluk haus darah seperti banyak dibayangkan orang. Ketika pendukung- 
pendukung fanatiknya, dengan tujuan mengonsolidasikan kekuatan, mengusulkan agar 
semua lawan politik Saul disingkirkan dan dihabisi saja, Saul menolaknya. "Hari ini 
seorang pun tidak boleh dibunuh " (11:12-13). 

JADI bagaimana duduk perkaranya, sehingga riwayat Saul berakhir begitu tragis? 
Masalahnya, sekali lagi, bukanlah karena tak ada unsur-unsur kelebihan atau kebaikan 
pada Saul. Itu ada, dan banyak! 

Namun, seperti telah dikemukakan, dalam diri Saul - seperti halnya dalam diri setiap 
orang - selalu hadir dua kekuatan berlawanan yang saling bergulat, dan saling berebut 
dominasi. Agaknya, pada Saul, kekuatan yang destruktif-lah yang akhirnya memenangi 
pertempuran. 

Ini, saudara, hendaknya menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita semua. Yaitu bahwa 
potensi kebaikan yang ada di dalam diri kita, betapa pun besarnya, tidak secara otomatis 
berubah dan berbuah menjadi kenyataan. Bisa saja ia layu, kering, dan kemudian gugur 
hilang tak berbekas. Seperti tunas kecil, karena tak kuat menahan udara kering serta terik 
mentari. 

Karena itu, sungguh tak ada artinya apa-apa bila ada orang berkata, "Pada dasarnya, 
sebenarnya Pak Harto itu orang baik lho!" Pun tak ada manfaat atau dampak praktisnya 
sedikit pun, sekiranya ada puluhan juta orang menilai, "Mbak Ega itu sebenarnya potensi 
kepemimpannya luar biasa lho!". 

Mengapa tak punya makna apa-apa? Karena pada akhirnya yang menentukan adalah 
kenyataannya. Potensi adalah unsur yang vital, benar, tapi apa ia terwujud menjadi 
kenyataan, itu yang soal. Niat baik itu perlu, tentu, tapi bagaimana kongkretisasinya, 
itulah sang penentu. 

Saya melihat begitu banyak potensi yang baik pada diri Anda. Apakah Anda juga 
menyadarinya? Sadarilah dan kenalilah kelebihan-kelebihan itu! Dan jangan jadikan itu 
mubazir atau sia-sia. Caranya? Dengan menjaganya, memeliharanya, memupuknya, 
dengan tekun dan teratur. Agar berbuah lebat dan bertumbuh subur. 



Tolong Anda ingat baik-baik! Pada setiap tanaman, selalu ada potensi untuk hidup dan 
bertumbuh. Namun sekaligus dengan itu, hadir pula potensi-potensi yang mematikan. 
Ulat. Hama. Serangga. Waspadai itu! Kenali! Dan bunuh mereka sebelum sempat 
bertumbuh! 

SAYANG sekali, justru ini yang tidak dilakukan oleh Saul. Dan sering, banyak tidak 
disadari oleh pemimpin-pemimpin kita. Akibatnya, mereka yang pada awalnya dielu- 
elukan sebagai "penyelamat rakyat", akhirnya terguling dan dikutuk sebagai "penindas 
dan pemeras rakyat". 

Perubahan ini terjadi, melalui suatu proses yang begitu halusnya, sehingga tak tersadari 
oleh yang bersangkutan. Yaitu ketika semakin lama pemimpin-pemimpin itu semakin 
terbuai oleh nikmat kekuasaan yang membius. Merasakan nikmatnya kekuasaan, 
membuat tujuan mereka satu-satunya kini adalah, bagaimana melanggengkan kekuasaan 
yang nikmat itu. 

Bila semula "concern" mereka adalah "mengabdi rakyat", kini bagaimana membuat 
"rakyat mengabdi". Ini sebenarnya telah diingatkan Samuel, ketika Israel menuntut punya 
seorang raja. Bahwa penguasa itu hanya mengambil, tidak memberi. Mencengkeram, 
tidak membebaskan. (1 Samuel 8:10-18). 

Ingatlah, wahai pemimpin, bahwa semakin lama Anda berkuasa, kekuasaan itu akan 
semakin membius Anda. Nikmat, memang, tapi berbisa. Sebab itu sebenarnya lebih 
aman, bila Anda mau membatasi kekuasaan Anda. Dan juga, jangan terlalu lama! 

Pada saat Anda merasakan nikmatnya madu kekuasaan, jangan Anda lupa, madu yang 
Anda hirup itu, adalah tetesan peluh, darah, dan air mata rakyat! 

BANYAK yang tak dapat mengerti, mengapa "insiden" atau "kecelakaan" kecil yang 
dilakukan Saul itu, bisa membuat Allah begitu murka, dan menjatuhkan hukuman begitu 
berat. Anda pasti ingat apa "insiden" itu. Yaitu ketika, Saul bersalah mengambil alih 
tugas imam, memimpin ibadah korban. Ini dilakukannya, karena Samuel yang seharusnya 
bertugas, datang terlambat. 

Mengapa hukuman begitu berat, atas kesalahan begitu "kecil"? Jawabnya: karena di 
hadapan Allah, tidak ada kesalahan "kecil". Allah mau menjadi Tuhan dalam arti 
sepenuh-penuhnya. Dalam hal-hal "besar", juga untuk hal-hal "detil". Ia menuntut 
ketaatan dan disiplin yang total. Untuk hal-hal yang "prinsipal", juga untuk hal-hal yang 
"kecil". 

Pelajaran penting di sini adalah, jangan abaikan yang "kecil-kecil"! Betapa sering dan 
betapa banyak pemimpin yang terserandung dan jatuh, bukan karena hal-hal besar, tapi 
karena ia tidak serius membereskan hal-hal kecil! Misalnya, Karena tidak mau segera 
mencabut akar korupsi, sebelum keburu besar. Atau membiarkan diskriminasi 
berlangsung, sebab hanya menyangkut kelompok-kelompok "kecil", "marjinal", 
"minoritas". Atau mengizinkan kebohongan, konon, karena demi kebaikan. Atau 



memaafkan pelanggaran HAM, dengan alasan "terpaksa" dan karena "kesalahan 
prosedur". 

Rayap yang kecil, bila dibiarkan, dapat merobohkan rumah. Api yang kecil, bila tak 
segera dipadamkan, bisa membakar rumah. Hanya yang didapati setia dalam hal-hal 
kecil, layak dipercayakan tugas-tugas besar.*** 010804 

Beriman Bukan Hanya Beragama 
Oleh Eka Darmaputera 

"GEMBALAKANLAH kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, 
tetapi dengan sukarela . Dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan 
pengabdian. Jangan kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah.tetapi (jadilah) 
teladan". 

Bila Anda cukup akrab dengan Alkitab, Anda pasti segera tahu, dari mana kalimat- 
kalimat di atas itu saya ambil. Ya, benar sekali! Dari 1 Petrus 5:2-3. 

Mengapa saya mengutipnya? Apakah karena isinya yang bagus? Tentu! Namun 
demikian, toh bukan itu alasan utama saya. Sebab bila berbicara mengenai isi, kutipan di 
atas -- walaupun indah — sebenarnya tidak istimewa benar. Orang-orang seperti Stephen 
Covey, George Barna, Leighton Ford, Oswald Sanders, A.B. Susanto, dan Jansen 
Sinamo, juga dapat mengatakannya. Malah amat boleh jadi, dapat mengatakannya 
dengan lebih menarik dan lebih terartikulasi. 

Jadi, mengapa saya mengutip Petrus, dan tidak Stephen Covey? Jawabnya: karena 
kalimat-kalimat tersebut, saya tahu, tidak lahir begitu saja. Tidak "as-bun". 

Kata-kata bersahaja itu, bukanlah produk olah-otak yang cemerlang, atau hasil 
pengamatan yang mendalam, atau diilhami oleh impian semalam. Tidak! 

Tapi lahir melalui proses persalinan yang menyakitkan, melalui pengalaman yang 
sungguh tidak gampang. Pengalaman yang dramatis. Dramatis karena, pada satu pihak, 
pengalaman tersebut boleh dikatakan sangat memalukan dan menyedihkan. Namun 
sekaligus, puji Tuhan, berakhir melegakan dan membahagiakan. 

Itu sebabnya, bukan "apa" yang dikatakan oleh kalimat-kalimat tersebut, yang 
membuatnya istimewa. Melainkan "siapa" yang mengatakannya. Siapa? Petrus! 

KITA tentu ingat isi percakapan antara Yesus dan Petrus di tepi danau Galilea, setelah 
Yesus bangkit dari kematian. Tiga kali Yesus bertanya, "Apakah engkau mengasihi 
Aku?". Tiga kali Petrus menjawab, "Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau". Dan 
kemudian tiga kali Yesus bertitah, "Gembalakanlah domba-domba-Ku". (Yohanes 21:15- 
19). 



Tiga kali pertanyaan, tiga kali penegasan, dan kemudian tiga kali penugasan ini, sudah 
pasti punya hubungan erat dengan tiga kali penyangkalan Petrus, yang kisahnya pasti 
juga telah amat kita kenal (Yohanes 18:15-27). Ditinjau dari kaitan itu, kita dapat 
mengatakan, bahwa seluruh percakapan tersebut bersifat "rehabliltatif ' dan sekaligus 
"imperatif. 

"Rehabilitatif ', karena dengan penegasan itu, terhapuslah sebuah bercak noda yang amat 
kelam dari masa silam. 

Dan "imperatif, karena dengan penugasan itu, terbukalah pintu kemungkinan serta 
jelaslah jalan di hadapan. 

Itulah yang selalu terjadi, pada setiap perjumpaan yang otentik dan pribadi dengan Yesus. 
Ia menutup masa lalu yang kelam, merehabilitasinya dan mengampuninya, sehingga tidak 
mengejar dan tidak menghantui lagi. 

Sekaligus, ia menguak lebar-lebar kemungkinan-kemungkinan baru, yang nyaris tanpa 
batas, untuk dijelajahi di masa depan.. Selamat tinggal masa lalu! Selamat datang 
kesempatan baru! 

KISAH ini, pertama, hendak menegaskan, bahwa pemimpin yang layak ternyata bukan 
harus pemimpin yang bersih tanpa cacat. "Track record" seseorang memang penting 
untuk diperhatikan. Ini tidak saya sangkal. Namun begitu, jangan ia kita jadikan satu- 
satunya pertimbangan. 

Dari sudut pandang iman kristiani, ungkapan "sekali lancung ke ujian, seumur hidup 
orang tak percaya", sesungguhnya tidak berlaku. Mengapa? Sebab kita harus selalu 
membuka pintu bagi "rehabilitasi" dan "rekonsiliasi". Kita harus selalu membuka tangan 
dan membuka hati bagi mereka yang berdosa, tapi bersedia kembali. 

Dengan demikian, persoalan kita dengan "politisi-politisi busuk" serta "pemimpin- 
pemimpin gadungan" yang banyak bertebaran sekarang ini, bukanlah terutama karena 
panjangnya daftar kejahatan mereka. Itu memang ada, dan luka-luka yang diakibatkannya 
juga masih sangat terasa pedihnya, sampai sekarang. 

Namun demikian, bukan di situ letak soal yang sebenarnya. Sebab bila persoalannya 
adalah besarnya dan banyaknya kejahatan seseorang, o, Tuhan selalu bersedia 
me"negosiasi"kannya. Dan bila Ia bersedia, seyogianya kita juga. 

" Marilah, baiklah kita beperkara — firman Tuhan— Sekalipun dosamu merah seperti 
kirmizi, (ia) akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain 
kesumba, (ia) akan menjadi putih seperti bulu domba. Jika kamu menurut dan mau 
mendengar ." (Yesaya 1:18-19). 

PINTU pengampunan, benar, selalu terbuka. Tidak ada dosa atau kejahatan sebesar apa 
pun, dan macam apa pun, yang secara a priori dinyatakan "Dilarang Masuk". Hanya saja, 



jangan lalu bersikap menggampangkan! Sebab ada dua persyaratan tertentu yang mesti 
dipenuhi terlebih dahulu. 

Persyaratan pertama adalah, kata Tuhan, "Marilah kita beperkara". Artinya, bereskan 
dulu masa lampau! Apakah kalian sadari kejahatan yang telah kalian perbuat? Kerugian- 
kerugian yang kalian timbulkan? Kerusakan-kerusakan yang kalian akibatkan? Kalian 
sadarikah itu — sesadar-sadarnya? 

Tapi jangan sekadar sadar! Apakah kalian juga bersedia menunjukkan kesadaran kalian 
itu dengan mengakui, bahwa yang kalian lakukan itu memang adalah kejahatan? Ini perlu 
jelas, sebab yang sering dilakukan orang adalah, ke dalam sih sadar. Tapi ke luar? 
Waduh, lagaknya seolah-olah masih serba bersih dan suci, bak bayi sepuluh hari! 
Menyebalkan! 

Karena itu, dalam kaitan ini, persyaratan kedua untuk memasuki pintu pengampunan 
adalah, sabda Tuhan, "Jika kamu menurut dan mau mendengar". Artinya, bukan cuma 
harus ada "penyesalan", tapi mesti pula ada "pertobatan". 

Apa beda antara keduanya? "Penyesalan", kita tahu, terutama menyangkut kejahatan kita 
di masa silam. Ia menoleh ke belakang. Sedang "pertobatan"? Ia menyangkut tekad dan 
tindak kita untuk menjadi lebih baik, sedari sekarang. Ia menatap ke depan. 

Keduanya, adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Penyesalan yang sungguh tidak cukup 
sekadar dinyatakan melalui cucuran air mata meratapi yang telah lalu. Melainkan harus 
dibuktikan melalui sikap, ucap, dan tindak yang berbeda, yang lebih baik, yang baru. 

INTI persoalan kita dengan para "politisi busuk" adalah itu. Mereka minta diterima. 
Menuntut direhabilitasi. Menawarkan rekonsiliasi. Tapi tak sedikit pun ada tanda-tanda 
penyesalan. Tak secuilpun ada bukti-bukti pertobatan. 

Alih-alih kapok dan jera, yang dulu jelas-jelas melakukan kejahatan kemanusiaan, tetap 
ngotot mencuci dan membela diri. Yang dulu tanpa malu-malu merampok milik rakyat, 
terus mengekapi hasil rampokannya sampai kini. Dan yang dulu, karena kesalahan 
sendiri, telah terjungkal dari kekuasaan, tidak jera berupaya dengan segala jalan membeli 
kembali kejayaan mereka yang hilang. 

Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin "rekonsiliasi" dan "rehabilitasi"? Sebab 
dalam kondisi seperti ini, "rehabilitasi" hanya berarti membiarkan kejahatan terjadi tanpa 
tindakan keadilan. Dan "rekonsiliasi" cuma berarti membuka, bahkan mendorong, 
kejahatan yang sama terulang kembali kemudian. 

BERBEDA dengan Petrus. Dan inilah yang kedua yang ingin saya kemukakan. Petunjuk 
Petrus kepada para pemimpin umat, agar mereka menggembalakan "kawanan domba 
Allah dengan sukarela", pasti tidak terlepas dari titah Yesus di tepi danau Galilea, 
"Gembalakanlah domba-dombaku". 



Implikasinya adalah, bahwa kemampuan kita untuk menjadi "gembala" 
(baca: "pemimpin") yang baik, ternyata amat tergantung pada apakah kita mempunyai 
"hubungan yang baik" dengan Tuhan. Dan hubungan baik kita dengan Tuhan itu 
ditentukan oleh, apakah - ke belakang" — kita telah membereskan semua "perkara" kita 
dengan Tuhan. Dan - ke depan — apakah kita sungguh-sungguh "mengasihi" Tuhan. 

Lihatlah, betapa Yesus baru bersedia mempercayakan tugas kepemimpinan kepada 
Petrus, setelah semua tadi jelas. Mengapa? Karena seseorang dapat menjadi "pemimpin 
yang baik", hanya bila hubungannya dengan Tuhan baik. Begitu hubungan dengan Tuhan 
buruk, ia serta merta akan menjadi "pemimpin busuk". Simaklah , misalnya, pengalaman 
raja Saul, Daud, dan Salomo. 

Jadi tidak salah, bila di negeri kita istilah "beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang 
Maha Esa", menjadi salah satu mata persyaratan untuk jadi apa saja - khususnya untuk 
menjadi "pemimpin". Pertanyaannya adalah, mengapa langka sekali kita berjumpa 
dengan pemimpin yang baik di republik ini? Jawabnya: karena kita sering melakukan 
kesalahan yang amat fundamental. Yaitu mengidentikkan istilah "beriman" dengan 
"beragama". Padahal kedua istilah tersebut, alangkah berbeda! 

Banyak pemimpin yang kelihatannya amat taat beragama, bahkan yang bersangkutan 
adalah tokoh agama. Tapi apakah mereka dengan sendirinya adalah orang-orang 
"beriman 1 ? Pemimpin-pemimpin yang adil, bijak dan bajik? Belum tentu, bukan? 
"Agama" sering menampilkan wajah yang garang, pemberang, mengerikan. Padahal 
"gembala" mestinya "mengayomi". "Mengayemi. "Menyejukkan. *** 130704 

Segala Sesuatu Ada Tarifnya 
Oleh Eka Darmaputera 

SEMAKIN tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula angin menderanya. Itulah 
bedanya "pohon pantai" dengan tanaman yang disemai di "pondok hijau" (= "green 
house"). Tanaman-tanaman "lunak" ini, justru aman-aman di cuaca apa saja. 

Didera angin kencang. Inilah harga yang mesti dibayar oleh sebuah sukses - kadang- 
kadang. Kian tinggi kedudukan, kian banyak orang ingin menjolok - sembunyi-sembunyi 
maupun terang-terangan. 

Hukum besi kehidupan ini tidak mengecualikan seorang pun. Malah justru pemimpin- 
pemimpin yang "baik"-lah, yang paling rentan terhadap situasi ini. Mengapa kontradiksi 
ini? Sebab, seperti kita simak dari kitab Ayub, Iblis merasa risih dan penasaran, setiap 
kali ia melihat ada orang yang "saleh dan jujur; takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" 
hidup aman. (Ayub 1:1). "Gatal", tak bisa diam. Ia akan berpikir keras mencari jalan, 
untuk menghancurkan reputasi gemilang orang "baik" itu. 



Iblis berusaha membuktikan, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang hatinya melekat 
pada Allah, atau benar-benar dengan suka cita menyembah-Nya, tanpa ada pamrih apa- 
apa. Di balik batu, ada udangnya. Di balik puja, ada maunya. 

Kata Iblis, mempertahankan tesisnya itu di hadapan Allah, "Apakah dengan tidak 
mendapat apa-apa, Ayub takut akan Allah? Bukankah Engkau yang membuat pagar 
sekeliling dia, dan rumahnya, serta segala yang dimilikinya? Apa yang dikerjakannya 
Kau berkati, dan apa yang dimilikinya makin bertambah. Tetapi ulurkanlah tangan-Mu 
dan jamahlah segala yang dipunyainya. Ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu" 
(1:10). 

Tak percayakah Engkau, Allah? Buktikan saja! Dan dari sinilah berawal kisah panjang 
penderitaan Ayub. Ayub yang malang, si "kelinci percobaan". 

MAKA, mengingat semuanya itu, dengan ini saya serukan, agar pemimpin-pemimpin 
rakyat yang bersusah-payah berupaya mengabdi tanpa pamrih, apalagi yang diberkati 
Allah dengan kedudukan yang tinggi, kekuasaan yang besar, dan tanggungjawab yang 
luas - Anda bersiap-siaplah! Jangan lengah! Godaan atau pencobaan pasti akan datang! 

Lalu sewaktu pencobaan ini Anda alami, please, saya mohon, jangan Anda berkata, "Lho, 
saya 'kan sudah berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya, selurus-lurusnya, sejujur- 
jujurnya. Mengapa saya masih harus mengalami ini pula?!" Justru karena Anda telah 
berusaha sebaik-baiknya itulah, semua itu Anda alami. 

Ini, saya tahu, merupakan perjuangan yang sangat berat. Sebab Iblis, dengan lihainya, 
selalu menyerang titik-titik lemah manusia - "tumit Akhiles"nya. Pada Abraham sampai 
Elia, titik lemah ini adalah "rasa aman" mereka. Sedangkan pada Saul - sebelum menjadi 
"Paulus" - adalah fanatisme keagamaannya. 

Tidak jarang, Iblis juga memanfaatkan orang-orang yang paling dekat, yang karenanya 
permintaannya atau rayuannya sulit kita tolak. Bila bukan Hawa, Adam tak mungkin 
begitu mudah terbujuk. Bila bukan karena Herodias, Herodes tak mungkin memancung 
kepala Yohanes. 

Dan senjata Iblis yang paling ampuh adalah, tatkala ia menawarkan pertimbangan yang 
(seolah-olah) pragmatis dan rasional. "Ayo, kapan lagi?! Masakan rezeki di depan mata 
Anda sia-siakan? Soal benar atau salah, itu urusan belakang!" 

Bila kita hanya sekadar mengandalkan kemauan dan kemampuan kita bertahan saja 
maka, wah, saya jamin, kemungkinan kita untuk kalah adalah jauh lebih besar ketimbang 
kemungkinan kita untuk menang. Sebab itu, saya mohon, wahai para pemimpin, sehebat 
apa pun Anda, jangan jumawa! Jangan sesumbar, "Kalau saya? O, tak mungkin saya 
kalah!". Petrus pernah sesumbar begitu. Hasilnya, ia salah. Ia kalah. 

TAPI sebaliknya, jangan mau menyerah! Anda mesti bertahan! Anda mesti melawan! 
"Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa 



yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan 
iman yang teguh!" (1 Petrus 1:8-9). 

Dengan mengerahkan segenap daya, dan dengan berkat Tuhan, Anda bisa menang! 
Dengan susah payah, memang, tapi bisa. Lihat Ayub! Ayub harus melawan provokasi 
istrinya! Ayub harus melawan argumentasi sahabat-sahabatnya. Dan yang paling berat, 
Ayub harus melawan semua perasaan-nya sendiri! 

Berat nian perang batin yang harus ia alami. Tapi ia berhasil! Dan kalau Anda bertanya, 
apa resep kemenangannya, jawabnya adalah: Ayub menang justru ketika ia bersedia 
menerima kalah dan mengaku salah di hadapan Allah! Mengakui kedaulatan Allah - 
sepenuhnya! Sebulat-bulatnya. 

MENGINGAT bahwa cobaan, di satu sisi, adalah keniscayaan yang tak terhindarkan, 
dan, di lain pihak, menyadari betapa beratnya perjuangan bila melawan, maka — di 
samping selalu bersikap eling lan waspada — , setiap pemimpin hendaknya "siap mental" 
menghadapinya. 

Caranya? Dengan berusaha sejauh mungkin mengenali karakter "lawan" yang akan 
dihadapi. Seperti yang biasa dilakukan oleh dua regu olah-raga yang, menjelang 
pertandingan penting, berusaha saling mengintai kekuatan lawan. Dengan mengutus 
orang menyaksikan lawannya bertanding atau berlatih. Dengan memutar dan mempelajari 
video yang merekam permainan lawan. Dan sebagainya. 

Setiap pemimpin seyogianya juga serius bersiap diri seperti itu. Dalam rangka itulah, kali 
ini saya ingin memutarkan bagi Anda "video", tentang salah satu lawan kita yang 
terpenting. Saya namakan saja, musuh kita itu "ROH YUDAS". Saya sebut "roh", karena 
orangnya - si Yudas Iskariot - kita tahu sudah tidak ada lagi. Sudah mati menggantung 
diri. Tapi "roh"nya, "semangaf'nya, o, masih sangat aktif merajalela di mana-mana — 
merasuk ke sini merasuk ke sana. 

Lawan kita ini amat berbahaya, terutama karena kelicikan dan kelicinannya. Ia langsung 
menusuk dan menyusup ke jantung pertahanan orang. Hadir dan beroperasi sebagai 
bagian dari diri orang tersebut.. Mengendalikan seluruh motivasinya dari dalam. 
Hebatnya, tanpa yang bersangkutan menyadari bahwa ia "kesusupan". 

YUDAS Iskariot adalah salah seorang dari 12 murid Yesus. Ia memang tidak termasuk 
"lingkaran dalam", seperti Yakobus, Petrus atau Yohanes. Tapi pasti cukup dekat. 
Buktinya, Yesus mempercayakan tugas yang vital kepadanya. Sebagai "pemegang kas". 

Selama 3? tahun, ia bersama-sama dengan sang Guru. Menjelajahi jalan-jalan berdebu 
sepanjang jazirah Palestina, menyusuri tepian danau Galilea, mendaki jalan berbukit 
menuju Yerusalem. Memecah roti, berdoa, belajar. Bersama-sama. 

Ini berlangsung dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari tahun ke tahun. Selama 3? 
tahun. Bukan waktu yang pendek. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa 



hubungan antara mereka berdua dangkal dan tipis, hanya menyentuh permukaan. 
Hubungan batin antar mereka sedikit banyak pasti mendalam. 

Namun demikian toh murid yang seorang ini - Yudas Iskariot ini - kemudian menjadi 
pengkhianat-Nya. Kita bertanya, mengapa? Bagaimana setan sampai bisa menguasainya 
begitu rupa? Kok bisa-bisanya? 

Matius menjelaskan begini, "Kemudian pergilah Yudas Iskariot, kepada imam-imam 
kepala. Ia berkata: 'Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan 
Dia kepada kamu?' Mereka membayar 30 uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu ia 
mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus" (26:14-16) 

iMulai saat itu ." Kapan "saat itu" mulai? Jawabnya: sejak Yudas bersedia melakukan apa 
saja, tergantung dari "APA YANG HENDAK KAMU BERIKAN KEPADAKU?" Sejak 
Yudas beranggapan, bahwa apa pun benar dan halal untuk ditransaksikan, asal ada 
kecocokan mengenai "APA YANG HENDAK KAMU BERIKAN KEPADAKU?" 

ROH YUDAS adalah itu. Roh yang memandang segala sesuatu oke, bila tercapai 
kesesuaian atau kesepakatan antara "Kamu minta apa?" di satu pihak, dan "Aku terima 
apa?" di pihak yang lain. 

Betapa sering kita menilai orang seperti Yudas Iskariot, dengan mulut mencibir dan 
pandangan mencemooh. Ia kita sebut "si pengkhianat nista". Dan kita sesumbar seperti 
Petrus, "Biarpun mereka semua (begitu), aku sekali-kali tidak!" (Matius 26:33). 

Padahal, lihatlah, betapa akrab dan menyatunya "roh Yudas" itu sebenarnya, dengan 
praktek keseharian hidup kita! 

Seperti dalam filem "Indecent Proposal", yang (kalau tidak salah) dibintangi oleh Demi 
Moore dan Michael Douglas, Anda ingat? Filem itu mempermasalahkan benar-tidaknya 
tesis, bahwa di dunia ini segala sesuatu ada harganya. 

Bahwa pada akhirnya, yang menentukan adalah, "Apa yang hendak kamu berikan 
kepadaku, supaya aku .?" Kebenaran? Prinsip? Agama? Kesetiaan? Harga diri? Anda 
mengatakan, ini tidak diperjual-belikan? Yang saya lihat dalam praktik, justru sebaliknya. 
Meniru Basuki, "Lewaaaaaat .!". 

"Apa yang hendak kamu berikan kepadaku?" Inilah motivasi kepemimpinan jenis 
pertama. Yang menghasilkan tokoh-tokoh semacam Yudas. Tapi Yesus memperkenalkan 
motivasi kepemimpinan yang lain. 

Yakni, "APA YANG DAPAT KUBERIKAN KEPADAMU?" Tepat di titik inilah, 
saudara, dua tipe kepemimpinan tiba di persimpangan! Tepat di titik ini pulalah, Anda, 
wahai para pemimpin, sudah mesti punya pilihan yang tegas! "Roh Yudas" atau "Roh 
Yesus"? *** 300604 



Sukses dan Skandal 
Oleh Eka Darmaputera 

David McCracken dalam bukunya "GOD'S EMERGING LEADERSHIP", menuliskan 
pengamatannya yang jujur mengenai situasi umum gereja-gereja di abad 20. Tapi kita 
tahu, "kejujuran" saja tidak cukup. 

Kejujuran adalah kebajikan, ya, namun memerlukan kebijakan. "Kebenaran" juga butuh 
pakaian, tak bisa telanjang. 

Itu sebabnya racikan obat yang pahit, perlu dimasukkan ke kapsul atau dibungkus selaput 
gula. Supaya apa? Supaya tak terasa pahitnya, namun tanpa hilang khasiatnya. 

Menurut saya, pernyataan McCracken- walaupun benar-"terlalu terus terang". Bagaikan 
obat tanpa lapisan gula. Sebab itu, bagi sebagian, mungkin pahit. 

Ia mengemukakan tiga hal, sebagian "kabar baik", sebagian "kabar buruk". Mari kita 
mulai dengan "kabar baik"nya terlebih dahulu. Menurut penilaiannya, abad 20 yang baru 
berlalu ini, puji Tuhan, merupakan "abad pemulihan" dan "abad kebangkitan 
kembali" -rennaisance-gerej a. Gereja-gereja Tuhan-sebagian, paling tidak-berhasil 
menemukan kembali dinamika dan vitalitasnya. Terjaga dari tidurnya yang lama. 

Kebangkitan ini, katanya, terutama dipicu oleh "ditemukannya kembali" makna dan 
dinamika KUASA ALLAH dan KARUNIA ROH KUDUS. Ya! Setelah sekian lama 
keduanya-kuasa Allah dan karunia Roh-itu, seakan-akan menghilang dari kehidupan 
gereja dan orang Kristen. Maksud saya, kehadiran dan dampaknya tak dirasakan atau 
memang sengaja diabaikan. 

MENGHILANG? Ya. Sebab tertutup serta tertimbun oleh rutinisme, formalisme, dan 
verbalisme gereja. Apa yang ia maksudkan dengan "isme-isme" itu? 

"Rutinisme" -secara sederhana- terjadi, ketika gereja secara mekanis hanya menjalankan 
apa yang "rutin". Artinya, apa yang telah "biasa" ia lakukan, dari waktu ke waktu-sejak 
dulu. Enggan mencari terobosan baru. Malas menjajaki rute-rute baru. "Begini saja sudah 
jalan, untuk apa susah-susah cari yang baru?!", dalihnya. 

Orang masih ke gereja pada hari Minggu, tapi tanpa penghayatan. Pokoknya, ini hari 
Minggu dan saya adalah orang Kristen, ya saya ke gereja. Bahwa di sana saya hanya 
"numpang tidur" itu lain perkara. Itulah, antara lain, ekspresi rutinisme. 

Yang kedua, yang disebut oleh McCracken, adalah "formalisme". Apa ini? Secara 
sederhana, "formalisme" dapat diterjemahkan sebagai sikap serba "resmi-resmian". 
Semuanya mesti serba resmi dan serba sah. Harus berjalan sesuai dengan ketentuan yang 
ada. Sampai ke titik-koma. Bagaimana pun situasi dan kondisinya. 



Ekstremnya begini. Ada orang mengalami kecelakaan hebat, persis di seberang sebuah 
gedung gereja. Ia membutuhkan darah segera, saat itu juga. Gereja sebenarnya bisa 
menolong, sebab mempunyai sejumlah donor. 

Namun ini tidak ia lakukan. Mengapa? Sebab "SK" untuk menolongnya belum ada. 
Sedang untuk menerbitkan "SK", mesti rapat dulu. Dan supaya rapat bisa mengambil 
keputusan yang sah, kuorum harus tercapai. Lalu untuk mengusahakan agar kuorum 
tercapai, maka undangan rapat sudah harus disebarkan paling sedikit tiga hari 
sebelumnya. 

Apa yang terjadi ketika akhirnya keputusan resmi dapat diambil? Pertolongan itu sudah 
tidak diperlukan lagi. Si korban telah mati, tiga hari sebelumnya. Yang ia butuhkan 
adalah darah, bukan "SK". 

Dengan "formalisme"nya itu, gereja bisa tetap eksis. O ya! Tapi eksis bagaikan "tugu". 
Kokoh dan menjulang. Namun selebihnya, cuma diam. Tak mampu berkiprah apa-apa. 
Tak berdaya untuk merespon kebutuhan.yang segera. Kaki dan tangannya tercencang 
oleh 1.001 macam peraturan. 

Akhirnya, yang ketiga, adalah "verbalisme". Diterjemahkan secara populer, "verbalisme" 
tidak lain adalah "cuman ngomongnya doang". Segala sesuatu seolah-olah beres, selesai, 
dan terlaksana dengan sendirinya, hanya karena telah di"omong"kan, diucapkan, 
diputuskan. Tidak satunya perkataan dan perbuatan. 

Gereja-gereja yang terperosok dalam "verbalisme", adalah gereja-gereja yang 
omongannya terbang membubung, dan pernyataan-pernyataannya tinggi melambung. 
Tapi praktiknya? Tingkah lakunya? Pelaksanaannya? Nol besar! 

Sikap seperti inilah yang membuat gereja acap kali bukan hanya "mandul" ke dalam, tapi 
sekaligus juga menjadi "skandal besar" ke luar. Ketika yang diteriakkan adalah "kasih", 
tapi yang ditebar adalah "kebencian". Yang dianjurkan adalah "rendah hati", tapi yang 
nampak adalah "arogansi". Yang diklaim adalah "keselamatan", tapi-seperti kata Gandhi- 
mereka kok tidak menunjukkan kelebihan apa-apa tuh. 

RUTINISME, formalisme dan verbalisme ini secara gradual membuat gereja seperti 
"mumi" -kelihatannya saja hidup, namun hakikatnya mati. Mati, sebab ia berubah 
menjadi tidak lebih dari sebuah "organisasi", bukan lagi "organisme". 

Sekadar lembaga atau jawatan, bukan lagi gerakan. Beku, karena ke"baku"annya. 
Spontanitas dimatikan, sebab semuanya mesti "tertib". Dan "ketertiban" diidentikkan 
dengan "keseragaman". 

Dalam gereja yang seperti ini, "kuasa Allah" dan "karunia Roh" tidak lagi mendapat 
tempat, apa lagi peran. Tata gereja dan aturan gereja lebih "berkuasa". Sampai "karunia 
Roh" pun harus lolos seleksi terlebih dahulu - lulus "fit and proper test". Apakah ia sesuai 
dengan rutinitas dan formalitas yang ada? 



Apa akibatnya? Tatkala kuasa Allah dan karunia Roh tersingkir dari gereja, maka yang 
tersisa hanyalah keterbatasan kemampuan manusia. Yang ada hanyalah rantai birokrasi 
yang panjang. Dan yang dominan adalah seperangkat aturan yang lebih memasung 
ketimbang menolong. Tatkala "kuasa Allah" dan "karunia Roh" lenyap dari kehidupan 
yang nyata, maka yang Anda temukan hanyalah "abu", bukan "api". Hanya "ampas" 
bukan "santan". 

MASIH herankah Anda, mengapa gereja ada dan kelihatannya bertumbuh, orang kristen 
pun banyak serta terus bertambah, tapi rasa-rasanya kok tak ada dampaknya yang berarti 
bagi sekitar? Anda tahu apa sebabnya? Sebab ia tidak mampu lagi menawarkan apa-apa 
yang baru dan menarik bagi dunia. 

Kehidupannya sendiri hanya menjadi etalase keboborokannya dan kelemahannya. Anda 
lihat sendiri, bukan, betapa gereja hampir selalu tertinggal? Nyaris selalu kalah bersaing 
dan berlomba? Tempatnya di belakang, di sudut, di pinggiran, yang tak berarti? 

Bukankah itu yang pernah, atau malah mungkin masih, kita alami? Ketika ibadah-ibadah 
terasa kering kerontang, sebab semua berjalan secara mekanis. Ketika kotbah-kotbah 
terdengar steril, tidak menyentak atau pun menyapa. Sebab yang dibicarakan begitu jauh 
dari persoalan nyata. 

Ketika hidup persekutuan begitu dingin walaupun gaduh. Seperti kerumunan orang 
banyak yang menunggu datangnya kereta. Cuma beradu badan, tapi tak bersentuh jiwa. 
Ketika pelayanan berlangsung rutin - kalau tidak ke panti asuhan ya rumah jompo; kalau 
tidak bagi-bagi pakaian bekas ya sembako. Dan ketika kesaksian kita semakin lirih tak 
terdengar, sebab memang tak ada pengalaman yang otentik dan nyata dari kehidupan 
pribadi yang pantas dibagikan. 

Itulah yang terjadi, ketika gereja dan orang kristen adalah semuanya dan segalanya, tapi 
minus kuasa dan karunia Allah. Bila yang ilahi itulah yang sirna maka, o, tolong beri tahu 
saya, apa lagi yang tersisa? Kecuali rutinisme, formalisme dan verbalisme tadi. Ketika 
itulah gereja menabuh genderang kematiannya sendiri. 

MENURUT McCracken, dua hal vital itulah yang, puji Tuhan, berhasil ditemukan dan 
dialami kembali. Berhasil diposisikan kembali ke tempatnya yang sentral dan vital. Maka 
inilah yang terjadi. Bagaikan ban yang kempis yang kini kembali diisi dengan udara, 
gereja-gereja menggeliat. Bagaikan tanaman yang menderita kekeringan cukup lama, kini 
bagaikan tersiram hujan semalam, gereja-gereja bangun. Bangkit. Dengan dinamika dan 
vitalitas yang baru. 

Kebangkitan ini, menurut McCracken, terutama terjadi melalui gereja-gereja Pentakosta 
dan gerakan kharismatik Mereka amat berjasa dalam mengembalikan Tuhan ke 
pengalaman nyata dan sehari-hari manusia. Tuhan yang rutin dan formal, menjadi Tuhan 
yang hidup! Kuasa-Nya tidak lagi sekadar menjadi konsumsi khotbah atau diskusi ilmiah 
semata, tapi hadir secara kongkret dalam kehidupan sehari-hari manusia. 



Itulah yang terjadi, ketika karunia nubuat, kuasa mujizat dan kesembuhan ilahi, dan 
sebagainya, memperoleh peran dan tempat yang mengemuka dalam kegiatan gereja. Iman 
diberi kebebasan mengekspresikan dirinya, dilepaskan dari belenggu rutinisme, 
verbalisme, dan formalisme, yang selama ini mengungkungnya. Spontanitas diberi 
kesempatan seluas-luasnya. Suasana menjadi hangat, hidup, dinamis! Suka atau tidak 
suka, setuju atau tidak setuju, kita dengan gerakan-gerakan itu, bukti-bukti obyektif dari 
"jasa" mereka ini, tak dapat kita sangkal. 

Tapi apakah yang terjadi hanyalah "kisah sukses" melulu? Ternyata tidak! "Sukses" 
selalu bagaikan pedang bermata dua. Bisa menggairahkan orang semakin maju. Tapi juga 
dapat menjerat orang terperosok jatuh. Inilah dimensi yang harus selalu dicamkan dalam 
kehidupan, khususnya dalam kepemimpinan. Bahwa ada bahaya yang selalu mengintai, 
teristimewa di balik sukses. Inilah aspek berikut yang akan kita bicarakan. *** 170604 

Domba tapi Sebenarnya Serigala 
Oleh Eka Darmaputera 

SUKSES! Betapa ia dikejar! Betapa ia didamba! Diyakini sebagai jaminan, di mana 
manusia akan mendapatkan semua yang dicarinya. Sebab, pikirnya, itulah-atau di situlah- 
kebahagiaan itu! 

Namun, dalam kenyataan, betapa acap dan betapa kerap, sukses yang paling didamba itu, 
justru hanya membawa bencana dan mala-petaka. Menjerumuskan manusia ke pelbagai 
derita. Demikian, bukan? 

Kontradiksi ini sungguh perlu dicamkan, khususnya oleh para pemimpin. Ini artinya, oleh 
kita semua. Namun lebih khusus lagi, oleh para pemimpin yang tergolong "sukses". Yang 
tenar bak selebritas. 

Yang menjulang bak gedung tinggi. Dan mencorong bak mentari tengah hari, teristimewa 
untuk merekalah, sukses adalah lubang perangkap yang menganga. Siap menjerat siapa 
saja dan kapan saja. 

Itulah yang dialami oleh dua gerakan yang, menurut McCracken, punya peran fenomenal 
bagi kebangkitan gereja-gereja. Sukses besar yang dicapai oleh gereja-gereja Pentakosta 
dan Gerakan Kharismatik dalam menembus kebekuan, dan memulihkan vitalitas serta 
dinamika gereja, ternyata tak luput diiringi pula oleh "kontradiksi" yang tak kalah 
spektakulernya. 

DUNIA pernah heboh besar, ketika pers secara luas menguak rahasia, yang selama ini 
tersembunyi rapat-rapat, di balik kekudusan dan kekhidmatan ritual-ritual keagamaan 
mereka. Tentang gaya hidup penginjil-penginjil "top" mereka, yang omzet pendapatannya 
mencapai miliaran dolar, tapi tidak membayar pajak. 



Tentang gaya hidup bermewah-mewah mereka, yang tak kalah dari kaisar-kaisar Romawi 
tempo doeloe, — mansion yang luar biasa mewah; kandang anjing yang ber-AC; peralatan 
rumah dari mas tulen; mobil-mobil eksklusif; dan sebagainya. 

Ini tentu saja menimbulkan syok berat, terutama bagi ratusan ribu-kalau tidak jutaan- 
umat, yang selama bertahun-tahun dengan ketulusan, tapi sekaligus dari tengah hidup 
mereka yang pas-pasan, secara teratur menyisihkan 5-10 dollar setiap minggu. 

Ternyata pengorbanan mereka itu, cuma dimanfaatkan untuk membiayai gaya hidup yang 
kelewat boros para rohaniwan pujaan itu! Begitu patah arangnya, beberapa orang sampai 
bernazar, "Seumur hidup saya, tidak bakalan lagi saya akan percaya pada rohaniwan, 
khususnya yang mengenakan jam ROLEX di pergelangan tangannya!". 

Belum lagi ketika pers juga mengungkap skandal-skandal seks dan imoralitas yang 
terjadi. Setelah ibadah-ibadah pembawa suasana sorga usai. Setelah umat berbondong- 
bondong pulang ke rumah mereka, membawa tekad yang lebih kuat untuk hidup lebih 
sempurna. Tapi tidak begitu pemimpin-pemimpin mereka! 

Saya masih ingat ketika, "PTL" yang seharusnya adalah kependekan dari "Praise the 
Lord" (= "Pujilah Tuhan"), dipelesetkan menjadi "Pay the Lady" (= "Bayarlah si 
Perempuan"). Maksudnya, supaya tutup mulut. 

Dan bila yang di atas itu belum cukup juga, maka yang tak kurang menyedihkan, adalah 
apa yang terjadi di balik kotbah-kotbah mereka tentang "kasih", tentang "persatuan", 
tentang "pengampunan". Yang terjadi adalah perang tersembunyi di antara para penginjil 
"besar" itu. Komplit dengan semua bentuk intrik dan segala macam taktik keji dunia, 
yang biasanya mereka kutuki dari mimbar, dengan mulut yang berbusa dan dengan suara 
yang menggelegar. 

PERTANYAAN kita adalah, bagaimana semua ini mungkin terjadi? Andaikata ini terjadi 
di dunia dagang, atau di dunia politik, atau di dunia sekuler pada umumnya, oke-lah! 
Tapi ini terjadi di kalangan orang-orang yang banyak diidolakan sebagai "raksasa-raksasa 
rohani" abad ini! 

Bagaimana realitas ini dapat dijelaskan secara masuk akal? Bagaimana sukses yang 
begitu ilahi, kok sampai bisa hadir bersama-sama dengan kegelapan yang begitu satanik? 
Betulkah kata sementara orang, bahwa "skandal" adalah teman seiring, bahkan sisi yang 
lain, dari "sukses"? Maksud saya, begitu "sukses" direngkuh, maka munculnya "skandal" 
hanya soal waktu? 

Jawabnya, bukan hanya mungkin, tapi nyaris selalu! Dan inilah yang mesti terus menerus 
diingat serta disadari - jangan pernah tidak — oleh para pemimpin, khususnya pemimpin- 
pemimpin yang berhasil! Bahwa sukses bukanlah "titik aman", melainkan "titik kritis"! 

Bahwa "sukses", seperti halnya "revolusi", adalah "predator" - pemangsa lahap - yang tak 
segan-segan memakan anak-anaknya sendiri! Pemimpin-pemimpin teladan seperti 



Abraham, Daud, Salomo pun tak luput dari "hukum besi" ini! Tersandung oleh 
kesuksesan mereka sendiri. 

Bahkan Yesus! Secara langsung Ia pernah mengalami "pencobaan" ini. Yakni tatkala 
Iblis berkata kepada-Nya, "Segala kuasa dan kemuliaan kerajaan dunia ini akan 
kuberikan kepada-Mu . jikalau Engkau menyembah aku" (Lukas 4:6-7). Wah, sekiranya 
ini ditawarkan kepada Anda atau kepada saya, mana tahaaan?! 

YANG sulit ternyata bukan terutama bagaimana meraih sukses dengan cara yang bersih. 
Melainkan bagaimana mempertahankannya, agar kepemimpinan yang sukses itu tetap 
bersih! Sebab yang lebih sering terjadi adalah sebaliknya. Pemimpin yang mengawali 
kepemimpinannya sebagai tokoh teladan, tapi mengakhirinya sebagai tiran. Bukankah ini 
yang terjadi pada Soekarno? Dan Soeharto? Dan Mao Ze-dong? Dan Mugabe? 

Karena itu setiap kali berbicara mengenai kepemimpinan, saya tidak akan pernah bosan 
mengulang dan mengulang, berbicara tentang MOTIVASI. O, saya tahu benar, betapa 
kepemimpinan itu pada hakikatnya "selalu menggoda" tapi juga "selalu digoda"! 
"Menggoda" untuk dikejar. "Digoda" untuk dijatuhkan. 

Di sinilah - menghadapi godaan tersebut — motivasi mengalami ujian yang sebenarnya. 
Kepemimpinan seseorang ditelanjangi habis-habisan. Disingkap dan diungkap motivasi 
apa yang sesungguhnya ada di baliknya. Apakah motivasi yang mendorongnya untuk 
terus bertahan? Atau, "mana tahaaan?!" 

Yang jauh lebih parah adalah, bila sedari awal motivasinya saja sudah keliru. Misalnya, 
orang yang ingin menjadi pegawai negeri, dengan motivasi ingin kerja sedikit tapi 
"sabetan"nya banyak. Orang yang berani bayar mahal untuk menjadi anggota parlemen, 
karena yakin bahwa tak sampai setahun modal pasti kembali. Atau pengusaha yang 
beralih profesi jadi pendeta, karena "bisnis injil" agaknya adalah satu-satunya bisnis yang 
tak mengenal istilah resesi. "Bisnis" yang "low risk, high profit". Risko kecil, untung 
besar. 

BAHWA salah satu konsekuensi dari kepemimpinan yang sukses adalah banyaknya 
godaan, ini berulang-ulang telah diperingatkan di dalam Alkitab. Maksudnya adalah agar 
yang bersangkutan secara teratur melakukan introspeksi, dan kita - umat - tidak pernah 
lengah mewaspadai. 

Nabi Yeheskiel dengan amat gamblang mengingatkan, bahwa kepemimpinan yang 
"sukses" (baca: kepemimpinan yang "kuat") tidak dengan sendirinya menjamin 
kepemimpinan yang "baik". Ada gembala yang baik, dan ada gembala yang jahat. Sebab 
itu, hati-hatilah memilih pemimpin Anda! 

Apa ciri "gembala" alias "pemimpin" yang jahat itu, menurut ukuran Allah? Yaitu 
gembala yang hanya "menggembalakan diri sendiri". Pemimpin yang hanya memikirkan 
kepentingannya sendiri. 



Sedang mengenai "domba-domba" yang seharusnya mereka gembalakan? "Kamu 
menikmati susunya., dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi 
domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. 

Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu 
balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan 
kamu injak-injak mereka dengan kekersaan dan kekejaman" (Yeheskiel 34:2-4). 

Jadi garis pemisah antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang jahat sebenarnya amat 
jelas. Yaitu, kepentingan siapa yang diutamakan? Namun demikian, menurut Yesus, 
mengenali mana yang palsu dan mana yang asli, itulah yang tidak mudah. Sebab 
pemimpin palsu itu kelewat pintar dengan tipu muslihat. Domba, tapi sebenarnya 
serigala. 

Dan mereka itu ada di mana-mana! Termasuk di tempat-tempat yang tak pernah kita 
bayangkan bisa menjadi tempat operasi mereka. Menyangkut orang-orang yang tak 
pernah masuk dalam rekaan kita, bisa melakukan perbuatan senista itu! 

Kata Yesus, "Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul, dan mereka akan 
mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat, dengan maksud, sekiranya mungkin, 
menyesatkan orang pilihan. Hati-hatilah kamu! Aku sudah terlebih dahulu mengatakan 
semuanya ini kepada kamu' (Markus 13:22-23). 

Padahal, bukankah bagi kebanyakan kita, kemampuan melakukan mujizat adalah ukuran 
"sukses"? Dan "sukses" adalah ukuran kepemimpinan seseorang? Tidak!, kata Yesus. 
"Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar sebagai 
domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. DARI BUAHNYALAH 
KAMU AKAN MENGENAL MEREKA" (Matius 7:15-16). 

Tidak semua yang berkilau itu mas. Tidak semua pemimpin - termasuk yang kelihatan 
hebat — membawa berkat. Ukurannya adalah "buah" yang mereka hasilkan! Benarkah 
mereka "domba" atau sebenarnya "serigala"?*** 100604 

Motivasi, Wahai Pemimpin, Motivasi! 
Oleh Eka Darmaputera 

Apakah Adolf Hitler, si durjana angkara murka itu, adalah pemimpin? Jawab saya, tanpa 
ragu,: "Ya! Ia adalah pemimpin". Juga William Booth, si manusia berhati malaikat itu? 
Kembali jawab saya, tanpa ragu, "Tentu! Booth adalah pemimpin". 

Orang-orang sekaliber Soekarno, Nehru, dan Nasser adalah pemimpin. Tapi jangan lupa, 
begitu pula mbok Carik, si pedagang nasi pecel di Magelang, atau Wakijan, yang pesuruh 
gereja di Jatinegara. Bu-kankah ini sudah kita bicarakan? 



Tentu saja saya memaklumi kebimbangan apa menyelinap di hati Anda. Saya pun 
demikian, pada mulanya. Namun kini tanpa ragu saya mengatakannya, sebab tak kurang 
dari Allah sendiri yang menyatakannya. Bahwa setiap orang — siapa pun dia — dikaruniai 
"tiga -at". Ingatkah Anda apa itu? 

Yaitu, ia diberi amanat, diberi mandat, dan diberi berkat, oleh Allah untuk "berkuasa atas 
." (Kejadian 1:26). Nah, apa lagi namanya ini, kalau bukan bahwa setiap orang diangkat 
tadi "pemimpin", bukan? Bahwa setiap orang diberi "kuasa", dikaruniai "otoritas", oleh 
Allah. Yang menjadikan semua orang sama-sama pemimpin! Anda, saya, dia, mereka — 
siapa saja! 

KALAU "sama-sama pemimpin", begitu mungkin Anda bertanya, apa itu berarti semua 
orang itu "sama saja" - tak ada bedanya? Wah, kalau ini, lebih baik kita jangan tergesa- 
gesa. Saya minta Anda perhatikan baik-baik kata-kata yang saya pilih. Yang saya katakan 
adalah, bahwa semua orang — siapa pun dia — adalah "sama-sama pemimpin". "Sama- 
sama" itu, saudara, tidak sama dengan "sama saja". 

Cuma orang-orang idiot tidak kepuguhan, yang tidak melihat bahwa ada perbedaan yang 
besar - bahkan sangat besar - antara Hitler dan Booth, antara Bung Karno dan putra- 
putrinya, atau antara Osama dan Mandela. 

Dan hanya mereka yang IQ-nya betul-betul "jongkok", yang tidak mampu melihat bahwa 
ada orang sekaya Syaiful, yang "berkuasa atas" tanah, hutan, gunung dan pantai beratus- 
ratus hektar. Tapi ada pula orang seperti Pardamean, yang hatinya tak pernah damai, 
karena tanah seluas 12 meter pesegi yang dihuninya bersama keluarga itu pun tidak ia 
"kuasai". 

Ada pemimpin-pemimpin yang, seperti sementara nabi, pengaruhnya tak kunjung 
berkurang, walau telah berabad-abad mereka tiada. Namun sebaliknya ada pula yang 
seperti tetangga saya, yang terhadap istri dan anak-anaknya sendiri pun, memelas sekali, 
tak sedikit pun ia punya wibawa. 

Jadi, perbedaan itu ada. Dan tidak jarang, perbedaan itu besar sekali. Tapi perbedaan 
tersebut bukan dalam hal, bahwa yang satu adalah pemimpin dan yang lain tidak. Bukan 
itu! Mereka sama-sama pemimpin! Cuma saja, dan ini adalah pembeda yang paling 
mendasar, PEMIMPIN MACAM APA? 

Inilah yang membedakan antara pemimpin macam Khatami - yang ingin mendorong 
proses reformasi - dan Khameini. - yang justru sekuat tenaga menolak perubahan. Atau 
antara pemimpin macam Yohanes Pembaptis, — yang pakaiannya sekadar kulit unta dan 
tak memangku jabatan apa-apa — , dengan Herodes, — raja yang sah lengkap dengan 
istana dan tentara, tapi tak lebih dari sekadar "boneka" Roma. 

Jadi yang membedakan seorang pemimpin dengan pemimpin lainnya, adalah 
KUALITAS KEPEMIMPINANNYA. Bagaimana ia memanfaatkan wewenang 



kepemimpinan yang ada padanya? Apakah benar-benar untuk membangun? Atau hanya 
untuk menyamun? 

Dengan perkataan lain, apakah status sebagai "pemimpin" itu, benar-benar dimanfaatkan 
untuk memimpin? Dan bila "ya", ke mana orang ingin dibawa dan dipimpinnya? 
Pertanyaan-pertanyaan ini begitu relevan sebab, seperti kita lihat, alangkah banyaknya 
"pemimpin", tapi betapa langkanya "kepemimpinan"! 

KUALITAS kepemimpi-nan, pada gilirannya, sangat ditentukan oleh MOTIVASI! 
Hanya motivasi yang baik, yang bisa melahirkan pemimpin yang baik! Seperti cuma 
benih yang baik, yang dapat menghasilkan tanaman yang baik. 

Tatkala orang masih "bermain" di "papan bawah", persoalan "motivasi" ini kemungkinan 
besar belum menjadi masalah. Dalam kedudukan itu, godaan belum terlampau besar. Dan 
pilihan juga tidak banyak. 

Itulah yang dialami oleh Mat Patrol, ketika ia diterima bekerja sebagai pencatat daftar 
tamu di gardu depan kantor pak menteri. Tugasnya adalah mencatat nama dan alamat 
para tamu, kemudian menahan KTP mereka. 

Keadaan mulai berubah ketika Mat Patrol dipromosikan ke gedung utama. Tugasnya kini 
adalah mengatur urutan orang yang masuk ke ruang kerja pak menteri. 

Pada mulanya tak ada yang istimewa. Sampai suatu ketika, seorang tamu diam-diam 
menyelipkan "amplop". Yang bersangkutan minta didahulukan masuk, dengan alasan 
harus mengejar jadwal penerbangan kembali ke Pontianak. 

Pengalaman pertama ini disusul oleh yang kedua, kemudian ketiga, dan seterusnya. Dan 
ini menyadarkannya bahwa, walau ia cuma Mat Patrol, ternyata ia punya "kuasa" juga!. 
"Kuasa" yang bisa dimanfaatkan menjadi "laba". 

Kesadaran ini ini memunculkan sebuah masalah baru. Persoalan "motivasi". Yaitu, untuk 
apa dan bagaimana orang memanfaatkan "kuasa" di tangannya? Dengan "bathil" atau 
dengan "adil"? Untuk "membantu" atau "membantun"? 

Apa yang ingin ia capai atau peroleh, dengan otoritas yang ada padanya? Dan dengan 
cara bagaimana ia akan mencapainya? Adakah batas-batas atau rambu-rambu tertentu? 

KESADARAN mengenai betapa krusialnya masalah "motivasi" bagi seorang pemimpin, 
sudah lama ada. Ini antara lain nampak dalam karya Shakespeare, yang melalui mulut 
Wolsey, memberi peringatan kepada sang pemimpin revolusi Inggris yang amat 
termashur, Oliver Cromwell. Katanya, "Cromwell, aku titahkan engkau, campakkanlah 
jauh-jauh ambisi dari padamu! Oleh dosa yang sama, malaikat- malaikat telah jatuh dalam 
hina. tak terkira. Karenanya bagaimana mungkin, manusia, citra Sang Maha Pencipta, 
berharap mau memetik keuntungan dari padanya?" 



Memang, sebagaimana telah saya katakan, alkitab tidak mengutuk "ambisi" itu an sich. 
"Ambisi" adalah bagian hakiki dari kemanusiaan kita. Tanpa kerinduan yang berkobar- 
kobar untuk "lebih", bagaimana mungkin ada perubahan? Dan tanpa perubahan, 
bagaimana mungkin ada perbaikan? 

Bahkan ber"ambisi" untuk menjadi pemimpin gereja pun, menurut Paulus, adalah baik. 
Luhur. Mulia. "Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan 
yang indah", begitu ia berkata (1 Timotius 3:1). Gereja saya mengalami kesulitan 
mencari kader-kader pemimpin yang baru, karena banyak orang "berendah-hati" secara 
salah, tidak mau mengatakan "mau". Takut dituduh "ambisius". 

Benarlah yang dikatakan oleh J. Oswald Sanders ("Spiritual Leadership"), bahwa alkitab 
tidak pernah menentang atau melarang "ambisi". "Ambisi" pada dirinya adalah "netral" - 
tidak "baik" atau "jahat". Yang membuat ia "baik" atau "jahat", adalah moralitas di 
baliknya. Dengan perkataan lain, "motivasi"nya. 

Inilah inti peringatan Yeremia, "Masakan engkau mencari hal-hal yang besar bagimu 
sendiri?" (45:5). J. Oswald Sanders menamakannya "self-centered ambition"; "ambisi 
yang berpusat pada kepentingan diri sendiri". Ini yang buruk. Ini yang jahat. 

KETIKA renungan ini dipersiapkan, Indonesia sedang riuh rendah oleh pekik puluhan 
partai dan ribuan orang yang saling berlomba, ingin dipilih jadi pemimpin. Salahkah ini? 
Tidak! 

Persoalannya adalah, apakah mereka layak untuk dipilih? Baiklah untuk Anda saya 
tegaskan, bahwa yang layak dipilih bukanlah mereka yang suaranya paling lantang! 
Bukan mereka yang pawai-pawainya paling meriah! Bukan mereka yang janji-janjinya 
paling indah! Bukan mereka yang paling royal bagi-bagi baju kaus, duit atau bendera. 
Juga bukan mereka yang pintar memperalat sentimen-sentimen primordial. 

Menurut Yesus, "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi 
pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia 
menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 10:43-44). Ini patokannya! 

Jadi? Jadi cermatilah! Siapa di antara mereka yang bersedia menempuh jalan-jalan 
berlumpur, ketika rakyat tertimpa banjir atau tanah longsor? Siapa di antara mereka yang 
bersedia terbang jauh, untuk berbagi hati dan berdoa bersama dengan masyarakat yang 
tertimpa bencana gempa hebat? Siapa di antara mereka yang bersedia tidak sekadar 
"mejeng" atau pasang aksi di depan kamera televisi, tapi mau merogoh saku atau 
menyumbang darah sendiri untuk para korban demam berdarah? 

Kalau cuma sekadar pamer untuk membuktikan bahwa ia berani makan ayam, sambil 
direkam puluhan wartawan., ah, ini sih "Siapa takut?!". Kalau cuma sekadar bikin 
pernyataan betapa terkejutnya hati ibunda, tatkala mendengar betapa seriusnya wabah 
demam berdarah, ini sih malah tambah memrihatinkan lagi! 



Apalagi kalau kemudian kunjungan ke daerah bencana sekadar merupakan kedok untuk 
memperoleh publikasi, agar meraup banyak suara dalam pemilu nanti. Wah, alangkah 
kejinya! Alangkah nistanya!** 010604 

Saya Pemimpin? Apa Iya Sih? 
Oleh Eka Darmaputera 

Bila untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin, seseorang harus kapabel sekaligus 
fleksibel; pemberani sekaligus hati-hati; tegas sekaligus bijak; berpandangan jauh ke 
depan sekaligus teguh berpijak di kekinian; dan "sekaligus-sekaligus" yang lainnya lagi; 
maka, wah, di mana kita dapat menemukan manusia sesempurna itu?! 

Wajar, bukan, bila kemudian orang berkesimpulan, bahwa pemimpin itu tergolong 
"makhluk langka"? Cuma bisa dilahirkan, tak mungkin dibentuk. Kemunculannya hanya 
bisa ditunggu, tak mungkin direncanakan atau diusahakan. Anda ingat bagaimana orang 
Tibet "mencari" bayi titisan, bakal pengganti Dalai Lama mereka? 

Memang tak dapat disangkal, kepemimpinan yang baik tentu saja menuntut persyaratan 
istimewa. Pemimpin bukan "orang biasa". Lebih sekadar "biasa-biasa". Namun 
perkenankanlah saya mengingatkan, bahwa terlampau melebih-lebihkannya pun, saya 
harap jangan Anda lakukan. Sebab akibatnya, bisa panjang dan serius. 

APA misalnya? Misalnya orang lalu jadi terlampau cepat menerima begitu saja ketika 
dipimpin oleh "pemimpin-pemimpin gadungan". Terlalu cepat memaafkan para "pejabat" 
yang sebenarnya tak lebih dari "penjahat". 

Alasan mereka: sebab pemimpin yang memenuhi syarat itu, amat sulit didapat. Jadi, apa 
boleh buat, tiada rotan akar pun berguna. 

Tak mengherankanlah, bila di tengah krisis kepemimpinan yang parah di tanah-air kita 
sekarang ini, orang tidak merasakan urgensi untuk mempersiapkan kader-kader atau 
calon-calon pemimpin secara serius dan terencana. 

Banyak yang malah memilih untuk pasif menunggu munculnya seorang "satrio piningit" 
- yang entah kapan tibanya. Disebut "piningit", karena sekarang ia masih dalam keadaan 
"dipingit" atau "disembunyikan", menunggu saat yang ditentukan para dewa untuk 
tampil. 

Jadi kalau sekarang kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin "busuk", ya maklumlah. 
Boleh saja Anda tidak suka - ini pun wajar-wajar saja — , tapi "ojo nggege mongso". 
Jangan memaksakan keadaan! Jangan memaksakan sesuatu sebelum waktunya! Nrimo 
saja, ini yang paling bijaksana! 



Sikap apatis, fatalis, dan pasif seperti ini amat berbahaya. Sebab secara tak langsung ia 
membiarkan pemimpin-pemimpin "busuk" bebas merajalela ke mana-mana dengan 
leluasa. 

Dan bila ketidakpuasan cuma bisa ditekan, kita mesti lebih khawatir lagi. Sebab sampai 
kapan ia bisa bertahan, sebelum meledak? 

PAHAMLAH kita sekarang, mengapa begitu amburadulnya keadaan kita. Sebab sang 
satrio piningit, kepada siapa semua harapan bertumpu, siapa dia sebenarnya tak ada orang 
tahu. Bahkan orang tak pernah pasti, benar-benarkah ia akan muncul? Dan andaikata pun 
ia muncul juga, bagaimana orang tahu, bahwa ia-lah dia? 

Demikianlah sementara orang sibuk berandai-andai, para "tikus" dan para "kecoa" - 
pemimpin-pemimpin gadungan itu - berkembang biak dengan cepatnya. Seraya dengan 
giatnya menggerogoti bangunan rumah kita, yang bernama Indonesia. 

Tapi bukan cuma dugaan yang berbau mistis seperti di atas saja, yang beranggapan 
bahwa pemimpin sejati itu "antik" dan "langka". Seorang pakar kepemimpinan yang 
amat terkenal - nota bene, seorang penulis yang rasional, intelektual, dan juga religius - , 
juga punya kesimpulan yang sama. 

Dengan perspektif yang pasti berbeda, ia tiba pada kesimpulan, bahwa, "Sangat sedikitlah 
orang yang diahirkan atau ditakdirkan sebagai pemimpin. Jumlahnya dapat dihitung 
dengan jari tangan. Namun sebaliknya, semua orang - tanpa kecuali — dilahirkan dan 
dipanggil untuk menjadi pelayan". 

Inti yang ingin ia sampaikan adalah, bahwa bila "kepemimpinan" itu hanya ditakdirkan 
hanya bagi sangat sedikit "orang pilihan"; "kepelayanan" sebaliknya. Kepelayanan 
ditakdirkan untuk semua orang. Dan "takdir" ini terus melekat, tak pernah tanggal dari 
bahu manusia. 

Ya sekali pun, katakanlah, yang bersangkutan kini sudah menjadi seorang pemimpin. Si 
pemimpin ini toh tetap seorang pelayan. 

Seorang hamba. Ia harus menjalankan kepemimpinannya itu sebagai seorang pelayan. Itu 
sebabnya, ia menamakan teorinya itu "Kepemimpinan yang Menghamba". Servant 
leadership. 

PANDANGAN seperti itu tentu banyak benarnya. Tak kurang dari Yesus sendiri yang 
pasti akan mendukungnya. "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu," begitu 
Yesus pernah berkata, "hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi 
yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya" (Markus 
10:43-44) 

Seorang "pemimpin" yang baik harus mau menjadi "pengikut" yang baik. Tidak hanya 
pintar bekoar, tapi juga mesti peka mendengar. 



Tidak sekadar mahir dan gemar mendamprat, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. 
Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya. Seorang 
"pemimpin" yang bajik harus terlebih dahulu lulus sebagai "hamba" yang baik. 

Sebab dengan merendahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan 
dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Dan ini, saudaraku, betapa 
krusialnya! Sebab bayangkanlah, apa yang bisa lebih mengerikan dan lebih destruktif dari 
pada seorang pemimpin, yang tak mampu mengendalikan dirinya, mengekang nafsunya, 
dan mengontrol ambisinya? 

Jadi, sekali lagi, apa yang dikatakan oleh pakar itu penting dan benar. Hanya saja, 
menurut penilaian saya, ada sisi lain dari amanat alkitab yang - entah mengapa -- tidak ia 
sebut-sebut. 

Sisi yang mana itu? Yaitu bahwa, alkitab juga mengatakan, orang itu tidak cuma 
ditakdirkan sebagai "pelayan", tetapi juga sebagai "pemimpin"! Setiap orang. Anda. 
Saya. Dia. Mereka. Semua. 

BENARKAH yang saya katakan itu? O, benar sekali! Kebenaran ini malah sudah berlaku 
sebelum dosa datang. Bahkan sebelum manusia diciptakan. 

Ia merupakan bagian dari rancangan atau desain ciptaan Allah dari awalnya. 

Setelah selesai menciptakan segala sesuatu, termasuk yang terakhir yaitu menciptakan 
segala jenis binatang darat, Allah bersabda lagi, "Baiklah Kita menjadikan manusia 
menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, dan 
burung-burung di udara dan atas ternak dan atas segala binatang melata yang merayap di 
bumi" (Kejadian 1:26) 

Bagaikan nomor terakhir dalam pagelaran sebuah orkes simfoni, yang biasanya 
merupakan karya puncak, Allah hendak menutup seluruh karya penciptaan-Nya dengan 
menciptakan semacam "mahluk unggul"; — "mahkota" seluruh ciptaan. "Manusia". 

Dalam desain tersebut, "manusia" dijadikan "menurut gambar dan rupa Allah". Artinya, 
pada satu pihak, ia bukan Allah. Ia tetap mahluk. Ciptaan. Tak lebih dari mahluk-mahluk 
lain. Namun demikian, di lain pihak, ia lebih. Lebih, karena mahluk yang satu ini - 
"manusia" - adalah "citra Allah". 

DALAM hal apa saja manusia merefleksikan Allah? Dalam banyak hal. Seluruh kedirian 
manusia — kecuali dalam hal kefanaan dan keterbatasannya — diciptakan untuk 
mencerminkan (bukan menyamai!) kedirian Allah. 

Bila tidak dalam "hakikat" atau dalam "zat", ya paling sedikit ada kesejajaran dalam 
"sifat". Misalnya, dalam kehendak bebas dan kreativitas, dalam kecerahan akal-budi dan 
kesadaran hati nurani. 



Dalam Kejadian 1:26 yang saya kutipkan di atas, ke"ilahi"an manusia secara khusus 
dinampakkan melalui "kekuasaan" yang dianugerahkan Allah kepadanya. Dengan 
perkataan lain, keilahian dalam diri manusia nampak melalui KEPEMIMPINANNYA! 

Itu artinya, sejak awal mula penciptaan, manusia telah ditakdirkan sebagai "pemimpin". 
Semua yang menyandang sebutan sebagai "manusia"! Jadi, apakah saya juga 
"pemimpin"? Jawabnya adalah, "Ya". Paling sedikit, Anda ditentukan dan dipanggil 
Tuhan untuk menjadi "pemimpin"! 

Kepemimpinan manusia itu, menurut Kejadian 1:26, adalah sekaligus merupakan hakikat, 
mandat, dan berkat Allah. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada 
"hakikat" manusia. Karenanya, hakikat kemanusiaan seseorang tercermin melalui 
kepemimpinannya. Kepemimpinan yang brengsek mencerminkan kualitas 
kemanusiaannya yang brengsek pula. 

Kedua, kepemimpinan adalah "mandat". Artinya, kelayakan seseorang menjadi 
pemimpin, bukanlah terutama merupakan hasil kelihaian sebuah tim sukses, atau hasil 
kepandaian yang bersangkutan mengobral janji dan menebar uang gizi. 

Kepemimpinan adalah penugasan Allah, karena itu mesti dilaksanakan sesuai dengan 
kehendak-Nya. Memimpin bukanlah beroleh lisensi untuk berbuat semau-maunya atau 
mengeruk untung sebanyak-banyaknya — mumpung! 

Dan akhirnya, ketiga, kepemimpinan adalah "berkat". Menjadi pemimpin adalah karunia 
ilahi yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Sebab itu 
luhur dan mulia. 

Konsekuensinya, orang harus menjalankan kepempimpinannya dengan syukur, hormat 
dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan-tindakan yang serampangan dan tidak 
ilahi! Sebab bila itu yang dilakukan, maka yang dihadapi tak kurang adalah Allah sendiri! 
**** 240504 



Pemimpin Itu Siapa Sih? 
Oleh Eka Darmaputera 

William Booth (1829-1912) dan Adolf Hitler (1889-1945). Ah, siapa tak mengenal 
mereka? Keduanya sama-sama pemimpin hebat. Yang satu pendiri Bala Keselamatan, 
gerakan yang menabur kasih dan kebaikan ke hati manusia — khususnya bagi yang 
dirundung nestapa. Sedangkan yang lain adalah pendiri partai Nazi Jerman, rezim yang 
menebar teror ke segenap penjuru Eropa — bahkan ke seluruh dunia. 

Jadi ada perbedaan besar di antara mereka. Namun ada pula persamaannya. Mengenai 
kemiripan mereka, dapat kita sebutkan, antara lain, betapa mereka sama-sama meniti 
jalan ke kemashuran mulai dari anak- tangga yang paling bawah sekali. 



Keduanya dilahirkan dan dibesarkan di tengah keluarga papa. Sewaktu kecil, William 
Booth acap menjadi bulan-bulanan ejekan, pemerasan dan kejahilan anak-anak brandal 
sebayanya. Sementara Adolf Hitler memulai "karier"nya sebagai seorang bintara 
rendahan setingkat kopral di angkatan perang Jerman. Jadi, jauh dari mengesankan, bila 
tidak mau dikatakan mengenaskan, bukan? 

Namun demikian, toh kiprah mereka berdampak sangat besar bagi dunia. Rentang 
kehidupan mereka — Booth 83 tahun dan Hitler 56 tahun - meninggalkan jejak yang 
mendalam dalam sejarah umat manusia. Ya, apa pun penilaian kita mengenai "warisan" 
yang mereka tinggalkan itu - baik atau buruk. 

Pertanyaannya: Mengapa mereka berbeda dari sesama mereka? Mengapa mereka begitu 
menjulang tinggi bak gedung-gedung pencakar langit, sedang yang lain bagaikan rumah- 
rumah kardus para pemulung yang banyak bertebaran di ibu kota? Apa sih yang membuat 
mereka begitu lain, tidak seperti Anda atau saya? 

Jawabnya singkat saja. Yaitu karena mereka - baik Booth maupun Hitler - adalah 
Pemimpin. Pemimpin dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Pemimpin dengan kharisma 
dan daya pikat istimewa. Pemimpin dengan kepemimpinan yang kuat luar biasa. Leaders 
with strong leadership. Sepertinya memang sudah dari sono-nya mereka itu telah 
ditakdirkan sebagai pemimpin. 

Sementara sebagian besar dari kita, termasuk saya, tidak. Atau kita adalah sekadar 
pemimpin yang "biasa-biasa" saja — tak pernah menonjol atau membekaskan kesan apa- 
apa. Atau, boleh jadi, memang sudah dari sono-nya kita telah ditakdirkan untuk hanya 
jadi "buntut", jadi "pengikut", saja — seumur hidup kita. 

Terlepas dari kenyataan bahwa William Booth adalah seorang berhati malaikat, dan 
Adolf Hitler adalah "monster" berwajah manusia, yang harus kita akui adalah, kedua- 
duanya berhasil menghadirkan diri mereka sebagai pemimpin. Nota bene, pemimpin- 
pemimpin "kelas kakap". Bukan pemimpin-pemimpin "kelas teri". 

Bila kita menelusuri sejarah dunia, maka kita akan tahu bahwa, dari waktu ke waktu di 
panggungnya muncul tokoh-tokoh istimewa seperti mereka. Kita menyebut mereka 
"primadona", atau "maestro", atau "pendekar" sejarah. Mengapa? Kita menyebut mereka 
demikian, karena mereka membuat "sesuatu" terjadi. They make things happen. Entah 
disengaja entah tidak, mereka berhasil menembus kebekuan. Sehingga sejarah tak lagi 
bisa berjalan "biasa" seperti sebelumnya. 

Kita sebut mereka pemimpin-pemimpin besar, karena keberhasilan mereka menulis dan 
menukil sejarah. Mereka adalah "pembuat sejarah", sementara orang-orang seperti kita 
seringkah hanyalah "pembaca sejarah". Mereka menggetarkan dunia dengan perubahan- 
perubahan yang mereka buat, sementara orang-orang seperti kita seringkah cuma 
"ketiban" akibatnya. 



Karena itu mereka - para pemimpin itu — bukan orang-orang biasa! Tempat mereka 
adalah di ujung persimpangan sejarah. Mereka berada di situ untuk merintis jalan baru ke 
hari esok, yang berbeda dari kemarin. Itulah mereka, orang-orang seperti Thomas 
Jefferson atau Abraham Lincoln atau Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela. 

Tanpa mereka, saya yakin, bumi akan tetap berputar pada sumbunya. Hidup ini tak akan 
berhenti hanya karena mereka tiada. Ya! Tapi tanpa pengguncang sejarah seperti mereka, 
hidup hanya akan bergerak otomatis, mekanis, tanpa jiwa, dan tanpa arah. Sejarah 
menjadi sekadar sebuah garis lurus, sebuah rangkaian kesinambungan yang tanpa putus, 
begitu-begitu saja terus. Sangat menjemukan - saking "mulusnya"! 

Padahal kita tahu, Allah tidak menyukai "status quo". Ia tidak betah dengan kehidupan 
yang tanpa warna, yang tanpa "surprises", yang tanpa kejutan. Ia tak pernah bisa diam. 
Karena itu, Ia mencipta. 

Mencipta artinya adalah, membuat yang "tidak ada" menjadi "ada". Mencipta artinya 
"mengubah" - dari "khaos" menjadi "kosmos"; dari "kekacauan" menjadi "ketertiban"; 
dari "kekosongan" menjadi "kehidupan"; dari "gelap" menjadi "terang". 

Dengan "mencipta" itulah, Allah antara lain menyatakan bahwa Ia "berkuasa"; bahwa Ia 
"memerintah"; bahwa Ia "pemimpin"! Tidak membiarkan sesuatu berlangsung begitu 
saja secara mekanis, tanpa arah, tanpa makna dan ... tanpa kendali!. Ia membuat sesuatu 
"terjadi". Ia membuat "terobosan". Ia mengawali karya-Nya dengan, "Jadilah ...! 
" (Kejadian 1:3), dan mengakhirinya dengan "Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu 
baru!" (Wahyu 21:5). 

Inilah tipologi atau model kepemimpinan sejati yang dapat kita pelajari dan teladani dari 
Sang Maha Pemimpin. Bahwa pemimpin adalah pengendali, pendorong, penggerak, 
pengubah! 

Seorang pemimpin sejati tidak cuma meratapi keadaan, "Waduh, jadi presiden itu 
ternyata pusing sekali! Setiap hari saya hanya tidur 5 jam". Seorang pemimpin tidak 
berlindung di balik dalih, "Jangan Anda mengira memberantas korupsi itu gampang. O, 
rumitnya bukan main!" Atau terlalu mudah memaafkan kegagalan sendiri, "Coba, hayo, 
menurut Anda, mana yang lebih baik buru-buru tapi salah, atau lambat sedikit tapi baik 
hasilnya?!" 

"Pemimpin" seperti itu tidak memenuhi kualitas kepemimpinan yang ideal. Cuma 
namanya atau resminya saja "pemimpin". Saya jamin, "pemimpin" seperti itu pasti tak 
pernah berani menempatkan diri di ujung jalan bersimpang. Pasti tidak mampu jadi 
inspirasi bagi pengikut-pengikutnya. Sebab hanya sibuk dengan keamanan, kenyamanan 
dan kepentingannya sendiri. 

Padahal kenyataan yang tak terelakkan adalah, bahwa hidup ini terus bergerak. Dan 
karenanya hanya menyajikan dua pilihan: apakah hidup ini akan kita biarkan bergerak 
liar semaunya, dan kita tinggal manut mengikut saja; atau, hidup ini coba kita kendalikan 



sedemikian rupa, hingga sedapat mungkinlah ia berjalan ke arah yang kita kehendaki. 
Seorang pemimpin pasti akan memilih yang kedua. Kalaupun ia tak mampu sepenuhnya 
mengendalikan keadaan, ia tetap pantang membiarkan dirinya ditaklukkan tanpa daya 
oleh keadaan. 

Jadi, sekali lagi, hidup berarti kemungkinan akan munculnya hal-hal baru. Walaupun, 
tentu saja, tidak semua yang ada dalam hidup ini "baru" melulu. Ya! Sebab bila 
demikian, wah, alangkah tidak nyamannya! Kita akan terus terpontang-panting dan 
terbanting-banting, tanpa pegangan dan tanpa kepastian dibuatnya. 

Padahal kita punya Tuhan yang "tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai 
selama-lamanya" (Ibrani 13:8). Kita punya Tuhan yang adalah pegangan yang terpercaya. 
"Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan 
goyah" (Mazmur 62:2-3). 

Oleh sebab itu, di samping perubahan ada kesinambungan. Atau, lebih tepat, sejarah 
adalah perpaduan dinamis antara empat unsur: kesinambungan, peningkatan, koreksi, dan 
pembaharuan. Seorang pemimpin yang bijak akan tahu kapan ia harus mempertahankan 
yang baik; bilamana ia mesti meningkatkan yang kurang; di mana ia mesti mengoreksi 
yang salah; dan saat ia mesti melakukan inovasi serta terobosan-terobosan baru. Dan 
kualitasnya ditentukan oleh kepekaan serta kemampuannya untuk melakukan yang tepat, 
pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat. 

Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berhasil memberikan sekuritas bagi 
rakyatnya, dan menjaga stabilitas negerinya. Inilah dimensi "kontinuitas" atau 
"kesinambungan". Tapi tidak dengan harga berapa saja. Sebab ada saatnya ketika 
stabilitas - bila telah berubah menjadi kebekuan - harus diguncang, agar ada 
peningkatan, sehingga yang melenceng diluruskan, dan yang tak cocok lagi diuang untuk 
diganti dengan yang baru. 

Akhir kata, seorang pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang dalam doanya yang 
tulus secara sadar mengucap, 

"Ya Tuhan, 

karuniakan daku keteduhan jiwa, 

agar ikhlas menerima hal-hal yang tak mungkin aku ubah. 
Tapi sekaligus juga keberanian 

untuk tak gentar mengubah hal-hal yang perlu diubah; 
Dan terutama, ya Tuhan, anugerahkan kearifan 
supaya aku mampu membedakan antara keduanya. 
Amin"* 130504 



Dari Hati Turun ke Mata 
Oleh Eka Darmaputera 



"Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta? Dari 
mata turun ke hati" Begitu, bukan, bunyi pantun yang sangat kita kenal itu? "Mata" 
dianggap sebagai asal-muasal dan pokok-pangkal hal-hal yang baik, tapi juga rahim yang 
melahirkan perkara-perkara yang jahat. 

Tidak heran orang Jepang konon punya kepercayaan, bahwa wanita hamil sebaiknya 
melihat pemandangan yang indah-indah saja. Misalnya, bunga-bunga di taman nan 
beraneka-warna. Atau suasana telaga yang damai. Sebaliknya, mereka mesti dihindarkan 
dari melihat — apalagi melakukan — hal-hal yang jahat. Sampai membunuh seekor 
nyamuk atau kecoa sekali pun. 

Menurut saya, kepercayaan tersebut banyak benarnya. Bukankah siapa pun dalam 
keadaan apa pun, melihat yang indah-indah selalu baik? Sebaliknya melihat, apa lagi 
terlibat, dengan yang jahat, amatlah riskan dan berbahaya - mudah tertular. 

Tapi agaknya Firman Tuhan punya pandangan lain. Memang benar Yesus pernah 
mengatakan, bahwa "mata itu pelita hati". Artinya, mata punya fungsi dan posisi yang 
vital. Namun salahlah pandangan yang mengatakan, bahwa mata adalah "biang kerok" 
segala sesuatu. 

Bahkan bukan cuma salah, tapi juga berbahaya. Ia telah membuat banyak orang tertindas 
dan menderita, karena hak-hak asasi mereka dilanggar. Praktik-praktik sensor yang 
sewenang-wenang, misalnya, pada umumnya terjadi karena asumsi bahwa kalau saja 
"mata" tidak melihat yang "jahat-jahat", maka kejahatan pun tidak akan terjadi. 

Karena itu, apa yang boleh dan tidak boleh dilihat harus diatur dan dibatasi. Kita pasti 
masih ingat betul masa tatkala majalah-majalah tiba di tangan kita berlumuran tinta 
hitam. Ini adalah karena orang-orang seperti Ali Murtopo atau Harmoko percaya, bahwa 
kalau saja masyarakat tidak membaca yang "buruk" (dalam pandangan mereka), otomatis 
segala sesuatu akan baik-baik semata. 

TAPI sensor yang dimaksudkan sebagai alat pendidikan yang positif, dalam realitas 
ternyata lebih berfungsi sebagai alat penindasan yang destruktif. Dengan sengaja saya 
menyebutnya "penindasan", sebab memang itulah yang terjadi, ketika orang dicabut hak- 
haknya untuk berpikir bebas dan mengambil keputusan sendiri. 

Padahal Tuhan saja menghormati kebebasan manusia. Ia bahkan memberi pilihan kepada 
manusia untuk tidak taat! Sebab itu merenggut hak dan kebebasan sesama adalah 
bertentangan dengan kehendak Allah. Kita mesti setuju dengan pendapat, bahwa 
kebebasan pers adalah pilar utama HAM. Kebebasan pers tercabut, maka semua hak asasi 
yang lain tinggal menunggu gilirannya. 

Namun demikian, penolakan terhadap sensor tidak berarti bahwa pembatasan atau 
pengaturan tak perlu ada. Salah besarlah mengatakan, bahwa "siapa saja boleh melihat 
apa saja, di mana saja, dan kapan saja". Di dalam Alkitab kita membaca, bahwa tidak 
semua boleh dan dapat dilihat dengan bebas oleh manusia. 



Ada hal-hal yang dilarang keras oleh Allah untuk dilihat. Misalnya, melihat wajah Allah. 
Ada hal-hal yang karena kefanaan kita tidak mungkin kita lihat. Misalnya, masa depan 
kita. Kemudian ada pula hal-hal yang sengaja dirahasiakan oleh Allah. Misalnya, kapan 
Hari Akhir dan ajal kita akan tiba. Lalu akhirnya, ada hal-hal yang walaupun dapat dilihat 
oleh mata kita, tapi sebaiknya jangan kita lihat. 

PADA satu sisi, kebebasan adalah bagian hakiki manusia. Begitulah Allah 
menciptakannya dan menghendakinya. Sebab itu pantang dinafikan. Namun demikian, 
kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Sebab pada sisi lain, kebebasan tanpa batas selalu 
bersifat negatif dan destruktif. Mengapa? Karena ini juga bertentangan dengan kodrat 
manusia. 

Kodrat manusia adalah makhluk, ciptaan, karena itu fana. Serba terbatas. Bagaikan singa 
dalam kurungan. Tampaknya saja garang dan meyakinkan, tapi cuma sampai batas 
tertentu. Ia tidak bisa keluar dari situ. 

Upaya manusia untuk melawan dan keluar dari keterbatasannya, pasti berakibat satu di 
antara dua. Atau ia binasa seperti ikan yang menolak hidup di dalam air. Atau ia celaka 
karena tak mampu mengendalikan kebebasannya sendiri - seperti mengendarai mobil 
yang remnya "blong". "Kebebasan" yang "kebablasan". 

Jadi bagaimana? Jawabnya adalah, pembatasan atau sensor - sampai pada batas tertentu - 
penting dan perlu. Tapi si penyensor juga wajib terus-menerus disensor, dibatasi dan 
diawasi! Di sinilah masalah kita yang paling krusial. 

UDARA rohani di mana kita hidup - sebagaimana halnya dengan udara "jasmani" di 
sekitar kita - menurut Firman Tuhan telah mengalami pencemaran atau terpolusi dengan 
hebatnya. Inilah yang dimaksudkan Paulus, ketika ia menulis tentang perjuangan 
melawan "penghulu dunia yang gelap" dan "roh-roh jahat di udara". 

Karena itu, kita perlu "filter" atau "sensor rohani" pula. Menurut Firman Tuhan, 
"lembaga sensor rohani" yang paling kredibel adalah Roh Kudus. Dia-lah yang tahu dan 
mampu mem'Tilter" apa yang boleh masuk dan apa yang harus keluar. Sedemikian rupa, 
sehingga semua yang keluar menyenangkan hati Allah dan mendatangkan rakhmat bagi 
sesama. Sedangkan yang masuk melahirkan rasa lapang dan damai sejahtera di hati kita. 
Tidak sebaliknya, malah membuat nafas rohani kita menjadi sesak. 

Tapi bagaimana "membuat" agar Roh Kudus benar-benar berfungsi?. Sama seperti untuk 
dapat memanfaatkan komputer, kita mesti pertama-tama mengetahui cara bekerjanya, 
kita juga perlu mengetahui bagaimana Roh Kudus bekerja. Alkitab antara lain 
menjelaskan sebagai berikut. 

Roh Kudus atau "nafas kehidupan yang dari Allah", adalah salah satu unsur terpenting 
yang membuat manusia menjadi manusia. Tanpa itu, manusia (= adam) hanyalah debu (= 
adama) belaka. 



Namun kita diberitahu bahwa manusia tidak cuma "adama". Manusia adalah suatu 
kesatuan tubuh, jiwa dan roh - dan karenanya, ia berakal budi dan berhati nurani. Dalam 
hal memiliki "tubuh", manusia tidak berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Dalam hal 
memiliki "jiwa", manusia juga tidak berbeda dengan binatang-binatang tertentu. 

Hanya dalam satu hal, manusia benar-benar unik, tak ada duanya. Yaitu dalam hal 
keberadaan "Roh Allah" di dalam dirinya. "Roh Allah" inilah yang bekerja di dalam diri 
manusia, melalui "akal budi" dan "hati nurani"nya - dan membuatnya menjadi makhluk 
yang istimewa, "gambar Allah". 

BILA menurut pandangan populer dunia ini, semua tindakan manusia - baik maupun 
buruk - "dari mata turun ke hati", Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Yaitu, segalanya 
bertolak dan berpangkal dari "hati" 

Kalau yang keluar adalah tindakan yang baik, itu berarti Roh Kudus yang berfungsi. 
Sebaliknya bila yang jahat dan kotor yang keluar, maka roh kegelapan-lah yang 
beroperasi. Tapi bagaimana pun, tak mungkin manusia otonom sepenuh-penuhnya. 
Manusia cuma punya pilihan: menjadi "hamba Allah" atau "hamba dosa"; "hidup 
menurut Roh" atau "hidup menurut daging". 

Kitab Kejadian mengisahkan peristiwa yang menggambarkan pola proses kejatuhan 
manusia ke dalam dosa. Pola proses yang terus-menerus terulang sampai sekarang. Di 
situ kita membaca, antara lain, "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk 
dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi 
pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga 
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya". 

Kutipan kita dimulai dengan kalimat "perempuan itu melihat". Sepintas lalu ini memberi 
kesan, seolah-olah proses dosa berawal dari "mata". "Dari mata turun ke hati". Padahal 
tidak. Tindakan "perempuan itu melihat" tidak lebih adalah kelanjutan dari suatu proses 
batin sebelumnya. 

Yaitu, pertama, ketika manusia berhasil diperdayakan sehingga bersedia berdialog 
dengan si Iblis. Padahal seharusnya manusia hanya boleh mendengarkan Allah saja. Dan 
kedua, ketika kemudian manusia - di dalam hatinya - mulai meragukan kebenaran 
firman dan titah Tuhan. 

Proses paling awal kejatuhan manusia selalu adalah, ketika di hatinya secara tanpa sadar 
ia "menyej ajarkan" Allah dengan Iblis. Maksud saya ialah, ketika hati manusia mulai 
mendua, mendengarkan sini mendengarkan sana. Menyangka bahwa ia memiliki 
wewenang untuk pada akhirnya memutuskan siapa yang benar di antara keduanya: Allah 
atau Iblis. Padahal seharusnya ia hanya boleh taat kepada Allah. Prinsip yang berlaku 
adalah: "Bukan karena benar maka sesuatu itu adalah perintah Allah, tetapi karena 
sesuatu itu adalah perintah Allah maka ia benar". 



BEGITU manusia membuka hati untuk mendengarkan Iblis di samping Allah, ia 
membuka peluang bagi Iblis untuk melancarkan serangan yang mematikan. Dari mula- 
mula membanding-bandingkan antara Allah dan Iblis, proses melanjut dengan meragukan 
Allah dan kian mempercayai Iblis. "Jangan-jangan embah dukun yang benar!" 

"Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu 
memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang 
yang baik dan yang jahat". Atau, "Ayo lakukan saja! Jangan terlalu pusing soal Allah. 
Sudah berapa kali kamu berteriak dalam doamu kepadaNya? Adakah manfaatnya? 
Apakah Ia mendengarkanmu? Mengapa tidak coba "orang pinter" sekarang?". 

Tatkala keraguan akan kebenaran dan kebaikan Allah mulai tersemai di hati Anda, Anda 
telah tiba di tapal batas antara dosa sebagai "niat" dan dosa sebagai "tindakan". Inilah 
saatnya mata mulai berfungsi. Ia mengajak Anda berpaling ke arah yang salah, dan 
memerosokkan Anda semakin dalam ke perangkap dosa. "Lalu ia mengambil buahnya 
untuk dimakan dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, 
dan suaminya pun memakannya". 

Herankah kita sekarang, mengapa dalam Kotbah di Bukit Yesus begitu menekankan 
peran hati? Dosa, dalam bentuknya yang paling nyata, memang berwujud tindakan. Tapi 
dosa tidak berpangkal di situ. Tindakan hanyalah out-put saja dari apa yang ada di dalam 
hati. 

Mata yang tertarik lalu melirik, serta tangan yang meraih lantas membagi, adalah sekadar 
konsekuensi logis dari yang sebelumnya menggejolak di sanubari. Seperti uap yang 
dengan sendirinya keluar dari ketel, ketika air yang dij erang mulai mendidih. "Dosa" ada 
di ketel, bukan di uap. Tanpa air yang mendidih, uap pun tiada. 

Yesus menekankan apa yang tersemai di hati manusia, sebab itulah yang akan kita tuai 
dalam bentuk dosa. Membunuh, misalnya, adalah tindakan dosa. Tidak ada yang 
mengatakan tidak. Begitu pula dengan mencuri atau berzinah atau berdusta. Tapi bila 
dosa cuma itu maka, wah, dengan lega saya dapat membusungkan dada dan berkata, 
"Saya bersih tanpa dosa! Sebab saya toh tidak pernah mengambil jiwa orang, atau 
mencuri milik orang, atau berzina dengan istri orang, atau menipu orang". 

Menanggapi ini, Yesus akan berkata, "Kalau dosa adalah itu, maka situasi-mu sungguh 
memprihatinkan dan tidak ketulungan. Sebab segala sesuatu telah amat terlambat. Ibarat 
membawa pasien ke bagian gawat darurat, ketika kedaan benar-benar sudah gawat dan 
sudah darurat. Ya apa lagi yang dapat dilakukan?! 

Padahal besar kemungkinan yang bersangkutan masih dapat ditolong, sekiranya ia mau 
mulai berobat, ketika nafasnya mulai kadang-kadang sesak, atau pencernaannya mulai 
sering terganggu, atau kepalanya mulai mudah pening, atau tidurnya mulai kurang lelap. 
Ketika segala sesuatu baru "mulai". 



SESEORANG, kata Yesus, tidak baru berdosa setelah ia membunuh atau berzina. Seperti 
pada beberapa penyakit tertentu, penyakit itu telah mulai sejak amat awal. Dosa 
membunuh berawal dari membiarkan diri dikuasai amarah. Sedang dosa berzina, menurut 
Yesus, telah terjadi ketika orang melarutkan diri tanpa melawan dalam arus nafsu 
kedagingannya Mungkin sambil berkata, "Toh saya tidak berbuat apa-apa?!" 

Ismail Marzuki dalam salah satu gubahannya, mengungkapkan apa yang saya kemukakan 
itu. Yaitu ketika sang pemuja gadis "Ayati" setengah bertanya mengatakan, "Dosakah 
hamba, memuja dikau dalam mimpi. Hanya dalam mimpi?!" Toh cuma dalam mimpi, 
tidak apa-apa 'kan?! 

Yesus berkata, "Tidak" Sel kanker yang menyebar liar begitu berbahaya ke seluruh tubuh 
dimulai dengan satu sel saja! Dosa membunuh berawal dari amarah yang tidak segera 
dikendalikan. Amarah ini berubah menjadi kebencian. Kemudian kebencian 
bermetamorfose menjadi dendam. Dan akhirnya dendam hanya menanti kesempatan 
untuk menjadi tindakan.. Sebelum orang membunuh dengan tangannya, ia terlebih dahulu 
membunuh dalam hatinya. 

Tak ada "dosa kecil" atau "dosa besar". Sebab "dosa besar" selalu berasal dan berawal 
dari "dosa kecil" yang dibiarkan. Bagaikan luka kecil di kulit. Sebaliknya dari pada 
diobati, luka kecil tersebut dikorek-korek terus setiap kali. Maka luka pun menganga lagi. 
Dan luka ini akan terus berkembang menjadi kian berbahaya. 

Anda bertanya, mengapa "Kesepakatan Malino I", nampaknya tak akan berumur 
panjang? Sebab cuma senjata di tangan saja yang diminta untuk diserahkan. Bukan hati 
yang terpanggang dendam. 

Dari mana datangnya dosa? Dari hati turun ke mata. Dari mana datangnya celaka? Dari 
luka kecil yang dibiarkan menganga!* 050504 



Paling Akhir, tapi Juga Paling Awal 
Oleh Eka Darmaputera 

HARI INI kita tiba di stasiun akhir kita. Ya, setelah melalui rangkaian perjalanan yang 
cukup panjang. 

Sadarkah Anda berapa "halte" yang telah kita singgahi? Tak kurang dari 36 buah 
(renungan)! Perjalanan jauh pasti kadang-kadang membosankan. Namun harapan saya 
adalah, semoga banyak pula berkatnya. Bagaimana pun, kita perlu dingatkan dan 
diperingatkan selalu, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita perbuat. Agar 
hidup kita selamat sentosa. Di dunia ini maupun di akhirat nanti. 

Perintah Allah yang kesepuluh, atau yang terakhir, dalam Dasa Titah, lengkapnya 
berbunyi, "JANGAN MENGINGINI RUMAH SESAMAMU; JANGAN MENGINGINI 
ISTRINYA, ATAU HAMBANYA LAKI-LAKI, ATAU HAMBANYA PEREMPUAN, 



ATAU LEMBUNYA ATAU KELEDAINYA, ATAU APA PUN YANG DIPUNYAI 
SESAMAMU" (Keluaran 20:17). 



Anda perhatikankah betapa berbedanya titah ini dibandingkan dengan titah-titah 
sebelumnya? Titah kesatu sampai Titah kesembilan, semuanya menyangkut tindakan 
manusia ke luar dirinya. 

Umpamanya: menduakan Allah, mendurhakai orangtua, mencelakai sesama. Tapi hukum 
X ini berbeda. Ia berbicara mengenai apa-apa yang sebenarnya masih tersimpan rapat- 
rapat di dalam hati dan benak manusia . Belum sempat keluar dan merugikan siapa-siapa. 
Namanya, sebut saja, DOSA KEINGINAN. 

JADI "keinginan" adalah dosa? Benarkah ini? Saya kira banyak orang akan berkata, kira- 
kira, "Okelah, bila "keinginan" mau disebut "dosa" juga. Tapi jelas sekali, ia pasti jauh 
lebih "enteng" dibandingkan dengan dosa-dosa lainnya". 

Abdu jatuh hati dan mabuk kepayang berat terhadap si cantik Aminah. Sayang sekali, 
wanita molek itu kini telah menjadi istri Ahmad. Akibatnya, hasrat ya sekadar tinggal 
hasrat. 

Namun toh keinginan untuk memiliki Aminah tak mereda. Bukan keinginan yang mulia, 
mungkin. Tapi bandingkanlah itu dengan apabila si Abdu lalu benar-benar tak kuat 
menahan diri, dan kemudian menyelingkuhi Aminah. Mana, hayo, dosa yang lebih 
"berat" di antara keduanya? 

Sebab itu, menyangkut titah kesepuluh, persoalan intinya adalah, "Apa sih salahnya 
menginginkan sesuatu, selama itu "cuma" atau "baru" berbentuk keinginan?". "Masa iya 
sih, kepingin saja kok dilarang? Pokoknya 'kan asal tidak melakukan yang macam- 
macam, bukan?" 

TAPI benarkah "dosa keinginan" memang lebih "enteng", lebih "sepele", dibandingkan 
dengan dosa-dosa lain? Benarkah bila orang mengatakan, toh "baru keinginan" atau 
"cuma keinginan", karena itu masih oke-lah!? Menurut pengamatan dan pengalaman 
saya, ternyata "tidak". 

Mempunyai "keinginan" adalah satu hal. Tidak ada satu pun yang salah di sini. Bahkan 
alangkah malangnya orang yang telah kehilangan semua keinginannya: keinginan hidup, 
selera makan, hasrat seksual, dan seterusnya. 

Namun bila "mempunyai keinginan" adalah satu hal, "mengendalikan keinginan" adalah 
hal yang lain lagi. Padahal, keduanya tak terpisahkan. Mempunyai selera makan itu 
merupakan tanda kehidupan, tapi tak mampu mengendalikannya adalah jalan kematian. 
Memiliki hasrat seksual membuat hidup bergairah, tapi bagi seorang "sex maniac" hidup 
ini tak pernah memuaskan. 



Sulit benarkah mengendalikan keinginan? Sebenarnya sih tak sulit-sulit amat. Tapi mesti 
lewat prosedur. Mengontrol tindakan menjadi relatif mudah, setelah kita berhasil 
melewati proses yang jauh lebih sulit. Yaitu apa? Yaitu proses mengendalikan pikiran, 
menguasai perasaan, serta mengontrol emosi. 

Apabila kita berhasil menyeleksi dan menyaring mana yang pantas kita ingini, dan mana 
yang tidak. Hukum ke-X pada hakikatnya berbicara mengenai itu: apa yang boleh dan 
apa yang tidak boleh kita ingini. 

DALAM kebijaksanaan Jawa, disebutkan tentang tiga hal yang sebaiknya jangan kita 
lakukan. Yang pertama adalah ojo kagetan. Artinya, jangan mudah terkaget-kaget. 
Sebaliknya, berusahalah tenang selalu. Rustig! Sebab keputusan yang bijak hanya dapat 
diambil dengan kepala dingin. Bukan dengan terkaget-kaget. 

Pantangan kedua, adalah ojo gumunan. Artinya, jangan mudah dibuat takjub dan 
terpesona oleh apa pun juga. Jangan gampang kepincut. Periksalah segala sesuatu terlebih 
dahulu secermat-cermatnya, dan pertimbangkan sematang-matangnya! Periksa betul 
emas-loyangnya. Hanya dengan begitu, Anda bisa terhindar dari ranjau-ranjau kehidupan 
yang tersebar di mana-mana. 

Dan "ojo" yang ketiga, adalah: ojo pinginan. Jangan mudah kepingin. Sebab makin 
banyak keinginan, makin besar pula tekanan untuk melakukan kejahatan. Bila Anda tidak 
secuilpun pernah punya keinginan menjadi sekaya Sultan Brunei maka, percayalah, 
potensi Anda untuk korupsi adalah jauh lebih kecil dibandingkan orang yang terobsesi 
untuk harus bisa menjadi sekaya Oom Liem atau malah Bill Gates. 

Bila keinginan di hati saja sudah keji maka, semua yang kita pikirkan adalah pikiran yang 
keji; semua yang kita rasakan adalah perasaan yang kotor; semua yang kita lihat adalah 
pemandangan yang porno; dan semua yang kita dengar adalah rayuan- rayuan "ngeres". 
Keinginan hati membentuk cara pandang. Dan cara pandang tertentu pada gilirannya 
akan melahirkan tindakan tertentu pula. 

Karena itu bunuhlah ular selagi masih telur! Padamkan api begitu ia mulai menyala! 
Tambal segera perahu yang bocor sebelum keburu besar! Bunuhlah keinginan yang kotor, 
sebelum sempat berbuah jadi tindakan! Itulah, saudara, semangat dan hikmah yang paling 
hakiki dari hukum kesepuluh ini. Singkatnya: memiliki keinginan tidak dengan 
sendirinya merupakan kejahatan. Ya! Tapi soalnya: ingin apa? 

ANDA pasti ingat peristiwa tatkala Yesus memberikan briefing kepada murid-murid- 
Nya, bahwa tiba saatnya mereka bersama-sama akan melakukan perjalanan terakhir ke 
Yerusalem. Para murid diberitahu, bahwa di kota tujuan itu telah menunggu suatu 
rangkaian siksa dan aniaya yang panjang. Bahkan maut. Dengan perkataan lain, 
perjalanan kali ini adalah perjalanan menyongsong maut! 

Astagafirulah, lha maut kok malah dihampiri, tidak dihindari?! Alangkah absurdnya! 
Bahwa pada satu saat setiap orang akan mati, oke, itu memang apa boleh buat. Tapi bila 



saat itu tiba, biarlah maut itu yang menyongsong kita, bukan kita yang malah menjemput 
dia. Dan selama perjumpaan itu masih bisa dihindari, ya dihindarilah! Apakah jalan 
pikiran Anda juga begitu? 

Karena itu didasari oleh nalar yang jelas, serta didorong oleh motivasi kasih yang bersih, 
Petrus - mewakili kita semua - berteriak spontan, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal 
itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!" (Matius 16:22). 

Tapi tanpa terduga, Yesus justru bereaksi amat keras — kalau tidak terlampau keras — 
terhadap ungkapan kasih, kepedulian dan solidaritas yang tulus dari murid-Nya itu. Ia 
balas menghardik — saya bayangkan dengan mata menyala - "Enyahlah Iblis! Engkau 
suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan 
Allah melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Matius 16:23) 

Mengapa reaksi yang berlebih-lebihan dan di luar proporsi ini? Pasti bukan karena Yesus 
tak ingin dikasihi. Pasti pula bukan karena Ia sudah begitu rindu mencari mati. 
Kemarahan-Nya bukan Ia tujukan pada Petrus pribadi. Tapi kepada Iblis, yang Yesus 
tahu benar ada di balik semua ini. Iblis dengan taktiknya yang baku: menawarkan racun 
bersalut madu. 

Racun apa? Racun "ingin selamat"! Racun "cari aman"! Racun "mempertahankan hidup, 
apa pun taruhannya" ! Yesus tidak mau kecenderungan yang amat naluriah ini meracuni 
"keinginan"-Nya yang suci. 

Yesus - seperti kita - tentu saja ingin hidup - aman dan nyaman. Namun, keinginan ini 
tidak boleh menjadi keinginan yang nomor satu, apa lagi satu-satunya! Tidak! Keinginan 
apa pun harus ditundukkan di bawah SATU-SATUNYA KEINGINAN yang pasti benar. 
Yaitu keinginan untuk menaati Allah sepenuh-penuhnya. 

Bagi Yesus, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku, dan 
menyelesaikan pekerjaan-Nya" (Yohanes 4:34). Kini Ia tahu benar bahwa Allah sedang 
menuntut ketaatan yang penuh dan mutlak, untuk Ia menapaki jalan derita, memanggul 
salib, sampai mati di Golgota. Tapi di kutub lain, Ia pun tahu, betapa Iblis juga berusaha 
keras menggagalkan missi itu. Caranya adalah dengan memanipulasi keinginan yang 
paling alamiah yang ada pada manusia. Keinginan untuk tetap hidup dan menghindari 
mati.. 

Satu-satunya cara untuk menangkal perangkap Iblis hanya ini: bunuhlah segera keinginan 
- betapa pun wajar kelihatannya - sekiranya kita tahu bahwa itu akan menghalangi kita 
menaati sepenuhnya kehendak-Nya! Tanpa perlu ada diskusi lagi! Tanpa mesti pikir 
panjang-panjang lagi! 

Di sinilah, saudara, perjuangan ketaatan itu berawal. Yaitu, pada menata, menyeleksi, 
menyaring keinginan kita. Supaya yang kita ingini hanyalah keinginan-keinginan suci 
yang menyehatkan dan menyejahterakan. Bukan keinginan-keinginan kotor yang 
memikat, tapi pasti mencelakakan. 



Jadi walau ia diletakkan terakhir dalam Dasa Titah, "mengendalikan keinginan" haruslah 
menjadi yang paling pertama dalam strategi perjuangan iman kita. Nah, Anda ingin apa?* 
220404 



Betapa Serius Dusta, Ternyata 
Oleh Eka Darmaputera 

MENGAPA Hukum Allah ada sepuluh pasalnya? Dengan perkataan lain, mengapa 
"dasa"? Mengapa bukan, misalnya "panca" atau "sapta"? Orang Yahudi punya semacam 
legenda yang cukup populer menjawab pertanyaan ini. 

Mengapa jumlahnya "sepuluh", itu pasti bukanlah karena angka itu angka keramat. Bagi 
orang Yahudi, angka "tujuh" secara simbolis lebih bermakna. Atau "duabelas". 

Kata yang empunya cerita, konon Allah tiba pada angka "sepuluh" itu, setelah proses 
tawar-menawar yang cukup panjang dengan Musa. Semula Yahweh menghendaki angka 
yang jauh lebih tinggi. 

Alasan-Nya, hukum itu 'kan mesti dibuat sejelas mungkin. Agar tidak disalah-tafsiri.. 
Karena itu, mesti dibuat amat rinci. 

Tapi Musa keberatan. Pada satu pihak, ia mengakui, semakin spesifik sebuah perintah, 
semakin jelaslah ia. 

Dan semakin jelas sebuah perintah, orang tidak lagi punya dalih, kecuali mematuhinya. 
Orang, misalnya, tidak bisa mengulur-ulur waktu dengan, misalnya, mengatakan 
"menunggu keputusan kasasi Mahkamah Agung". 

Perintah agar "jangan sering-sering jajan dari gerai cepat saji", tentu lebih jelas 
ketimbang perintah "jangan terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung 
lemak jenuh atau zat-zat kimiawi". 

Sebab yang disebut "terlalu banyak" itu seberapa banyak? Dan yang mengandung "lemak 
jenuh" atau "zat-zat kimiawi" itu apa saja? 

Namun di lain pihak, bila hukum dibuat terlalu rinci, maka sudah pasti daftarnya akan 
amat panjang. Orang akan sulit mengingatnya. Lha kalau untuk mengingatnya saja sudah 
sulit, betapa lagi untuk menjalankannya, bukan? Sebab itu Musa memohon, agar hukum 
Tuhan dibuat seringkas mungkin. "Cukup yang pokok-pokok saja, Tuhan, satu atau dua 
pasal saja kalau bisa". 

ALLAH memahami keberatan tersebut. Hukum yang ringkas memang gampang diingat. 
Tapi bahayanya adalah, bila ia hanya menjadi slogan. Diucap-ucapkan, tapi tidak dijiwai. 



Diingat-ingat, tapi tidak dihayati. Disebut-sebut, tapi tidak ditindaki. Seperti kisah tragis 
"pancasila" kita. 

Karena itu Musa menaikkan tawarannya, dan Allah menurunkan tuntutan-Nya. Sampai 
ketika tiba di angka "sepuluh", Allah berkata, "Stop! Aku sudah tidak bisa membuatnya 
lebih rendah lagi. Take it or leave it". "Sepuluh" dipandang cukup ringkas untuk bisa 
diingat, sekaligus cukup rinci untuk tidak gampang disalah-mengerti. 

Tapi lebih dari itu, yang pasti adalah, apa pun yang termasuk yang "sepuluh" itu, ia pasti 
adalah dosa yang dianggap Allah adalah dosa yang amat serius. 

Pertanyaan kita adalah, mengapa "dusta" sampai bisa menerobos ke "sepuluh besar"? 
Kalau membunuh, mencuri, berzina, menyembah berhala - okelah — kita sedikit banyak 
dapat memahaminya. Tapi "dusta"? Apakah ia tidak terlalu remeh dan kecil? 

Kita mempertanyakannya karena dalam kehidupan nyata, lihatlah, alangkah "biasa"nya 
dan betapa "lumrah"nya dusta itu! Mana mungkin sukses berdagang, berpolitik, bahkan 
menyiarkan agama, tanpa sedikit banyak berdusta? Salah satu dosa yang paling awal 
yang dilakukan oleh setiap orang sejak dini adalah dosa ini. Anak-anak tak perlu belajar 
dari siapa pun untuk mahir berdusta. 

Yang membedakan antara manusia yang satu dan lainnya, bukanlah bahwa yang satu 
berdusta sedang yang lain tidak. 

Setiap orang adalah "pendusta"! Bedanya cuma, yang satu lebih pintar bohongnya 
ketimbang yang lain. Atau, yang satu berusaha melawannya mati-matian, sedang yang 
lain justru memanfaatkannya habis-habisan. 

Namun, apa pun yang kita katakan, dusta yang bagi manusia dianggap "tidak serius- 
serius amat" itu, oleh Allah dipandang sebagai sesuatu yang amat serius. Sekali lagi, 
pertanyaan kita, adalah: mengapa? 

DUSTA, menurut Allah, adalah dosa utama, pertama, karena KEBENARAN adalah 
utama. Sedangkan dusta? Apa lagi, bila bukan "lawan" dari kebenaran! Ia 
menyembunyikan kebenaran, memutar-balikkan kebenaran, memalsukan kebenaran. 

Menyajikan ketidak-benaran sedemikian rupa seolah-olah itulah kebenaran. 

Padahal kebenaran itu "apa"? Atau lebih tepat, "siapa"? Tidak lain adalah Allah sendiri! 
"Akulah jalan, kebenaran, dan kehidupan", begitu bukan kata Yesus (Yohanes 14:6)? 
Sebab itu, tak ada pilihan lain, kecuali, "Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan 
laksanakanlah hukum yang benar . Janganlah merancang kejahatan dalam hatimu seorang 
terhadap yang lain, dan janganlah mencintai sumpah palsu. 



Sebab semuanya itu Kubenci, demikianlah firman Tuhan" (Zakharia 8:16) "Cintailah 
kebenaran dan damai!" (Zakharia 8:18). Jadi bagaimana sesuatu yang melawan Allah dan 
melawan Kristus bukan sesuatu yang serius? 

Anda ingat tatkala masyarakat Amerika Serikat dilanda heboh perselingkuhan antara Bill 
Clinton dan Monica Lewinsky. 

Kehebohan itu, konon, bukan terutama karena tindak perselingkuhan itu sendiri. 
Tindakan itu, walau tidak terpuji, namun bagi masyarakat Amerika, itu lebih banyak 
adalah urusan Hillary -- urusan pribadi. 

Yang tidak mungkin mereka tolerir adalah — dan inilah yang hampir-hampir 
menjungkalkan sang presiden dari kekuasaan --, adalah bila ia - sebagai pejabat - telah 
melakukan kebohongan publik. 

Membohongi rakyat. Sebab di sinilah terletak legitimitas seorang pejabat publik: pada 
kredibilitasnya. Bahwa ia dapat dipercaya! 

Ini berbeda sekali dibandingkan yang di negeri kita, bukan? Hampir setiap saat, kita tahu, 
pemimpin-pemimpin kita berbohong. Namun demikian, mereka tetap aman-aman saja di 
takhta mereka, kalau tidak malah semakin aman. Di negeri kita, "legalitas" lebih 
menentukan ketimbang "legitimitas". 

KEDUA, dusta adalah dosa utama, karena KATA-KATA adalah utama. Dengan 
perantaraan kata-kata — Firman Allah — segala sesuatu dari "tiada" menjadi "ada" - ex 
nihilo! (Kejadian 1). Kemudian, dengan bersenjatakan kata-kata, Iblis menyeret segenap 
ciptaan ke pusaran kebinasaan kekal; "ditaklukkan kepada kesia-siaan" (Roma 8:20). 

Namun, dengan perantaraan kata-kata juga, Allah - melalui utusan-utusan-Nya - dengan 
tanpa henti-hentinya memanggil manusia untuk kembali, seraya mengaruniakan Firman- 
Nya sebagai "pedang Roh", untuk melawan Iblis dengan segala tipu dayanya (Efesus 
6:16). 

Dan puncaknya adalah, bahwa melalui SANG KATA-LOGOS-Allah menyelamatkan 
segenap umat manusia, bahkan seluruh ciptaan, dari kebinasaan yang kekal untuk 
dibimbing kepada kehidupan yang kekal (Yohanes 1). 

Bila kata-kata begitu vital dalam seluruh karya Allah, bagaimana mungkin kita 
mengatakan bahwa dusta yang melecehkan kata-kata, tidak layak disebut sebagai dosa 
utama? 

ALASAN ketiga mengapa Allah menggolongkan dusta sebagai salah satu dari sepuluh 
dosa utama adalah, karena SESAMA MANUSIA kita itu utama. 

Sebab itu, titah-Nya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu". 



"Sesama" adalah utama, karena sejak awal penciptaan Allah melihat, "Tidak baik kalau 
manusia itu seorang diri saja" (Kejadian 2:18). Untuk sekadar hidup atau sekadar eksis, 
sih, mungkin orang bisa hidup sendiri. 

Ingat kisah Robinson Crusoe? Tapi "tidak baik". "Tidak baik" artinya: tidak lengkap; 
tidak utuh; kualitasnya kurang sempurna. 

Menghadapi kenyataan ini, Allah tahu persis apa yang dibutuhkan manusia. "Aku akan 
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:18). Itulah 
bagaimana seharusnya paradigma hubungan antara manusia dengan sesamanya! Masing- 
masing menjadi "penolong yang sepadan" bagi yang lain. 

Saling menjadi "penolong" artinya, saling mengisi dan saling menghidupi. Saling 
menerima dan saling memberi. Bukan justru saling meng-eksploitasi atau men- 
subordinasi. Yang ideal adalah kooperasi. Saling menerima dan saling memberi 
pertolongan. 

Sedang predikat "sepadan", artinya adalah sembabat, sederajat, setara. Memang berbeda, 
sebab bila cuma sama, bagaimana bisa saling menolong? Namun begitu, perbedaan ini 
bukan perbedaan tinggi rendah. 

Yang mengulurkan tangan tidak boleh merasa "super", sedang yang menadahkan tangan 
tidak perlu merasa "minder". Karena pada satu saat, yang sekarang menolong boleh jadi 
justru perlu ditolong. 

SEBAB itu dalam hubungan antar manusia berlaku prinsip "saling menghargai". Ojo 
dumeh. Jangan mentang-mentang. Dan bila itu adalah paradigma yang seharusnya, maka 
"bersaksi dusta tentang sesama" adalah anti-tesisnya. 

Sebab yang terjadi di sini bukanlah saling menolong, tapi saling memotong. Bukan saling 
memberdayakan, tapi saling memperdayakan. Di mana yang pintar mengeksploitasi 
kebodohan sesamanya Yang kuat menindas yang lemah. Dan lengkaplah penderitaan 
manusia! 

Itulah konsekuensinya, ketika "dusta" dibiarkan. Ketika kebenaran dipalsukan. Ketika 
kata-kata dibuat tak berharga. Ketika sesama menjadi "subyek" yang menindas atau 
"obyek" yang diperas. Mengingat semua ini, masihkah Anda bertanya: mengapa dusta 
bisa masuk ke "sepuluh besar"? *** 150404 

Dusta Hitam, Dusta Putih 
Oleh Eka Darmaputera 

Banyak orang berpendapat, bahwa "dusta" itu - seperti halnya sate atau soto - ada banyak 
jenisnya, meski satu saja esensinya. Esensi atau intinya, saya yakin, kita semua pasti tahu. 



Berdusta adalah mengutarakan sesuatu, yang diketahui tidak sesuai dengan kenyataan 
yang sebenarnya. 

Apa misalnya? Misalnya sudah jelas-jelas alkitab mengatakan, bahwa tak seorang pun 
mengetahui dengan pasti kapan persisnya Yesus akan datang kembali. Ini, semua pendeta 
yang tidak buta huruf, dan pernah membaca alkitab, pasti tahu. Eee, lha kok ya bisa- 
bisanya ada pendeta yang mengatakan, konon melulu berdasarkan "bisikan", bahwa Ia 
akan datang pada tanggal 10 November 2003. 

Lalu ketika terbukti bahwa ramalan tersebut meleset, astaga, masih tidak malu-malunya 
si pendeta itu ngeyel lagi. Mengatakan bahwa, karena satu dan lain hal, kedatangan-Nya 
ditunda sampai 10 November 2007. Tragis! Namun demikian, toh ada yang lebih 
menyedihkan. Yaitu, bahwa banyak orang mempercayainya. Rela di "dusta" i - untuk 
kesekian kali; berkali-kali. 

TAPI "dusta", memang benar, ada bermacam-macam bentuknya. Bisa dilakukan dengan 
cara mengatakan hal yang tidak benar. Sebaliknya bisa terjadi dalam bentuk bungkam 
seribu bahasa, sengaja tak mau mengungkapkan kebenaran. Tapi dapat pula dengan 
menyampaikan hanya "setengah" kebenaran. 

Berbeda-beda. Walaupun dalam satu hal ini, semuanya sama. Yaitu bahwa setiap "dusta" 
selalu dilakukan dengan sadar dan sengaja. 

Ada cerita tentang seorang yang baru saja tiba dari Amerika, yang berkunjung ke 
Minahasa. Kepada orang yang menemaninya dalam perjalanan itu, ia berpesan wanti- 
wanti agar diberitahu, bila dalam jamuan makan disajikan erwe atau daging anjing. Dan 
agar lebih yakin, permintaan ini ia ulang-ulangi setiap kali sebelum mengambil makanan. 

Sampai suatu ketika ia melihat makanan yang "aneh" tapi menarik. "Ini bukan erwe, 
'kan?," ia bertanya. "O, bukan," jawab yang ditanya. Lalu ia mencicipinya. Mula-mula 
sedikit, tapi karena terasa enak, ia mengambil lagi lebih banyak. 

Dalam perjalanan pulang, ia bertanya, "Daging tadi rasanya enak betul. Daging apa itu?". 
"Itu daging paniki," jawab si teman. "Apa itu paniki?" "Kalong," jawab si teman. 

Si tamu Amerika itu terbelalak. "Kalong? Daging kalong?", suaranya setengah tercekik, 
"Mengapa Anda tidak memberitahu saya?" "Lho, yang Anda tanya 'kan apakah itu daging 
anjing. Anda tak pernah bicara soal kalong" 

Berdustakah si pemandu? Jawab saya adalah "ya", sekalipun ia tidak menga- takan yang 
tidak benar. Ia berdusta, karena secara sadar dan sengaja ia tidak mengatakan, apa yang ia 
tahu harus ia katakan. Ia berdusta karena dengan itu ia mengelabui temannya. Membuat 
temannya melakukan sesuatu, yang - sekiranya diberitahu -tak akan pernah mungkin ia 
lakukan. Ia berdusta bukan karena mengatakan ketidak-benaran, tetapi karena sengaja 
tidak mengatakan seluruh kebenaran. 



KATA "iblis" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani, "diabolos". Dan makna asli 
dari "diabolos", adalah "pemfitnah". "Tukang fitnah" atau "juru fitnah"! Itulah memang 
keahlian, kekhasan, dan senjata Iblis yang paling menonjol, dan yang paling banyak 
menimbulkan korban. 

Apa "fitnah" itu, kita tahu. "Fitnah" adalah "dusta" dalam kadar yang paling tinggi. Kalau 
diibaratkan emas, ia emas murni. 24 karat. Kalau teknologi, ia "top"nya. Mengapa? 
Karena dalam "fitnah" semua unsur kejahatan dari "dusta" lengkap terwakili. 

Di situ ada unsur kesengajaan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Di situ ada maksud 
dan tujuan yang destruktif; niat untuk menghancurkan. Dan di situ ada bentuk penipuan 
yang sedemikian pintarnya, membuat korban sama sekali tidak menyadari bahwa 
sebenarnyalah ia sedang didustai atau diperdayai. 

Anda ingat bagaimana ibu Hawa - mewakili segenap keturunan manusia - ketika terjerat 
ke dalam perangkap Iblis? Ini terjadi sama sekali bukan karena ia kurang pengetahuan 
tentang apa yang dikehendaki Allah. Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ibu kita 
ini hafal di luar kepala. 

Kejatuhannya juga tidak disebabkan karena ia berhati jahat atau kurang gigih dalam 
berusaha untuk taat. Sama sekali tidak! Mengenai ini, o, lebih dari kebanyakan kita, ia 
telah berusaha sekuat tenaga untuk melawan bujukan Iblis. 

Tapi mengapa akhirnya Hawa toh jatuh juga? Pertanyaan yang tepat! Jawabnya adalah, 
karena ia termakan oleh fitnah Iblis. "Sekali-kali kamu tidak akan mati. Tetapi Allah 
mengatahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu 
akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat" (Kejadian 3:4-5). 

Iblis, seperti biasa, tidak sepenuhnya memutar-balikkan kenyataan. Yang ia lakukan 
adalah memutar-balikkan cara pandang orang. Tapi justru inilah, bentuk "fitnah" dengan 
kualitas nomor satu! Yaitu ketika Iblis, melalui manuvernya itu, dengan cerdiknya 
memutar-balikkan cara pandang manusia terhadap Allah. 

Semula dengan tanpa protes, manusia menaati larangan Allah, sebab yakin bahwa setiap 
kehendak Allah pasti benar dan baik. Kini, oleh Iblis, sudut pandang ini mulai digoyang. 
Citra Allah sebagai bapa yang "maha baik" mulai digugat. Sebuah sudut pandang baru 
mulai disuntikkan pelan-pelan ke pembuluh darah. 

Yaitu gambaran Allah sebagai yang semena-mena mau memonopoli kekuasaan; Allah 
yang tidak mau disamai, sebab ingin terus memperlakukan manusia sebagai obyek 
semata. 

Toh bagi Iblis, ini hanya "sasaran antara" belaka. Tujuan yang lebih jauh adalah, begitu 
kebaikan Allah diragukan, maka roh pemberontakan pun mulai membara. Allah akan 
dipandang sebagai penindas, sedang Iblis justru dirangkul sebagai pembebas. 



Demikianlah sebuah contoh lagi, betapa dosa "dusta" tidak hanya terjadi ketika orang 
mengatakan sesuatu yang tidak benar. "Dusta" terjadi, setiap kali maksud jahat disajikan, 
walau dalam bungkus kain sutera "setengah kebenaran" sekalipun. 

"DUSTA" adalah salah satu contoh, di mana "dosa" tidak terletak pada tindakan itu 
sendiri an sich, melainkan lebih banyak ditentukan oleh "motivasi" dan "akibat" dari 
tindakan yang bersangkutan. Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang 
sebenarnya, tidak serta merta membuat sebuah tindakan pantas disebut sebagai "dosa 
dusta". 

Bayangkan, misalnya, di suatu siang Anda bertamu ke kantor seseorang untuk menjajaki 
kemungkinan kerjasama usaha. Anda disambut dengan ramah-tamah, tapi tetap formal. 
Maklum, baru kenal. "Anda berkenan minum panas atau dingin? Atau barangkali makan 
siang?" Perut Anda sebenarnya menyambut dengan gembira tawaran ini. 

Tapi saya yakin, sesuai dengan tata krama, Anda tahu bahwa jawaban yang paling 
bijaksana adalah, kira-kira, "O terima kasih banyak! Tapi saya ingin menghormati waktu 
Anda yang sangat terbatas dan amat berharga. Lagi pula perut saya belum lapar benar. 
Karena itu, mungkin air putih dingin sudah cukup untuk saya". Nah, berdustakah Anda? 

Atau ini. Anda secara khusus dipanggil oleh dokter yang memeriksa nenek Anda. Dokter 
itu menjelaskan bahwa di samping penyakit jantung kronis, nenek Anda ternyata juga 
mengidap kanker ganas dalam stadium yang cukup lanjut. Dan ia sudah terlalu tua untuk 
menjalani operasi atau pun kemoterapi. 

Apa jawab Anda ketika nenek Anda bertanya, "Apa kata dokter? Apa saya akan 
sembuh?" Apakah Anda - agar tidak dinyatakan berdusta - akan mengatakan, "Kata 
dokter, nenek masih punya peluang hidup 2-3 bulan lagi. Karena itu, nenek ingin makan 
apa, mumpung masih bisa makan"? 

Atau, demi maksud baik, Anda berpikir lebih bijaksanalah bila Anda menjawab, kira- 
kira, "Kata dokter, dalam dua atau tiga hari ini, nenek sudah diperbolehkan pulang. 
Dokter sedang berusaha untuk mencari obat yang tepat untuk nenek. 

Jadi sementara ini, nenek nikmati sajalah apa yang ingin nenek nikmati. Terutama, 
mendekatlah kepada Tuhan". Artinya, dengan sengaja Anda tidak mengatakan seluruh 
kebenaran. 

KARENA kasus-kasus sejenis itulah, orang lalu membedakan antara "dusta hitam" dan 
"dusta putih". Saya sendiri lebih suka memakai istilah "berbohong" dan "menipu". 
Kedua-duanya sama-sama "berdusta". Tetapi yang satu dilakukan demi kebaikan, sedang 
yang lain dirancang untuk kejahatan. 

Tapi benarkah pembedaan itu? Saya persilakan Anda yang menjawabnya. Saya hanya 
ingin mengatakan, bahwa sejak manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia tak dapat 
lagi "telanjang" di hadapan yang lain. 



Manusia tak dapat lagi terbuka sepenuhnya di hadapan yang lain. Selalu saja ada 
ketelanj angan yang perlu ditutupi. 

Karena itu, terlepas dari soal benar-salahnya, "dusta" lebih merupakan sesuatu yang tak 
terhindarkan. Sebab itu, yang kemudian lebih menentukan adalah "motivasi" dan 
"konsekuensinya"; bukan "boleh- tidak"nya. 

Namun demikian toh perlu saya tekankan, bahwa secara umum kejujuran tetap 
merupakan kebijakan yang terbaik. Honesty is still the best policy. Bahwa kemudian, 
setelah diupayakan sepenuh tenaga, situasi menuntut yang lain, ini adalah soal lain. *** 
090404 



Vitalnya Kata, Fatalnya Dusta 
Oleh Eka Darmaputera 

Setelah Titah ke- VIII, "JANGAN MENCURI", sekarang tiba giliran membahas Titah ke- 
IX - the last one - "JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG 
SESAMAMU". Titah ini dapat kita baca dari Keluaran 20:16 dan Ulangan 5:20. 

Dalam terjemahan bahasa Indonesia, bunyi kalimat dalam dua kitab tersebut persis sama. 
Tapi tidak begitu dalam naskah aslinya. Dalam naskah bahasa Ibrani, kata yang dipakai 
untuk "saksi dusta" pada versi Keluaran, mengandung pengertian "mengucapkan 
kebohongan", "ketidak-benaran". Sedang pada versi Ulangan, "berbicara secara tidak- 
serius"; "membual"; "sembrono". 

Memang bukan perbedaan yang esensial. Malah sebaliknya, keduanya saling melengkapi. 
Yang versi Keluaran menekankan "hakikat"nya. Yaitu bahwa mengucapkan "kesaksian 
dusta", tidak kurang adalah mengucapkan kebohongan; menyebarluaskan ketidakbenaran. 
Sedang yang versi Ulangan berbicara mengenai "roh"nya. Yaitu bahwa di balik 
"kesaksian palsu", adalah "ketidak-sungguhan". Ketidak-sungguhan orang dalam 
menyaring tindakannya sendiri, maupun dalam memperhitungkan akibatnya terhadap 
orang lain. Sembrono. 

JELAS sekali, betapa Hukum ke- VIII ini mengambil "dunia pengadilan" sebagai latar 
belakang. Sebab itu dengan segera kita dapat membayangkan "suasana"nya. Di situ, 
berkumpullah orang-orang yang dalam segala hal mungkin saling berbeda. Namun 
demikian, mereka diikat oleh tujuan yang sama. Yaitu, "mencari kebenaran" dan 
"mengupayakan keadilan". 

Di situ ada seorang, atau lebih, anak manusia yang "nasib" dan "hidup"nya sedang 
ditentukan. Bila yang bersangkutan adalah terdakwa, dan terbukti bersalah, apakah ia 
akan mendapat hukuman yang setimpal, tapi adil? Dan bila sebaliknya, ia adalah korban 
yang sedang mencari keadilan, apakah ia akan memperoleh kompensasi yang memadai 
atas kerugian yang dideritanya? 



Pendek kata, agar kejahatan tidak dibiarkan bebas tanpa hukuman, namun demikian baik 
pelaku maupun korban tetap dihormati hak-hak serta martabat mereka. Dan yang 
terpenting, pengadilan tidak "menumpahkan darah orang yang tak bersalah". 

Demikianlah, suasana batin atau "mood" yang melatar-belakangi "Titah ke -IX" ini, 
adalah suasana yang "kritis" dan "serius". "Kritis" dan "serius", sebab ada "nasib", 
"hidup" dan "masa depan" orang yang sedang dipertaruhkan. Bukan main-main. 

Dalam rangka mencari kebenaran, serta untuk tiba pada keputusan yang seadil-adilnya, 
maka bukan saja peran hakim atau jaksa atau pembela yang sangat menentukan. Yang tak 
kurang vitalnya, adalah peranan para "saksi". Keterangan para saksi ini dapat 
meringankan, tapi dapat pula memberatkan. Bisa memberikan kejelasan, tapi bisa pula 
menambah kekaburan. Sebab itu para saksi pun harus bersungguh-sungguh dalam 
melaksanakan fungsinya. Tidak boleh "main-main". 

Untuk itu, sebelum memberi kesaksiannya, para saksi harus disumpah. Bahwa dalam 
kesaksian mereka, mereka berjanji hanya akan mengatakan kebenaran — tanpa dipelintir- 
pelintir. Bahwa mereka akan menyatakan seluruh kebenaran — tanpa ada yang sengaja 
disembunyikan. Dan bahwa mereka tidak akan mengungkapkan apapun yang lain, 
kecuali kebenaran — bukan opini, bukan interpretasi, bukan a priori. 

MENGINGAT begitu seriusnya peran para saksi ini, dapatlah kita mengerti, mengapa 
"kesaksian palsu" atau "kesaksian dusta" ditanggapi begitu seriusnya dalam Dasa Titah, 
bahkan dalam seluruh alkitab. Kita disadarkan ulang, bahwa "kesaksian dusta" - bila 
dibiarkan — akan merupakan "horror" dan "bencana" bagi seluruh proses mencari 
keadilan. Sebuah mimpi buruk bagi keberadaban — karena itu juga bagi keberadaan — 
sebuah bangsa. 

Itulah yang pertama-tama ingin saya ingatkan mengenai Titah ke-IX ini. Bahwa ada 
suasana batin yang amat serius yang melatar-belakangi hukum tersebut. Bahwa berkata 
benar adalah sesuatu yang serius. Dan bahwa berkata dusta adalah dosa yang serius pula. 

Seluruh alkitab membenarkan apa yang saya katakan. Bagi pemazmur, salah satu 
pengalaman yang paling pahit dalam hidupnya, adalah ketika mesti menghadapi 
kesaksian dusta lawan-lawannya. Ia sampai berteriak, "Telah bangkit menyerang aku 
saksi-saksi dusta dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman!" (Mazmur 27:12) 

Kemudian, menurut sang Bijak dari kitab Amsal, ada enam perkara yang dibenci dan 
dianggap keji oleh Tuhan - bahkan tujuh. Yaitu, "mata sombong, lidah dusta, tangan yang 
menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana 
jahat, kaki yang lari menuju kejahatan, dan . saksi dusta yang menyembur-nyemburkan 
kebohongan, dan yang menimbulkan pertengkaran" (6:16-19). 



Sebaliknya, "saksi yang setia menyelamatkan hidup" (Amsal 14:25). Karena itu, "saksi 
dusta tidak akan luput dari hukuman, (dan) orang yang menyembur-nyemburkan 
kebohongan akan binasa" (Amsal 19:9; 21:28) 

Perjanjian Baru menjelaskan, bahwa "sumpah palsu" adalah "bayi" yang dilahirkan oleh 
hati yang jahat" (Matius 15:19). Ia merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap skenario 
peradilan yang tidak adil. Ini nyata, baik dalam pengadilan Stefanus (Kisah Para Rasul 
6:13) maupun dalam pengadilan Yesus sendiri (Matius 26:59-60). 

YANG tak kurang menariknya dalam hubungan ini, adalah sikap alkitab terhadap mereka 
yang menolak memberi kesaksian. Bila yang bersangkutan memiliki bahan-bahan 
kesaksian yang penting, tapi tidak bersedia mengungkapkannya, maka ia akan dipandang 
dan diperlakukan sama seperti si pelaku kejahatan itu sendiri. 

"Apabila seseorang berbuat dosa, yakni jika ia mendengar seorang mengutuki, dan ia 
dapat naik saksi karena ia melihat atau mengetahuinya, tetapi ia tidak mau memberi 
keterangan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri" (Imamat 5:1) 

Jadi, ada dosa yang disebabkan karena orang berbicara, namun ada pula dosa yang 
disebabkan karena orang TIDAK berbicara. Dosa karena berdiam diri. The sin of silence. 

Ada banyak sebab, mengapa orang memilih untuk diam. Ada yang tidak mau berbicara, 
karena takut. Mengenai "diam" dari jenis ini, saya harap Anda tidak terlalu gegabah 
menghakimi secara "gebyah uyah". 

Ada orang yang diam, karena yang bersangkutan memang penakut atau pengecut. Sikap 
yang tidak terlalu membanggakan hati. Namun demikian, harus kita akui, bahwa kadang- 
kadang itu bukan kesalahan mereka sepenuhnya. Tidak jarang ada ada keadaan yang 
sedemikian rupa menindas dan mencekamnya, sehingga "takut" adalah sesuatu yang 
manusiawi. 

Malah bisa terjadi, dalam situasi-situasi ekstrem tertentu, sikap "diam" justru adalah sikap 
yang terpuji. Di zaman Orde Baru, misalnya, ada orang-orang yang layak kita puji karena 
mereka memilih untuk diam, ketimbang berteriak-teriak mendukung ini atau mendukung 
itu, menunjukkan oportunisme mereka. Dalam hal-hal tertentu, sungguh, "diam" adalah 
bentuk perlawanan terhadap keangkara-murkaan. 

"Diam" yang tercela, menurut penilaian saya, adalah "diam" yang lahir dan didorong oleh 
ketidak-pedulian, apatisme, egoisme, "cari aman", "cari selamat". Jenis "diam" yang 
seperti inilah, yang menyuburkan kejahatan dan kesewenang-wenangan. Sebab dengan 
diam, kejahatan dibiarkan tumbuh dengan bebas, tanpa gangguan ataupun perlawanan. 
Dan "membiarkan kejahatan" jenis inilah, yang layak disamakan dengan "melakukan 
kejahatan" itu sendiri. "Bersaksi dusta" paling sering terjadi dalam bentuk "tidak berkata 
apa-apa". 



BUKAN hanya bagi konteks dunia pengadilan saja, hukum ke IX ini relevan. Hukum ini 
juga amat relevan bagi seluruh kehidupan. Sebab bukankah seharusnya seluruh proses 
kehidupan kita, adalah juga merupakan proses memperjuangkan kebenaran dan upaya 
mewujudkan keadilan? Bukankah dalam kehidupan ini, semua orang setiap saat sedang 
ditentukan "nasib"nya: apakah ia akan mendapat hukuman yang setimpal atas 
kesalahannya, dan memperoleh perlindungan bila dikambing-hitamkan secara semena- 
mena? 

Bukankah dalam hidup ini, setiap kali kita berinteraksi dengan orang lain, tidak jarang 
kita harus berfungsi sebagai hakim, jaksa, terdakwa, tapi yang senantiasa harus adalah 
berfungsi sebagai saksi? Bahwa, seperti kata Yesus di hadapan Pilatus, "untuk itulah aku 
lahir dan untuk itulah aku datang ke dalam dunia ini, SUPAYA AKU MEMBERI 
KESASKSIAN TENTANG KEBENARAN" (Yohanes 18:37) - begitu pula tugas dan 
misi kita. 

Kalau pun di dalam kenyataan, ternyata kita tidak mampu mewujudkan kebenaran 
dengan mengalahkan kepalsuan serta kejahatan, Allah akan maklum. Tapi paling sedikit, 
jangan jadikan diri kita sebagai bagian dari kepalsuan serta kejahatan itu sendiri. Dalam 
hal ini, bentuk titah yang negatif , "JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA 
TENTANG SESAMAMU" menjadi lebih realistis. Walaupun tetap saja pelik. Pelik 
untuk hidup jujur, tapi tidak hancur. Pelik untuk bertindak cerdik, tanpa menjadi licik. 
Pelik untuk berhati lugu, tapi tidak berotak dungu. *** 030404 

Halal-haramnya Memungut Riba 
Oleh Eka Darmaputera 

Ketika saya mempersiapkan naskah renungan ini, kontroversi sekitar pernyataan 
pendekar kita dari Malaysia, Dr. Mahathir Mohammad, baru saja mereda. Toh saya yakin 
persoalannya sendiri cuma diam untuk sementara. 

Pada suatu ketika, menunggu pemicu yang lain, isu yang sama pasti akan mencuat lagi ke 
permukaan. Bersama segala macam emosi yang menyertainya. 

Adapun isu yang diperdebatkan, adalah soal "dominasi Yahudi" di hampir semua bidang 
kehidupan yang, menurut Mahathir Mohammad, pengaruhnya terasa secara global. 
Sebenarnya, secara faktual, kenyataan tentang dominasi Yahudi ini, siapa yang dapat 
membantahnya? 

Baik di bidang politik internasional yang memengaruhi konstelasi hubungan antarbangsa; 
di bidang pers yang membentuk opini dan prasangka dunia; maupun di bidang ekonomi 
yang mengatur penataan dan pemerataan kekayaan dunia. 

MENGENAI kisah sukses serta dominasi Yahudi di bidang ekonomi, khususnya di sektor 
keuangan, konon, kuncinya adalah pada soal halal-haramnya orang "memungut riba". 



Agama Kristen, untuk waktu yang lama, dengan tegas menolak praktik riba. Agama 
Islam pun sama. 

Di antara tiga "agama abrahamik" itu, hanya agama Yahudi yang berbeda. Yudaisme tak 
pernah secara mutlak mengharamkan riba. Memungut riba, menurut mereka, boleh-boleh 
saja. Asal tidak dikenakan pada "saudara" sendiri. Tapi kalau memungut riba dari "orang- 
orang non-yahudi", dari para "goyim" - ini oke-oke saja. 

Akibatnya mudah sekali ditebak. Dunia perbankan yang hidup-matinya tergantung pada 
"selisih riba" segera dikuasai orang-orang Yahudi tanpa saingan. Setelah posisi mereka 
mantap tak tergoyahkan, barulah-dengan malu-malu dan setengah hati-kekristenan mulai 
menolerirnya. Dimulai oleh Calvin, dengan pembatasan-pembatasan yang amat ketatnya. 

Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, persoalan riba juga kian 
mengemuka. Maka bermunculanlah "bank-bank syari'ah", yang secara prinsipal menolak 
riba. Mengingat kenyataan ini, kita tidak dapat mengakhiri pembahasan Titah ke-8, 
JANGAN MENCURI, tanpa menyinggung masalah ini. 

Halalkah riba? Atau haram? Apakah memungut riba termasuk tindakan "mencuri", yaitu 
mengambil secara "paksa" dari orang lain, apa yang sebenarnya bukan hak kita? 
Bagaimanakah, dalam terang ajaran Kristen, kita menanggapinya? 

DALAM Perjanjian Lama disebutkan secara eksplisit larangan memungut riba, paling 
sedikit di antara sesama orang Yahudi. Misalnya, "Jika engkau meminjamkan uang 
kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, janganlah engkau 
berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga 
uang kepadanya" (Keluaran 22:25). 

Larangan ini diulangi dalam Imamat 25:35-37, "Apabila saudaramu jatuh miskin, 
sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia sebagai 
orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau 
mengambil bunga uang atau riba dari padanya . juga makananmu janganlah kau berikan 
dengan meminta riba" . 

Dan sekali lagi dalam Ulangan 23:19-20. "Janganlah engkau membungakan kepada 
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan. Dari 
orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau 
memungut bunga ." 

VERSI Kitab Ulangan inilah yang kemungkinan besar ditafsirkan secara sempit. Bahwa 
seolah-olah Allah sendirilah yang membenarkan diskriminasi, eksklusivisme, dan 
chauvinisme. Bahwa seolah-olah Yahweh sendirilah yang menetapkan "moralitas ganda": 
beriba hati terhadap kelompok sendiri, bertega hati terhadap kelompok lain. 



Padahal, so pasti tidak! Memahami roh dan semangat yang mendasari seluruh kesaksian 
alkitab, tahulah kita betapa mustahilnya Allah bisa sampai membenarkan — apalagi 
menganjurkan — perbuatan-perbuatan tak terpuji seperti itu. Imposibel! 

Pertanyaannya adalah, kalau "standar ganda" tidak mungkin, apakah itu berarti "riba" 
secara mutlak dilarang — dalam kodisi apa pun dan kepada siapa pun? Tidak juga! Ketika 
kita menghadapi keragu-raguan untuk memahami dengan benar ayat-ayat Alkitab yang 
"multi-interpretatif ' seperti dalam kasus kita, maka cara yang paling aman adalah, dengan 
memahami ayat-ayat tersebut dalam kerangka dan konteks yang lebih luas. 

Jangan dipenggal-penggal, seolah-olah setiap ayat berdiri sendiri-sendiri! Juga jangan, 
bila berjumpa dengan ayat-ayat yang sepintas lalu saling bertentangan, lalu kita hanya 
memilih ayat yang "cocok" dengan logika dan selera kita, seraya "membuang" yang lain. 
Sebab tidak jarang, Firman Tuhan justru merupakan kritik terhadap asumsi dan cara 
berpikir kita! 

MENURUT keyakinan saya, cara pemahaman yang tidak mungkin salah ialah, 
meletakkan kontroversi sekitar halal-haramnya "memungut riba", di bawah terang prinsip 
alkitabiah yang lebih tinggi dan lebih menyeluruh. Prinsip ini, apa lagi kalau bukan 
KASIH. (Ulangan 6:1-9). Tidak mungkin ada ayat Alkitab yang isinya berlawanan 
dengan "prinsip kasih". 

Nah, bila soal "memungut riba" kita soroti dalam terang "prinsip kasih", apa yang kita 
dapati? Paling sedikit adalah pantang dan tabu, menarik keuntungan dari kemalangan 
orang lain! Baik sekelompok dengan kita, maupun tidak. 

Saya akui, prinsip ini bertentangan dengan salah satu prinsip pilar dalam ekonomi, yaitu 
"hukum permintaan dan penawaran". Menurut hukum besi ekonomi ini, kesempatan 
untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya, justru datang ketika permintaan (baca: 
kebutuhan) juga sedang tinggi-tingginya. 

Semakin seseorang terjerembab di jurang musibah, semakin potensial-lah ia untuk 
menjadi mangsa manusia-manusia "pemakan bangkai". Hukum inilah yang dengan amat 
konsekuen diterapkan oleh para "binatang ekonomi". 

Jadi soalnya bukanlah soal memungut riba "ya" atau "tidak". Memungut bunga dari 
seseorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya adalah sesuatu yang 
adil dan wajar. Pihak yang meminjamkan modal, sehingga orang lain dapat menikmati 
keuntungan yang lebih besar, tentu berhak memperoleh imbalan dari "jasa"nya. Ini amat 
kristiani, bukan? 

NAMUN semua itu tentu saja harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Artinya, 
tingkat bunga yang ditetapkan tidak terlalu rendah sehingga merugikan si pemodal, 
namun juga jangan terlampau tinggi sehingga si peminjam tidak mungkin 
mengembangkan usahanya. 



Bila interaksi antara si pemodal dan si peminjam dilaksanakan de-ngan "prinsip kasih", 
yang terjadi adalah "saling menolong". Yang kekurangan modal tertolong karena ada 
yang meminjamkan modal, sedang yang meminjamkan modal pun tertolong karena 
uangnya menjadi "produktif. 

Sebaliknya bila transaksi hanya didorong oleh keinginan menarik keuntungan sebesar- 
besarnya dari pihak lain, yang akan terjadi adalah "saling memangsa". Ini tidak mustahil 
akan berakhir dengan kehancuran kedua belah pihak. Yang satu usahanya hancur tak 
dapat berkembang, yang lain tidak memperoleh uangnya kembali. 

Dan itulah jawaban saya kepada mereka yang sinis dan skeptis terhadap penerapan 
"prinsip kasih" dalam bisnis. Seolah-olah bisnis itu hanya terbuka bagi yang telah 
kehilangan hati nurani. Tidak! 

Menerapkan "prinsip kasih" ternyata mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Lebih 
"business-like" ! Saling menguntungkan itu 'kan lebih "business-like" ketimbang "saling 
membantai", bukan? 

Prinsip dasarnya adalah semua pihak berhak memperoleh keuntungan yang wajar dari 
yang ia miliki dan ia usahakan. Apakah "keuntungan" itu Anda sebut "bunga" atau 
"dividen" atau "bagi hasil", tidak terlalu penting bagi saya. 

Bukan istilahnya yang paling penting, tapi semangat dan motivasi yang mendasari serta 
melatar-belakanginya. Apakah itu adalah prinsip "kasih" yang saling tergantung dan 
saling menolong? Atau nafsu mengeksploitasi" yang mau mengambil sebanyak- 
banyaknya, dan bila mungkin tidak perlu memberi apa-apa? 

PERTANYAAN yang tersisa, saya tahu, adalah: "dalam batas-batas kewajaran" itu 
kongkretnya dan persisnya apa atau berapa? Saya tidak akan menjawab pertranyaan ini 
panjang lebar, sebab saya yakin kita sebenarnya sama-sama tahu, bahwa pertanyaan 
tersebut tak ada jawabnya. Tidak ada mesin atau rumus yang secara mutlak dan eksak 
menentukannya. 

Menurut keyakinan saya, biarlah "kondisi pasar" di satu pihak dan "suara hati nurani" 
yang bersangkutan di lain pihak, yang menggumuli dan menentukannya. Tapi kita dapat 
memastikan, bahwa sesuatu telah berada di luar kewajaran, apabila ia dari awal dapat 
diperkirakan akan bersifat destruktif. Destruktif bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain. 
Atau, kalau ia hanya mendatangkan keuntungan bagi yang sudah berkelebihan, 
sebaliknya membuat keadaan si malang justru kian mengenaskan. *** 250304 



Milik Pribadi 

Oleh Eka Darmaputera 



ADALAH Pierre Joseph Proudhon yang membuat beberapa orang tersentak kaget dengan 
pernyataannya, bahwa "milik pribadi adalah pencurian". "Property is theft", begitu ia 
berkata. 

Menurut keyakinannya, tak seorang manusia pun mempunyai hak untuk memiliki apa 
pun. Mengapa? Sebab segala sesuatu pada hakikatnya adalah milik bersama. Tak ada 
"punya- mu" atau "punya-ku" yang ada ialah "punya kita". 

Di telinga orang Kristen, pernyataan tersebut sebenarnya tak mengejutkan amat. Malah, 
terdengar cukup akrab. 

Bukankah kita biasa mengatakan, bahwa segala sesuatu yang ada pada kita bukanlah 
milik kita, melainkan milik Allah? "Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, 
dan dunia serta yang diam di dalamnya"! (Mazmur 24:1) Hak-dan sekaligus kewajiban- 
kita, tak lebih hanyalah menata-layani milik Allah yang dititipkan-Nya pada kita. 

Namun, secara mutlak mengatakan bahwa "milik pribadi" itu hasil "mencuri", rasa- 
rasanya kok terlalu berlebihan. Apalagi mengatakan, bahwa hanya "masyarakat"-lah yang 
mempunyai hak-milik yang sah. Wah! 

Yang segera terbayang adalah serbakekerasan, kesewenang-wenangan, dan perkosaan, 
ketika milik pribadi dirampasi. Sewaktu "Revolusi Bolshevik" di Rusia; "Revolusi 
Kebudayaan" di RRC; "Revolusi Pol Pot" di Kampuchea. Mengerikan! 

Tapi itulah yang akan selalu terjadi, ketika "negara" atau "masyarakat" diberi mandat 
resmi untuk merampok milik rakyatnya sendiri. Sangat destruktif, dan sia-sia. Sia-sia, 
sebab "milik pribadi" tak pernah mungkin dilenyapkan. Paling banter ia sekadar 
berpindah tangan, dari penguasa yang satu ke tangan penguasa yang lain. 

TAPI benar sekalipun namanya adalah "milik pribadi", ia tetap harus dipertanggung- 
jawabkan. Dipertanggungjawabkan kepada yang "paling empunya", kepada yang "lebih 
empunya", kepada Dia sang Pemilik sah satu-satunya. 

Banyak perumpamaan Yesus yang menunjukkan, bahwa setiap orang harus 
mempertanggungjawabkan bagaimana ia memanfaatkan miliknya. Tapi perhatikanlah! 
Bukankah dengan demikian, ini berarti bahwa "milik pribadi" diakui? Bahwa "memiliki" 
tidak otomatis berarti "mencuri"? 

Hanya saja orang akan dihakimi, antara lain berdasarkan bagaimana ia memanfaatkan 
"milik pribadi"nya itu. Apakah milik itu dimanfaatkan untuk berbagi, seperti kisah "orang 
Samaria yang murah hati"? Atau hanya untuk dinikmati sendiri, seperti perumpamaan 
"kambing" yang di sebelah "kiri", yang dibuang Tuhan ke perapian abadi? 

Satu-satunya kejadian di mana Yesus memerintahkan agar orang melepaskan semua harta 
miliknya adalah, ketika Ia berhadapan dengan seorang pemimpin muda yang saleh lagi 



kaya raya Waktu itu, Ia berkata, "Juallah apa yang kau miliki, dan berikanlah itu kepada 
orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga ." (Markus 10: 21). 

Tapi amat jelas, perintah ini insidental dan kondisional sifatnya- bukan aturan yang 
berlaku secara universal. Yesus tidak menuntut hal yang sama dari Lewi atau Zakheus 
atau Yusuf Arimatea, yang juga berharta banyak. Origenes (abad 4), dalam tafsiran Injil 
Matius-nya, menceritakan kembali apa yang konon tertulis dalam naskah yang kini 
hilang, yakni "Injil Ibrani". 

Di situ diceritakan, bahwa setelah Yesus mengucapkan perkataan-Nya itu, orang muda 
itu menggaruk-garuk kepalanya, memperlihatkan ketidaksenangannya. Melihat itu, Yesus 
berkata, "Bagaimana engkau dapat mengatakan, bahwa engkau telah menjalankan semua 
ketentuan Taurat dengan setia, kalau beitu? Bukankah di situ dituliskan, bagaimana 
engkau harus mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri? Tapi, seperti engkau lihat 
sendiri, ada begitu banyak sesamamu, sama-sama keturunan Abraham, yang berpakaian 
rombeng dan harus mati kelaparan. Sementara di rumahmu engkau menyimpan banyak 
sekali benda-benda berharga. Dan tak satu pun kau bagikan untuk meringankan 
penderitaan mereka". 

Di sinilah intinya. Mempunyai milik pribadi bukanlah kesalahan. Tapi dengan syarat, si 
pemilik senantiasa ingat bahwa apa yang ia miliki itu, tidak boleh hanya dimanfaatkan 
bagi keperluan diri sendiri, tapi bagi kemaslahatan bersama. Memanfaatkannya hanya 
untuk kesenangan sendiri itulah, yang pantas dikategorikan sebagai "mencuri". 
Membiarkan sesama kita yang kelaparan memunguti remah-remah yang jatuh dari meja 
kita, adalah sikap sangat tercela! 

ADA lagi yang tindakan yang, tanpa kita sadari, dapat pula dikategorikan sebagai 
"mencuri". Ini bersangkut-paut dengan "hutang". Paulus menulis, dalam Roma 13:8, 
"Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, tetapi hendaklah kamu saling 
mengasihi". 

"JANGAN BERHUTANG APA-APA" - inilah prinsip kristiani kita. O ya? Mengapa? 
Sebab ada satu faset dalam "berhutang", yang pada dasarnya adalah "mencuri". Yang 
bersifat menahan apa yang sebenarnya merupakan hak orang lain. 

Dalam sistem perdagangan modern, pemahaman seperti ini pasti terasa absurd. Sebab 
hutang-piutang telah menjadi bagian yang begitu menyatu dalam sistem ekonomi kita. 
Bagaimana industri perbankan dapat berkembang, sekiranya hutang piutang dilarang 
sebab dianggap sebagai kejahatan? 

Tapi tak dapat dipungkiri, bahwa - dalam praktik-hutang piutang acap kali sangat erat 
terkait dengan kehancuran. Orang-orang yang hancur hidupnya, yang hancur 
keluarganya, dan yang hancur seluruh masa depannya, baik karena terlilit hutang yang 
tak dapat mereka bayar, ataupun karena ludas seluruh modal kerjanya, akibat orang tidak 
membayar hutang mereka. 



Dan apa yang dilakukan oleh para "lintah darat" itu, kalau bukan "mencuri" atau 
"merampok" secara terang-terangan? Mengambil kesempatan untuk menarik keuntungan 
yang jauh di luar kewajaran, justru dari orang-orang yang amat membutuhkan 
pertolongan, dan karena itu tak punya pilihan. 

Jadi, dalam arti tertentu, bukan hanya "berhutang" yang bisa dikualifikasikan sebagai 
"mencuri". Tetapi juga "memberi hutang" 

TENTU saja kita tidak dapat secara naif mengenakan bulat-bulat semua yang dikatakan 
alkitab ke situasi kita sekarang. Situasinya sangat berbeda. Sistem berniaga-nya amat 
berlainan. Namun, ada yang tidak boleh kita lupakan, yaitu bahwa ada banyak sekali hal 
dalam hidup manusia, yang pada hakikatnya tak pernah berubah. 

Misalnya apa yang dikatakan alkitab berikut ini. 

Menurut keyakinan saya, apa yang tertulis di situ bukan hanya tetap berlaku, tetapi malah 
terasa kian relevan dari waktu ke waktu. Firman Tuhan, "Janganlah engkau memeras 
pekerja harian yang miskin dan menderita, baik ia saudaramu maupun seorang asing yang 
ada di negerimu, di dalam tempatmu. Pada hari itu juga, haruslah engkau membayar 
upahnya sebelum matahari terbenam; ia mengharapkannya, karena ia orang miskin, 
supaya ia jangan berseru kepada Tuhan mengenai engkau, dan hal itu menjadi dosa 
bagimu" (Ulangan 24:14-16) 

Ini ditekankan kembali dalam Imamat 19:13, "Janganlah engkau memeras sesamamu 
manusia dan janganlah engkau merampas; janganlah kau tahan upah seorang pekerja 
harian sampai besok harinya". Bahkan juga dalam Perjanjian Baru. Misalnya Yakobus 
5:4, "Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari 
buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta 
alam keluhan mereka yang menyabit panenmu" 

Saya tidak tahu apakah Anda yang kebetulan membaca renungan ini, adalah pekerja atau 
pemberi kerja; buruh atau pengusaha. Dua kelompok sosial yang tentu saja mempunyai 
kepentingan yang berbeda. Di mana yang satu menginginkan upah yang setinggi- 
tingginya. Sementara yang lain justru ingin menekannya serendah-rendahnya. 

Namun apa pun kepentingan Anda, saya mohon Anda sepakat, bahwa menuntut upah 
setinggi-tingginya sehingga melebihi proporsi, adalah "mencuri". Bahkan suatu tindakan 
"bunuh diri". Bunuh diri, sebab secara tidak langsung dan dalam jangka panjang, 
mematikan sumber nafkah sendiri. 

Tapi demikian pula membayar upah jauh lebih rendah dari tingkat kewajaran, misalnya 
dengan dalih yang bersangkutan sendiri tidak berkeberatan menerimanya. Ini pada 
hakikatnya adalah "mencuri", bahkan "membunuh", hak orang untuk hidup layak. 

ALKITAB juga memuat larangan memberi hutang kepada orang yang seharusnya berhak 
menerima pertolongan. Jangan beri mereka hutang, tapi berikanlah apa yang mereka 



butuhkan untuk hidup - dengan cuma-cuma! Namun pada sebelah lain., alkitab melarang 
orang yang berhutang, dengan motivasi "ngemplang" atau tidak membayar kembali. Ini 
pun artinya "mencuri". 

"Jangan berhutang kepada siapa pun juga". Artinya: penuhilah apa yang kewajibanmu, 
dan berikanlah apa yang menjadi hak sesamamu - sampai lunas. Jangan mengambil hak 
orang lain, baik itu uang atau kehidupan atau harga diri atau rasa aman mereka - baik 
langsung atau tidak langsung . Hubungan yang ideal antar manusia, kata Paulus, adalah 
"saling mengasihi". Bukan "saling herhutang" - apa lagi "saling mencuri". 

Tapi sayang sekali, justru "kasih" inilah yang senantaiasa menjadi hutang kita yang tak 
terlunaskan seumur hidup kita. Bagaimana bila kita mulai mengangsurnya?* 1 103204 

Mencuri, Tapi Bukan Materi 
Oleh Eka Darmaputera 

"MENCURI" di zaman sekarang, ternyata banyak jenisnya. Sadarkah Anda? Ada 
"mencuri" yang masih dianggap "mencuri". Karena itu pelakunya - bila tertangkap - 
langsung dihajar habis-habisan. Mereka adalah para pencopet jalanan, maling jemuran, 
dan pemulung yang sering main sambar barang orang. 

Tapi ada "mencuri" jenis lain. Jenis ini, pada hakikatnya, adalah "mencuri" juga. Tidak 
lebih, tidak kurang. Tapi anehnya, masyarakat tidak menganggapnya sebagai kejahatan 
yang serius. Dan pelakunya pun tidak merasakannya sebagai aib yang memalukan. 
Acapkali, dengan bangga, si pelaku menceritakan "sukses"nya melakukan 
"kejahatan"nya. Dan kita dengan asyik mendengarkannya, memuji-muji ke "lihai"annya. 

Mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri, konon amat terkenal karena "bakaf'nya 
melakukan "pencurian" jenis kedua ini. Ada yang mengikat koin yang ia pakai untuk 
bertelepon. Setiap kali "pulsa"nya habis, koin itu ditariknya. Lalu dimasukkan kembali, 
dan dengan koin yang satu itu ia bertelpon lagi. Begitu berkali-kali. Bisa berjam-jam, 
dengan biaya cuma satu koin. Hebat, bukan? 

Perbuatan yang ini lebih "sadis" lagi. Beberapa hari sebelum pulang, si "pencuri" 
mengundang teman-temannya bertelpon. Boleh menelpon ke mana saja, sebebas- 
bebasnya. Tarifnya cuma seperempat dari biasa, asal dibayar tunai waktu itu juga. Ketika 
tagihan datang? No problem, si "pencuri" sudah aman, nun jauh di sana. 

SEBENARNYA bukan cuma mahasiswa. Banyak orang merasa puas, bila bisa naik 
kereta api tanpa membeli tiket, atau berangkat ke luar negeri dengan hanya membayar 
biaya fiskal separo harga. 

Dan di zaman sekarang, siapa sih yang masih menyebut Anda "pencuri", bila Anda 
memakai telpon kantor untuk menelpon kekasih Anda, memakai mobil dinas untuk 
bertamasya, atau membawa pulang kertas, amplop, klip, atau perangko sekadarnya dari 



kantor? Justru orang yang mempersoalkan soal "tetek bengek" inilah, yang dianggap "sok 
suci" dan "eksentrik", bukan? 

Okelah, contoh-contoh tersebut barangkali memang kecil, remeh dan sepele. Menuntut 
orang untuk seratus persen jujur dalam segala hal, saya akui, adalah tidak realistis. 
"Bohong-bohong dikit" itu biasa, dan perlu. Ia adalah semacam "bumbu" kehidupan. 
Membuat hidup lebih bercita-rasa, tidak hambar. Sungguh membosankan bergaul dengan 
orang yang terlalu "alim". 

Ya, asal kita tidak lupa. Bahwa biasanya berawal dari membiarkan yang "kecil-kecil" 
itulah - dan mengatakan "ah, keciiiil, ngapain diributin amat, sih ?!" - sebuah lubang 
besar sedang kita biarkan terbentuk. Dan di ujungnya, adalah bencana. 

Dengan perkataan lain, dijauhkanlah kiranya kita dari meremehkan soal-soal kecil. 
Sebab, seperti kata Yesus, "Barang siapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak 
benar juga dalam perkara-perkara besar" (Lukas 16:10b). 

JENIS "mencuri" yang selanjutnya adalah "mencuri yang bukan materi". Aneh? Sama 
sekali tidak. Sebab dalam praktik, ini sebenarnya nyaris selalu terjadi. Dalam bentuk 
yang sangat bervariasi. Apa misalnya? 

Misalnya, MENCURI WAKTU. Atau memanfaatkan waktu, tidak sesuai dengan 
peruntukannya. Datang terlambat, tapi pulang lebih cepat. Bekerja asal-asalan, lebih 
asyik menelpon, bercengkerama, membaca koran, sementara di depan loket orang telah 
menanti berjam-jam sambil berdesak-desakan. 

Dan, jangan lupa, "jam karet"! Ini adalah pemborosan waktu yang luar biasa, serta bentuk 
hukuman yang paling semena-mena. Mengapa? Sebab yang dihukum, adalah justru yang 
disiplin, yang tertib, yang taat. Sementara yang terlambat? " Ah, jangan khawatir! Tenang 
saja, toh pasti ditunggu!" 

Apalagi? O ya, ini. Yaitu kebiasaan buruk yang bernama "menunda-nunda pekerjaan" 
hingga saat terakhir. "Entar aja, deh, masih lama ini!" "Pencuri-pencuri waktu" ini, walau 
diberi waktu berminggu-minggu, tetap saja baru mulai bekerja sampai hampir tenggat 
waktu. Akibatnya? Bekerja terburu-buru, dan hasilnya pasti tidak bermutu. 

CELAKANYA, orang yang disiplin, tertib waktu, dan selalu memanfaatkan setiap waktu 
yang tersedia untuk bekerja dengan serius, sekarang ini bukan cuma amat jarang, tapi 
juga tidak disukai orang. 

Saya pernah membaca bagaimana nelayan-nelayan asal Vietnam dimusuhi nelayan- 
nelayan Amerika. Begitu juga pekerja-pekerja migran dari negara-negara Asia lainnya. 
Mereka dibenci karena satu sebab saja, yaitu karena bekerja terlalu keras. Ini dianggap 
merusak irama dan pasaran kerja orang Amerika. Pekerja-pekerja Asia ini bersedia 
bekerja lebih keras, dengan jam kerja lebih panjang, dan upah lebih kecil. 



Siapa pun tidak perlu munafik dalam hal ini. Siapa sih yang tidak suka dengan tenaga 
sedikit mendapat upah tinggi? Tapi bukan itu permasalahannya. Persoalan kita di sini 
adalah soal menghargai waktu, serta memanfaatkannya seefektif, seefisien, dan 
seproduktif mungkin. Dalam bahasa yang lebih teologis: menatalayani sebaik-baiknya 
salah satu karunia Tuhan yang paling berharga, yaitu "kairos". 

"Mencuri waktu", pada hakikatnya, adalah meremehkan sang Pemberi. Dan ini jelas 
bukan perkara remeh. Sebab ini juga merupakan pelanggaran hukum ketiga, "Menyebut 
Nama Allah dengan sembarangan". Jadi, kalau pakai istilah ternis, "double fault" . 

Tuhan, dengan seluruh ketulusan dan segenap kemurahan hati-Nya, mengaruniakan 
"waktu" kepada manusia. Dengan tujuan, agar karunia ini dinikmati dan dimanfaatkan 
sebaik-baiknya. Tapi marilah kita ingat kembali apa yang kita kerjakan seminggu yang 
terakhir ini! 

Berapa banyak "waktu" yang kita manfaatkan untuk mengerjakan yang baik, yang 
bermanfaat dan yang membangun? Dan berapa banyak yang kita "buang" untuk 
mengerjakan hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak - walau mungkin 
mengasyikkan? 

"MENCURI WAKTU" adalah ironi paling besar yang dapat dilakukan oleh manusia! 
Pada satu pihak, betapa kita menginginkan "waktu" ! Sangat berduka, ketika sang Khalik 
meniup peluit panjang, tanda bahwa "waktu telah habis". Namun begitu, di lain pihak, 
akuilah, betapa karunia yang paling berharga ini, juga adalah karunia yang paling banyak 
kita jadikan mubazir dan kita sia-siakan! 

"Waktu" sering kita rendahkan nilainya, bagaikan "barang surplus" atau "sisa ekspor", 
yang dijual murah dan tersedia berlimpah di "factory outlet". Padahal astaga, Saudara, ia 
sesungguhnya begitu singkat dan begitu terbatas! Betapa ia menuntut pengelolaan yang 
seoptimal-optimalnya! Dan doa yang tak berkeputusan, "Aj arilah kami menghitung hari- 
hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana" (Mazmur 90: 12) 

MANIFESTASI yang lain dari "mencuri yang bukan materi", adalah: MENCURI 
REPUTASI DAN NAMA BAIK SESEORANG. Apa pula ini? 

Secara umum, yang kita maksudkan dengan perbuatan "mencuri" adalah, secara tidak sah 
mengambil sesuatu yang berharga dari orang lain. "Sesuatu yang berharga" ini bisa 
bermacam-macam wujudnya. Bisa harta benda, bisa keluarga, bisa jabatan, dan 
sebagainya. Dan salah satu yang paling berharga adalah "nama baik". 

Yang ingin saya bicarakan secara khusus, adalah tindakan mendiskreditkan serta 
menghancurkan kredibilitas orang lain. Atau kini lazim disebut sebagai "pembunuhan 
karakter" atau "character assasination". Caranya bukan dengan menikamkan senjata tajam 
atau meletuskan senjata api. Tapi cukup dengan kata-kata. 



Entah mengapa, tapi agaknya pada manusia ada semacam kecenderungan naluriah yang 
menggemari cerita-cerita "miring" tentang orang lain. Seringkah tanpa maksud jahat 
sama sekali. Melainkan sekadar supaya ada bahan pembicaraan yang mengasyikkan, 
sambil cari kutu, gunting rambut atau minum kopi. 

Yang bersangkutan tidak membayangkan, betapa gara-gara iseng-iseng mereka itu, nama 
baik orang dicuri dan reputasi orang dibunuh mati. Apa yang barangkali dibangun sedikit 
demi sedikit selama puluhan tahun, dihancurkan dalam sekejap. Dan biasanya tak 
mungkin diperbaiki. 

Sebab, konon, di dunia ini ada tiga hal yang sekali keluar tak mungkin lagi ditarik 
kembali. Apa itu? Pertama, adalah anak panah yang telah melesat dari busurnya. Kedua, 
adalah kesempatan yang tidak dimanfaatkan. Dan ketiga adalah, perkataan yang keburu 
keluar dari mulut kita. 

"Mencuri nama baik" adalah secara tidak sah mengambil sesuatu yang paling berharga 
dari orang lain. Seperti tulis Shakespeare, dalam OTHELLO, "Nama baik seorang lelaki 
maupun perempuan, wahai tuan / adalah permata mulia yang paling dekat dengan jiwa. / 
Barang siapa mencuri pundi-pundi, ia mencuri sampah / sesuatu yang tak bermakna apa- 
apa / Tapi yang merampas nama baik / merampas sesuatu yang tak membuatnya kaya / 
namun menjadikan orang lain kehilangan semua" 

"Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar", tulis Amsal 22:1. Sebab itu, hati- 
hatilah, jangan sekadar karena iseng, Anda mencurinya, atau dalam dendam Anda 
menghancurkannya. Ini tidak sedikit pun membuat Anda bertambah kaya. Tapi 
sebaliknya, membuat sesama Anda kehilangan segala-galanya. 280204 

Jangan Mencuri 
Oleh Eka Darmaputera 

SELAMAT datang! Anda baru saja tiba di awal wilayah penjelajahan yang baru! 
Wilayah itu adalah hukum Tuhan yang berbunyi, JANGAN MENCURI. 

Perintah ini, dalam Dasa Titah, berada di nomor urut delapan. Nomor dua dari bawah. 
Dalam permainan bulu tangkis, istilahnya "last two". Tinggal dua poin lagi sebelum 
"gim". 

Toh meski begitu, perintah ini jangan sekali-kali Anda anggap remeh atau sepele belaka. 
Dosa "mencuri" sama sekali tidak lebih ringan, dan tidak pula kurang seriusnya, 
dibandingkan dengan dosa-dosa lain yang "peringkaf'nya lebih "tinggi", seperti 
"membunuh" atau "berzina". 

Pada waktu saya mempersiapkan naskah ini, orang sedang ramai-ramainya 
mempergunjingkan soal "korupsi". Ini, antara lain, gara-gara NU dan Muhamadiyah 
sepakat melahirkan "Gerakan Anti Korupsi". 



Dan Magnis Suseno, dalam salah satu ceramahnya, mengatakan, bahwa bangsa kita 
sedang meluncur dengan deras ke jurang kehancuran, sebab gagal mengatasi korupsi. 

Setahun yang lalu sebenarnya saya juga sudah me-nulis, bahwa untuk pemilu mendatang 
ini, tak perlulah kita mencari pemimpin yang hebat dalam banyak hal, atau ahli dalam 
banyak bidang. Juga tidak terlalu penting, apakah calon pemimpin itu "islam" atau 
"nasionalis"; "sipil" atau "militer"; "jawa" atau "bukan Jawa". 

Yang penting adalah, ia mesti bersih dari korupsi, serta berkemauan teguh 
memberantasnya. 

Kalau perlu, tulis saya setengah berkelakar waktu itu, kontrak saja Lee Kuan-Yew untuk 
memimpin negeri ini, misalnya, selama lima tahun! 

MENGAPA saya begitu "ngotot"? Tidak lain adalah karena keyakinan saya, bahwa 
bagaimana pun berhasilnya kita dalam banyak hal, tapi kalau kita gagal dalam 
memberantas kejahatan yang satu ini, maka semua sukses tersebut akan menguap sia-sia. 
Ibarat menadah air dengan ember bocor — ya kapan penuhnya? 

Bahkan bila kita benar-benar mau menangkal terorisme, salah satu syarat pokoknya juga 
adalah: lenyapkan korupsi! Mengapa? Karena merajalelanya korupsi itulah yang 
memperlebar jurang ketidak-adilan, dan menusuk perasaan serta melukai hati banyak 
orang. 

Mereka yang "terluka" serta "kecewa" inilah, yang mudah sekali direkrut oleh kelompok- 
kelompok radikal, yang gigih menjanjikan perubahan. Tentu saja mereka tahu, bahwa 
perubahan saja tidak menjamin bahwa keadaan pasti akan menjadi lebih baik. Tapi, bagi 
mereka, lebih baik ada kemungkinan perubahan, ketimbang tidak sama sekali. 

ITULAH secara ringkas, seriusnya "korupsi" itu. Dan apakah hakikat "korupsi" itu, kalau 
bukan "mencuri"? Barclay mengkategorikan titah "JANGAN MENCURI" sebagai "basic 
commandment" - sebuah "titah dasar". 

Artinya, seperti halnya pada sebuah bangunan, bila hancur "dasar"nya, maka ambruk 
pulalah seluruh strukturnya. 

"Jangan mencuri" adalah syarat mutlak bagi terselenggaranya suatu kehidupan bersama 
dalam sebuah masyarakat. 

Ini mudah sekali dibayangkan, bukan? Sebab bagaimana mungkin sebuah masyarakat 
dapat tetap lengket menyatu, mampu memelihara "kohesi" serta integrasi sosialnya, bila 
warganya "maling" semua? Bagaimana mungkin mereka hidup bersama, apa lagi 
menjalin kerja sama? 



Titah ini, dalam alkitab, sering diulang-ulang, untuk menegaskan betapa seriusnya Allah 
akan dosa yang satu ini Baca, misalnya, Imamat 19:11 dan Ulangan 5:19. Laknat Tuhan 
pasti akan turun, bila para pencuri dibiarkan leluasa melakukan kejahatannya (Zakharia 
5:3). 

Dan menurut hukum Tuhan, bila pencuri-pencuri itu masih ingin hidup, maka yang 
pertama yang harus mereka lakukan, adalah mengembalikan apa yang mereka curi 
(Yeheskiel 33:15), plus dendanya. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menurut saya, pantas belajar dari ketentuan- 
ketentuan Taurat. Prinsip yang paling menonjol di sini adalah, bagaimana menjamin para 
korban kejahatan memperoleh kompensasi yang layak, dan para pelaku kejahatan 
mendapatkan hukuman setimpal atas tindakan mereka. Fair, bukan? 

Sama sekali tidak cukup, bila seorang pejabat korup, serta merta perkaranya dianggap 
beres, hanya karena ia telah mengembalikan hasil korupsinya. Wah, enak benar! Dalam 
Keluaran 22:1-4 disebutkan, bila seekor kambing atau sapi dicuri, maka pencurinya harus 
membayar kembali lima sapi dan empat kambing. Dan bila ia tak mampu membayarnya? 
Diri si pencuri itulah yang harus dijual sebagai pembayar utang. 

Amsal 6: 31 malah menyebutkan hukuman yang lebih berat, yaitu mengembalikan "tujuh 
kali lipat". Dan untuk jenis pencurian tertentu, hukumannya malah tidak kurang dari 
hukuman mati. Yaitu, bila yang "dicuri" itu — atau, lebih tepat, "diculik" - adalah 
manusia (Keluaran 21:16; Ulangan 24:7). 

PADA zaman moderen ini, harus kita akui, "kesempatan" - dan karena itu "godaan" — 
untuk "mencuri" terbuka lebih lebar. Sebaliknya, kesadaran orang akan keseriusan "dosa 
mencuri" justru terus menurun. 

Hukuman yang amat berat - bahkan jauh lebih berat dari semestinya - saya akui, memang 
kadang-kadang dijatuhkan. Tapi korbannya selalu adalah "orang-orang kecil". Dihajar 
atau dibakar ramai-ramai. 

Ini, menurut penilaian saya, lebih merupakan pelampiasan amarah masyarakat, terhadap 
ketidak-seriusan dan ketidak-becusan aparat hukum menghadapi para koruptor besar, 
ketimbang kesadaran para pengeroyok itu akan seriusnya "dosa mencuri". 

Masyarakat memendam rasa marah, karena koruptor-koruptor ini - dengan alasan 
"asumsi tak bersalah"-lah atau karena "belum dikenai hukuman yang berkekuatan 
tetap"-lah - masih bisa dengan "angler"nya menikmati kebebasan mereka. Diberi 
kesempatan untuk menghapuskan barang bukti, atau lari ke luar negeri. 

Ini baru mengenai mereka yang sempat tersentuh oleh hukum. Padahal yang lebih banyak 
adalah koruptor yang lebih besar, tapi yang justru karena "besar"nya itu mereka seakan- 
akan "kebal hukum". Mereka tak perlu menyewa pembela, cukup mengalirkan "gizi". 



Maka aparat hukumlah, yang dengan semangat tinggi akan membela "penggede - 
penggede" ini. 

Ironis sekali! Dan sungguh menggeramkan hati. Tapi sialnya adalah, akibat orang-orang 
yang "kebal hukum" dan sekaligus "tebal muka" ini, yang jadi bulan-bulanan kegeraman 
masyarakat adalah para "kambing hitam". 

Yaitu, siapa lagi, kalau bukan rakyat kecil, yang tidak jarang terpaksa "mencuri" untuk 
sepiring nasi. 

DI ZAMAN modern ini, saya katakan, kesempatan dan godaan untuk mencuri terbuka 
lebih lebar. Di pasar-pasar atau toko-tokon swalayan, para pelanggan memilih dan 
mengambil sendiri barang-barang yang mereka inginkan. Dulu tidak. Barang-barang ini 
dulu hanya terpajang di belakang meja penjaja. Pelanggan hanya bisa menunjuk, dan si 
penjual yang akan mengambilkannya untuk Anda. 

Semua ini kini telah menjadi "barang biasa". Tanpa terasa, telah membuat kita kehilangan 
kepekaan kita, terhadap perasaan saudara-saudara kita yang kurang berada. Ketika 
mereka menyaksikan benda-benda serba menarik itu, menari-nari di depan mata mereka. 
Mereka bisa mengelusnya, menggenggamnya, dengan tangan mereka! Masih dapatkah 
kita rasakan besarnya "godaan", dan betapa "tersiksanya" mereka, sebab cuma bisa 
memandang dan memegang doang ? 

Masih dapatkah kita bayangkan, perasaan para ibu yang bayi-bayinya menangis 
kelaparan, tapi mereka tak mampu membeli susu? Lalu di toko-toko ini, di depan mata 
mereka, susu-susu kaleng dengan merek bermacam-macam, berlomba-lomba minta 
ditimang dan dibawa pulang. Dan bayi-bayi di gendongan mereka menangis lagi. 
Bagaimana kalau demi bayi mereka, maka satu kaleng saja, dan untuk satu kali ini saja, 
mereka mengambilnya? 

DI SAMPING kesempatan dan godaan yang bertambah besar, kejahatan "mencuri" 
sekarang juga mengambil bentuk yang kian beraneka-ragam. Sampai-sampai ketentuan- 
ketentuan hukum pun hampir selalu ketinggalan, tak mampu mengejar kecepatan 
munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru. Hampir selalu ada waktu sela, di mana 
kejahatan dilakukan, tetapi tak dapat dituntut, karena hukumnya belum ada. 

Bila Anda ingin memperoleh gambaran yang jelas mengenai betapa "kreatifnya manusia 
itu, di sinilah letaknya! Yakni dalam menciptakan modus kejahatan yang baru. Orang, 
misalnya, berbicara tentang "kejahatan kerah putih". Dinamakan demikian, karena 
kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang yang ber"kerah putih" dan ber"dasi". 

Mereka tidak mendongkel pintu atau mencongkel kaca spion. Tidak mengacung- 
acungkan "kapak merah" untuk merampas tilpon seluler. Tidak pula, bagaikan "bajing 
loncat", melompat ke truk penuh muatan, untuk menggerogoti isinya. 



Tidak! Berbeda dengan "penjahat kerah biru", mereka melakukan kejahatannya dari 
belakang meja, di ruang yang sejuk, bersenjatakan pena, tilpon dan komputer. Tapi hasil 
kejahatan mereka berlipat-lipat. 

Zaman memang telah berubah. Bentuk-bentuk kejahatan juga telah berganti rupa. Lebih 
"sopan" dan lebih "halus". 

Tapi bahayanya sebenarnya jauh lebih besar. Sebab sekarang, kita cenderung 
membiarkannya. Mereka yang melakukan kejahatan tanpa ketahuan, malah kita acungi 
jempol. 

Padahal membiarkan pencuri dengan leluasa melaksanakan kejahatannya, menurut 
Firman Tuhan, pasti mendatangkan laknat. 

Seperti membiarkan tikus-tikus menggerogoti dan kemudian menghancurkan sendi-sendi 
sendi kehidupan bersama. Merapuhkan seluruh tubuhnya. Dan mempercepat proses 
pembusukannya. 190204 

Menyoal Homoseksual Secara Proporsional 
Oleh Eka Darmaputera 

Menulis tentang homoseksualitas yang dapat memuaskan semua pihak, wah, alangkah 
sulitnya! Sungguh menuntut kearifan dan kehati-hatian. Maksud saya, sebuah tulisan 
yang satu memberi kesan sebagai pembela kebejatan. Sedang bagi yang lain, tidak terasa 
arogan dan semena-mena.. 

Sebenarnya yang lebih aman adalah tidak membicarakannya. Namun sikap ini, menurut 
keyakinan saya, tidak bertanggung jawab. Sikap yang hanya mencari aman. Tidak 
mencerminkan baik integritas moral maupun kejujuran intelektual. 

Menurut keyakinan saya, pembahasan yang serius mengenai Hukum VII, "JANGAN 
BERZINAH", mengharuskan kita membahas masalah HOMOSEKSUAL, mengingat 
aktualitasnya maupun kontroversialitasnya. Karenanya, apa pun risikonya, kita mesti 
membahasnya. Tidak ada pilihan lain. Agar setelah itu, dengan tenang tanpa rasa 
berutang, kita dapat melenggang ke pembahasan titah berikutnya - Hukum VIII. 

Alkitab cukup banyak menyebut-nyebut masalah kita. Dimulai dengan Kejadian 19:1-11, 
yang bercerita tentang dari mana sebutan lain untuk homoseksualitas - "sodomi" - itu 
berasal. Tapi yang jauh lebih banyak disebut-sebut adalah, kutukan terhadap praktik 
homoseksual yang berhubungan dengan ibadah kafir, yang lazim disebut sebagai 
"pelacuran kudus" (Ulangan 23:17-18; 1 Raja-Raja 14:24; 15:12; 22:46; 2 Raja-raja 
23:7). 



Di situ, dalam "ibadah" ini, orang menyatukan diri dengan dewa-dewi mereka, dengan 
cara menyetubuhi para "imam" — yang fungsinya tak lebih dari pada pelacur — baik laki- 
laki maupun perempuan. 

Kutukan terhadap praktik homoseksual itu an sich, kita dapati dalam Imamat 18:22. 
Bunyinya, "Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan 
perempuan, karena itu suatu kekejian". Yang melakukannya diancam dengan hukuman 
mati (Imamat 20:13). Jadi, tak pelak lagi, homoseksualitas memang dianggap sebagai 
pelanggaran yang sangat serius. 

Dalam Perjanjian Baru, Roma 1:26-27, Rasul Paulus mengingatkan, bahwa praktik 
homoseksual adalah sebagian dari bentuk kebejatan moral dunia kafir, dari mana orang- 
orang kristen sebenarnya telah dibebaskan dan disucikan oleh Kristus (1 Korintus 6:9). 
Karena itu, sebagai konsekuensinya, tak layak dipraktikkan lagi. 

BEBERAPA rujukan tersebut kiranya telah cukup untuk membawa kita kepada beberapa 
kesimpulan. Antara lain, (a), bahwa praktik homoseksual ternyata bukan suatu fenomena 
moderen, tetapi sudah ada sejak zaman alkitab. Ia merupakan praktik yang universal. 
Lazim dilakukan orang, di seluruh dunia, di sepanjang masa. 

Karenanya, kita sebenarnya tidak perlu terlalu terperanjat atau terperangah. Lalu karena 
"shock" berat, bereaksi berlebih-lebihan. Baik "pro" maupun "kontra". Bereaksi tentu 
boleh, tapi cukup yang wajar-wajar sajalah! Yang proporsional. 

Kesimpulan kedua, (b), adalah, bahwa sekali pun praktik tersebut bersifat "universal", 
bahkan di banyak tempat dianggap "normal" - misalnya, di antara 1 5 Kaisar Roma yang 
pertama, konon, 14 adalah homoseksual — , ini tidak berarti ia serta merta berhenti 
menjadi kontroversi. Di seluruh dunia dan di sepanjang masa, homoseksualitas selalu 
menjadi "masalah" ; selalu "dipermasalahkan". 

Dan ketiga, (c), dengan hati berat, saya harus mengatakan bahwa, di dalam alkitab, tidak 
satu kali pun praktik homoseksual dibela dan dibenarkan. Dari kitab ke kitab, secara 
konsisten, alkitab melarangnya dengan tegas. Oleh karena itu, bila ada orang bermaksud 
untuk membela serta membenarkan homoseksualitas, — ini boleh-boleh saja — ia tidak 
dapat mendasarkan pembelaannya itu pada kesaksian alkitab. Ia harus mencari sumber 
pembenaran yang lain! 

Setelah mengatakan tiga kesimpulan tersebut, saya akui, masalah kita tidak langsung 
selesai. Homoseksualitas bukanlah persoalan "hitam-putih" yang sederhana. Tidak boleh 
kita tanggapi secara naif dan simplistis - sekadar "ya" atau "tidak". Apa lagi bila, atas 
nama kekristenan, kita lalu hanya mencerca dan mengutukinya. Sikap "gegabah" dan 
"menang-menangan" inilah, yang justru tidak kristiani! 

MENGAPA masalah kita ini saya sebut "tidak sederhana"? Sebab, pada satu pihak, bagi 
sebagian orang, praktik homoseksualitas tidak dianggap sekadar sebagai perbuatan 



"zinah" saja. Tapi lebih parah dan lebih bejat dari itu. Ia dianggap sebagai 
"penyimpangan kodrat". Melawan hukum alam. Menentang ketetapan Tuhan. 

Bagi orang-orang ini, berselingkuh misalnya tentu salah. Tapi masih "wajar"; masih 
"alamiah". Sedang homoseksualitas? Ketika orang bersikukuh mengatakan, bahwa 
masalahnya adalah masalah penyimpangan kodrat, maka pintu diskusi telah tertutup. 
Telinga maupun hati telah terkunci. Percakapan tak mungkin lagi. 

Di lain pihak, masih ada lagi yang membuat masalah yang rumit ini bertambah rumit. 
Yaitu kenyataan, bahwa sesungguhnya homoseksualitas itu tidak hanya satu tipe atau satu 
macam saja. Sebab itu, kita tidak boleh bersikap "hantam kromo" atau "gebyah uyah" 
menyama- ratakannya. Ini penting sekali! 

Jenis pertama adalah, homoseksualitas sejak lahir. Sebagaimana Anda dan saya 
dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan, atau dilahirkan dengan rambut hitam atau 
pirang, demikianlah ada orang-orang yang dilahirkan sebagai homoseksual. Mereka tidak 
memilihnya. Mereka menjadi mereka, bukan karena sebab atau akibat apa pun juga. 
Homoseksualitas itu telah menjadi bagian dari dirinya, sejak semula. Sebab itu - sekali 
pun mau — ia tak mampu mengu-bahnya. 

Tapi, lebih kompleks lagi, homoseksual jenis pertama ini, ternyata juga tidak cuma satu 
macam. Tidak cuma satu, karena reaksi yang bersangkutan terhadap keadaan dan 
keberadaannya itu, juga beraneka ragam. Ada yang menerima keadaannya ini dengan 
keperihan yang sangat. Mereka menyadari "kelainan" mereka dibandingkan dengan 
orang-orang lain. Dan ini membuat mereka sangat tertekan dan amat tidak berbahagia. 

Bagi orang-orang ini, setiap saat adalah pertempuran melawan diri sendiri. Setiap saat 
mereka berada di ajang perang, yang mereka tahu tak akan pernah mereka menangkan. 
Pada tipe inilah, kita berjumpa dengan orang-orang yang walau pada dasarnya 
homoseksual, tapi menolaknya dengan sekuat tenaga, yaitu dengan tidak 
mempraktikkannya. Meskipun sebagai konsekuensinya, mereka mesti melewati hari-hari 
mereka dengan kehancuran hati, dan digayuti rasa sepi. 

Kemudian, ada pula tipe yang lain, yaitu orang-orang yang menerima keadaan mereka 
sebagai sesuatu yang "alamiah". Mereka tidak merasa bersalah atau merasa aneh dengan 
keadaannya. Sebab itu, juga tidak berusaha untuk menutup-nutupinya, apa lagi berusaha 
untuk mengubahnya. Sebaliknya, tidak jarang mereka malah berusaha membujuk orang 
lain, untuk bersedia menjadi seperti mereka. Atau dengan galaknya menuntut hak 
mereka: respek dan penerimaan dari masyarakat. 

DI SAMPING homoseksual sejak lahir, ada pula jenis lain. Jenis yang kedua inilah, yang 
acap menciptakan banyak masalah. Yaitu orang-orang yang tidak menjadi homoseksual 
sebab sudah "ditentukan" begitu, melainkan yang memilihnya dengan sengaja. Orang- 
orang ini mungkin sudah "bosan" dengan kehidupan "normal", lalu mencari alternatif 
"lain" , yang bisa memberikan pengalaman "lain". 



Dengan ringkas saya tegaskan, bahwa mustahil kita dapat membenarkan homoseksualitas 
jenis kedua ini. Bahkan untuk bersimpati sekalipun. Bagi para homoseksual jenis 
pertama, yang dengan kejam "dilemparkan" ke kondisi yang tidak mereka minta, 
memang tak ada sikap yang lebih tepat, dari pada memberikan kepada mereka segenap 
ketulusan dan simpati, serta keterbukaan untuk memahami. Tapi "tidak" bagi mereka 
yang menjadi homoseksual, semata-mata hanya untuk memuaskan nafsu petualangan 
mereka, atau sekadar untuk tampil beda. 

Bagaimana pun juga, homoseksualitas adalah kondisi yang TIDAK NORMAL. 
Homoseksual bukan alternatif heteroseksual. Mungkin bukan "kebejatan", tapi paling 
sedikit ia merupakan "kelainan". Not necessarily a perversion, but surely it is a deviation. 

Namun harus diingat, bahwa mengatakan sesuatu itu "tidak normal", tidak otomatis 
berarti mengecam, menghina, atau mengutuk. Ia lebih merupakan sebuah "pernyataan 
fakta", yang dapat kita utarakan dengan sepenuh simpati dan segenap cinta kasih. Seperti 
ketika kita mengatakan, "Waduh, bayi pak U'ut lahir abnormal!" 

Karena homoseksualitas merupakan kondisi yang "tidak normal", dengan sendirinya ia 
menuntut penanganan yang "istimewa" pula. Sesuatu yang tidak normal tidak mungkin 
dibiarkan dipraktikkan secara leluasa, apa lagi dipropagandakan secara bebas. Yang 
"tidak normal" seyogianya kita "normafkan. 

Tidak sebaliknya, kita biarkan berkembang semakin meluas, atau dilegalisasi secara 
hukum. Tapi juga tak menolong apa-apa, hanya dengan mencerca dan mengutuknya. 

Sikap yang benar-benar tegas, terutama ditujukan kepada mereka yang tidak mau 
mengakui "ketidak-normalan" mereka. Orang-orang yang sebenarnya dapat menolong 
dirinya sendiri, tetapi sengaja menjerumuskan diri sendiri, bahkan menjerumuskan orang- 
orang lain. 

Sedang bagi mereka yang amat menderita karena keadaannya, mereka yang telah 
berupaya sekuat tenaga melepaskan diri, tapi tak berdaya menolong dirinya, seluruh 
masyarakat harus dididik agar tidak terlalu cepat mencerca hal-hal yang tidak sepenuhnya 
ia ketahui, atau serta-merta mengutuk suatu keadaan yang tidak ia alami sendiri. 120204 

Namanya Juga Anak Muda, Pak 
Oleh Eka Darmaputera 

Tubuhnya yang kecil serta wajahnya yang naif, tak dapat menyembunyikan usianya yang 
memang baru belasan. Tepatnya, 16 tahun. Bagi saya, "anak" ini mewakili generasi 
sebayanya. Mungkin tak semuanya, namun paling sedikit ya sebagian dari mereka. 



Pagi itu ia — sebut saja namanya "Irene" — datang, meminta agar pernikahannya dapat 
diberkati di gereja. Tentu saja saya terkejut. Saya mengenal benar "anak" ini. Ia pernah 
jadi "anak didik" saya. 

"Mengapa begitu cepat? Dan mengapa begitu tiba-tiba?", tanya saya. "Saya sudah hamil 
empat bulan, pak", jawabnya. "Hamil? Empat bulan?" "Ya, pak". "Apa yang terjadi? 
Dengan siapa?" Lalu ia pun bercerita. Bla bla bla. Tanpa beban. Setelah itu, giliran saya 
ber"khotbah". Bla bla bla. Sangat penasaran. 

Akhirnya saya bertanya, "Apa kamu tidak menyesal?". "Menyesal sih menyesal, pak". 
"Menyesal karena apa yang telah kalian lakukan, atau sekadar karena kamu hamil?" "Ya 
terutama karena saya hamil, pak. Sebab sebenarnya saya 'kan masih pengen sekolah, 
pak". "Itu artinya kamu tidak menyesal karena "dosa" yang telah kamu lakukan. Begitu, 
bukan?," tanya saya - wah, gemasnya! "Yah, namanya juga anak muda, pak, " jawabnya. 
Enteng sekali. 

SAYA setuju dengan Barclay yang mengatakan, bahwa etika Kristen harus berbicara 
mengenai masalah "seks pra-nikah" ini dengan serius. Bukan saja karena jumlahnya 
semakin banyak, tetapi terutama karena kegiatan seksual ini— dengan lambat, tapi pasti — 
kian menahbiskan diri sebagai kegiatan seksual yang "normal". Sekiranya tidak terjadi 
wabah HIV/AIDS, kecenderungan ini pasti kian tak terbendung. 

Namun begitu, banyak orang toh memilih diam atau sekadar mencaci-maki tak keruan. 
Orang-orang yang menolak seks pra-nikah dengan sepenuh keyakinan kian terpinggirkan. 
Karenanya, enggan menampilkan posisinya dengan lantang dan terus terang. 

Di Barat, sejak puluhan tahun silam, malah muncul teolog-teolog kristen yang justru 
membela praktik ini. Salah satunya yang paling terkenal, adalah Joseph Fletcher. Profesor 
etika Kristen ini antara lain menulis, "Kultus keperawanan agaknya akan menjadi 
benteng perlawanan terakhir terhadap kebebasan seks, dan pasti akan ambruk. Sebab kini, 
berkat perkembangan di bidang kedokteran, orang bisa bebas melakukan kegiatan 
seksualnya tanpa dibayangi ketakutan seperti sebelumnya". 

Memang tidak semua yang dikatakan Fletcher itu salah. Namun, saya mohon, jangan pula 
pandangan-pandangannya itu kita telan bulat-bulat. Sebab tidak semua yang walaupun 
dikatakan oleh seorang profesor, bermanfaat bagi kekristenan. 

Ini telah diingatkan oleh seorang teolog lain, Malcolm Muggeridge, yang mengatakan, 
"Kita telah membiarkan seniman-seniman kita dengan bebas menghancurkan kesenian; 
penulis-penulis kita menghancurkan kesusastraan; sarjana-sarjana kita menghancurkan 
keilmuwanan; dan agamawan-agamawan kita menghancurkan agama. Kita mengembang- 
biakkan barbarian di rumah kita sendiri". 

Kebungkaman banyak orang terhadap masalah seks pra-nikah, adalah ke"diam"an yang 
berbahaya. Seperti diilustrasikan oleh eksperimen terkenal dari seorang psikolog, 
Profesor John Court. 



Seekor katak ia taruh di sebuah wadah yang berisi air dingin. Pelahan-pelahan sekali, 
suhu air itu dinaikkan. Sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ke titik didih. Namun yang 
mengherankan adalah, katak itu kalem-kalem saja. Tak sedikit pun ia berusaha 
menyelamatkan diri. Rupanya proses perubahan itu berlangsung begitu lambatnya, 
sehingga katak itu nyaris tak merasakan apa-apa. Karena ke"diam"annya itulah, ia mati. 

APA yang disebut sebagai "revolusi seks", juga demikian. Ia terjadi dengan 
bergugurannya "tabu-tabu" - tidak sekaligus, melainkan satu demi satu. Tidak kentara. 
Eksperimen di atas mengingatkan, justru karena itulah "revolusi" ini layak kita cermati 
dengan serius. Sebelum kita terkejut, lalu cuma bisa tergagap-gagap. 

Dalam salah satu refleksi kita yang terdahulu saya telah menyinggung, bagaimana orang 
moderen cenderung memisahkan "seks" dari "pernikahan". "Seks pra-nikah" adalah salah 
satu wujudnya. 

Menurut Barclay, ada tiga alasan yang paling kerap dikemukakan orang, guna 
membenarkan kegiatan seksual yang dilakukan sebelum — atau di luar — perkawinan. 

Pertama, adalah ANTISIPASI. Ini adalah kegiatan seksual yang dilakukan oleh sepasang 
anak manusia yang saling mencinta. Begitu rupa, sehingga mereka merasa yakin dan 
pasti, bahwa pada suatu saat mereka akan menikah. 

Meng"antisipasi" pernikahan mereka yang "pasti" itulah, mereka tanpa ragu melakukan 
hubungan seks. "Apa salahnya? Kami toh pasti akan menikah". 

Tindakan yang mereka lakukan itu, mungkin secara esensial memang belum dapat 
dikategorikan sebagai "zinah". Motivasi mereka pun boleh jadi memang tulus. Namun, 
toh ada dua hal yang perlu dikemukakan. 

(a) mereka mengatakan, bahwa untuk mengekspresikan cinta kasih mereka yang murni 
itulah, mereka melakukan hubungan seks. Pertanyaan saya adalah, mengapa tidak 
sebaliknya? Mengapa mereka tidak mengekspresikannya, justru dengan tidak melakukan 
hubungan seks sebelum mereka benar-benar suami-istri? Bukankah salah satu ekspresi 
cinta yang sejati, adalah kesanggupan mengendalikan diri ? 

Kemudian, (b), apa sih yang betul-betul pasti di dunia ini? Dari mana mereka bisa begitu 
yakin, bahwa mereka pasti akan menikah - pada satu hari? Dalam hidup ini, anak-anakku, 
tak ada yang 100% pasti. Buktinya amat banyak. Tidak bijaklah mengantisipasi sesuatu, 
yang di luar daya kita untuk meng"antisipasi"nya! 

ARGUMENTASI kedua, saya sebut saja, SIMULASI. Atau "coba dulu baru beli". Kata 
mereka, "Membeli baju atau sepatu saja 'kan perlu mencoba dahulu. Apa lagi mau 
menikah. Sebab itu "mencoba" itu perlu, agar orang mengetahui dengan pasti, bahwa 
memang "dia"lah orangnya, dengan siapa ia akan menghabiskan seluruh sisa umurnya. 



Caranya? Dengan "hidup bersama" dulu. "Hidup bersama" dijadikan "simulasi" atau 
"tiruan" hidup perkawinan yang sesungguhnya. 

Argumentasi ini sepintas lalu terkesan masuk akal. Tapi sebenarnya ia mengandung 
salah-perkiraan yang fundamental! Salah besarlah, orang yang menyangka bahwa hidup 
perkawinan itu dapat disimulasikan. "Hidup bersama" tidak pernah mungkin 
menggambarkan "hidup perkawinan" yang sesungguhnya. 

Dalam kaitan ini, Barclay mengemukakan sebuah analogi yang menarik. Tentang seorang 
yang memutuskan, untuk beberapa bulan hidup di daerah kumuh bersama-sama dengan 
orang-orang miskin. Dengan jalan itu, ia berharap bisa mengalami secara langsung dan 
pribadi, bagaimana rasanya jadi orang melarat itu. 

Maksud yang mulia! Tapi salah perhitungan. Tinggal di daerah kumuh memang dapat 
memberikan banyak pengalaman berharga. Tapi tetap tidak mungkin membuat orang 
benar-benar mengetahui "bagaimana sih rasanya jadi orang melarat itu" . 

Mengapa? Sebab ada perbedaan yang sangat mendasar. Si relawan bisa setiap saat 
meninggalkan situasi kemiskinan itu. Pengalamannya dapat menjadi bagaikan 
petualangan dan ekskursi yang romantis, seperti ketika orang berlibur dengan berkemah 
di hutan. Tidak enak, tapi nikmat. Sedang orang-orang miskin itu? Mereka tidak punya 
pilihan lain. Seumur hidup mereka, mereka sudah terperangkap oleh kemelaratan mereka. 
Dan ini melahirkan dua sikap, bahkan mentalitas, yang berbeda! 

Intinya adalah, "perkawinan" tidak pernah dapat di"eksperimen"kan. Sebab perkawinan 
adalah sebuah "komitmen". Orang tidak dapat meng"eskperimen"kan komitmen. Yang 
mungkin hanyalah, "menerima" atau "menolak". Tidak ada peluang untuk "coba-coba". 

KETIGA, adalah alasan yang mengatakan bahwa ESENSI adalah segala-galanya. 
Perkawinan itu lebih daripada sekadar secarik kertas atau sebuah seremoni. Esensi sebuah 
perkawinan adalah komitmen untuk membangun relasi. Inilah yang terpenting, dengan 
atau tanpa perkawinan. Dengan atau tanpa formalitas. 

Argumentasi yang jitu, bukan? Esensi dan kualitas tentu saja memang lebih utama 
ketimbang bungkus luarnya. Tapi apakah itu berarti, formalitas tidak ada nilainya? 
Kenyataan menunjukkan, walaupun formalitas bukan segala-galanya, tapi orang 
memerlukannya. 

Sebuah "kontrak kerja", misalnya, memang tidak menjamin adanya komitmen yang tulus 
dari kedua belah pihak. Tapi paling sedikit ia memberi "pegangan". Orang bisa 
melakukan tindakan hukum bila itu dilanggar. 

Yang saya khawatirkan adalah, orang yang mengatakan bahwa "komitmen, bukan 
formalitas yang penting", sebenarnya adalah orang yang menolak komitmen. 



Orang yang mengatakan bahwa formalitas pernikahan tidak penting — sebab hanya cinta 
kasih, relasi dan komitmen-lah yang penting — sering adalah orang yang menolak untuk 
memberi komitmen "resmi". 

Mereka masuk dari pintu depan, tapi diam-diam menyiapkan "pintu darurat" di belakang. 
Agar sewaktu-waktu mereka bisa melarikan diri dari komitmen dan relasi, yang selalu 
mereka katakan paling penting itu. Dan melarikan diri dengan mudah, tanpa direpotkan 
oleh tetek-bengek formalitas, seperti mengurus surat cerai, dan sebagainya. Nah., 
ketahuan "belang"nya, bukan? 050404 

Memahami Perceraian dengan Duka yang Dalam 
Oleh Eka Darmaputera 

SEMUA orang tahu, bahwa salah satu pilar "perkawinan kristiani", adalah 
"indisolubilitas"-nya. Artinya, "sekali terikat, pantang ia terurai" "Apa yang telah 
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). 

Pertanyaannya adalah, apakah itu berarti bahwa "perceraian" lalu mutlak tidak 
dimungkinkan sama sekali? Dan bila begitu, bagaimana kita mesti menyikapi realitas 
terjadinya begitu banyak perceraian - dan yang cenderung semakin lama semakin banyak 
— termasuk di kalangan orang-orang kristen sendiri? 

Dulu, dengan adanya larangan mutlak tersebut, orang yang semula berniat untuk bercerai, 
mungkin lalu mengurungkan hasratnya. Itu ketika rasa hormat orang kepada gereja masih 
lumayan tinggi. Tapi kini? Kalau mau cerai, ya cerai saja - apa pun kata gereja. 
Emangnya gua pikirin? 

Kita tentu tidak boleh dengan mudah bertukar prinsip, semudah kita berganti baju. Ya! 
Namun, saya kira, kita juga tidak boleh secara membabi-buta, mempertahankan sesuatu 
yang jelas-jelas tidak relevan dan tidak efektif lagi. 

* * * 

PADA suatu petang, saya kebetulan mendengarkan sebuah acara "talk show" sebuah 
radio amatir di Jakarta. Wah, geram sekali saya mendengarnya! Geram, bukan hanya 
karena bahasa si narasumber yang amat buruk, tetapi terutama karena pernyataan- 
pernyataannya. 

Ia mengklaim diri sebagai seorang "teolog", tapi lagaknya jauh lebih mirip seorang 
"ideolog". Nada bicaranya seolah-olah jurubicara kebenaran, padahal yang saya dengar 
adalah banyak ketidakbenaran. Acaranya konon "interaktif, tapi yang terjadi adalah, ia 
cuma mau bicara, tak mau mendengar. 



Berulang-ulang narasumber tersebut mengatakan, "Masalah begini harus kita sikapi 
secara "teologis", jangan cuma secara etis". Waktu itu yang dibicarakan adalah masalah 
istri yang kebetulan juga seorang "wanita karir". 

Astaga, pikir saya. Dengan memisahkan — bahkan mempertentangkan - keduanya, saya 
betul-betul sangsi, apakah yang bersangkutan tahu benar apa itu "teologi" dan apa itu 
"etika". Dugaan saya, tidak. 

Sebab, apa gunanya "teologi", bila tidak diterjemahkan secara "etis", sehingga mampu 
memberi pegangan hidup yang kongkret? "Teologi" macam beginilah yang menghasilkan 
penganut-penganut fanatik, tapi tanpa "etika". Contoh ekstremnya, adalah para teroris itu. 

Sebaliknya "etika", saya akui, juga tak akan bermanfaat bila tidak dilandasi oleh 
keyakinan "teologis" yang jernih dan pasti. "Etika" macam begini, tidak akan mampu 
memenuhi fungsinya, yaitu memberi pegangan apa bagi tingkah laku. Sebab semuanya 
tergantung "si-kon". 

Si narasumber memang banyak menyebut ayat-ayat alkitab. Tapi seolah-olah tidak mau 
tahu, bahwa alkitab tidak hanya terdiri dari satu-dua ayat "favorit". Ia juga tidak mau 
tahu, bahwa di dalam alkitab sendiri, pemahaman teologis itu berkembang. Tidak 
se-"statis", se"beku", dan se-"mandek" seperti yang ia kehendaki. Bahwa Tuhan ternyata 
jauh lebih luwes dan penuh pengertian, ketimbang banyak penganut fanatiknya! 

* * * 

KESAN saya tentang si "teolog" tersebut saya tuliskan di sini, karena saya ingin agar kita 
tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk menyikapi "perceraian", o, dengan mudah 
saya dapat mengutipkan beberapa ayat alkitab untuk Anda. Dan percakapan selesai. Tapi 
selesai jugakah masalahnya? 

Bahwa kita harus dengan sepenuh hati menghormati tradisi yang kita warisi, sikap saya 
tegas, "ya". Bahwa karenanya kita tidak boleh gampang-gampang mengabaikannya, sikap 
saya juga tegas, "ya". Namun, sikap tersebut toh tetap belum menjawab pertanyaan: 
apakah ada gunanya mempertahankan suatu aturan yang tak lagi dipatuhi dan dipedulikan 
orang? 

Apakah kita mesti berkeras kepala mempertahankannya, semata-mata karena, seperti kata 
"teolog" di atas, kita harus bersikap "teologis" — bukan "etis"? Atau lebih bijak bila kita 
kerek turun saja bendera keyakinan kita, memenuhi tuntutan dunia? 

Saya menolak kedua-duanya. Yang harus kita coba lakukan adalah menangkap inti pesan 
alkitab yang kita yakini bersifat mutlak dan apriori selalu benar. Tapi inti pesan itu masih 
harus kita perhadapkan dengan realitas yang ada. Sedemikian rupa, sehingga kita tidak 
begitu saja bersikap menyerah terhadap kenyataan atau menafikan kenyataan. Melainkan 
"menelanjangi" kenyataan di bawah terang kebenaran Firman. 



Dengan begitu, kita "memahami" dan "menghayati" kebenaran Firman Tuhan itu, dalam 
perspektif konteks realitas kehidupan kita yang nyata - kini dan di sini. Kita tidak sekadar 
mengulang-ulang apa yang telah dikatakan sejak ribuan tahun silam, tetapi 
menghadirkannya untuk menyapa kita — sekarang. 

* * * 

TENTANG "perceraian", alkitab agaknya punya satu suara. "Apa yang telah dipersatukan 
Allah, tidak boleh diceraikan manusia". Matius menulis begitu (19:6). Markus menulis 
begitu (10:8). Seluruh alkitab secara implisit juga mengatakan itu. 

Namun, di dalam kesamaan tersebut, toh kita mendapati ada nuansa yang berbeda-beda. 
Tidak bertentangan, tapi juga tidak persis sama. Misalnya, antara Markus dan Matius. 
Menurut versi Markus, "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan 
perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan ." (10:11). Sedang menurut versi Matius, 
"Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan 
lain, ia berbuat zinah" (19:9). 

Artinya, baik Markus maupun Matius, mereka sepakat mengatakan bahwa "perceraian" 
tidak dikehendaki Tuhan. Namun demikian, bagi Markus, larangan itu bersifat mutlak (= 
unconditional). Sedang menurut versi Matius, larangan tersebut masih membuka ruang - 
betapa pun kecil — bagi "pengecualian" (= exceptional). 

Bagaimana menanggapi perbedaan tersebut? Menurut William Barclay, karena injil 
Markus itu lebih "tua" usianya dibandingkan dengan injil Matius, maka besar 
kemungkinan, Markus-lah yang lebih akurat. Bercerai itu salah. Mustahil. Titik. 

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kesaksian Matius lalu tidak ada artinya. Adanya 
versi yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa variasi pemahaman, perkembangan, dan 
perubahan, dihargai. Versi Matius menunjukkan, betapa dalam perjalanan waktu, terjadi 
perubahan sikap dan pemahaman. Yaitu dari sikap yang sangat ketat dan cenderung 
"kaku", ke sikap yang lebih "terbuka" dan "fleksibel". Karena itu, kini terbuka ruang bagi 
"pengecualian". Ini wajar sekali, bukan? 

Kecenderungan seperti ini, saya tahu, tentu ada bahayanya. Yaitu semakin lama, orang 
bisa semakin jauh dari "api" atau "semangat" yang asli dan mula-mula. Orang menjadi 
kompromistis. Standar moralnya semakin lentur; semakin rendah. 

Tapi tidak boleh hanya ditafsirkan begitu. Sebab "akomodasi" atau "penyesuaian diri", 
adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Tanpa akomodasi, orang akan terisolasi. Hanya 
akan menjadi sekumpulan orang-orang yang aneh dan nyeleneh; eksklusif dan eksentrik. 
Karena itu, tidak menarik. Padahal tugas kita adalah untuk membuat orang tertarik 
kepada Kristus. Nah, bagaimana kita dapat membuat orang tertarik, bila kita sendiri tidak 
menarik? 



Dalam hal Matius, kita yakin, bahwa nilainya sebagai Firman Tuhan tidak jadi berkurang 
sedikit pun, hanya karena variasi tersebut. Mengapa? Oleh karena variasi tersebut masih 
berada dalam batas yang tidak melanggar prinsip yang mutlak dan universal. Masih 
dalam "zona" yang dapat ditorerir. Masih tetap berpegang pada prinsip, bahwa Tuhan 
tidak menghendaki perceraian. 

* * * 

PERTANYAAN kita adalah: bagaimana sesuatu yang tidak diperkenankan, kok 
dimungkinkan? Inilah, saudara, yang namanya "kekecualian" itu! Atau, meminjam istilah 
Kari Barth, suatu "possible impossibility". Sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, 
tapi dalam kenyataannya mungkin - bahkan banyak — terjadi. 

Sebut saja, sebagai contoh, adalah peperangan, penyakit, pencobaan, dan sebagainya. 
Semua ini jelas tidak dikehendaki Allah sejak awalnya. Sekiranya saja manusia tidak 
jatuh ke dalam dosa, semua itu pasti tidak akan ada. Tapi kini, setelah dosa hadir, bisa 
terjadi situasi-situasi ekstrem, yang tidak "pas" lagi bila dihadapi berdasarkan norma- 
norma yang lazim. 

Misalnya, dengan sangat berduka kita mengatakan, bahwa bisa saja ada situasi tertentu, 
di mana melanjutkan perkawinan akan berakibat jauh lebih buruk ketimbang 
memutuskannya. Situasi "kekecualian", di mana kita justru bersikap kejam dan tidak 
mencerminkan kasih, bila memaksakan perkawinan seperti itu terus berlanjut. 

Menyaksikan perceraian, kemungkinan besar, Allah juga menangis. Seperti "sang ayah" 
dalam perumpamaan Yesus juga menangis, ketika anak bungsunya memaksa pergi 
meninggalkan rumah. Ia tahu tindakan itu amat salah. Namun begitu, ia tidak 
menghalang-halanginya. Ia — dengan hati hancur - membiarkan anak itu pergi. Seperti 
kita juga dengan hati hancur, terpaksa membiarkan sebuah perkawinan berakhir dengan 
perceraian. 

Yang jelas salah adalah, bila "kekecualian" kita anggap sebagai "aturan umum". Lalu 
orang dengan begitu mudahnya memutuskan tali perkawinan, seperti orang mematahkan 
sebuah ranting kering. Ini tidak membuat Tuhan sedih. Tapi murka. *** 260104 

Trilogi Perkawinan Kristiani 
Oleh Eka Darmaputera 

PEMBICARAAN mengenai Hukum ke-7 Dasa Titah, "JANGAN BERZINAH", 
membawa kita pada masalah PERKAWINAN. Tidak dapat tidak! Pemahaman orang 
tentang apa itu "berzinah", sangat tergantung pada pemahaman yang bersangkutan 
tentang apa itu "perkawinan". Tidak ada perkawinan, tidak ada perzinahan. Contohnya, 
ayam. Ayam biasa bertukar-tukar pasangan. Entah berapa kali sehari. Tapi berzinahkah 
ia? 



Menurut ajaran Reformasi, lembaga "perkawinan" terletak pada ranah (= realm) "Orde 
Penciptaan" (= Order of Creation). Apa artinya? Artinya, pertama, ialah, bahwa 
"perkawinan" itu diciptakan dan dikehendaki Allah, sejak awalnya Ia sudah ada dalam 
rancang-bangun penciptaan Allah, sejak "dari sono-nya". 

Ini berbeda dengan, misalnya, lembaga manusiawi lain yang disebut "negara". Menurut 
Alkitab, "negara" baru direstui Allah setelah dosa dan karena dosa ( Bnd. 1 Samuel 8:1- 
9). Mengatakan bahwa "perkawinan" termasuk dalam "orde penciptaan", berarti 
mengatakan bahwa - apa pun yang kemudian terjadi — perkawinan itu pada hakikatnya 
baik, suci, diberkati. 

Kedua, mengatakan bahwa "perkawinan" termasuk dalam "orde penciptaan" , juga berarti 
mengatakan, bahwa ia diciptakan dan dikehendaki Allah bagi semua. Semua orang 
ciptaan-Nya. Tidak hanya bagi sekelompok orang tertentu. 

Implikasi teologisnya adalah, tidak hanya pernikahan orang-orang Protestan, dan yang 
dilakukan di gereja-gereja Protestan saja, yang bisa disebut sebagai "perkawinan". 
Ghozali tidak boleh dicap "berzinah" dengan Chotimah, hanya karena perkawinan 
mereka dilangsungkan di KUA. Ong Bun Teng tidak boleh dianggap "kumpul kebo" 
dengan Tjhie Sam Sioe, hanya sebab mereka menikah di kelenteng, tidak di gereja. 

* * * 

SEBUAH perkawinan adalah "sah", bila ia "sah" menurut hukum. Gereja tidak 
mengesahkan perkawinan. Gereja hanya "sekadar" memberkati serta meneguhkan 
pernikahan warganya, yang terlebih dahulu telah disahkan oleh negara. 

Konon, untuk menyungguhkan ajarannya yang terkesan "menentang arus" ini, Martin 
Luther dengan sengaja, hanya menikah di depan pejabat negara. Dengan itu, ia seolah- 
olah ingin mempermaklumkan, " Dengan ini, pernikahanku toh tidak jadi berkurang 
keabsahannya. Baik di hadapan Tuhan, maupun di depan manusia". 

Untuk pengetahuan Anda, keyakinan itulah yang membuat gereja-gereja Protestan di 
Indonesia sebenarnya mengalami kesulitan mendasar, sehubungan dengan ketentuan UU 
Perkawinan yang berlaku di negara kita, — yang nota bene memang sudah kontroversial 
sejak awal kelahirannya. Mengapa? 

Sebab, di satu pihak, UU Perkawinan menetapkan, bahwa perkawinan harus "sah" 
terlebih dahulu secara agama, baru kemudian bisa "dicatat" oleh negara. Di lain pihak, 
ajaran Protestan mengatakan yang sebaliknya: bahwa perkawinan mesti "sah" dulu di 
depan negara, baru gereja dapat merestui serta meneguhkannya. 

Sebab bagaimana mungkin gereja "memberkati" sebuah perkawinan yang belum sah? 
Atau "meneguhkan" sebuah perkawinan yang secara resmi belum ada? 



Sedang mengabsahkannya? Ini lebih mustahil lagi! Sebab "gereja" bukanlah sebuah 
lembaga hukum. "Gereja" juga bukan sebuah lembaga negara. "Gereja" adalah sebuah 
lembaga keagamaan. Mengesahkan sebuah perkawinan, berarti merampas apa-apa yang 
merupakan "hak" dan "otoritas" lembaga lain, d.h.i. "negara". Dan urusan pun akan jadi 
lebih pelik, bila sebagai konsekuensinya, "gereja" yang harus mengabsahkan 
"perkawinan", harus juga menentukan keabsahan "perceraian". 

* * * 

TETAPI walaupun, seperti diuraikan di atas, "perkawinan" bersifat universal, ini sama 
sekali tidak berarti bahwa yang disebut "perkawinan kristiani" itu tidak ada. Perkawinan 
Yohanes dengan Maria bisa saja sama sahnya dengan perkawinan antara Wayan dan 
Ketut. Tapi juga amat berbeda! 

Perbedaan itu terletak pada asas-asasnya. Sebuah "perkawinan kristiani" bukanlah 
sekadar perkawinan antara dua orang kristen. Melainkan sebuah perkawinan yang 
dilandasi oleh prinsip-prinsip kristen. Perkawinan Yohanes dan Maria tidak serta merta 
adalah sebuah "perkawinan kristen". Baru bisa disebut begitu, apabila Yohanes dan Maria 
benar-benar menjalankan hidup bersama mereka berdasarkan " clS3.S~3.StiS perkawinan 
kristen". Karena itu penting sekali kita mengetahui karakteristik asas-asas tersebut. 

Mengenai ini, perkenankanlah saya hanya berbicara mengenai apa-apa yang saya anggap 
paling pokok saja. Yaitu bahwa, ibarat bemo atau bajaj yang memiliki tiga roda, sebuah 
perkawinan kristen juga punya tiga (= trilogi) asas pokok. Tiga asas tersebut adalah: (a) 
asas monogami; (b) asas kesetiaan ( = fidelitas); dan (c) asas seumur hidup (= 
indisolubilitas). Sebuah perkawinan kristen adalah perkawinan antara seorang suami 
dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka, saling mengikatkan diri dalam 
ikatan kasih-setia. 

Yang perlu saya tekankan adalah, bahwa yang terpenting dari karakteristik ini bukanlah 
masing-masing asas itu secara individual, melainkan bahwa tiga asas tersebut merupakan 
satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Ini penting saya kemukakan, karena ada orang yang dengan "licik"nya membenarkan diri 
dengan memanfaatkan asas-asas itu, sekali pun perbuatannya jelas-jelas merupakan 
pelanggaran. 

Misalnya, kasus pak Sastro Kempul. Dengan bangganya ia selalu mengatakan, betapa 
dengan segenap hati ia menjunjung tinggi asas monogami. "Saya tidak pernah punya istri 
lebih dari satu orang", katanya. 

Tapi apa yang ia lakukan? Setiap kali ia jatuh hati kepada perempuan lain, maka 
diceraikannyalah istri yang "satu-satu"nya itu, untuk digantikan kedudukannya oleh istri 
yang baru, yang juga "satu-satu"nya. Pak Kempul menjalankan asas "monogami" tapi 
melanggar asas "kesetiaan" dan "asas seumur hidup". 



Pak Joni Kemplu lain lagi. Ia mengklaim diri sebagai penganut prinsip "monogami" dan 
juga pembela asas "seumur hidup". Karena itu, katanya, "Seumur hidup saya, saya tidak 
akan pernah menceraikan istri saya yang satu-satunya! Swear!". Tapi ia bermain "gelap- 
gelapan" dengan entah berapa banyak perempuan lain.. Pak Kemplu tidak lulus tes asas 
yang kedua, yaitu asas "kesetiaan". 

* * * 

ADA lagi tiga komponen yang juga amat erat saling terkait, di mana "perkawinan" adalah 
salah satu komponennya. Inilah TRILOGI yang kedua: saling keterkaitan antara CINTA, 
SEKS, dan PERKAWINAN. 

Asas ini, saya akui, kini telah dianggap usang. Tak sesuai lagi dengan gaya hidup 
moderen. Sebab orang moderen justru cenderung memisahkan ketiganya. "Seks", 
misalnya, dianggap sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri. Boleh dinikmati sebagai 
"seks". 

Tanpa perlu dikait-kaitkan dengan "cinta". Dan tanpa perlu harus dihubung-hubungkan 
dengan "perkawinan". "Seks untuk seks". 

Di mata orang moderen, "perkawinan" juga begitu. Tidak hina, ganjil atau nista, bila 
seorang Hasoloan "menikah" dengan Tarida, tapi "cinta"nya untuk Kemala, sedang 
"seks"nya dinikmati bersama dengan Tuti dan Rini dan Evi dan Sandra. 

Lalu "cinta"? "Cinta" tentu masih ada. Lihat saja sinetron-sinetron kita - entah berapa 
banyak yang bertemakan "cinta"! Tapi tunggu dulu. Bila orang-orang muda sekarang 
berbicara tentang "cinta" - apa sebenarnya maksud mereka? Menurut kesan saya, 
sekarang ini padanan kata untuk "cinta" adalah: "tertarik" atau "terpikat" atau "timbul 
berahi", atau macam-macam lagi. Tapi yang pasti, tidak perlu terarah ke "perkawinan". 
Mungkin terarah ke "seks", tapi "seks" tak selalu mesti ekspresi "cinta". 

* * * 

DALAM perspektif kristiani, tiga komponen tersebut tidak boleh dipisah-pisah atau 
dipiliah-pilah. "Seks" dalam pandangan kristen bukanlah sesuatu yang tabu, hina dan 
kotor. 

Kenikmatan seksual adalah anugerah Tuhan - bahkan salah satu anugerah Tuhan yang 
terbesar, yang - meniru bunyi sebuah iklan — "membuat hidup benar-benar hidup"! 

Ya! Tapi di mana letak kenikmatan seksual yang paling puncak, dan daya tarik seksual 
yang paling indah? Jawabnya: ketika kegiatan seksual merupakan ekspresi "cinta" dan 
dilaksanakan oleh suami - istri dalam konteks "perkawinan" yang berbahagia. Ini, 
saudara, yang benar-benar ruaaarr biasa! 



"Seks" tanpa "cinta" tentu saja bisa tetap menyenangkan dan memberi kenikmatan 
tersendiri.. Tapi kesenangan dan kenikmatan yang cuma menyentuh permukaan. Tidak 
memberi kepuasan yang mendalam. 

"Seks" di luar konteks "perkawinan" amat boleh jadi mampu memberikan suasana 
petualangan yang nikmat dan menegangkan. Tapi percayalah, ia pasti tidak memberi 
ketentraman jiwa. 

Bahkan yang lebih sering, ia melahirkan rasa bersalah yang mengganggu serta 
penyesalan yang panjang. 

Karena trilogi tersebut, kita menolak ide "hidup bersama" di luar pernikahan. Gaya hidup 
ini memisahkan "seks" dan "cinta" dari "perkawinan". Dan sebaliknya, juga karena trilogi 
tersebut, kita menolak dilaksanakannya "perkawinan" dengan motivasi-motivasi lain di 
luar cinta yang murni dan "seksualitas" yang benar. Misalnya memaksakan perkawinan 
untuk menutup aib atau untuk memperoleh keuntungan. *** 

Seksualitas yang Seharusnya 
Oleh Eka Darmaputera 

COBA tolong Anda definisikan apa "merah" itu! "Merah? Ah, kalau cuma itu sih, semua 
juga tahu!", begitu mungkin reaksi Anda. Ya, siapa yang tidak kenal warna "merah"? 
Tapi silakan mendefinisikannya, maka saya jamin, Anda pasti kebingungan. 

Saya duga, yang paling banter dapat Anda katakan adalah, bahwa merah itu bukan putih, 
bukan kuning, bukan biru, dan seterusnya. 

Ini mirip dengan pengalaman saya, ketika di luar negeri saya diminta menjelaskan apa itu 
"demokrasi Pancasila" dan "ekonomi Pancasila". Gelagapan saya dibuatnya. 

Yang waktu itu spontan meluncur dari mulut saya adalah, bahwa "demokrasi Pancasila" 
itu bukan "demokrasi liberal" ala Amerika; tapi bukan pula "demokrasi rakyat" gaya 
Korea Utara. Dan "ekonomi Pancasila" adalah sistem ekonomi yang tidak kapitalis, 
namun sekaligus tidak pula sosialis". 

Yang ingin saya katakan adalah, bahwa kadang-kadang kita hanya bisa menjelaskan 
"what is" dari "what is not". Apa yang "ya", dari apa yang "tidak". Dan apa yang "harus", 
dari apa yang "tidak boleh". 

Hukum ketujuh Dasa Titah berbunyi, "JANGAN BERZINAH". Apa persisnya yang 
dilarang oleh hukum tersebut? Ada dua cara yang dapat kita tempuh untuk menjawab 
pertanyaan tersebut. Pertama, kita bisa menjawabnya dengan membuat sebuah "daftar 
larangan", yang boleh jadi tidak terbatas panjangnya, dan luar biasa banyaknya. Atau, 
kedua, kita dapat dengan ringkas mengatakan, bahwa "apa yang tidak boleh" adalah 
semua yang bertentangan dengan "apa yang harus". 



Tentu saja, saya memilih yang kedua. Yang berarti, kita akan membicarakan terlebih 
dahulu apa-apa yang "seharusnya", baru apa-apa yang "dilarang". 

* * * 

SALAH SATU konsep terpenting dan "khas" alkitab tentang "manusia", adalah 
pemahamannya bahwa manusia adalah satu kesatuan yang utuh. Satu kesatuan tubuh- 
jiwa-roh yang tak terbagi-bagi. Tanpa dikhotomi. Tanpa dualisme. 

Ini berlawanan dengan filsafat Yunani yang mengatakan, bahwa "tubuh" adalah penjara 
bagi "jiwa". Atau dengan dengan filsafat Timur yang mengajarkan, bahwa yang "rohani" 
itu mulia, dan yang "jasmani" itu hina. 

Dengan ringkas tapi tegas alkitab menyatakan, bahwa "manusia" adalah kesatuan "tubuh" 
dan "jiwa" yang tak terpisahkan. Kejadian 2:7 memberi kesaksian, "Ketika itulah Tuhan 
Allah membentuk manusia itu dari debu tanah, dan menghembuskan nafas hidup ke 
dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup". 

Artinya, baik tubuh maupun jiwa, kedua-duanya adalah dari Allah yang satu itu jua 
asalnya. Karena itu kedua-duanya baik, mulia, kudus. Manusia harus memuliakan Allah 
dengan segenap jiwanya, tapi juga dengan seluruh tubuhnya. Antropologi semacam ini 
tentu saja sangat menentukan bagi pemahaman mengenai "seksualitas". 

* * * 

KONSEKUENSI yang pertama adalah, bahwa - menurut alkitab - "seksualitas" pada 
dirinya, dan pada hakikatnya, adalah baik. Baik, sama seperti semua ciptaan Allah yang 
lain, menurut penilaian Allah, "sungguh amat baik" (Kejadian 1:31). Tidak kotor, nista 
atau hina. Sebaliknya, ia suci, mulia, menyenangkan. 

Pada satu pihak, kebutuhan maupun dorongan seksual diterima sebagai sesuatu yang 
alamiah. Sama seperti kebutuhan manusia akan makanan atau minuman. Sama seperti 
dorongan rasa lapar atau rasa haus. Karena itu alkitab tak pernah berusaha menutup- 
nutupinya. Tidak jarang malah terlalu eksplisit. Karena itu, bersyukurlah - jangan merasa 
bersalah — bila Anda masih dikaruniai selera makan atau . nafsu seks! 

Namun, di lain pihak, toh ada sesuatu yang "lebih" atau "istimewa" pada seksualitas, 
yang tidak terdapat pada makan atau minum. Perkenankanlah saya memberi dua contoh 
sederhana. 

Yang pertama adalah kemungkinan yang unik dan eksklusif , yang dikaruniakan Tuhan 
melalui seksualitas. Apa itu? Yaitu, kemungkinan manusia untuk memperoleh keturunan 
atau ber"prokreasi". Agar melaluinya, kelangsungan eksistensi manusia bisa terus 
berlanjut. Apa yang lebih mulia dan lebih istimewa dari pada ini? Kegiatannya barangkali 



memang cuma beberapa menit, tapi jangkauannya adalah ke"akan"an yang seolah-olah 
tanpa batas! Itulah seksualitas. 

Kemudian, yang kedua, bukan cuma menyangkut potensialitasnya semata, tapi juga 
realitasnya. Maksud saya, kenikmatan serta kepuasan lahir-batin yang dimungkinkan 
Allah untuk dialami oleh manusia, melalui kegiatan seksualnya ini! Ini juga tak 
terbandingkan dengan kegiatan apa pun yang lain. 

Seorang bapak gereja bahkan pernah mengatakan, bahwa satu-satunya pengalaman 
manusiawi yang dapat dipakai sebagai "pembanding", sehingga orang bisa memperoleh 
sekelumit gambaran tentang kenikmatan sorga nanti, adalah orgasme. Walaupun, tentu 
saja, perbedaannya juga luar biasa. Orgasme cuma berlangsung beberapa detik. Sedang 
kenikmatan sorgawi - yaitu ketika manusia mengalami "kesatuan mistis" dengan Allah — 
berlangsung abadi. 

* * * 

DALAM ketegangan yang dinamis antara dua aspek itulah, kita menangkap pemahaman 
seksualitas yang khas alkitabiah. Aspek yang pertama adalah, ke"normal"an serta 
ke"natural"an-nya. Bahwa seksualitas itu normal! Dorongan-dorongannya natural! Sama 
seperti kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis Anda yang lain. Jadi, Anda tak perlu merasa 
malu atau merasa bersalah bila memiliknya. Sebaliknya, bersyukurlah! 

Mengatakan bahwa seksualitas itu "normal" dan "natural" berarti mengatakan, bahwa 
seksualitas penting. Bahwa tanpa itu, hidup manusia menjadi tidak penuh, tidak utuh, 
tidak lengkap. Bahwa hidup yang a-seksual adalah a-natural. Abnormal. Boleh-boleh saja 
Anda memutuskan untuk tidak menikah. Tapi jangan katakan, bahwa itu Anda lakukan 
agar Anda bisa menjadi lebih suci dan lebih dekat kepada Tuhan! 

Setelah mengatakan itu, toh kita harus segera menyatakan, bahwa seksualitas bukanlah 
satu-satunya yang penting. Bukan pula yang terpenting. Seksualitas bukan segala- 
galanya. Ia cuma "salah satu". Tak boleh kita per"setan"kan, namun jangan pula kita 
per"tuhan"kan! 

Seksualitas adalah salah satu aspek saja dari kehidupan manusia yang lebih luas dan lebih 
kompleks. Karena itu ia hendaknya juga dipahami dan diperlakukan dalam inter-relasi 
dengan komponen-komponen kehidupan yang lain. Tidak dalam "isolasi", melainkan 
dalam "koordinasi" dengan yang lain-lain itu. Yang benar berkenaan dengan seksualitas 
adalah yang "proporsional". Tidak "sex-maniac" tidak pula "sex-o-phobia". 

* * * 

"JANGAN BERZINAH". Pada satu pihak, larangan ini adalah salah satu saja dari 
sepuluh titah yang ada. Karena itu, jangan terlampau melebih-lebihkannya. Dosa seksual 
tidak lebih serius dibandingkan dengan dosa di bidang ajaran, atau dengan dosa dalam 
keluarga, atau dengan jenis dosa-dosa lainnya. 



Sebab itu bagi saya, adalah tragis dan ironis, ketika sekelompok masyarakat ribut besar 
dan merasa amat terganggu oleh "goyang Inul", tapi nyaris tidak bereaksi apa-apa ketika 
tindak korupsi semakin meluas, ketika tindak kekerasan meranggas, ketika perdagangan 
perempuan dan anak-anak dibiarkan semakin subur, ketika semakin banyak orang miskin 
yang tergusur, dan . ada orang yang malah sibuk menggagas "polygamy award". 

Namun toh benar juga, bahwa sekalipun "dosa seksual" hanya "salah satu" saja, tapi ia 
adalah "salah-satu" yang sama sekali tidak boleh dipandang remeh! Kita tidak boleh 
dengan enteng mengatakan, "Ah, biar saja! Habis, memang sudah zaman-nya sih!" . 
Atau, "Jangan usil ngurusin apa yang terjadi di bawah selimut orang , deh! Itu 'kan 
tanggungjawab masing-masing!" 

Tidak! Kita tidak bermaksud "usil" atau "iseng". Kita hanya mau peduli, sebab Tuhan 
pun sangat peduli. Dan Tuhan sangat peduli, karena dalam seksualitas ini terkait masalah 
"kekudusan". Baik kekudusan individual, maupun kekudusan relasional. 

* * * 

DALAM seksualitas terkait masalah "kekudusan relasional" antar-manusia. Telah sejak 
awal proses penciptaan, dengan jelas Tuhan menyatakan, "Tidak baik, kalau manusia itu 
seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia" 
(Kejadian 2:18). 

Kesendirian, menurut Allah, "tidak baik". Sebab kesendirian akan menciptakan ketidak- 
berdayaan. Ketidak-berdayaan yang hanya dapat diatasi dengan kehadiran seorang 
"penolong yang sepadan". Dan itulah antara lain hakikat serta fungsi seksualitas itu. 

Seksualitas memungkinkan mutualitas atau hubungan timbal balik antarmanusia. Juga 
kesetaraan antar manusia. Dan, jangan lupa, kesatuannya! "Inilah dia tulang dari tulangku 
dan daging dari dagingku . sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan 
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 
2:23-24). 

Jadi "berzinah" itu apa? "Berzinah", berarti tercemarnya kekudusan serta integritas moral 
individual orang-per-orang. Tapi "berzinah" juga berarti rusaknya relasi yang mutualistis 
antar manusia: keseteraannya, kesatuannya, tolong-menolongnya. Ketika "perzinahan" 
terjadi, kekudusan terinjak-injak dan relasi kemanusiaan retak. Dan ini, Saudara, 
sungguh, adalah bencana! 

Perang Kok Adil, Apa Ada? 
Oleh Eka Darmaputera 

Cukup lama sudah kita jelajahi wilayah hukum keenam Dasa Titah, "JANGAN 
MEMBUNUH". Sudah saatnya kita keluar dari situ. Namun entah mengapa, saya kok 



belum merasa plong, sebelum kita menyinggung soal yang satu ini - soal "PERANG", 
kKhususnya, setelah Amerika dan kawan-kawan menyerang Irak. 

Setiap nalar sehat pasti mengatakan bahwa konsekuensi logis dari "jangan membunuh", 
adalah "menolak perang". Ini, semua pasti setuju. 

Tapi repotnya adalah, Alkitab juga penuh sesak dengan kisah-kisah perang. Banyak di 
antaranya malah karena perintah Tuhan sendiri. Nah, kontradiksi ini, bagaimana 
menj elaskannya? 

Cara yang termudah adalah dengan mengatakan bahwa meski tak ada "perang yang 
benar", toh ada "perang yang dapat dibenarkan". Dan perang yang diperintahkan Allah, 
so pasti termasuk kategori ini! 

Bermula dari sini, berkembanglah apa yang kemudian dikenal sebagai "teori perang yang 
adil" (= Just War Theory). Intinya: walau perang tak mungkin menghasilkan keadilan, 
dalam keadaan tertentu ia dibutuhkan sebagai upaya terakhir guna melawan 
ketidakadilan. 

* * * 

TEORI "Perang yang Adil", sejak abad 5, diletakkan dasarnya dan dikembangkan oleh 
AGUSTINUS-bapak gereja yang amat dihormati di lingkungan Ortodoks, Roma Katolik, 
dan Protestan sekaligus. Dalam tafsirannya terhadap kitab Yosua - kitab yang, kita tahu, 
sangat bising oleh gemuruh peperangan-Agustinus membuat definisi mengenai "perang 
yang dibenarkan" ( Awas, bukan "perang yang benar"!). 

"Perang yang dibenarkan", katanya, adalah perang "untuk menghukum kesalahan atau 
kejahatan . (Misalnya) ketika suatu bangsa atau negara wajib diperangi, sebab lalai atau 
abai mengoreksi kejahatan warganya. (Perang tersebut) bertujuan untuk memulihkan 
keadaan yang rusak akibat kejahatan itu". 

Dalam suratnya kepada Bonifacius, ia menegaskan bahwa, benar, orang mesti 
mengusahakan perdamaian. Namun, sayang seribu kali sayang, katanya, perang kadang- 
kadang tak terelakkan. 

"Perdamaian- lah yang harus menjadi kerinduan Anda, sedang perang adalah 
keterpaksaan . Perang dapat dilakukan, semata-mata untuk mewujudkan perdamaian. 
Karenanya, dalam perang sekali pun, Anda selalu wajib menjadi pendamai. Dengan 
menaklukkan musuh, Anda harus memenangkan mereka bagi perdamaian". 

Kemudian melalui bukunya, "Melawan Faustus", Agustinus mengingatkan kembali, agar 
orang percaya memberikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar. Termasuk di sini 
adalah membayar pajak, supaya pemerintah memiliki cukup dana untuk mempertahankan 
kekuatan militernya dan membayar serdadu-serdadunya. 



"Hukum alam menentukan, bahwa untuk mengupayakan perdamaian, negara perlu 
memiliki wewenang dan kemampuan untuk memaklumkan dan melancarkan perang. 
Jangan pernah meragukan, bahwa perang dapat dibenarkan, sepanjang dilakukan dalam 
ketaatan kepada Allah, serta untuk menaklukkan kepongahan manusia" 

* * * 

TOMAS AQUINAS, guru besar gereja Roma Katolik, membela keberadaan "perang 
yang adil" dengan merujuk pada ajaran Yesus. Dalam Summa Theologiae-nya yang 
termashur itu, ia menulis bahwa memang benar Yesus berkata, "barang siapa 
menggunakan pedang, (ia) akan binasa oleh pedang" (Matius 26:52). Tapi, menurut 
Tomas, ini hanya berlaku bagi masyarakat sipil biasa, yang semena-mena mau bertindak 
bak "tentara swasta" alias "tentara liar". 

Kemudian benar pula Yesus pernah bersabda, "Jangan kamu melawan orang yang 
berbuat jahat kepadamu" (Matius 5:39). Kendati begitu, kata Tomas, ini toh tidak berarti 
lalu kita membiarkan begitu saja kejahatan merajalela tanpa sanksi apa-apa. 

Atau orang juga dapat berkata, bahwa bila "yang membawa damai" diberkati, maka 
konsekuensinya "yang membuat perang" harus dilaknati. Tidak salah, jawab Tomas. Asal 
saja kita tak pernah lupa, bahwa "perang" seringkah adalah cara paling efektif untuk 
membawa "damai". 

Di "kutub" yang lain, YOHANES CALVIN - sang reformator -, juga berpendapat bahwa 
"perang yang adil" kadang-kadang memang diperlukan, yaitu untuk mewujudkan 
"keadilan retributif " . Untuk menghukum yang salah, dan membela yang benar. 

"Tak peduli apakah suatu kejahatan dilakukan oleh seorang raja dalam skala besar, atau 
ia diperbuat oleh seorang bajingan dalam skala kecil, keduanya sama-sama harus 
dianggap dan dihukum sebagai kejahatan. Ini sama sekali bukan pelanggaran terhadap 
hukum "jangan membunuh". 

Sebab mencabut nyawa orang yang mendalangi sebuah "perang jahanam", adalah sekadar 
hukuman, yang vonisnya dijatuhkan oleh hakim, yang tak lain adalah Allah sendiri. Kita, 
pelaksananya, adalah sekadar alat-alat-Nya saja semata-mata" 

* * * 

JADI dapat dikatakan bahwa "teori perang yang adil" merupakan posisi baku ajaran 
kristen dari masa ke masa. Namun demikian saya anjurkan, agar kita tidak menutup mata 
atau mengabaikan kenyataan, bahwa ada "suara-suara lain". Dan bahwa "suara-suara 
lain" itu tak sedikit pun kalah substansialnya, untuk kita simak baik-baik dengan pikiran 
jernih dan hati terbuka. Bahkan mesti diakui, bahwa "suara-suara lain" itu terdengar 
semakin nyaring saja dari waktu ke waktu. Khususnya akhir-akhir ini, ketika orang telah 
jenuh dan mual, menyaksikan kekerasan demi kekerasan. 



Suara dan sikap saudara-saudari kita dari kelompok QUAKERS, misalnya, sungguh 
layak memperoleh perhatian kita. Jauh di kelampauan, namun terasa bagai sekarang, 
pemimpin mereka, Robert Barclay (1676), telah menyapa hati nurani dunia dengan 
telaknya. Katanya, "Barangsiapa mampu memadukan antara Jangan melawan kejahatan 
dengan kejahatan , dengan Lawanlah kejahatan dengan kekerasan; atau memadukan 
antara Berikanlah pipimu yang sebelah lagi, dengan Hantam lagi; atau antara Kasihi 
musuhmu dengan Hancur leburkan, bantai, dan kejar mereka dengan pedang dan api; atau 
antara Berdoalah bagi yang menganiaya kamu, dengan Aniayalah mereka dengan 
hukuman denda, hukuman penjara bahkan hukuman mati. 

Barangsiapa mampu menemukan cara untuk memadukan hal-hal tersebut, pastilah ia juga 
mengetahui bagaimana caranya memadukan Allah dengan Iblis, Kristus dengan Anti- 
Kris, terang dengan gelap, dan kebaikan dengan kejahatan. 

Benar, seperti dikatakan oleh Leo Tolstoy, Kristus memang tak pernah secara eksplisit 
melarang perang. Tapi "Ia yang bagaikan seorang ayah mendesak anak-anak-Nya untuk 
hidup jujur, pantang merugikan orang lain, bahkan mau memberikan apa yang 
dimilikinya bagi sesama yang membutuhkan, pasti tak perlu mengatakan bahwa ia 
melarang anak-anak-Nya membunuh orang dijalan. Bila prinsip-prinsipnya jelas, banyak 
hal detail yang tak perlu dikatakan". 

* * * 

PRINSIP yang paling sering dikemukakan orang untuk membela "perang yang adil" 
adalah prinsip retribusi, yaitu bahwa semua tindakan mengandung konsekuensi: pahala 
bagi yang baik; hukuman untuk yang jahat. Mengenai prinsip ini, Alkitab mengiakannya. 

Perumpamaan "Kambing dan Domba" (Matius 25:31-46), misalnya, memperlihatkan 
bagaimana "domba" (yang bermurah hati) dipersilakan ke sorga, sedang para "kambing" 
(yang menutup hati) dilemparkan ke neraka. Inti kitab Wahyu juga demikian: mahkota 
kehidupan bagi yang setia, dan kebinasaan abadi bagi penentang Allah. 

Karenanya saya tidak menaruh keberatan apa pun terhadap argumentasi tersebut. Tapi 
saya mempunyai pernyataan penting: yaitu bahwa pembalasan yang dilakukan oleh Allah 
adalah satu hal, tapi pembalasan oleh manusia yang berdosa adalah hal yang berbeda 
sama sekali. Teroris pun berlindung di belakang prinsip retribusi ini! Dan jangan lupa: 
"Pembalasan adalah hak-Ku," kata Allah (Roma 12:19). 

Kemudian ada pula yang mengatakan, betapa ia setuju bahwa kasih adalah prinsip paling 
utama - kalau bukan satu-satunya - bagi orang percaya. Namun demikian, katanya lebih 
lanjut, "kasih" membutuhkan "disiplin". Pada situasi-situasi tertentu, "kasih" harus 
dilaksanakan dalam bentuk "disiplin" dan, pada gilirannya, "disiplin" tidak menafikan 
"kekerasan"! 

Ini pun saya setujui sepenuhnya. Namun demikian, juga di sini saya mempunyai sebuah 
pernyataan penting. Yaitu: sungguh tak terbayangkan, bagaimana menghilangkan nyawa 



begitu banyak orang (misalnya dalam peristiwa Hiroshima dan Nagasaki), masih dapat 
disebut "menegakkan disiplin". Penegakan disiplin harus mengandung unsur "mengobati" 
dan "menyembuhkan". Pertanyaan saya: bagaimana mungkin mengobati dan 
menyembuhkan dengan cara membunuhnya? 

Mempertimbangkan semua itu, saya cenderung mengatakan, bahwa "perang yang adil" 
adalah sebuah "kemungkinan". Namun, kapan pun dan dengan alasan apa pun, perang - 
apa pun namanya - selalu lebih besar "mudaraf'nya ketimbang "manfaaf'nya, apa lagi, 
"perang agama". 

Menyikapi Bunuh Diri, Diiring Simpati 
Oleh Eka Darmaputera 

Masih dalam rangkaian pembahasan Hukum Keenam, "JANGAN MEMBUNUH", kini 
kita akan membahas sekadarnya masalah "bunuh diri". Tentu saja! Sebab kalau masalah 
"euthanasia" saja yang notabene tak pernah secara eksplisit muncul dalam alkitab kita 
bicarakan, betapa lagi soal "bunuh diri". 

Ditambah lagi akhir-akhir ini, ketika jumlah peristiwa bunuh diri meningkat keras dan 
kian sering terjadi. Dari yang dilakukan karena orang karena tak tahan terus-menerus 
diimpit kemelaratan, sampai pada yang dilakukan oleh orang yang na'uzibillah kaya- 
rayanya. Ingat konglomerat yang terjun bebas dari tingkat 56 sebuah hotel? 

Dari yang pelakunya orang dewasa, sampai yang pelakunya, astagafirulah, masih sangat 
belia. Ingat anak 12 tahun yang gantung diri, lantaran keluarganya tidak mampu 
menyediakan uang 2,500 rupiah? Dan . jangan lupa Anda sebutkan, semakin populernya 
metode terorisme dengan "bom bunuh diri" ! 

Alkitab, baik PL maupun PB, ada menyebutkan beberapa kasus bunuh diri. Ada yang 
melakukannya karena soal harga diri, seperti yang dilakukan oleh Ahitofel (2 Samuel 
17:23), Abimelekh (Hakim-Hakim 9:54), atau Saul (1 Samuel 31:4-5). Prinsip mereka 
agaknya, "Lebih baik mati berkubur debu, ketimbang hidup berkalung malu". 

Tapi ada pula yang melakukannya dengan prinsip yang lain, yaitu prinsip, "Kurelakan 
tubuhku hancur lebur, asal semua sama-sama jadi bubur". Inilah yang melatar-belakangi 
tindakan nekat Samson, (Hakim-Hakim 16:23-31) dan Zimri (1 Raja-Raja 16:18). 

Yudas, si orang Iskariot itu? O, dia lain lagi. Ia menggantung diri, membawa penyesalan 
yang menurut perasaannya tak mungkin terobati, atas kesalahan yang dalam anggapannya 
tak mungkin terampuni (Matius 27:3-5). Alasan yang masuk akal juga, sebab apa sih 
yang lebih menjijikkan dari pada mengkhianati cinta? 



* * * 



SEBENARNYA, bagaimana sikap Alkitab? Sangat jelas dan amat tegas! Alkitab 
menolak dan mengutuk keras. Sebagaimana kita ketahui, ia mengutuk setiap bentuk 
"pembunuhan". 

Sabda Allah melalui Nuh, "Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan 
menuntut balasnya . sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya sendiri" 
(Kejadian 9:5-6). Karena itu, walau terempas ke dasar penderitaan yang terdalam sekali 
pun, seorang anak Tuhan seperti Ayub tetap menolak dengan tegas anjuran untuk bunuh 
diri (Ayub 2:9-10). 

Di mata orang Yahudi, "bunuh diri" adalah "suatu tindakan yang sengaja dilakukan, 
dengan tujuan menghancurkan diri sendiri". Jadi, sepenuhnya negatif! Sepenuhnya 
destruktif! 

Sebab itu dalam adat mereka, mayat orang yang meninggal karena bunuh diri harus 
dipertontonkan secara terbuka, tak boleh ada perkabungan baginya, dan pantang 
dikuburkan sampai matahari terbenam. Lagi pula . mesti dikuburkan terpisah dari yang 
lain. 

Namun, toh di cela-cela keketatan mereka menaati hukum yang sangat termashur itu, 
hebatnya, mereka juga cukup realistis. Mereka menyadari, bahwa dalam kehidupan nyata 
bisa saja muncul kasus-kasus ekstrem, di mana tindakan bunuh diri yang resminya tidak 
benar itu justru diperlukan. 

Penulis sejarah, Yosefus, mencatat peristiwa yang mengerikan sekaligus mengesankan 
sehubungan dengan itu. Ketika benteng Masada diserang musuh, dan segala harapan 
mempertahankannya telah punah, apa yang terjadi? Eliezer, sang panglima, 
memerintahkan pasukannya membantai semua orang Israel yang ada, dan setelah itu 
membunuh diri mereka sendiri! 

"Kita masih punya pilihan bebas, yaitu untuk mati secara terhormat .," demikian ia 
berseru, "Biarlah perempuan-perempuan kita mati ketimbang dicemari, dan laki-laki kita 
membuktikan bahwa mati lebih baik ketimbang jadi budak . Kematian membawa 
kemerdekaan bagi jiwa . Karena itu, tak sudi diperhamba, marilah paling sedikit kita mati 
sebagai orang-orang merdeka!". Heroik sekali. Hari itu Yosefus mencatat, ada 960 orang 
membunuh diri mereka. 

* * * 

NAMUN Yosefus juga mencatat sisi yang lain dari persoalan kita. Dalam hal ini, ia 
malah ikut langsung terlibat. Tatkala dalam insiden Yotapata, ia mengimbau dengan 
sangat agar orang-orang Yahudi tidak bunuh diri. 

Dalam imbauannya itu ia berkata, antara lain, "Mengapa kalian menyia-nyiakan kesatuan 
yang begitu indah antara tubuh dan jiwa, dan ingin menceraikannya? Takut mati bagi 



seseorang yang mesti mati, adalah sama pengecutnya, dengan orang yang ingin mati 
ketika ia belum seharusnya mati. 

Ketahuilah, bahwa tak ada kepengecutan yang lebih besar, dari pada tindakan seorang 
nakhoda yang, lantaran takut pada badai yang akan datang, lalu menenggelamkan seluruh 
kapal, bahkan sebelum prahara itu benar-benar tiba. 

Sesungguhnya, bunuh diri adalah tindakan melawan kodrat, dan sekaligus tindakan 
melecehkan Tuhan. Mereka yang mati terhormat memenangkan kemuliaan, tapi yang 
mati karena bunuh diri mewarisi kekelaman". 

Begitulah bagi orang Yahudi, bunuh diri adalah dosa. Walaupun kadang-kadang sekali, 
bisa saja seseorang dibenarkan merelakan nyawa karena iman, demi keyakinan, dan 
untuk Allah-nya. 

Kata Yesus, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi 
barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup 
yang kekal" (Yohanes 12:25) 

* * * 

TAPI dalam kenyataan, kita tahu, iman bukan satu-satunya motif orang mencabut nyawa 
sendiri. Malah boleh dikatakan, yang begini termasuk jarang sekali. Yang lebih sering 
terjadi adalah, orang melakukannya karena "menthok". 

Karena semua jalannya seolah-olah membentur tembok. Ia tak mungkin ke mana-mana 
lagi. Ia tak punya pilihan apa-apa lagi. 

Orang melakukannya, karena merasa tak sanggup lagi memikul beratnya beban 
kehidupan. Tak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Karena tenaganya telah terkuras 
habis. Semangatnya telah padam. Dan yang ia rasakan sekarang, hanyalah kesakitan dan 
kepenatan semata-mata, sementara di depan ia tak melihat secercah pun cahaya 
pengharapan atau kemungkinan perbaikan. Sebab itu, mengapa memperpanjang derita? 

Masalah bunuh diri, saya akui, adalah masalah etis. Tapi mengingat sifat 
permasalahannya, penting sekali saya tekankan, bahwa "masalah etis" ini wajib kita 
bahas dengan "sikap etis" pula! Ini perlu saya tekankan, karena - sebagaimana berulang- 
ulang saya kemukakan — betapa sering orang membusungkan dada berkata hendak 
menegakkan moral, tapi praktik dan cara-caranya sama sekali tidak bermoral. 

"Sikap etis" yang saya maksud adalah, sikap bersedia menempatkan diri dalam posisi dan 
situasi si pelaku. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu sedannya. Ikut 
tersayat oleh kepedihannya. Mendengar dengan jelas rintihannya yang tak terucapkan. 



Maksud saya, kita tidak datang sebagai seorang guru yang mau mengajari, atau sebagai 
seorang pengkotbah yang mau mencerca, atau sebagai seorang penasihat yang berpretensi 
bijak dan tahu semua. Tapi datang semata-mata sebagai sahabat. 

Bukan dengan menyandang kaidah-kaidah moral, tapi dengan mulut mencibir. Melainkan 
datang membawa empati dan simpati, yang memancar langsung dari hati. Tidak asal 
membenarkan, sebab kita mesti membuat penilaian. Tapi penilaian yang kita buat, adalah 
penilaian dari dalam situasi si penderita. Penilaian yang memahami sepenuhnya pilihan- 
pilihan yang kongkret, sulit, dan pelik, yang dihadapi saudara kita. 

* * * 

DENGAN berbekal sikap seperti itu, maka yang pertama-tama harus kita katakan adalah, 
bahwa bunuh diri selalu terjadi dalam konteks dan realitas kehidupan yang tidak sehat, 
tidak wajar, dan tidak ideal. Dalam situasi normal, sikap yang wajar tentu saja adalah 
berusaha mempertahankan, memelihara, bahkan mengembangkan kehidupan. Bukan 
justru dengan sengaja menghilangkannya. 

Karena itu, dalam situasi normal, jelas sekali bunuh diri adalah sesuatu yang absurd. 
Tidak dapat dibenarkan. Ia melawan naluri kehidupan. Sekiranya semua berjalan normal, 
hampir tak mungkin orang bunuh diri karena terpaksa. 

Sebenarnnya kita atau siapa pun tak perlu mengatakan bahwa "bunuh diri itu salah". 
Sebab, kalau cuma itu, siapa yang belum tahu? Semua sudah mengetahuinya. Lagi pula 
tak seorang pun yang menginginkannya. 

Mungkin yang belum banyak orang tahu adalah, bahwa kitalah yang tidak normal, 
apabila dalam situasi yang tidak normal, kita mau memaksakan ukuran-ukuran yang 
normal. 

Yang paling penting dalam permasalahan kita, sebenarnya bukan soal benar-tidaknya 
atau boleh-tidaknya bunuh diri. Sekali lagi, ini telah jelas bagi semua. 

Yang jauh lebih penting untuk dinyatakan dan ditanyakan adalah: bagaimana sikap kita 
ketika mengatakannya? Apakah dengan cemooh? Atau dengan simpati? 

O saudaraku, dengarkanlah apa yang saya katakan ini! Yaitu bahwa tak ada kesempatan 
lain, di mana KASIH dan SIKAP KRISTIANI SEJATI begitu dibutuhkan, dari pada 
ketika saudara kita sedang berada di ambang bunuh diri. 

Sayang sekali, yang lebih sering terjadi adalah mereka sendirian. Sendiri, tanpa teman 
sepenanggungan. Persis seperti ketika di senja itu, di taman Getsemane, Yesus hanya 
membutuhkan teman berjaga, tapi mesti kecewa. 



Euthanasia Dikaji, Diiring Simpati 



Oleh Eka Darmaputera 



Euthanasia. Istilahnya mungkin tak sering singgah di bibir. Tapi persoalannya dan 
pilihan-pilihan sulitnya? Keduanya adalah bagian dari realitas kehidupan kita. 

Ada seorang ibu muda, baru 30an tahun umurnya. Entah apa penyebabnya, sebagian 
besar jaringan ototnya tiba-tiba lumpuh total. Termasuk otot-otot yang diperlukannya 
untuk bernafas, menelan, membuang kotoran, dan sebagainya. Tapi syaraf- syarafnya 
hidup. Karena itu ia cuma bisa tergolek, namun sadar sepenuhnya. Dan ini tentu amat 
menyiksa. 

Sebab dengan demikian, ia bisa merasakan rasa ngilu luar biasa yang mengiringi 
penyakitnya, serta yang tanpa henti menderanya. Berbulan-bulan ia begitu. Dengan 1001 
macam jarum selang tertanam di tubuhnya. Sebab lantaran alat-alat itu sajalah, ia masih 
bisa bertahan hidup. Tentu saja "hidup" - dalam tanda kutip. 

Sebelum ini, suaminya banyak melakukan perjalanan, mengurus usahanya yang lumayan 
maju. Kini tentu tak bisa lagi. Seluruh usahanya berhenti total. Sebaliknya, lebih dari 
semilyar rupiah harus dikeluarkan, untuk membiayai pengobatan. Satu per satu miliknya 
yang berharga terpaksa dijual. Anak-anak pun berhenti sekolah. 

* * * 

SUATU hari dokter berkata, bahwa usaha sudah maksimal, tapi kemungkinan istrinya 
untuk sembuh nyaris tiada. Bahwa ia masih bisa bertahan, itu semata-mata adalah karena 
alat-alat penunjang yang mahal biaya pemakaiannya. Sementara itu, banyak pasien lain 
membutuhkan alat-alat tersebut. 

Karena itu, dokter meminta agar keluarga mempertimbangkan, apakah tidak sebaiknya 
alat-alat itu dicabut saja. Dengan demikian, sang istri tercinta bisa meninggal secara 
alamiah, bahkan terbebas dari penderitaannya. 

Di samping itu, keluarga akan dapat mengonsentrasikan semua sumber daya dan dana 
yang masih ada untuk keperluan masa depan, — khususnya masa depan anak-anak 
mereka. Lagi pula pasien-pasien lain yang membutuhkan, segera dapat ditolong dengan 
alat-alat langka tersebut. Dan, o ya, kalaupun Tuhan berkenan melakukan mujizat, Ia toh 
tidak bergantung pada menempel atau tidaknya alat-alat itu. 

* * * 

JADI, dicabut sajakah alat-alat itu? Atau jangan? Sungguh pilihan yang tidak mudah. 
Sebab mencabutnya, apakah ini tidak berarti membunuh, menunjukkan sikap menyerah, 
putus asa, dan tidak beriman? Namun sebaliknya, bila tidak mencabutnya, apakah ini ada 
manfaatnya, kecuali sekadar memperpanjang siksaan, sambil mengorbankan nasib 
banyak orang yang lebih punya harapan? 



Di balik dilema-dilema ini, adalah persoalan yang akan kita bahas. Persoalan euthanasia. 
Bagaimana menyikapinya, khususnya dalam terang hukum ke-enam, "JANGAN 
MEMBUNUH"? 

Tapi, pertama-tama, apakah euthanasia itu? Istilah ini berasal dari dua kata Yunani, yang 
secara harafiah berarti "kematian yang baik". Dalam bahasa Inggris, istilah yang populer 
untuk itu adalah "mercy killing". Artinya: membunuh karena rasa iba; dengan welas-asih; 
dan didorong maksud baik. 

Ah, tapi mana ada sih "membunuh" kok dengan "welas asih"? O, ada! Mereka yang pro 
euthanasia percaya, bahwa pada waktu kehidupan telah berkembang menjadi begitu 
beratnya sehingga tak tertahankan; ketika hidup nyata-nyata merupakan pilihan yang 
lebih buruk ketimbang mati; maka secara sah dan bertanggungjawab, begitu pendapat 
mereka, "hidup" (yang sebenarnya "bukan hidup") itu boleh diakhiri. Dengan berat hati, 
pasti. Tapi tanpa perlu ada rasa bersalah. 

Apa lagi yang layak disebut sebagai "hidup" itu, toh tidak cukup sekadar ditandai oleh 
jantung yang masih berdenyut, atau pulsa nadi yang masih teraba. "Hidup" yang 
sebenarnya mensyaratkan "kualitas" tertentu! Misalnya saja, bahwa "hidup" itu masih 
mempunyai makna. Bagi orang lain, dan bagi diri sendiri. Nah, berguna apa dan 
bermakna bagi siapa, hidup yang cuma didera rasa sakit luar biasa? 

* * * 

BAGAIMANA menyikapinya? Pertama-tama, sikap yang sangat diperlukan adalah, 
bersedia bergumul! Anda mesti bersedia ikut merasakan sakitnya, sulitnya, dan pahitnya 
pengalaman saudara-saudara kita, yang sedang bergulat dengan pilihan-pilihan pelik ini! 
Sediakanlah seluruh empati dan simpati Anda! Hadirkanlah diri Anda sebagai teman 
seperjalanan dan rekan sependeritaan. Bukan sebagai "hakim", "jaksa", atau "polisi" 
moral bagi mereka! 

Maksud saya adalah, selami dan dalami dulu seluruh aspek serta nuansa persoalannya! 
Bahwa yang kita bicarakan ini bukanlah persoalan sejenis teka-teki apakah ada air dan 
kehidupan di planet Mars. Atau apakah Papua Barat perlu di"mekar"kan - alias dipecah- 
belah — atau tidak. 

Persoalan yang sedang kita bicarakan adalah persoalan kongkret, yang dialami oleh satu 
sosok pribadi nyata, yang saat ini tengah mengerang dalam penderitaan. Pergumulan 
serta penderitaan batin seluruh keluarga, yang sedang diperhadapkan pada pilihan buah 
simalakama. Karena itu, bagaimana pun Anda membicarakannya, dan apa pun nanti 
kesimpulan Anda, ikut sertakanlah hati Anda. Iringi dengan simpati Anda! 

* * * 

TERBURU-BURU mengatakan, "Euthanasia, no!" atau "Euthanasia = pembunuhan. 
Titik", adalah sama salahnya dengan tanpa pikir panjang mengatakan, "Euthanasia, yes!" 



atau "Euthanasia = hak asasi setiap orang". Mengapa? Sebab persoalan kita tidak 
menyajikan pilihan hitam-putih yang sederhana. 

Misalnya, pertama, sungguh sulit - kalau bukan mustahil - untuk menentukan, bahwa 
suatu penyakit benar-benar "tidak dapat disembuhkan". Kapan orang dapat menentukan 
dengan pasti, bahwa pada "titik" inilah jiwa seseorang sudah tak mungkin lagi dapat 
diselamatkan? Bagaimana mendefinisikan istilah "tidak dapat disembuhkan" itu? Apakah 
kanker termasuk di dalamnya? Sekarang, mungkin ya. Tapi siapa mengetahui dengan 
pasti perkembangan selanjutnya, beberapa bulan lagi atau beberapa tahun lagi? 

Kedua, menurut pendapat Anda, siapakah yang berhak menentukan bahwa nyawa si A 
atau si B sudah tak perlu dipertahankan lagi? Apakah yang bersangkutan? Kalau ya, 
bukankah dalam pengalaman sehari-hari kita, begitu sering kita mendengar orang yang 
mengalami "sedikit" kesulitan", dengan begitu mudah berkata serta merta, "Lebih baik 
aku mati saja sekarang!" - padahal itu reaksi spontan belaka? 

Kalau begitu, apakah keluarga yang lebih berhak mengambil keputusan? Mungkin. Tapi 
siapa dapat menjamin, bahwa "keputusan yang bulat" selalu berarti "keputusan yang 
benar"? Dan bagaimana bila tak tercapai kesepakatan? 

Bagaimana bila dokter? Lebih masuk akal lagi. Tapi seorang dokter 'kan hanya 
mempertimbangkan satu aspek tertentu saja, yaitu aspek fisik, dari kehidupan manusia. 
Padahal, kita tahu, kehidupan adalah lebih dari itu. Bahkan ada banyak bukti, termasuk 
kesaksian Paulus, bahwa justru di saat berada dalam penderitaan yang terdalam, 
seseorang sering menemukan kekayaan rohani dan sukacita batiniah yang tak terkatakan. 

Dan ketiga - ini yang paling berbahaya — mengabsahkan euthanasia mudah sekali 
berekses pada pembenaran terhadap pembunuhan yang semena-mena. Misalnya, 
pemusnahan orang-orang tua dan orang-orang atau bayi-bayi atau janin-janin cacat. 
Dengan alasan, mereka tidak memenuhi "standar kualitas hidup" sebagai manusia yang 
berguna. Karenanya oke untuk dilenyapkan dari muka bumi. 

Dan akhirnya, keempat, keberatan yang paling fundamental adalah, bahwa tak seorang 
pun dan tak satu lembaga pun di muka bumi ini, yang pernah diberi mandat oleh Allah , 
untuk menjadi pemegang kuasa atas hidup-mati manusia, bahkan atas hidup-matinya 
sendiri. Artinya, secara fundamental, hanya Tuhan yang berhak menentukan batas 
kehidupan dan saat kematian seseorang. Tak ada yang lain. Betapa pun elok motivasi dan 
tujuannya. 

* * * 

JADI, apakah dengan demikian saya ingin mengatakan secara mutlak, "euthanasia no"? 
Ah, tidak juga! Yang ingin saya katakan adalah ini. Pertama, bahwa pada dasarnya, 
secara prinsipal, euthanasia tidak dapat dibenarkan. 



Bahwa euthanasia tidak dikehendaki Allah. Dan bahwa sebagai konsekuensinya, tidak 
boleh ada hukum apa pun yang mengabsahkan atau membenarkannya. 

Namun demikian — ini hal kedua yang ingin saya katakan — realitas kehidupan 
menunjukkan, bahwa selalu saja ada situasi-situasi khusus atau situasi-situasi ekstrem, 
yang menuntut dari kita kebijakan, keluwesan, dan pengecualian. Bahwa menghadapi 
situasi ini, kekakuan berakibat lebih buruk. Jadi memang ada keadaan-keadaan tertentu, 
di mana mempertahankan kehidupan bisa berakibat lebih buruk ketimbang merelakan 
kematian. 

Dalam hal ini., ketiga, mempraktikkan euthanasia tetap salah. Bila toh terpaksa 
dilakukan, ia harus dilakukan dengan gentar; dengan penyesalan dan permohonan 
pengampunan. Tetap tidak dapat dibenarkan tapi, dalam batas tertentu, dapat 
dipertanggung)' awabkan. 

Dengan syarat, (a) bahwa keputusan diambil, setelah benar-benar tidak ada kemungkinan 
lain yang lebih baik; (b) bahwa keputusan diambil oleh semua pihak yang terkait, dan 
setelah mempertimbangkan semua faktor; dan (c) bahwa keputusan dilaksanakan, tidak 
dengan aktif "membunuh" (misalnya, dengan menyuntikkan racun), melainkan dengan 
sekadar membiarkan penderita meninggal secara wajar (misalnya, dengan mencabut alat- 
alat penunjang). 

Hukuman, Bagaimana Memahaminya? 
Oleh Eka Darmaputera 

"JANGAN MEMBUNUH". Begitulah bunyi hukum Allah yang sedang kita bahas. 
Setelah menelaahnya beberapa kali, kita mendapati bahwa ternyata masalahnya bukan 
cuma sekadar boleh-tidaknya "hukuman mati", tapi ada masalah yang lebih mendasar 
lagi. Yakni masalah "hukuman " itu sendiri-mati maupun tidak mati. 

Dan soal "hukuman" ini adalah "wilayah kritis", yang perlu baik-baik kita kenali. Nyaris 
sama pentingnya seperti mengenali tubuh sendiri, supaya orang dapat mengoptimalkan 
yang bermanfaat, dan meminimalkan yang mudarat. 

Mengapa masalah "hukuman" saya katakan sebagai "wilayah kritis"? Sebab di wilayah 
inilah-lebih dari pada di wilayah-wilayah lain-pelanggaran HAM paling sering terjadi. 
Banyak penderitaan yang tidak perlu, mesti dialami. Dan dosa yang sebenarnya bisa 
dihindari, dilakukan juga-disadari maupun tidak disadari. 

AH, sekiranya saja orang memahami dengan benar, apa maksud serta tujuan mulia 
"hukuman" itu sebenarnya! Seandainya saja orang memahami apa fungsi hukuman dalam 
kehidupan kita bermasyarakat, dan kemudian melaksanakannya dengan benar! Alangkah 
indahnya! Sayang sekali, tak banyak yang memahaminya. 



Ada yang mengartikan "hukuman" sebagai tindakan pembalasan terhadap kesalahan atau 
kejahatan yang dilakukan orang. Makin besar kejahatan, makin berat hukuman. Saya 
akui, pemahaman seperti itu tidak seluruhnya salah. Pelaku kejahatan memang harus 
membayar mahal. Kalau perlu, mahal sekali! 

Tapi bila "hukuman" adalah sekadar "pembalasan", maka mudah kita bayangkan betapa 
maraknya hidup di muka bumi ini oleh konflik dan balas-membalas yang tak 
berkesudahan. Tak ada lagi ketentraman! Tak ada lagi kenyamanan! 

Para pejuang pembebasan Palestina meledakkan pusat pertokoan, untuk "menghukum" 
Israel sebagai "balasan" atas didudukinya Tanah Air mereka dengan semena-mena. 
Sebagai reaksi, tentara Israel pun segera "menghukum" (=membalas), menyerbu mereka 
tanpa pandang bulu. Penduduk dibantai. Rumah-rumah dibuldoser. Ruang gerak 
penduduk dibatasi, mereka dikurung di tanah sendiri. 

Berhentikah permusuhan dengan ini? Tidak! Kekejaman hanya menyemaikan rasa 
dendam serta menyulut aksi-aksi "teror" berikutnya. Dan pada gilirannya, aksi-aksi 
"teror" ini memicu tindakan represi yang lebih sewenang-wenang. 

Sampai-sampai, Yaser Arafat pun dipertimbangkan akan diisolasi, diusir atau dibunuh. 
Proses balas-membalas ini akan terus berpilin-pilin tanpa akhir. Ketika "hukuman" 
dipahami sebagai tindakan "pembalasan" semata-mata. 

* * * 

YANG lebih parah lagi adalah, tatkala "hukuman" dilakukan sebagai wahana 
pelampiasan dendam dan amarah. Walaupun kemungkinan besar, yang bersangkutan 
memang punya alasan kuat untuk murka. Seorang ibu berang sekali, ketika anak-tirinya 
menolak minum obat. Dalam amarahnya, anak itu dibentak, dicubit, dicekik, dipukul. 
Dan keesokan harinya, anak berusia lima tahun itu telah tergolek tanpa nyawa. 

Bila "amarah" menjadi faktor paling dominan, maka hukuman adalah untuk "menyakiti". 
Semakin si terhukum mengerang-erang kesakitan, semakin si penghukum keasyikan. 
Nafsu amarahnya terpuaskan. "Tau rasa, lu!", katanya. 

Lalu apa manfaatnya "hukuman"? Jawab saya: "Tidak ada". Tidak bermanfaat apa-apa, 
kecuali sebagai penyalur naluri "sadisme" yang tersembunyi pada kemanusiaan kita. Dan 
ini lebih buruk ketimbang binatang. Sebab menurut mereka yang tahu, binatang itu 
pantang menyakiti kecuali bila terpaksa, demi mempertahankan kehidupan. 

Setelah memberikan dua contoh kecil tentang pemahaman yang salah tentang 
"hukuman", kini secara ringkas kita akan membahas pemahaman yang benar. 

Pertama, hukuman perlu karena hukum perlu. Tidak ada masyarakat yang dapat 
berkembang-bahkan bertahan-tanpa hukum. Hukum adalah fondasi sekaligus perekat, 



yang mencegah masyarakat dari disintegrasi, yaitu hancur terserpih-serpih. Hukum 
melindungi yang lemah, sekaligus mencegah yang kuat dari bertindak semaunya. 

Namun demikian-karena dosa-selalu saja ada kecenderungan di hati manusia, untuk 
melanggar dan melawan hukum. Dan di dalam kehidupan bersama, selalu saja ada 
kejahatan yang terjadi. 

Situasi seperti ini sungguh berbahaya, karena bila dibiarkan hukum akan kehilangan 
wibawanya. Dan bila hukum tak lagi berwibawa, yang akan menggantikan kedudukannya 
adalah "hukum rimba". Alias, keadaan tanpa hukum. 

Untuk mengantisipasi ini, hukum berfungsi mencegah agar yang tidak diinginkan itu 
tidak terjadi. Yaitu dengan "menghukum" pelanggar-pelanggar hukum. Demikianlah 
"hukum" dan "hukuman" merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. 

Ini tidak berarti bahwa hukum itu selalu baik. O, tidak! Banyak hukum yang buruk, 
karena dirumuskan oleh orang-orang jahat, dan dilaksanakan oleh orang-orang jahat pula. 
Karenanya, hukum tidak hanya perlu ditegakkan. Tapi juga secara teratur diperbarui dan 
dikoreksi. Dan pelaksanaannya diawasi. 

Kedua, hukuman perlu karena keadilan perlu. Sungguh tidak adil, bukan, bila dalam 
masyarakat, orang yang berbuat jahat dibiarkan dengan bebas menikmati hasil 
kejahatannya, sementara si korban kejahatan dibiarkan menangisi kemalangannya? 

Setiap kali kejahatan menimbulkan korban, luka-luka yang diakibatkannya harus diobati, 
keseimbangan yang sempat terganggu mesti dipulihkan, dan si penyebabnya dihukum 
setimpal. Bila "hukum" diperlukan untuk melindungi kepentingan semua orang, maka 
"hukuman" diperlukan untuk melindungi kepentingan para korban kejahatan. Dengan 
memberikan kepada mereka rasa keadilan. 

Ketiga, hukuman perlu karena kejahatan perlu dicegah. Manusia adalah makhluk pelupa. 
Pada satu pihak, tidak semua hal memang perlu diingat. Wah, "gudang" penyimpanan 
data di otak kita tentu akan segera penuh, bila semua mesti masuk ke situ. Namun 
demikian, di lain pihak, dalam proses "cuci gudang" seringkah terjadi, hal-hal yang 
seharusnya disimpan jadi ikut terbuang. Untuk hal-hal tertentu itu, manusia perlu selalu 
diingatkan-dari waktu ke waktu. 

Hukuman adalah bentuk peringatan, agar manusia selalu ingat bahwa kejahatan 
mengandung konsekuensi. Nanti sekiranya Amrozi jadi dieksekusi, masyarakat 
diingatkan bahwa terorisme tidak dibiarkan berlalu tanpa harus membayar apa-apa. 
Dibutuhkan tindakan-tindakan "dramatis", agar para perencana kejahatan menjadi gentar 
dan ciut hati, lalu membatalkan niat mereka. 

Keempat, hukuman perlu untuk pengobatan. Kita telah membicarakan, betapa hukuman 
diperlukan untuk melindungi kepentingan si korban. Tetapi bahwa hukuman juga 
diperlukan untuk kepentingan si pelaku kejahatan? Ah, apa pula ini? 



Ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Totok, anak tetangga saya, misalnya, punya 
kebiasaan yang buruk sekali. Yaitu bermain-main dijalan yang ramai di depan rumahnya. 
Akibatnya entah berapa kali pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan, karena 
tiba-tiba harus injak rem dan banting setir, agar tidak menabrak anak itu. 

Ayah dan ibunya tentu telah menasihatinya berulang-ulang. Tapi semua itu tidak 
mempan. Totok tetap saja bermain di jalan, kini bahkan mengajak adiknya yang baru tiga 
tahun umurunya. Dalam keadaan seperti ini, suatu tindakan "dramatis" perlu dilakukan. 
Baik demi kepentingan para pengguna jalan, maupun . demi keselamatan jiwa si Totok 
sendiri. Totok perlu dihukum "keras". Cukup keras untuk membuatnya jera. 

Hukuman adalah itu. Ia punya dimensi pendidikan, yang kadang-kadang baru terasa 
efektivitasnya bila dilaksanakan dengan "keras". Itu sebabnya, dalam perspektif etika 
kristen, hukuman dilaksanakan bukan sebagai "pelampiasan rasa amarah" atau sebagai 
"pembalasan", tetapi . sebagai "ungkapan kasih"! Kasih yang menghendaki kebaikan 
yang dikasihi. Seperti kata Barclay, "hukuman" bersifat "remedial". Mengobati. Pahit, 
tapi perlu. 

* * * 

NAMUN demikian, akhirnya kita toh harus mengatakan, bahwa "mencegah lebih baik 
ketimbang mengobati". Ini, semua orang tahu. Logikanya terang benderang. Sayangnya, 
bukan itu yang dilakukan, bukan? Banyak kali orang tunggu dihukum, baru berhenti 
(sejenak) dari melakukan kejahatan. 

Kita semua-kecuali yang tidak waras, tentu saja-tidak menyukai terorisme. Perintah 
"Jangan membunuh", dalam kaitan ini, lalu diartikan sebagai menghukum seberat 
mungkin pembunuh-pembunuh berdarah dingin itu. 

Salahkah itu? Tidak! Tapi alangkah eloknya, bila kita tak perlu menghukum karena dapat 
mencegah niat jahat mereka. Misalnya, dengan menciptakan keadaan di mana orang tidak 
perlu "terpaksa" melakukan kekerasan. Yakni dengan menegakkan keadilan. Dengan 
membina suasana kerukunan yang mantap, toleransi yang sehat, serta solidaritas sosial 
yang kuat. Dengan menanamkan nilai-nilai kebersamaan sejak dini, melalui sistem dan 
proses pendidikan yang tepat-di rumah, di sekolah, di masyarakat. 

Ukuran "hukum" yang sukses adalah tatkala "hukuman" tak perlu dijalankan! 

Hukuman Mati, Pro dan Kontra 
Oleh Eka Darmaputera 

Perintah itu berbunyi "JANGAN MEMBUNUH". Ringkas sekali. Cuma terdiri dari dua 
kata. Sepintas lalu, maknanya mudah ditangkap. Orang tak perlu menebak-nebak. Tapi 
benarkah demikian? Ternyata tidak. 



Umpama saja pertanyaan berikut ini. Bila membunuh dilarang, mengapa menurut Alkitab 
"hukuman mati" diperbolehkan? Benarkah Tuhan sendiri yang menerbitkan "SIM" (= 
"Surat Izin Membunuh") itu? Kalau "ya", apa dasarnya dan apa syaratnya? 

Dalam Perjanjian Lama, paling sedikit ada sembilan kategori "kejahatan besar" yang 
pelakunya dipandang patut dihukum mati. 

Yaitu: (a) membunuh dengan sengaja; (b) mengorbankan anak-anak untuk ritual 
keagamaan; (c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain; (d) 
melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia; (e) menjadi saksi 
palsu dalam perkara penting; (f) menculik; (g) mencaci atau melukai orang tua sendiri; 
(h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta (i) melanggar akidah atau aturan 
agama. 

Di samping merumuskan jenis kejahatannya, hukum agama Yahudi juga mengatur jenis 
dan bentuk hukumannya. Ada empat, yaitu hukuman (a) rajam; (b) bakar; (c) penggal 
kepala; dan (d) gantung. 

* * * 

NYATALAH, bahwa paling sedikit Perjanjian Lama tidak menolak hukuman mati. Dan 
dalam Perjanjian Baru, Tuhan tidak menghalang-halangi hukuman mati yang dijatuhkan 
atas diri Yesus, memanfaatkannya untuk merealisasikan rencana-Nya. 

Tapi apakah karena Alkitab mentolerir-nya. ini serta merta berarti bahwa kekristenan 
juga mesti "pro" hukuman mati? Tidak serta merta! Sebab tidak semua praktek yang kita 
baca dalam Alkitab, dengan sendirinya absah untuk dipraktekkan dan diterapkan bulat- 
bulat di zaman dan tempat yang berbeda. 

Inti, jiwa, roh, dan prinsip pokoknya, memang harus tetap kita pegangi. Sebab perintah 
Allah adalah mutlak, kekal dan universal. Namun penerapan praktisnya, tidak! Paling 
sedikit, tidak dengan sendirinya. 

Sebab bentuk praktisnya - tidak mungkin tidak — selalu bersifat situasional dan 
kontekstual. Pewujud-nyataannya — tidak dapat tidak - senantiasa sarat dengan muatan 
kultural dan sosial tertentu. 

Dan pertimbangan-pertimbangannya - tidak pernah tidak - pasti terbatas oleh tingkat 
pengetahuan serta taraf perkembangan kesadaran moral manusia pada zaman yang 
bersangkutan. 

Bisa saja ada orang yang tanpa pikir panjang, merasa harus "pro" hukuman mati, sebab 
alkitab juga begitu. Tapi tidak otomatis ia akan mempertahankan bentuk-bentuknya. 



Dugaan saya, ia akan memilih bentuk-bentuk yang lebih "moderen" dan "beradab" 
ketimbang rajam, penggal atau gantung. Ini, memang seharusnya begitu. 

Zaman berubah. Pengetahuan manusia bertambah. Kesadaran moralnya berkembang. Ini 
semua adalah karunia Tuhan, yang mesti dijadikan bahan pertimbangan guna 
menghasilkan tindakan yang bertanggungjawab. 

Harus kita cermati, setiap kali kita hendak memasukkan "anggur yang lama" (= prinsip- 
prinsip yang universal) ke dalam "kerbat yang baru" (= bentuk-bentuk yang kontekstual). 

* * * 

YANG saya katakan itu adalah "missi kreatif yang diamanatkan dan diembankan oleh 
Tuhan kepada manusia. Bahwa justru karena Allah tidak berubah, Ia akan hadir dalam 
bentuk dan pendekatan yang terus berubah. Dengan maksud agar di dalam dunia yang 
senantiasa berubah ini, Ia tidak pernah berubah. Artinya, makna kehadiran-Nya selalu 
terasa baru. Tak pernah usang. Senantiasa relevan, dengan kata lain, firman-Nya yang 
"lama", harus kita baca dan pahami dalam perspektif "baru". 

Kalau begitu, tugas kita yang paling penting sekarang, bukanlah memperdebatkan "ya- 
tidak"nya "hukuman mati". Ini biarlah menjadi kesimpulan masing-masing - kemudian. 
Yang sekarang mesti kita lakukan adalah, menggali sedalam-dalamnya "inti", "jiwa", 
"roh", atau "prinsip utama" yang di baliknya. 

Yang pertama-tama harus kita katakan dalam kaitan ini adalah, bahwa salah besarlah 
orang yang beranggapan, bahwa prinsip utama di balik restu alkitab terhadap hukuman 
mati, adalah prinsip "pembalasan" atau "retribusi". Mata ganti mata, dan gigi ganti gigi. 
Seolah-olah, seperti kata Marcion, Allah Israel adalah Allah yang pembalas dan haus 
darah. Tanpa rahmat, tanpa iba. 

Bukan! Bukan itu alasan utamanya. Prinsip yang paling mendasar di balik ancaman serta 
pelaksanaan hukuman mati, adalah SIKAP YANG TEGAS DAN TANPA KOMPROMI 
TERHADAP DOSA. Sebab kemaha-kudusan Allah serta kekudusan hidup tidak akan 
membiarkan kejahatan sekecil apa pun berlalu, tanpa mesti membayar "denda". Bahwa 
setiap tindakan manusia ada konsekuensinya. 

* * * 

DI SINI sedikit pun saya tidak bermaksud untuk mendebat mereka yang "anti" hukuman 
mati. Banyak argumentasi mereka yang malah saya setujui sepenuhnya. Saya, misalnya, 
setuju bahwa ada-tidaknya sebuah lembaga manusia yang mempunyai hak untuk 
membunuh, layak untuk terus-menerus diperdebatkan. 

Kemungkinan besar, sampai kapan pun kesepakatan mengenai ini tak akan tercapai. Tapi 
perdebatan itu sendiri mengingatkan semua pihak, bahwa mencabut nyawa seseorang - 
betapa pun jahatnya ia - bukan sekadar masalah ketok palu. 



Saya juga setuju dengan pandangan, bahwa searif- arifnya manusia, seadil-adinya sistem 
peradilan, dan secanggih-canggihnya hukum, keputusan hakim tetap saja bisa salah. 
Bukan saja "bisa", tapi banyak terjadi. Bagaimana orang yang tak bersalah dibunuh 
secara "sah". Celakanya, kesalahan fatal ini tak mungkin lagi dikoreksi. Karena itu saya 
sepakat, lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah, ketimbang menghukum 
mati seorang yang tidak bersalah. 

* * * 

NAMUN demikian mengatakan bahwa karenanya hukuman mati harus hapus sama 
sekali, menurut keyakinan saya, juga terlalu menyederhanakan persoalan. Sikap ini cukup 
merefleksikan pilihan-pilihan sulit dan kepelikan masalahnya. 

Paling sedikit orang toh harus mengakui, bahwa pelaksanaan hukuman mati melalui suatu 
proses peradilan yang diatur oleh hukum yang obyektif, serta yang pelaksanaannya 
dilakukan oleh sebuah lembaga negara, adalah kemajuan yang luar biasa dibandingkan 
dengan praktik-praktik sebelumnya. Yaitu di mana vonis dan eksekusi mati cukup 
dijatuhkan oleh perorangan berdasarkan pertimbangan pribadi. 

Seorang penguasa yang tersinggung atau individu yang merasa dirugikan, bisa dengan 
leluasa memerintahkan atau melaksanakan sendiri hukuman mati terhadap "lawan"nya. 
Akibatnya, satu-satunya "hukum" yang berlaku efektif hanyalah "hukum rimba". Di 
mana yang kuat menindas yang lemah. 

Kini praktik semacam itu - paling sedikit secara formal - dianggap sebagai kejahatan. 
Hukuman, teristimewa hukuman mati, adalah monopoli negara. Ini merupakan kemajuan 
bagi kemanusiaan yang pantas kita syukuri. 

* * * 

ASPEK lain yang acap dikemukakan oleh yang anti hukuman mati, adalah bahwa hak- 
hak terpidana - khususnya, hak hidupnya - adalah hak asasi yang harus dijamin oleh 
negara. 

Bahwa negara wajib mempergunakan kuasa yang ada padanya untuk melindungi 
kehidupan, bukan justru mematikannya. Terhadap prinsip ini, dengan tulus saya pun 
menyatakan persetujuan saya sepenuhnya. 

Tapi saya harus mengingatkan, bahwa adalah juga tugas negara untuk melindungi serta 
menjamin rasa aman dan kesejahteraan hidup seluruh masyarakat. Dan kenyataan 
membuktikan, bahwa rasa aman dan kesejahteraan masyarakat ini sering terganggu. 

Gangguannya sangat bervariasi, Dari yang amat ringan sampai yang amat ekstrem. Untuk 
yang ringan, masyarakat sendiri mampu melindungi diri sendiri. Tapi untuk yang 
ekstrem, ini sering hanya dapat diatasi dengan intervensi dan tindakan represif yang 
ekstrem pula dari negara. Salah satunya adalah ancaman hukuman mati. 



Adalah tidak adil hanya menekankan hak yang satu dan mengabaikan hak yang lain. 
Terlebih-lebih bila hak si pelaku kejahatan-lah yang justru diperhatikan, sementara hak- 
hak korbannya yang justru dilupakan. 

Saya sepakat sepenuhnya, bahwa sedapat mungkin hukuman mati hendaknya 
dihindarkan. Tapi kemungkinan untuk itu - betapa pun kecil — harus dibukakan. 

Prosesnya terus menerus disempurnakan, agar sedapat mungkin tak ada hak siapa pun 
yang dilanggar. Hukumnya terus menerus ditinjau ulang, agar semakin adil. 

Bentuk hukumannya juga dipilih sedemikian rupa, sehingga menimbulkan penderitaan 
dan kesakitan yang seminim mungkin bagi si terhukum. 

Tapi yang jelas, terlepas dari apakah Anda pro atau kontra hukuman mati, satu prinsip ini 
hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang. Yaitu prinsip untuk bersikap tegas dan non- 
kompromistis terhadap kejahatan, terhadap ketidak-benaran, terhadap dosa. 

Pengampunan sama sekali tidak berarti memandang ringan kesalahan. "Pengampunan" 
adalah sisi lain dari "pertobatan". Tidak ada pertobatan, tidak ada pengampunan. Yang 
ada ialah hukuman. 

Hukuman mati, kalau pun dijalankan, ia tidak dilaksanakan dengan maksud 
"membunuh". Satu-satunya tujuan hukuman mati yang sah adalah untuk memelihara dan 
melindungi kehidupan dari kekuatan-kekuatan yang mengancamnya. 

Sakralnya Hidup, Biadabnya Teror 
Oleh Eka Darmaputera 

Ketika saya menulis renungan ini, saya bayangkan, Tuhan pasti sedang dirundung duka, 
sekaligus dipanggang murka. Ia geram tak alang kepalang. Apa sebab? Karena manusia 
melecehkan kehidupan. 

Surat kabar pagi memberitakan, bahwa Anna Lindh, Menteri Luar Negeri Swedia, 
akhirnya meninggal dunia. Sehari setelah seorang penyerang tak dikenal menusuknya di 
pusat perbelanjaan di tengah kota. 

Kemudian beberapa hari yang lalu, di Israel, sebuah bis hancur luluh diterjang bom 
bunuh-diri. Sekian belas orang-untuk kesekian kalinya-tewas dalam tragedi itu. Dan dua 
tahun lalu, pada tanggal 11 September 2001, giliran ribuan orang menjadi korban 
serangan terorisme di kota New York. Ini belum termasuk korban-korban kekerasan di 
India, di Liberia, di Rusia, di Indonesia, dan di mana-mana. 



Tuhan murka dan murung sebab bagi-Nya hidup itu sangat berharga! Dan sakral! Satu 
nyawa saja berhasil diselamatkan dari kebinasaan, demikian kata sebuah ayat suci, telah 
cukup membuat para malaikat bertempik-sorak lantaran riangnya. 

Sang gembala yang baik-yang tak lain adalah diri-Nya sendiri-,kata Yesus, rela 
meninggalkan 99 ekor dombanya, demi untuk mencari-dengan menyabung nyawa, bila 
perlu-, satu ekor saja dombanya yang sesat dan yang hidupnya diancam bahaya. 

* * * 

ITULAH inti paling hakiki dari HUKUM KEENAM dari DASA TITAH. Kalimat aslinya 
yang berbunyi, "JANGAN MEMBUNUH", ingin mengatakan bahwa "HIDUP ITU 
BERHARGA". "HIDUP ITU KUDUS". 

Mengapa "kudus"? Pertama, karena ia berasal dari Allah. Tak ada sumber hidup yang 
lain, kecuali Dia. Allah yang hidup adalah Allah yang menghidupkan. 

Kedua, hidup itu "sakral" sebab kehidupan itulah-dan bukan yang lain-satu-satunya yang 
dikehendaki Allah. Kisah penciptaan tak lain adalah kisah tentang bagaimana Allah 
menciptakan "terang" untuk melawan "kegelapan"; menciptakan "ketertiban" guna 
mengatasi "kekacauan"; dan . menciptakan "kehidupan" sebagai ganti "kekosongan". 

Karena itu, jangan mempermainkan kehidupan! Kehidupan bukanlah bahan eksperimen 
atau objek percobaan. Silakan meng"eksplorasi"nya, tapi jangan meng"eksploitasi"nya. 
Merawatnya oke, tapi me"rekayasa"nya no way. 

Ke"ilahi"an dan ke"suci"an hidup ini mencuat lebih eksplisit lagi, tatkala kita berbicara 
mengenai "manusia". Kejadian 2: 7 menyebutkan, bahwa "Tuhan Allah membentuk 
manusia dari debu tanah, dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya. 
Demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup". 

"Nafas kehidupan" yang memungkinkan manusia menjadi "makhluk yang hidup" itu, 
ternyata tidak kurang adalah "nafas Allah" sendiri! Sebab itu tak berkelebihanlah bila kita 
mengatakan, bahwa kehidupan itu "ilahi". Sebagian dari diri Allah sendiri. 

Umat Israel dilarang makan darah binatang, karena satu alasan saja, yaitu karena dalam 
darah itulah terletak kehidupan suatu mahluk. "Darah itu nyawa segala mahluk", kata 
Imamat 17:14. Dan kehidupan itu sepenuhnya milik Allah. Monopoli dan hak eksklusif 
Allah. Bukan konsumsi manusia. 

Konsekuensinya adalah, membinasakan kehidupan berarti melawan Allah sendiri-sang 
sumber dan pemilik kehidupan. Segala sesuatu yang ilahi selalu bersifat menghidupkan, 
tidak menghancurkan. "Keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh," tulis 
Paulus, "adalah hidup" (Roma 7:6). 



* * * 



SEBAB itu adalah omong kosong besar, bila ada orang atau kelompok yang begitu 
dibakar benci sampai membunuh sesamanya, dan mengklaim itu sebagai mission sacre 
atau tugas suci yang berasal dari Allah. Orang yang berasal dari Allah, mustahil sengaja 
apalagi berbangga mencederai atau menghabisi nyawa sesama. 

Bahkan juga ketika sesamanya itu mereka anggap sebagai "musuh Allah"! Sebab 
"pembalasan", menurut alkitab, adalah hak eksklusif Allah. "Pembalasan itu adalah hak- 
Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan" (Roma 12:19). Tak seorang manusia pun 
pernah diberi mandat oleh Allah untuk bertindak sebagai "algojo". 

Alhasil, bagi manusia cuma tersedia satu pilihan. Yaitu berjalan di jalan Allah, dengan 
jalan menghormati serta merawat kehidupan. Atau berjalan di jalan Iblis, dengan jalan 
menghancurkan kehidupan-baik hidup sesamanya maupun dirinya sendiri. Hanya ada 
satu sebutan yang pantas bagi "terorisme". Yaitu, perbuatan Iblis! 

Tapi tolong Anda catat baik-baik. Yang saya maksud dengan "terorisme" itu, bukan 
hanya terbatas pada perbuatan seperti pemboman yang terjadi di Paddy"s Cafe di Kuta; 
atau di serambi hotel JW Marriot, Jakarta; atau di sebuah rumah sakit di Moskwa. 

Termasuk dalam kategori terorisme, adalah tindakan sewenang-wenang penguasa 
terhadap rakyatnya, orang-tua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, majikan 
terhadap pembantunya, mahasiswa senior terhadap adik-adik kelasnya, dan sebagainya. 
Bahkan bukan cuma yang berwujud tindakan fisik, tetapi juga sikap dan kata-kata yang 
sifatnya menghancurkan dan melecehkan martabat kehidupan manusia. Bahkan yang 
merusak dan mencemari sistem kehidupan seluruh alam ciptaan. Terhadap semua itu, 
Tuhan Allah bertitah, "Jangan membunuh". 

* * * 

PERTANYAAN yang wajar pasti segera muncul. Bila titah Allah berbunyi, "Jangan 
membunuh", mengapa dalam alkitab kita membaca begitu banyak kisah pertumpahan 
darah? Dan yang lebih mengherankan adalah, bahwa sebagian pembunuhan tersebut 
diperintahkan oleh Tuhan sendiri. 

Agaknya para penafsir sepakat, bahwa perintah "Jangan membunuh" itu "hanya" 
melarang tindakan-tindakan pembunuhan tertentu, bukan perbuatan membunuh dalam 
arti umum. Membunuh lalat atau nyamuk atau kecoa, misalnya, pasti tidak termasuk yang 
diatur di sini. 

Penafsiran seperti ini dikuatkan oleh kenyataan, bahwa kata Ibrani yang dipakai 
menunjuk kepada "tindakan pembunuhan yang semena-mena dan terlarang". Artinya, 
yang dilarang adalah tindakan mencabut nyawa, yang tanpa disertai oleh alasan yang 
kuat, dan yang dilakukan dengan cara yang eksesif; berlebih-lebihan. Membunuh dengan 
motivasi yang salah dan cara yang salah. Membunuh dengan tanpa rasa hormat kepada 
kehidupan. Ini yang dilarang. 



Tapi apakah ada sih pembunuhan yang dapat dibenarkan? Pembunuhan yang dilakukan 
dengan motivasi yang benar dan dengan cara yang benar? Apa mungkin sih orang 
membunuh, dan sekaligus menghargai kehidupan? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menimbulkan kontroversi yang tak 
berkesudahan. Misalnya, apakah "hukuman mati" termasuk dalam kategori pembunuhan 
yang diperbolehkan? Bagaimana dengan "euthanasia"? Atau "aborsi"? Atau membunuh 
dalam sebuah peperangan? Kita harus membicarakannya, tapi tidak sekarang. 

* * * 

APABILA benar yang dimaksudkan dengan "membunuh" dalam perintah keenam ini 
adalah "membunuh dengan motivasi dan dengan cara yang salah", sebenarnya apakah 
gunanya hukum seperti itu? Bukankah ada atau tidak ada hukum ini, semua orang di 
segala tempat dan di sepanjang masa, telah mengetahuinya? 

Kriteria mengenai apa yang "salah", memang berbeda-beda. Tapi dari orang ke orang, 
dari tempat ke tempat, dan dari zaman ke zaman, selalu ada ketentuan "Jangan 
membunuh". Baik terumus maupun tidak. Selalu ada kesadaran, bahwa ada kehidupan 
yang mesti dihargai dan yang pantang dicemari kesakralannya. 

Di tengah-tengah serba kesamaan tersebut, hukum keenam dari Dasa Titah Tuhan 
didasarkan pada sebuah prinsip yang amat fundamental. Yaitu, seandaikata pun ada 
tindakan membunuh yang di"izin"kan, "izin" ini selalu merupakan kekecualian. Bukan 
prinsip yang berlaku umum. 

Sebab prinsip yang umum, yang tidak bisa ditawar-tawar, adalah: menghargai kehidupan. 
Karenanya, secara umum, membunuh selalu terlarang. Bahwa kalau pun itu terjadi, itu 
selalu merupakan kekecualian. Yang dilakukan dalam keterpaksaan. Harus mempunyai 
alasan yang benar-benar kuat. Prinsipnya, sekali lagi, adalah "JANGAN MEMBUNUH, 
kecuali .". Bukan "SEMUA BOLEH DIBUNUH, kecuali ." Secara a priori, membunuh 
adalah dosa. Pembunuhan, oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun, selalu merupakan 
tragedi. 

* * * 

INI mempunyai dasar teologis yang amat kuat. Titah Allah, seperti yang difirmankan- 
Nya kepada Nuh, adalah: "Siapa yang menunmpahkan darah manujsia, darahnya akan 
tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri" 
(Kejadian 9:6) 

Setiap tindakan yang menghancurkan kehidupan, harus dihindarkan sedapat-dapatnya. 
Dan mesti dapat dipertanggungjawabkan sedetil-detilnya. Hanya terpaksa dilakukan 
sebagai pilihan terakhir, untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya hal yang lebih 
buruk. 



Dan dilakukan dengan hati hancur dan muka tertunduk, penuh penyesalan dan pengakuan 
dosa. Kesadaran kemanusiaan kita pantas terluka menyaksikan Amrozi tertawa-tawa, 
walau tangannya berlumuran darah. 

Bagai Gendewa Terhadap Anak Panah 
Oleh Eka Darmaputera 

Kita telah membahas betapa keras, tandas, dan lugasnya perintah Tuhan kepada anak- 
anak agar menghormati orang tua mereka. Dijanjikan-Nya pahala paling mulia bagi yang 
mematuhinya, dan diancamkan-Nya hukuman paling mengerikan bagi para pelanggarnya. 
Ya! 

Namun, ini tidak boleh kita jadikan alasan untuk membenarkan tindak kesewenang- 
wenangan para orang tua terhadap anak-anak mereka! Jangan mentang-mentang! 

Orang tua, menurut kesaksian alkitab, tidak hanya memiliki "hak", sementara anak-anak 
cuma mempunyai "kewajiban". Tidak! Indahnya dan adilnya etika Alkitab adalah bahwa 
semua perintah Tuhan senantiasa punya dua sisi. Selalu dua arah. Timbal balik. Tak 
pernah berat sebelah. 

Karena itu di samping janji berkat, ada ancaman laknat. Di samping "hak", ada 
"kewajiban". Orang tua, jelas mempunyai hak. Itu tentu! Tapi mereka juga punya 
kewajiban. Sedang anak-anak? Mereka punya kewajiban, itu so pasti. Tapi, jangan lupa, 
mereka juga punya hak! 

* * * 

DASAR teologis untuk etika timbal-balik tersebut, adalah sebuah prinsip bahwa "anak- 
anak" bukanlah milik "orang tua" mereka. Anak-anak adalah anugerah, karunia, 
pemberian, hadiah Allah. Yang di"titip"kan kepada orang tua untuk dilahirkan, diasuh, 
dipelihara, dan dibesarkan. 

Orang tua yang dipilih memang eksklusif. Tuhan tidak memilih orang lain, kecuali ibu 
saya yang satu itu, untuk melahirkan saya. Namun, orang tua tidak mempunyai hak 
eksklusif atas anak-anak mereka. 

Hak "eigendom" atau "hak milik" atas anak-anak itu tetap pada Allah. Anak-anak itu 
tetap milik Tuhan sepenuhnya. Eka Darmaputera adalah anak pak Pitoyo, ya, tetapi 100 
persen milik Tuhan. 

Atau meminjam tamsil yang terkenal dari Kahlil Gibran, "orang tua" adalah sekadar 
"gendewa" di tangan pemanah. Anak-anak adalah anak-anak panah. Sedang pemanah itu 
tak lain adalah sang Dia. Tuhan, sang Pemilik sejati. 



Gendewa tentu penting. Tanpanya, mustahil anak-anak panah bisa melesat. Tapi gendewa 
tidak menentukan arah si anak panah. Yang menentukan adalah kehendak sang pemanah, 
dan kemampuan si anak panah. 

Atau, dengan istilah yang lebih kontemporer, gendewa hanya berfungsi sebagai semacam 
"fasilitator", yang memungkinkan anak panah itu meluncur ke sasaran dengan sebaik- 
baiknya. Jadi, sekali lagi, gendewa penting. Tapi jangan takabur, lalu menganggap diri 
terlalu penting. Gendewa bukan Tuhan! Gendewa bukan segala-galanya! 

* * * 

MEMAHAMI relasi antara anak, orang tua, dan Tuhan, sebagai "hubungan segi-tiga" 
seperti tersebut di atas membawa kita pada kesimpulan betapa hubungan orang tua dan 
anak itu lebih banyak diwarnai oleh kesadaran akan "kewajiban", ketimbang oleh 
kesadaran akan "hak". 

Anak-anak punya "kewajiban" terhadap orang tua. Dan sebaliknya, orang tua juga tak 
kurang punya "kewajiban" terhadap anak-anak. 

Hubungan mereka tidak dijiwai oleh roh saling menagih dan saling menuntut hak. Tetapi 
oleh kerelaan memeriksa diri, apakah "kewajiban" telah dipenuhi. 

Perhatian utama orang tua tidak boleh ditujukan pada apakah anak-anak telah membayar 
"kewajiban" mereka. Artinya, apakah mereka memenuhi syarat untuk disebut sebagai 
"anak-anak yang baik". Yang lebih disukai Tuhan adalah, apabila yang bersangkutan mau 
dengan jujur ber- introspeksi. Bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka telah menjadi 
"orang tua yang baik". 

Perintah Tuhan agar anak-anak menghormati orang tua amat jelas. Sangat afirmatif. Tapi 
apakah karena itu, maka orang tua lalu ber"hak" menagih ini atau menuntut itu dari anak- 
anak mereka? Apakah orang tua ber"hak" mengklaim pembayaran kembali atas semua 
yang telah mereka kerjakan bagi anak-anak mereka? 

Alkitab memberi jawaban yang mungkin mengagetkan, yaitu TIDAK! Melahirkan, 
memelihara, dan membesarkan anak-anak adalah perbuatan yang luhur dan mulia, penuh 
pengorbanan dan (mungkin) kesakitan. 

Tapi ini, menurut Alkitab, sama sekali bukanlah "jasa". Bukan pula "kebaikan" atau 
"kebajikan", melainkan sekadar menjalankan atau memenuhi "kewajiban". 

Orang tua yang tidak melakukannya, adalah orang tua yang buruk. Namun orang tua 
yang dengan setia melakukannya, adalah orang tua yang sekadar melaksanakan 
kewajiban. Boleh kita puji. Layak kita syukuri. Tapi tidak lebih dari itu. Mereka tidak 
serta merta jadi "pahlawan", yang layak memperoleh bintang jasa. 



* * * 



BAHWA orang tua layak memperoleh hormat dan bakti yang tulus dari anak-anaknya, 
ini adalah perintah Tuhan sendiri. Suatu "kewajiban" yang tidak dapat ditawar-tawar. 
Orang tualah yang telah memungkinkan mereka lahir, hidup dan berkembang di bumi ini. 
Tanpa orang tua, mereka tidak ada. 

Terlebih-lebih bila kita ingat bahwa, berbeda dengan kebanyakan hewan, masa 
ketergantungan manusia sejak dilahirkan pada perlindungan orang tua, relatif sangat 
panjang. Bertahun-tahun. 

Seekor penyu cukup menyimpan telurnya di bawah pasir, lalu bisa segera kembali ke 
laut. Dan pada waktunya, bayi-bayi penyu akan keluar, kemudian tanpa bantuan orang 
tua, pelan-pelan merayap ke laut — sendiri. 

Bandingkanlah ini dengan bayi manusia! Mungkin baru setelah berusia kurang lebih 15 
tahun, seorang anak betul-betul bisa hidup mandiri. Ini hendak menegaskan kembali, 
betapa bermaknanya peran orang tua bagi "survival" anak-anak mereka! Hampir-hampir 
tak tergantikan (= indispensable) oleh apa pun dan oleh siapa pun! 

Namun, toh orang tua tidak berhak menagih hormat atau menuntut ganti rugi dari anak- 
anaknya. Ada yang harus dilakukan oleh anak-anak kepada orang tua, ya, tapi ini lebih 
merupakan "kewajiban anak-anak" untuk melaksanakannya, ketimbang "hak orang tua" 
untuk menuntutnya! 

Tidak pantas bila orang tua menuntut ketaatan tanpa reserve dari anak-anak mereka 
berdasarkan prinsip "imbal jasa". Dan tidak patut, orang tua memaksa anak-anak mereka 
mengorbankan kemandirian dan kedirian mereka sebagai bentuk pembayaran kembali 
dari pengorbanan yang telah mereka berikan. 

Satu-satunya yang berhak menagih dan menuntut ini adalah Tuhan! Di luar itu, orang tua 
hanya ber "kewajiban" membesarkan anak-anaknya. 

Dan sebagai timbal-baliknya, anak-anak ber"kewajiban" menghormati orangtua mereka. 
Artinya: orang tidak saling menuntut "hak", tetapi saling melaksanakan kewajiban 
masing-masing. 

Alangkah nyaman dan tenteramnya hidup bersama, bila ia disemangati oleh kerinduan 
semua pihak untuk sekadar memenuhi kewajiban masing-masing. Sekiranya para pejabat 
mengonsentrasikan seluruh upaya mereka, hanya untuk memberi pengayoman kepada 
rakyat. Dan andaikata rakyat juga hanya mengonsentrasikan seluruh potensi mereka, 
melulu untuk tujuan-tujuan yang produktif dan konstruktif. 

Ketika para pejabat tidak cuma berpusing-pusing menyuap sini menyuap sana, 
memikirkan intrik ini atau taktik itu, demi mempertahankan kekuasaan mereka. Dan 
sebaliknya, masyarakat tidak memboros-boroskan enersi, dengan berdemonstrasi setiap 
hari, memprotes itu memprotes ini, tanpa tahu persis apa yang mereka perjuangkan. 



* * * 



KARENA itu, di samping menegaskan, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam 
segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan", Paulus dengan tak kurang kuatnya 
juga menekankan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar 
hatinya" (Kolose 3:20-21). 

Bila anak-anak punya "utang kewajiban" terhadap orang tua, demikianlah orang tua pun 
punya "utang kewajiban" terhadap anak-anak. Orang tua punya kewajiban untuk sejak 
dini menanamkan disiplin kepada anak-anak mereka. Membuat anak-anak mampu 
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mengajar mereka mengenal batas — 
apa yang boleh dan apa tidak boleh. Ini kadang-kadang dapat dilakukan dengan lembut, 
tapi tidak jarang harus dilakukan dengan keras. 

Tapi melakukan tindakan "keras", sungguh berbeda dengan melakukan "kekerasan". 
Yang satu bisa disebut "tegas", sedang yang lain lebih tepat disebut "buas". Yang satu 
dilakukan dengan "sakit", yang lain dilakukan untuk "menyakiti". 

"Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya". Boleh 
bertindak "keras", bilamana perlu. Tapi tetap dalam cinta kasih. Dan yang lebih utama 
lagi, dengan "respek". Salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang tua 
adalah, ia bertindak "keras" sekadar untuk menunjukkan "who is the boss". 

Untuk menuntut respek. Padahal, kita tahu, orang akan menghormati kita, bila kita 
menghormati dia. Anak-anak kita, tanpa perlu diberitahu, sudah tahu siapa "boss" 
mereka. Yang kadang-kadang hendak mereka uji adalah, apakah "boss" tersebut benar- 
benar pantas menerima respek mereka. 

Dan akhirnya, untuk menjawab pertanyaan, "Anak-anak saya itu kurang apa lagi sih, kok 
seperti tidak ada puasnya. Padahal semua kebutuhan mereka terpenuhi. Uang saku 
mereka berlebih-lebihan. Apa lagi?" 

Astaga, "Apa lagi?", itukah pertanyaan Anda? Saudara, anak-anak Anda tidak cuma 
memerlukan "entertainment" atau hiburan. Tapi "encouragement" atau dorongan. 
"Supaya jangan tawar hatinya". Nah, yang ini, sudahkah Anda berikan? 

Ayahmu dan Ibumu 
Oleh Eka Darmaputera 

Tahukah Anda bahwa hukum kelima dari Dasa Titah mempunyai dua versi? Yang 
pertama termuat dalam Keluaran 20:12, bunyinya: "Hormatilah ayahmu dan ibumu". 
Yang kedua tertulis dalam Imamat 19:31, bunyinya: "Setiap orang di antara kamu 
haruslah menyegani ibunya dan ayahnya ." Yang satu menyebut "ayah" terlebih dahulu, 
baru "ibu". Sementara yang lain, sebaliknya. 



Besar kemungkinan tidak ada perbedaan substansial yang pantas dibicarakan mengenai 
perbedaan tersebut. Namun, para rabi Yahudi toh tak urung menangkap juga nuansa 
yang-menurut mereka-cukup bermakna. 

Menurut mereka, perbedaan tersebut pasti bukan kebetulan semata. Tapi ada tujuannya, 
yaitu merupakan penegasan, bahwa hormat orang kepada "ayah" harus seimbang dan 
sama besar dengan hormat kepada "ibu". 

Bagi kita, penafsiran seperti itu mungkin terasa mengada-ada. Tapi dalam konteks 
kehidupan masyarakat Timur Tengah yang patriarkhal pada waktu itu-bahkan juga 
masyarakat kita sampai kini-, kesimpulan tersebut menjadi amat penting. 

Salah seorang rabi yang terkemuka mengemukakan bahwa melalui perbedaan yang subtil 
itu Tuhan ingin menyampaikan sesuatu. "Adalah wajar," begitu tulis sang rabi, "bila 
seorang anak merasa lebih akrab dengan ibunya. Sebab bukankah sang ibu itulah yang 
telah mengandung dan melahirkan, kemudian menimang dan mengasuhnya?" Namun 
justru karena kecenderungan alamiah inilah, Tuhan menitahkan agar orang menghormati 
ayah terlebih dahulu-baru ibu. 

Di pihak lain, juga lumrah semata, bila seorang anak menghormati ayahnya lebih dari 
pada ibunya. Bukankah dia sang kepala keluarga, dan dari dia pula ia mulai belajar 
mengenal Allah serta hukum-hukum-Nya? Namun justru karena kecondongan naluriah 
inilah, Tuhan menitahkan agar orang menghormati ibu terlebih dahulu-baru ayah". 
"Ayah" seimbang dengan "ibu". Betapa progresifnya! 

* * * 

PERINTAH untuk menghormati orang tua, bagi umat Israel, sungguh sentral dan vital. 
Begitu pentingnya, sehingga baik berkat yang dijanjikan Allah bagi mereka yang 
mematuhinya, maupun hukuman yang diancamkan Allah bagi para pelanggarnya, kedua- 
duanya sama dahsyatnya. 

Berkat yang dijanjikan jelas termuat dalam titah itu sendiri, yakni "supaya lanjut umurmu 
di tanah yang diberikan Tuhan, Aliahmu, kepadamu" (Keluaran 20:12). Janji yang 
dahsyat, sebab tak ada berkat lain yang lebih didambakan orang, dari pada terwujudnya 
masa depan yang diimpikan. 

Dan tak ada masa depan yang lebih diimpi-impikan, dari pada diperkenankan menikmati 
seluruh sisa usia yang panjang di "negeri idaman". Bukankah demikian? 

Ya! Namun, jangan kita lupa memperhatikan ancaman kutuk-Nya! Tidak kalah dahsyat! 
Berbuat durhaka terhadap orang-tua, dalam pranata hukum Israel, ternyata dianggap 
setara dengan tindak pidana kelas berat. Bahkan disej ajarkan dengan dosa yang paling 
serius: dosa menghujat Allah. "(Orang) yang mengutuki ayahnya dan ibunya, pastilah ia 
dihukum mati " (Imamat 20:9; 24:15) 



Bukan cuma itu. Menurut si Arif Bijaksana, "Siapa mengutuki ayah atau ibunya, 
pelitanya akan padam pada waktu gelap" (Amsal 20:20). Artinya, berkat tak akan mau 
singgah dalam hidup seorang anak durhaka, baik dalam hidupnya di dunia ini, terlebih- 
lebih di akhirat nanti. Kemudian katanya pula, "Mata yang mengolok-olok ayah, dan 
enggan mendengarkan ibu, akan dipatuk gagak lembah dan dimakan anak rajawali" 
(Amsal 30:17). Artinya, sekiranya pun dalam hidupnya yang bersangkutan tidak 
mengalami kekurangan apa-apa, matinya akan amat hina. Tak ada orang mau merawat 
jasadnya. Bahkan tak ada tanah bersedia menerima j enasahnya. Mayatnya habis menjadi 
makanan gagak lembah dan anak rajawali. 

* * * 

SEMANGAT yang sama kita jumpai pula dalam Perjanjian Baru. Tidak kurang dari 
Yesus sendiri, yang mengecam keras ajaran pemimpin-pemimpin agama Yahudi, bahwa 
seolah-olah oke-oke saja orang menelantarkan kewajiban terhadap orang-tua, asalkan 
demi memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan (Matius 7:9-13) 

"Sama sekali tidak oke!", kata Yesus. "Kewajiban terhadap Tuhan" dan "kewajiban 
terhadap orang-tua" bukanlah pilihan "ini-atau-itu". Melainkan suatu kewajiban rangkap 
"baik-ini-maupun-itu". Mustahil orang sanggup memenuhi kewajibannya kepada Tuhan, 
sementara ia menelantarkan orang-tuanya. 

Firman Tuhan amat jelas dan tegas. "Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang 
dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya" (1 Yohanes 4:20). 
Sebaliknya, mustahil pula orang mengasihi orang-tuanya- atau siapa saja-tetapi menafikan 
sang Sumber Kasih itu sendiri, yaitu Allah, yang adalah kasih itu sendiri (1 Yohanes 4:8). 

Orang yang mengklaim bahwa ia mengasihi Allah tapi menutup hati terhadap sesamanya, 
atau sebaliknya berkata mengasihi sesama tapi tidak mengasihi Allah, adalah penipu. 
Paling sedikit, ia munafik. Kasihnya pura-pura, sebab bersyarat dan berpamrih. Yang 
dikasihinya, tak ada yang lain, hanyalah dirinya sendiri. 

* * * 

MELALUI kehidupan pribadi-Nya, Yesus memberi contoh kongkret mengenai apa 
artinya "menghormati orang-tua". Dari rentang usianya yang pendek-33 tahun -tak 
kurang dari 30 tahun Ia lalui di Nasaret. Di desa-Nya. Di rumah keluarga-Nya. Bersama 
orang-tua dan adik-adik-Nya. 

Sepuluh-per-sebelas dari seluruh hidup-Nya, Ia manfaatkan untuk "urusan keluarga". 
"Hanya" satu-per-sebelas Ia pakai untuk "urusan pelayanan". Tapi Ia membuktikan, 
betapa pelayanan-Nya tak sedikit pun berkurang nilai, makna dan dampaknya, hanya 
karena "kuantitas" waktu yang tersedia relatif singkat. Yang menentukan adalah 
"kualitas"nya. 



Mengenai apa saja yang terjadi selama 30 tahun itu, Alkitab bungkam seribu bahasa. 
Namun demikian, toh ada yang dengan bertanggungjawab dapat kita katakan berhubung 
dengan 30 tahun yang "misterius" itu. 

Para penafsir pada umumnya sepakat, bahwa Yesus mempergunakan kurun waktu yang 
lumayan panjang itu untuk memenuhi "tanggungjawab keluarga". Sebab Yusuf-sang ayah 
dan kepala keluarga-besar kemungkinan telah meninggal dalam usia muda. Mengenai 
"dugaan" ini, beberapa alasan dapat dikemukakan. 

Misalnya yang mencolok adalah, bahwa Alkitab cukup banyak berbicara mengenai 
Maria, sang ibu. Tapi tak sepatah kata pun tentang Yusuf. Mengapa ini? Dalam kisah 
perjamuan kawin di kota Kana (Yohanes 2:1-11), misalnya, Yohanes menyebutkan 
kehadiran Maria. Padahal sekiranya Yusuf masih hidup, ia-lah yang lebih pantas hadir di 
pesta, dan namanyalah yang patut disebut. 

Bila ayah telah tiada, maka anak lelaki tertualah yang mengambil alih tanggungjawab. 
Dan itulah yang Yesus lakukan! Selama 30 tahun itu, Yesus bukan hanya seorang "anak 
tukang kayu". Tapi Ia sendirilah "si tukang kayu" itu, dengan apa Ia menghidupi 
keluarga-Nya. Berlatar-belakangkan "profesi"-Nya itulah, Ia dapat berkata, "kuk yang 
Ku-pasang itu enak" (Matius 11:30). Agaknya spesialisasi Yesus adalah membuat "kuk". 
Dan hasil pekerjaan-Nya prima; "enak" dipakai. 

Tidak kurang dari 30 tahun, menunggu sampai adik-adikNya mampu mandiri, Yesus 
mewujudkan darma-bakti-Nya kepada orang-tua dan keluarga. Darma-bakti yang terus 
diperlihatkan-Nya sampai ketika Ia sudah berada di batas ajal! (Yohanes 19:26-27). 

* * * 

MENGHORMATI orang tua, kita tahu, bukan hanya kebajikan yang eksklusif Israel. 
Kebajikan ini bersifat universal. Legenda-legenda yang kita warisi, seperti si Malin 
Kundang misalnya, membuktikannya. Konfusianisme, apa lagi. Menurut ajaran ini, tidak 
ada yang lebih keji dari pada perbuatan seorang anak "put hao"-anak durhaka yang tidak 
berbakti kepada orang-tua. 

Sebab itu, salah besarlah orang yang beranggapan, bahwa -karena Taurat tidak mengikat 
lagi-maka orang kristen bebas menjadi orang-orang "put hao". Tidak! Kata-kata Paulus 
begitu tegas dan jelas. "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena 
haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu - ini adalah perintah yang penting ." 
(Efesus 6:1-3). 

Mengapa penting? Tidak lain karena ini merupakan urat nadi utama peradaban manusia. 
Ketika orang kehilangan rasa hormat kepada apa pun dan kepada siapa pun, maka hancur 
lebur pulalah peradaban serta merta. Pasti! 

Perintah menghormati orang-tua menegaskan, bahwa ada yang mesti kita hormati di bumi 
ini. Ada yang mesti kita hormati, bukan karena lolos kualifikasi. 



Bukan pula karena dengan melakukannya, kita akan menarik manfaat. Tapi yang kita 
hormati, semata-mata karena "ia" adalah "ia". Yang kita hormati semata-mata karena 
mereka adalah ayah dan ibu kita. Ya, betapa pun buruk penampilan mereka! Betapa pun 
tak membanggakannya prestasi mereka bagi prestise kita! 

Bukankah ini adalah bayangan mini dari hormat kita kepada Tuhan? Yang wajib kita 
hormati, semata-mata karena Ia adalah Tuhan. Titik. Bukan karena Ia begini atau begitu. 
Bukan pula karena ini akan mengakibatkan ini atau itu. 

Ini adalah sikap yang lahir dari cinta yang murni. Cinta yang mengatakan, "Ich liebe dich 
weil du da bist"? Bukan "Ich liebe dich weil du so bist". Aku mencintaimu karena engkau 
adalah engkau! Bukan karena engkau begini atau begitu. 

Menghormati Orang Tua 
Oleh Eka Darmaputera 

Setelah empat titah yang menata hubungan vertikal kita dengan Allah, kini kita akan 
mulai membahas enam titah selanjutnya, yang mengatur hubungan horisontal kita dengan 
sesama. 

Menurut dugaan Anda, dosa paling serius apakah yang dapat dilakukan orang terhadap 
sesamanya? Dan yang karenanya patut dikategorikan sebagai perbuatan maksiat paling 
utama? Apakah teror? Apakah kebohongan publik? Apakah korupsi? Apakah politik 
uang? Apakah pelecehan seksual? Atau apa? 

Kejahatan-kejahatan tersebut, saya setuju, memang amat mengerikan akibatnya. Orang- 
orang beragama tak perlu ragu-ragu mengutuknya, sebab Tuhan pun mengutuk 
perbuatan-perbuatan tersebut. Namun apakah kejahatan-kejahatan itu lalu serta merta 
pantas disebut sebagai dosa paling utama, ini adalah soal lain. 

Yang jelas, Alah punya pendapat berbeda. Dalam Dasa Titah, relasi dengan sesama yang 
paling pertama kali disebut oleh Tuhan — dan karena itu juga yang pertama-tama 
menuntut segenap perhatian kita - adalah, apa hayo? Terkejutlah, bila Anda mau terkejut! 
Sebab yang pertama-tama disebut oleh Allah adalah, astaga, . masalah hubungan dengan 
orang-tua! Soal relasi seseorang dengan ayah dan ibunya! Ini disebut lebih dahulu 
daripada membunuh, mencuri, berzinah, dan sebagainya. 

"HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU, SUPAYA LANJUT UMURMU DI 
TANAH YANG DIBERIKAN TUHAN, ALLAHMU, KEPADAMU" (Keluaran 20:12) 

BILA kita mencermati titah kelima ini lebih saksama, kita akan segera menemukan 
keistimewaan-keistimewaan yang menarik. Misalnya saja, soal bentuknya. Seperti kita 
ketahui, Dasa Titah terkenal dengan bentuknya yang "negatif. 



"Negatif artinya, titah- titahnya serba diawali dengan "JANGAN". Jangan ini, dan jangan 
itu. Jangan begini, dan jangan begitu. Tidak boleh begini, dan tidak boleh begitu. Baik 
bagian pertamanya, yang menyangkut hubungan dengan Allah. Maupun bagian 
keduanya, yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia. 

Seluruhnya! Kesepuluh-puluhnya! Kecuali dua. Yang pertama adalah titah keempat, 
"Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat ."; dan yang kedua adalah titah kelima yang sedang 
kita bahas, "Hormatilah ayahmu dan ibumu ." 

Melalui dua titah tersebut, Allah memberitahukan apa yang harus kita lakukan-bukan apa 
yang tidak boleh kita lakukan. Kira-kira, menurut Anda, apa maksud Allah? Tidak 
terlampau sulit kita terka. Perintah yang positif jauh lebih jelas dan tegas ketimbang yang 
negatif. Iya, "kan? 

Perintah "Kerjakan ini!", lebih jelas ketimbang larangan "Jangan lakukan itu!". "Kamu ke 
sana!" mengandung lebih banyak kepastian dari pada "Jangan ke situ!" Begitu pula titah 
"Hormatilah ayahmu dan ibumu" dibandingkan dengan, misalnya, "Jangan kurang ajar 
terhadap orang-tuamu!" 

Yang terakhir ini menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya, apa saja sih yang dapat 
dikategorikan sebagai "kurang ajar" itu? Apakah mendebat pendapat atau tidak menaati 
keputusan orang-tua termasuk? Sepertinya begitu. 

Tapi bagaimana bila justru pendapat atau keputusan orang-tua itulah yang "nyeleneh"? 
Apakah kita mesti taat bulat-bulat tanpa reserve begitu saja? Apakah tidak ada bedanya 
antara mendebat dengan sopan, dan melawan sambil membentak-bentak? Dan banyak 
pertanyaan lain lagi. 

* * * 

SEBALIKNYA perintah "Hormatilah ayahmu dan ibumu" sangat jelas. Pertama, 
perhatikanlah, perintah ini adalah perintah untuk "MENGHORMATI"; bukan "meaati". 
Dan keduanya jelas berbeda. 

Dalam hal-hal tertentu, bisa terjadi dengan sangat terpaksa kita harus menentang 
pendapat, bahkan melanggar perintah, orang-tua kita. Orang-tua - seperti siapa saja - juga 
bisa bersalah, bukan? Karena itu "menghormati" mesti; tapi "menaati" belum tentu. 

Hanya perintah Tuhan saja yang mutlak. Pendapat dan perintah manusia tidak. Kita harus 
menaati Tuhan, lebih dari pada menaati manusia - siapa pun dia (Kisah Para Rasul 5:29). 
Termasuk orang-tua kita, pemimpin kita, boss kita, bahkan petinggi-petinggi agama kita. 
Mereka semua bisa salah. 

Hanya saja, kalau pun kita terpaksa menentang mereka, kita mesti melakukannya dengan 
hormat, dengan respek, dengan santun. Tak perlu dengan bakar-bakar bendera, dengan 



menghina, atau pakai melempar bom molotov segala. "Hormatilah ayahmu dan ibumu ." 
Ini sudah "harga pas"; tidak bisa ditawar lagi. 

* * * 

SUNGGUH salah dan menyesatkanlah para pendeta dan penginjil yang mengajarkan, 
bahwa karena orang kristen sudah dibebaskan oleh Kristus, maka ia juga bebas dari 
kewajiban apa pun terhadap sesama- termasuk kepada orang-tua, pemimpin, pemerintah, 
dan sebagainya. 

Sekaligus, sungguh bebal serta bodohlah orang kristen yang dengan mudah disesatkan 
oleh ajaran seperti itu! 

Betapa acap orang kristen menjadi batu sandungan bagi orang-orang lain, karena 
menampilkan citra buram sebagai orang-orang yang tidak punya sopan santun, rasa 
hormat, dan respek terhadap orang lain. 

Dan betapa menyakitkan, ketika itu mereka lakukan dengan sadar, serta dengan alasan 
yang pasti mendukakan hati Allah, "Lho, saya "kan anak Tuhan! Peduli amat dengan 
manusia!" Astaga-naga! 

Bibi saya pernah mempunyai pengalaman pribadi mengenai ini. Salah seorang putrinya 
mendadak kehilangan seluruh rasa hormat, baik terhadap kakak-kakaknya maupun 
terhadap ibunya yang janda. 

Ia jarang pulang ke rumah. Seluruh gaji yang ia peroleh dari memberi kursus bahasa 
Inggris, ia serahkan kepada pendetanya - termasuk seluruh tabungannya. 

Seluruh waktunya ia pakai untuk melayani si pendeta - termasuk mencuci dan 
menyeterika semua pakaiannya. 

Ibunya ia umpat dan kutuk sebagai "iblis", yang mau menghalang-halanginya 
menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Dan pandangan seperti ini sengaja 
di"pompa"kan oleh si pendeta. 

Anda lihat, bukan, ironi dan kontradiksinya? Si pendeta melarang anak itu menaati dan 
menghormati orang tuanya, dengan alasan ia harus hanya menaati Tuhan. Tapi ia sendiri 
menuntut ketaatan yang total dari anak itu kepadanya. 

Ia telah mengidentikkan dirinya sendiri sebagai Tuhan! Entah bagaimana pula penafsiran 
pak pendeta tersebut terhadap titah kelima itu. 

Padahal sangat jelas, betapa hormat kepada orang tua itu-di mata Tuhan-adalah salah satu 
kebajikan tertinggi. Dengarlah misalnya betapa "dahsyaf'nya janji Allah bagi mereka 
yang melakukannya. 



Dan sekaligus, betapa mengerikan akibatnya bagi mereka yang tidak. "Hormatilah 
ayahmu dan ibumu, SUPAYA LANJUT UMURMU DI TANAH YANG DIBERIKAN 
TUHAN, ALLAHMU, KEPADAMU" 

Bagi umat Israel di masa pengembaraan, "tanah yang diberikan Tuhan, Aliahmu" itu 
adalah tanah Kanaan, Tanah Perjanjian. Bagi kita, umat Israel baru di masa penantian, 
"tanah" itu tak lain adalah sorga yang abadi. "Tetapi sekarang (kita) merindukan tanah air 
yang lebih baik, yaitu satu tanah air sorgawi. 

Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah (kita), karena Ia telah mempersiapkan sebuah 
kota bagi (kita)" (Ibrani 11:16). 

Bayangkanlah! Kerinduan manusia yang paling mulia-kedambaannya akan sorga- 
dipertaruhkan melalui siap yang bersangkutan terhadap orang-tua! Karena itu, wahai 
anak-anak, hormatilah orang-tuamu! Dan, wahai orang-tua, jagalah kehormatanmu! 
Buktikanlah, bahwa kalian pantas menerima hormat anak-anakmu! 

* * * 

SEBENARNYA dalam hal apa saja-dan sampai kapan-sih kita berhutang hormat kepada 
orang-tua kita? Hukum kelima tidak memberikan perincian lebih lanjut. Itu berarti, 
bahwa dalam hal apa pun dan sampai kapan pun, selama orang-tua kita itu masih 
merupakan orang-tua kita, titah itu mengikat kita. 

Padahal, sampai kapan sih orang-tua kita itu berhenti dan tidak lagi menjadi orang-tua 
kita? Tidak akan pernah, bukan? Sampai saya mati pun, ayah saya ya tetap pak Pitoyo 
yang satu itu, tak pernah pak Parto. 

Dan ibu saya ya tetap bu Kurniati yang itu-itu, tak pernah bu Sumati. Tak pernah ganti. 
Tak pernah berhenti. Selama itu, saya tetap berhutang hormat kepada mereka. Pak Pitoyo 
dan bu Kurniati. 

Apakah ini juga tetap berlaku, walaupun saya sudah jauh lebih pandai ketimbang 
mereka? Atau sudah jauh lebih terpandang? Atau jauh lebih kaya? Jauh lebih nampak 
terhormat ketimbang mereka? Titah kelima ternyata tidak memberi dispensasi apa-apa. 
Karena itu jawabnya adalah, YA! 

Mereka adalah orang-tua kita, bukan saja tatkala kita masih bayi tak berdaya , yang 
bergantung sepenuhnya kepada pengasuhan mereka. 

Mereka adalah tetap orang-tua kita, terlebih-lebih ketika fisik mereka berangsur-angsur 
melemah, dan berbalik jadi kian tergantung kepada cinta kasih serta pemeliharaan kita! 

Apakah kita tetap berhutang hormat kepada mereka, walaupun mereka - melalui sikap 
dan tingkah-laku mereka - sama sekali tidak memperlihatkan bahwa mereka layak 



dihormati? Jawabnya tetap YA! Selama mereka adalah orang-tua kita. Selama mereka 
adalah ayah dan ibu kita! 

Kewajiban kita adalah menghormati mereka, dalam keadaan apa pun dan sampai kapan 
pun. Kewajiban mereka adalah menjaga kehormatan itu! 



Memper-tuhan-kan Berhala 
Oleh Eka Darmaputera 

SETIAP aturan pokok, agar jelas penerapannya dan tidak simpang siur penafsirannya, 
memerlukan "juk-lak". Petunjuk pelaksanaan. Kita dapat mengatakan, bahwa perintah 
kedua dari Dasa Titah, "JANGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG 
MENYERUPAI APA PUN . JANGAN SUJUD MENYEMBAH KEPADANYA ATAU 
BERIBADAH KEPADANYA" (Keluaran 20:4), adalah "juk-lak"nya perintah pertama, 
"JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU" . 

Kalimatnya gamblang. Tak sulit dipahami. Tapi, awas, makna serta implikasinya ternyata 
mudah sekali di"pelintir" dan disalah-pahami! Karena itu, saya harap Anda berhati-hati. 

Misalnya, saya mohon, perintah ini janganlah Anda pahami secara harafiah semata. 
Sehingga kemudian, seolah-olah — seperti "narkoba" — semua patung, arca, bahkan 
lukisan, Anda "tabu"kan sebagai barang terlarang untuk dibuat dan di"konsumsi" orang. 
Bahwa, tanpa pandang bulu, semua jenis patung serta merta Anda kutuk sebagai berhala. 
Dan sebagai konsekuensinya, semua seni-rupawan dan perajin- nya Anda vonis sebagai 
pelanggar serius "perintah kedua". Jangan! 

Imbauan saya tersebut, sama sekali tidak mengada-ada. Sebab, konon, gara-gara 
penafsiran seperti itu, di tempat-tempat tertentu seni rupa dan seni lukis (kecuali 
kaligrafi) diharamkan. Yang berani muncul ditumpas habis, sebab dianggap sebagai 
penyebab paling berpotensi untuk membuat orang menjadi penyembah-penyembah 
berhala; melakukan "syirk". 

Bukan cuma itu. Di dalam tubuh kekristenan sendiri, ada pula aliran yang begitu "anti" 
dan "alergi"-nya, sehingga segala bentuk dan jenis patung menurut mereka mesti 
dibuang, dibakar, atau dihancurkan. "Benda-benda itu adalah sarang iblis, setan, dan 
kuasa-kuasa kegelapan!," ujar mereka dengan sengitnya. 



Menurut pendapat saya, kalau mereka mau menghancurkan atau membuang patung- 
patung milik sendiri sih, silakan saja. Itu sepenuhnya adalah hak asasi mereka. Tapi kalau 
- seperti yang sering saya dengar - kemudian mereka memaksa, menakut-nakuti, serta 
mengancam orang lain agar melakukan yang sama, wah, menurut saya, ini jelas-jelas 
bukan sikap yang lahir oleh pimpinan atau inspirasi Roh Kudus. 

Mengapa saya berani memastikan itu? Sebab menurut Firman Tuhan, pimpinan Roh 
Kudus akan tercermin antara lain melalui, "kesabaran, kemurahan, kebaikan, kelemah- 
lembutan, (dan) penguasaan diri" (Galatia 5:22-23). Sedang sikap mereka? Sungguh 
bertolak-belakang, bukan? 

Salah besarlah bila orang menyangka, bahwa iblis itu bersarang di patung-patung! Salah, 
sebab iblis itu paling gemar bersarang di mana? Ya! Di hati manusia! Di hati Anda. Di 
hati saya. Di hati para pembenci patung itu juga. 

Karena itu jangan sampai karena keasyikan memecahi keramik-keramik antik, iblis yang 
bersarang di hati malah justru dibiarkan meraja-lela dengan leluasa. Terlalu naif-lah 
orang yang berpikir, bahwa iblis itu bisa diusir dan dikalahkan dengan cara 
menghancurkan gentong-gentong dan mangkuk-mangkuk kuno. Sebab seandainya saja 
pemikiran itu benar, wah, Yesus tentu tidak perlu sampai berkorban jiwa di Golgota! 

Bacalah Alkitab 

Demikianlah dengan tidak jemu-jemu saya menganjurkan, bacalah Alkitab Anda dengan 
lengkap dan dengan cermat. Bila ini Anda lakukan, maka yang akan Anda dapati dari 
perintah kedua dari Dasa Titah, tidak cuma berbunyi "JANGAN MEMBUAT", tapi 
masih ada sambungannya. Yaitu, "JANGAN SUJUD MENYEMBAH ATAU 
BERIBADAH KEPADANYA". 

Jadi jelaslah, perintah ini sama sekali tidak bermaksud mau menghancurkan atau 
mengharamkan seni rupa dengan segala hasil karyanya. Yang ditentang dengan amat 
keras adalah, bila orang memberhalakannya. Yang terlarang adalah semua bentuk 
pemberhalaan (= idolatri) — baik "dengan" atau pun "tanpa" patung! Yang diharamkan 
adalah segala jenis perbuatan yang "memper'tuhan'kan berhala" - baik "dengan" atau pun 
"tanpa" patung! 

Penyembahan berhala atau idolatri itu, bila kita pikir-pikir, sungguh amat paradoksal. 
Pada satu pihak, ia merupakan tindakan yang paling bodoh dan paling tidak masuk akal, 
yang bisa dilakukan oleh makhluk yang konon paling cendekia di alam semesta — 
manusia! Pada lain pihak, sangat mudah dimaklumi. 

Nabi Yesaya berbicara mengenai ironi tersebut (Yesaya 44:9-20). Dan sarkastisnya serta 
sadisnya pernyataan Yesaya itu! Sang nabi bercerita mengenai beberapa potong kayu. Di 
mana sebagian dari kayu tersebut dibakar untuk menghangatkan tubuh. Sedang sebagian 
lagi dibakar untuk memasak makanan. Dan sebagian yang lain? O, ia dibentuk menjadi 



sesosok lelaki tampan atau wanita jelita, lalu ditempatkan di tempat terhormat, di dalam 
kuil pemujaan! Sebagai berhala! 

Begitulah, kata Yesaya, hakikat sesungguhnya berhala itu! Seratus persen buatan 
manusia. Bahannya tak sedikit pun lebih mulia dari pada bahan kayu bakar. Sepotong 
benda mati - tidak lebih! 

Yeremia juga menulis yang sama, demikian, "Bukankah berhala itu pohon kayu yang 
ditebang orang dari hutan, yang dikerjakan dengan pahat oleh tangan tukang kayu? Orang 
memperindahnya dengan emas dan perak; orang memperkuatnya dengan paku dan palu, 
supaya jangan goyang. Berhala itu seperti orang-orangan di kebun mentimun, tidak dapat 
berbicara; orang harus mengangkatnya sebab tidak dapat melangkah. Janganlah takut 
kepadanya, sebab berhala itu tidak dapat berbuat jahat, dan berbuat baik pun tidak dapat" 
(Yeremia 10:3-5) 

Olok-olokan terhadap keberadaan berhala, dan ini berarti ejekan terhadap kebodohan 
para penyembahnya, secara tanpa tedeng aling-aling dapat pula kita baca pada sebuah 
naskah apokrifa, "Surat Yeremia". Disebutkan di situ bagaimana seorang perajin 
membuat mahkota bagi berhala-berhala, dengan bahan dan cara yang sama dengan 
apabila ia membuat perhiasan bagi gadis-gadis kecil. Bagaimana para imam mencuri 
emas dan perak yang menghiasi patung-patung itu, dan hasilnya mereka pakai untuk 
berfoya-foya di rumah bordil. Bagaimana berhala-berhala itu setiap pagi harus 
dibersihkan dari debu, sebagaimana layaknya perabotan biasa. Dan bagaimana burung 
gereja dan burung walet, bahkan kucing, menjadikan patung-patung itu sarang mereka. 

Orang harus membuatnya tegak, sebab patung-patung itu tak mampu bergerak. Atau 
jungkir balikkanlah ia, mereka tidak akan mampu melawan. Apabila terjadi kebakaran, 
imam-imam bisa lari mengungsi, tapi berhala-berhala itu tidak. Dengan takzim orang 
menyembahnya, tapi dengan mudah bisa merusak dan menghancurkannya. 

Kasat Mata 

Orang-orang moderen seperti kita tentu sudah jauh lebih "pandai" dibandingkan dengan 
nenek-moyang kita itu. Walaupun "agama-agama tradisional" dan animisme menggeliat 
bangun lagi di sana sini, orang yang terang-terangan menyembah berhala semakin 
langka. 

Tapi apakah ini otomatis berarti bahwa perintah kedua ini tidak relevan lagi? Justru 
sebaliknya! Sekarang ini, pelanggaran terhadap isi perintah ini malah kian menjadi-jadi. 
Telah menjadi begitu "lumrah"nya, sehingga orang tidak merasakannya sebagai 
pelanggaran lagi. 

Benarkah? Ya! Sebab materialisme - dengan manifestasinya, yaitu hedonisme, 
konsumerisme, dan pragmatisme - yang merupakan rohnya zaman moderen, tidak lain 
adalah penjelmaan kembali atau "re-inkarnasi" dari roh penyembahan berhala atau 
idolatri. Inti dan hakikatnya sama persis, yaitu memper"tuhan"kan yang bukan Tuhan. 
Menukar Tuhan yang hidup dengan benda-benda mati. Dan menjadikan benda-benda 



mati itu titik tolak kehidupannya, seluruh isi kehidupannya, dan segenap tujuan 
kehidupannya. 

Apa saja yang kini diberhalakan oleh manusia? O, bisa apa saja! Tapi yang jelas 
semuanya bersifat bendaniah, kasat mata, dan terukur dengan angka-angka. Sukses, 
misalnya, dinilai dan diukur secara material. Dan kebahagiaan dibayangkan sebagai 
kelimpahan atau kenikmatan yang bersifat material dan fisikal. Allah yang hidup ditukar 
dengan benda-benda yang bernama harta, pangkat, dan nikmat sesaat. 

Yang lebih ironis dan tragis adalah bahwa, disadari atau tanpa disadari, roh materialisme 
itu juga telah menyusupi alam berfikir anak-anak Tuhan dan gereja-gereja Tuhan. Gereja- 
gereja berlomba dan bersaing dengan sengit untuk meraih "sukses". Dan "gereja yang 
sukses", menurut ukuran para "materialis kristiani" itu adalah: gereja dengan sekian puluh 
ribu anggota, sekian milyar rupiah aset atau omset-nya, sekian kali jumlah kebaktian-nya, 
dan sekian ribu orang setiap tahun pertambahan keanggotaannya. Ini, saudara, adalah 
bentuk terselubung dari pemberhalaan. Ia menukar nilai-nilai spiritual dengan benda- 
benda, dengan angka-angka. 

Dan betapa bodohnya sebenarnya tindakan itu! Benda-benda mungkin membuat hidup 
manusia nampak "gilang-gemilang". Namun Firman Tuhan mengingatkan, "Dengan 
segala kegemilangan-nya, manusia tidak dapat bertahan. Ia sama dengan hewan yang 
dibinasakan" (Mazmur 49: 13). Sama dengan hewan potong! 

Hewan potong itu hidupnya amat dimanjakan. Serba kecukupan. Sengaja dibuat sehat 
dan gemuk. Tapi ke mana semua itu akhirnya bermuara? Astaga, di pejagalan! 

Teguh dalam Prinsip, Terbuka dalam Sikap 
Oleh Eka Darmaputera 

SETELAH "politeisme" dan "henoteisme", kini tiba saatnya kita akan membahas 
alternatif yang ketiga yang menurut Barclay adalah perkembangan yang paling 
"kemudian" dan yang paling "ideal" dari semua-yaitu "monoteisme". 

Ketika "politeisme" mengatakan bahwa "Allah" itu "banyak"; "monoteisme" menyatakan, 
"Tidak! Allah itu cuma satu! Tak mungkin banyak". 

Lalu kemudian, tatkala dengan simpatik "henoteisme" mengusulkan kompromi, "Oke, 
kami setuju, Allah itu cuma satu. Namun dalam pengertian, "satu Allah untuk satu 
bangsa", lagi-lagi "monoteisme" menampik. "Mustahil!," katanya, "Allah yang satu itu 
adalah Allah seluruh bumi. Satu Allah untuk segenap alam semesta. Allah yang 
universal, bukan "Allah" yang parokhial!" 

Keyakinan monoteistis seperti itulah yang mendasari ungkapan iman seorang pemazmur, 
sebagaimana terbaca dalam Mazmur 139:1-12. Bunyinya, "Jika aku mendaki ke langit, 
atau menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, atau membuat kediaman di ujung 



laut" -ya, ke mana pun aku pergi dan di mana pun aku berada- ketika duduk atau berdiri, 
ketika berjalan atau berbaring- Allah ada di situ!". Allah yang satu dan sama itu! 
YAHWEH! 

Sebab itu tak perlu Anda heran, bila perintah yang pertama-dan yang paling utama-dari 
DASA TITAH adalah, "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN-KU". 
Tidak ada-dan tidak boleh ada- "Allah" yang lain, kecuali Allah yang satu itu. YAHWEH! 

* * * 

AGAMA, supaya bisa memberi pegangan yang tegas dan jelas-bagi siapa saja, dan dalam 
konteks situasi apa saja-sebenarnya cuma punya satu pilihan: ia mesti monoteis. 
Mengapa? 

Ini bukan karena sombong, atau apa. Namun memang harus dikatakan, bahwa pilihan 
yang lain, "politeisme" misalnya,-walaupun menghasilkan toleransi yang seolah-olah 
tanpa batas-ia juga melahirkan situasi ketidak-pastian yang tanpa batas. Akibatnya, 
kehidupan manusia jadi limbung, terpontang-panting dan terombang-ambing kian kemari. 
Tanpa arah, tanpa tujuan, dan tanpa rasa aman. 

Sedang pilihan kedua, "henoteisme", walaupun sepintas memberi kesan lebih matang dan 
lebih seimbang, tanpa dikehendaki, menghasilkan kehidupan yang terpecah-pecah dan, 
pada gilirannya, kepribadian yang terbelah. Kehidupan yang semestinya bulat, utuh dan 
satu, jadi terkotak-kotak serta terkoyak-koyak menjadi "kerajaan-kerajaan" kecil yang 
berjalan sendiri-sendiri, tanpa saling mengacuhkan. 

Situasi inilah yang membuat seseorang, pada satu saat, bisa meraung atau menyeringai 
bagaikan serigala lapar, misalnya ketika ia berada di wilayah bisnisnya. Tapi beberapa 
menit kemudian, ia bisa merunduk dengan khusyuk, berdoa bagai pertapa, tatkala berada 
di ruang gereja. 

Hidup manusia yang diseret kesana kemari ke pelbagai "dunia" yang masing-masing 
menuntut kepribadian yang berbeda-beda-sekali lalim, lain kali alim-adalah hidup yang 
sungguh melelahkan. Tidak menyejahterakan, apa lagi membahagiakan. 

* * * 

PERTANYAAN yang banyak dikemukakan orang adalah ini. "Baiklah, kalau benar 
"monoteisme" yang akhirnya menjadi pilihan terbaik. Kami tidak menolak. Tapi 
bagaimana dengan nasib "toleransi" selanjutnya? Tidakkah prinsip bahwa hanya ada satu 
Allah dan cuma ada satu kebenaran, berlawanan dengan semangat dan roh toleransi serta 
keterbukaan? 

Apakah kita rela mencampakkan nilai "toleransi" begitu saja, sekadar demi untuk 
memiliki pegangan hidup yang jelas? Tidakkah ini akan membawa umat manusia 
kembali ke "Abad-abad Kegelapan" (= Dark Ages), yang pengap oleh suasana 



kecurigaan, pengejaran, serta penindasan terhadap apa pun yang dianggap "sesat" oleh 
para penguasa agama- yang mengklaim kemutlakan eksklusif bagi diri sendiri?" 

Terhadap pertanyaan tersebut, jawab saya adalah: "Ya! Semua keprihatinan yang 
dikemukakan itu, saya akui, adalah canang peringatan yang penting sekali untuk 
diperhatikan. Kita tidak ingin dan tidak boleh kembali kepada tirani spiritual, yang 
mengklaim kebenaran tunggal bagi diri mereka sendiri. 

Walaupun, seperti akan saya jelaskan nanti, praktik-praktik penindasan yang mengatas- 
namakan "kebenaran tunggal" tersebut, sebenarnya justru total bertentangan dengan 
prinsip "monoteisme" yang sejati. Praktik-praktik tersebut adalah penyimpangan yang 
telah mencatut keluhuran prinsip "monoteisme" yang sesungguhnya. Karenanya saya 
setuju, masalah hubungan antara "monoteisme" dan "toleransi" perlu kita bahas". 

PADA satu pihak, tak pelak lagi, setiap orang perlu dengan sepenuh hati dan seputih 
nurani, menunjukkan keterbukaan serta penghargaan yang tulus kepada mereka yang 
berbeda kepercayaan. Namun demikian, di pihak lain, kita mesti menyadari bahwa 
toleransi yang murni hanya dapat terjadi, bila ia didasari dan dibarengi oleh keyakinan 
serta penghargaan yang penuh terhadap keyakinan sendiri. 

Bila terhadap keyakinannya sendiri saja orang sudah tak peduli, bagaimana dapat kita 
harapkan ia peduli dan menghargai keyakinan orang lain dengan sepenuh hati? Toleransi 
sejati bukanlah serta merta menelan bulat-bulat prinsip dan praktik apa saja. Tidak! Sikap 
seperti itu lebih mirip dengan reaksi panik orang yang nyaris tenggelam, lalu meraup apa 
saja yang kebetulan lewat di depannya, ketimbang toleransi yang dilandasi oleh 
kebesaran jiwa. 

Toleransi yang sejati adalah toleransi yang secara sadar mengenali perbedaan yang ada, 
tahu sampai sejauh mana ia bisa mengatakan "ya", serta kapan ia harus mengatakan 
"tidak". 

Semua ini cuma bisa terwujud, bila orang benar-benar serius terhadap keyakinannya 
sendiri. 

Sebaliknya, "toleransi" yang tanpa prinsip dan tanpa batas, adalah toleransi yang palsu. 
Mengapa? Sebab bila orang berkata ia menyetujui apa saja, ini sebenarnya hanya 
menunjukkan betapa ia tidak menyetujui apa-apa. 

Pujian orang akan kelezatan masakan Minang atau Manado, setelah yang bersangkutan 
merasakan kenikmatan masakan Tiociu atau Sechuan, adalah pujian yang jauh lebih 
bermakna, ketimbang pujian seseorang yang dengan enteng berkata, "Bagi saya, semua 
makanan di dunia ini sama lezatnya". Iya 'kan? 



* * * 



KARENA itu, tanpa sedikit pun bermaksud untuk bersombong-sombong, bersikap 
eksklusif , atau merasa superior, kita akan membicarakan di mana letak kekhasan serta 
keunggulan "monoteisme", sehingga dengan teguh dan sadar kita memeganginya. 

"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-KU". Titah ini menegaskan, bahwa ada satu 
yang mutlak. Lebih tepat, hanya ada satu yang mutlak. Itu berarti, relativisme serta 
toleransi tanpa batas ditolak mentah-mentah! 

"Ada yang mutlak" berarti, bahwa di dalam hidup ini ada yang benar dan ada yang salah; 
ada yang baik dan ada yang jahat. Ada etika atau moral untuk segala sesuatu. 

Juga untuk politik dan bisnis? Ya! Keduanya pun tidak "bebas nilai" atau "kedap moral". 
Mencari kuasa atau meraup laba, memang tidak salah pada dirinya. Namun tidak berarti 
lalu boleh semaunya. Kita mesti bertanya: bagaimana cara memperolehnya dan 
bagaimana menggunakan hasilnya? Apakah dengan cara yang benar? Apakah untuk 
maksud dan tujuan yang baik? 

Apa yang saya kemukakan itu juga berlaku untuk agama. Ada agama yang benar, dan ada 
agama yang salah! Ada agama yang baik dan ada agama yang jahat! Agama yang 
meremehkan harkat dan martabat manusia, misalnya, adalah agama yang salah dan jahat. 
Ada norma yang mutlak dan obyektif untuk mengukurnya. 

* * * 

"JANGAN ada padamu allah lain di hadapan-KU". Artinya: yang mutlak itu bukan cuma 
ada; tetapi juga bahwa yang mutlak itu cuma satu. Cuma Dia! YAHWEH! 

Bila yang mutlak itu "cuma Dia", maka konsekuensinya adalah, semua yang lain-apa pun 
itu, kecuali Dia-tidak mutlak. Saya dan keyakinan kebenaran saya tidak mutlak. Tidak 
mutlak, berarti terbatas; bisa salah; tidak sempurna. 

Prinsip "monoteisme" sejati inilah, menurut keyakinan saya, merupakan dasar dari 
toleransi yang sejati! Sebab tidak satu pun-termasuk diri saya sendiri-yang boleh 
memutlakkan diri. 

Semuanya mengakui ketidak-sempurnaannya, dan oleh karena itu juga keterbukaannya 
untuk saling menerima dan saling belajar. 

Percaya bahwa ada satu yang mutlak, tidak serta merta mesti berarti "mutlak-mutlakan". 
Ini sangat menonjol pada konsep yang unik kristiani, yaitu TRINITAS atau 
TRITUNGGAL. 

Bahwa Allah yang "satu" itu hadir dalam ke"tiga"an-Nya, dan bahwa Allah yang "tiga" 
itu berada dalam ke"satu"an-Nya. Intinya: monoteisme tidak sama dengan monolitisme. 
Bahwa di dalam yang "satu" itu, ada kemajemukan. 



Konsep ini, saya akui, sulit dijelaskan secara matematis. Tapi bukankah begitu selalu 
kebenaran itu? Ia, saya akui, juga melampaui logika kita. Tapi bukankah kita sedang 
berbicara mengenai "Allah", yang memang selalu melampaui daya jangkau akal 
manusia? Bila kepala Anda pening dibuat oleh konsep "trinitas" ini, katakan saja, 
"Berbagai-bagai adalah alasan untuk berbagi-bagi; bukan untuk berbalah-balah". 

Henoteisme, Sebuah Alternatif? 
Oleh Eka Darmaputera 

Setelah "POLITEISME", konsep yang kedua tentang keberadaan Tuhan adalah 
HENOTEISME. Istilah ini, saya akui, memang jarang disebut orang. Asing kedengaran 
di telinga kita. 

Tapi mengapa sih ia jarang disebut-sebut? Sebabnya ialah, karena menurut banyak orang, 
isinya dianggap tidak menawarkan alternatif pemikiran baru, melainkan sekadar "varian" 
dari konsep pertama - "politeisme". Seperti "durian Bangkok" atau "durian Petruk" adalah 
varian-varian "bangsa durian". 

Kesan tersebut ada benarnya. Tapi, seperti akan Anda lihat sendiri nanti, tidak 100 persen 
benar. Ada hal-hal atau nuansa-nuansa pada "henoteisme" yang eksklusif, penting dan 
menarik, bahkan punya dampak sosial yang jauh. Yang terlalu sayang, bila kita biarkan 
lewat begitu saja. Karenanya, kita akan membicarakannya. 

Orang-orang yang menganut "henoteisme" - berbeda dengan penganut "politeisme" - siap 
untuk menerima, percaya dan menyembah satu "Allah" saja. Mereka tidak beribadah 
kepada "Allah" yang lain, kecuali kepada yang "satu" itu. Namun demikian - berbeda 
dengan paham "monoteisme" -, mereka toh terbuka dan ikhlas bersedia mengakui 
keabsahan "Allah-Allah" lain, yaitu "Allah-Allah" yang disembah oleh kelompok- 
kelompok lain atau bangsa-bangsa lain. 

Bagi para "henoteis", "Allah" orang lain itu adalah "Allah" juga. Bukan "Allah" palsu 
atau apa. Cuma saja, "Allah" tersebut adalah "Allah" orang lain. "Allah"-nya; bukan 
"Allah"ku. "Allah" mereka; bukan "Allah" kita! 

Analoginya adalah seperti mengatakan, bahwa Megawati Soekarnaputri adalah presiden, 
tapi begitu pula George W. Bush atau Husni Mubarak atau Roh Moo-hyun. Sama-sama 
presiden. Tidak ada yang kita anggap kurang, tidak ada yang kita anggap lebih. Sekiranya 
berjumpa, kita akan menyapa para tokoh tersebut dengan sebutan "Mister President". 
Walaupun dengan catatan, bahwa Bush dan Mubarak dan Roh bukan presiden kita. 

* * * 

DALAM Alkitab sendiri, mungkin tanpa kita sadari, kita masih dapat membaca sisa-sisa 
"henoteisme" tersebut. Baca saja, misalnya, Hakim-Hakim 11:24. Ketika Yefta berusaha 
mencegah raja Amon menyerang Israel, "Bukankah engkau akan memiliki apa yang 



diberi Kamos, aliahmu? Demikianlah kami memiliki segala yang direbut bagi kami oleh 
TUHAN, Allah kami?". Ada yang disebut sebagai "allah-mu" (yaitu, Kamos), tapi ada 
pula yang disebut sebagai "allah-kami" (yaitu, Yahweh). 

Dalam bayangan saya, orang-orang moderen pada umumnya menyukai cara berfikir 
"henoteisme" ini. Sebabnya ialah, karena salah satu hal yang sangat dijunjung tinggi oleh 
orang-orang moderen adalah apa yang disebut "privasi" ("privacy"). 

Sikap ini tidak lahir karena ketidakpedulian. Namun seperti setiap orang ingin dihormati 
"hak-hak pribadi"-nya, ia juga punya kewajiban moral untuk menghormati hak dan 
kebebasan pribadi orang lain. Bahwa untuk urusan-urusan tertentu, setiap orang berhak 
memiliki "ruang pribadi" dan "wilayah eksklusif, yang tidak boleh dimasuki oleh orang 
lain. Seperti "diary" atau "buku catatan harian pribadi". 

* * * 

KARENA itu, dalam struktur masyarakat moderen ada yang disebut sebagai "ruang 
privat" - yang membedakannya dari "ruang publik". Yang pertama adalah "wilayah 
eksklusif yang tertutup, sedang yang kedua adalah "wilayah umum" yang terbuka. 
Semakin moderen sebuah masyarakat, semakin luas "ruang-ruang privat" nya. 

Gaya hidup pribadi, kehidupan pernikahan dan keluarga, serta keyakinan agama, adalah 
beberapa wilayah kehidupan yang dihormati sebagai "ruang privat", yang tidak boleh 
dimasuki atau dicampuri oleh orang lain. 

Ini berbeda sekali dengan yang terdapat pada masyarakat yang "tradisional" maupun 
masyarakat yang "totaliter". Dalam dua tipe masyarakat yang saya sebutkan itu, nyaris 
semuanya menjadi "ruang publik". Di mana semua urusan menjadi urusan semua orang. 

Ada kekuasaan — biasanya kekuasaan politik dan kekuasaan agama — yang merasa 
berwenang penuh mengatur mulai dari potongan rambut Anda (tidak boleh gondrong); 
selera musik Anda (tidak boleh "ngak-ngik-ngok" atau "ngebor"); berapa orang anak 
paling banyak boleh dilahirkan (di RRC, cukup satu orang); partai politik apa yang boleh 
Anda masuki (PKI adalah partai terlarang); partai apa yang mesti Anda pilih (atau 
kenaikan pangkat Anda akan terhambat); mana agama yang "sah" dan mana agama yang 
"salah" ("Ahmadiah" itu "sesat"); dan seterusnya. 

Hidup jadi pengap dan menyesakkan, ketika orang tidak lagi punya ruang gerak pribadi 
yang bebas. Karena itu kita harus menyambut dengan gembira setiap alternatif, yang bisa 
menjamin "privasi" setiap orang serta otonomi dari "ruang-ruang privat", terhadap 
kemungkinan diganggu, dicampuri, dan didominasi oleh pihak luar. 

* * * 

"HENOTEISME" menarik, karena pada satu pihak ia memberi kesan mempunyai prinsip 
pribadi yang tegas. Berani mengatakan, "Allah kami cuma satu. Yaitu yang ini, bukan 



yang itu! "Yahweh", bukan "Kamos"!". Ia tidak — seperti pada politeisme - terperangkap 
oleh relativisme. 

Dan lebih menarik lagi karena, pada saat yang sama, ia tetap memperlihatkan 
keterbukaan dan toleransi-nya. Jadi, ada keseimbangan: saya menghormati Anda, dan 
Anda menghormati saya. 

Sejalan dengan ajaran Yesus, bahwa "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang 
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12), bukan? 

Ya! Lagi pula sangat demokratis! Salah satu prinsip dasar dari demokrasi, seperti Anda 
maklum, adalah bahwa "kekuasaan mesti dibagi". Tidak boleh dibiarkan menggumpal 
dan terpusat di satu tangan. "Henoteisme" menyiratkan keyakinan yang sama. Dari sudut 
pandang ini, "politeisme" dianggap berpotensi menciptakan anarki dan kekacauan, 
sedang "monoteisme" diwaspadai sebagi berpotensi melahirkan tirani dan kesewenang- 
wenangan. 

* * * 

NAMUN demikian, jalan pemikiran yang amat simpatik, dan sepintas lalu memberi 
kesan tidak mengandung persoalan apa-apa ini, ternyata menimbulkan persoalan yang 
cukup serius, khususnya bila kita terapkan untuk menjelaskan tentang keberadaan Allah. 
Mengapa? 

Sebab benarlah kesan sementara orang, bahwa "henoteisme" pada hakikatnya adalah 
"politeisme terselubung". Ada "Allah"-ku dan "Allah"-mu; "Allah" kita dan "Allah" 
mereka. Yang disebut "Allah" adalah "Allah" orang tertentu, kelompok tertentu, bangsa 
tertentu, dan wilayah tertentu. "Allah" individual, "Allah" lokal, "Allah" nasional, 
"Allah" regional. 

Kekuatan dan kedaulatannya bisa amat besar, tapi selalu terbatas. Wilayahnya bisa amat 
luas, tapi selalu parokhial. Kekuasaannya bisa amat luar biasa, tapi selalu nisbi. Di 
sinilah, mudah-mudahan Anda dapat melihat permasalahannya. 

Bahwa "Allah" yang terbatas, parokhial, dan nisbi, jelas bukan Allah. Per definisi, Allah 
itu selalu kekal, tak terbatas, universal, dan mutlak. Henoteisme berbicara tentang 
"Allah", yang bukan Allah. 

Allah berbeda dari yang lain, bukan sekadar karena Ia "lebih" - lebih kuat, lebih dahsyat, 
lebih hebat - , tetapi karena Ia "berbeda". Tidak dapat dibandingkan atau disandingkan 
dengan apa pun. Ia "maha kuasa" (= omnipotent), "maha mengetahui" (= omniscient), 
dan maha hadir (= omnipresent). Mampu melakukan apa saja, mengetahui apa saja, dan 
ada di mana saja. Mutlak, tanpa batas. 



* * * 



BUKAN hanya secara teologis saja "henoteisme" menyimpan persoalan besar, tetapi juga 
secara sosiologis. Sebab konsekuensi dari cara berfikir "henoteisme" ini adalah melihat, 
memahami dan menata kehidupan secara fragmentaris. Bahwa hidup ini terkotak-kotak 
dan terbagi-bagi, di mana setiap kotak memiliki otoritas dan otonominya sendiri-sendiri. 
Dan "antar-kotak" tidak boleh ada intervensi, apa lagi dominasi. Sayangnya, juga tidak 
ada koordinasi. 

Apa implikasi praktisnya? Yaitu bahwa "politik" atau "ekonomi" atau "agama" atau 
"budaya" dipandang sebagai "zona-zona" kehidupan, yang masing-masing berdiri sendiri 
dengan fungsi, tujuan, mekanisme dan hukum-hukumnya sendiri-sendiri. Misalnya, 
tujuan "bisnis" adalah memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Tujuan "politik" adalah 
untuk meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Tujuan "agama" adalah untuk beramal 
sebanyak-banyaknya. 

Fungsi-fungsi itu tidak boleh dikacau-balaukan atau dicampur-adukkan. Jangan main 
politik di wilayah agama. Sebaliknya, jangan mengurus politik seperti mengurus agama. 
Bisnis adalah bisnis - satu-satunya yang penting adalah meraup keuntungan. 

Jadi bekerjasama dengan siapa pun, memakai cara apa pun, mengorbankan siapa pun, 
asal menguntungkan ya oke-oke saja. 

Agama jangan ikut campur dengan berkotbah soal keadilan dan belas-kasihan dan 
kesetiaan, dan sebagainya! Itu hanya laku di mimbar gereja, tapi tidak di transaksi bisnis 
atau di dagang sapi politik. 

Politik mengurus urusannya sendiri, bisnis mengurus urusannya sendiri, dan agama 
mengurus urusannya sendiri. Akibatnya? Pada satu pihak, agama hanya akan terarah ke 
"sorga", tidak punya relevansi apa-apa terhadap kehidupan nyata. 

Pada lain pihak, politik dan ekonomi yang terpisah sama sekali dari agama, akan 
menghasilkan politik yang tidak bermoral dan praktik-praktik ekonomi yang tanpa etika. 
Praktik-praktik tersebut, secara kongkret, membuat kehidupan manusia amat menderita. 
Konklusi kita: "henoteisme" menawarkan alternatif yang menarik, tapi salah! 

Keterbukaan "Yes", Ketidakpedulian "No" 
Oleh Eka Darmaputera 

SEJAK manusia mulai bisa berpikir, salah satu yang mengganggu kedamaian hatinya, 
menurut dugaan saya, adalah pertanyaan: dari mana datangnya kejahatan atau kesakitan 
atau penderitaan, atau ringkas kata dari mana asal-muasal "dosa"? Bagaimana ia bisa 
sampai ada? Siapa yang memungkinkannya? Apa raison d'etre keberadaannya? 

Bagi banyak orang, sumbernya pasti bukan "Allah". Sebab yang namanya "Allah" itu, 
kata mereka, 'kan maha baik — mana mungkin Ia menjadi sumber kejahatan. Ia juga maha 



kuasa, mustahil bisa dipaksa atau terpaksa menciptakan sesuatu yang sebenarnya amat 
dibencinya. Membayangkan Allah sebagai "biang" dosa, adalah semustahil orang yang 
fanatik anti-rokok, tapi menyediakan asbak lengkap dengan rokok dan korek apinya di 
ruang tamu rumahnya. 

Tapi kejahatan itu benar-benar ada. Penderitaan juga benar-benar nyata. Lalu, jika bukan 
"Allah", siapa dong penciptanya? Maka orang pun demi hormat mereka kepada "Allah 
yang baik" itu serta merta mengatakan, bahwa kejahatan, tidak bisa tidak, pasti 
bersumber pada "Allah" yang lain, "Allah yang jahat". 

Logis, bukan? Ya! Namun sayang sekali, logika ini bukan logika Alkitab. Dengan sangat 
keras Alkitab menentang DUALISME, bahwa di samping "Allah yang baik" ada pula 
"Allah yang jahat". No way! "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI 
HADAPAN-KU" (Keluaran 20:3). 

* * * 

SEMANGAT Alkitab menentang ke"musyrik"an sebenarnya telah kelihatan sejak awal. 
Tiga kata pertama dalam Alkitab berbunyi: "PADA MULANYA ALLAH" (Kejadian 
1:1). Dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani, tiga kata ini malah bukan cuma sekadar "kata- 
kata pembuka". Tetapi "judul" seluruh kitab! 

iBeresyit bara elohim". Allah adalah awal, sumber, dan titik-tolak segala sesuatu. 
"AWAL segala awal". Raison d'etre segala sesuatu. Cuma Dia, tiada yang lain! Tidak 
boleh ada yang lain! 

Itulah dasar paling fundamental dari TEOLOGI, selama ia ingin disebut "teologi". Ia 
harus berawal, bersumber, dan bertolak dari "Theos"; dari "Allah". Bila tidak, maka 
namanya ya bukan "teologi", melainkan "antropologi". Artinya: "logia" dan "logika" 
manusia tentang manusia. Spekulasi manusia mengenai dirinya sendiri. 

* * * 

"PADA mulanya Allah" - dan tidak ada yang lain - bukan hanya merupakan paradigma 
pokok teologi, tetapi sekaligus juga adalah prinsip yang paling mendasar dari etika 
Kristen! Jika seluruh berita Alkitab, sumber semua yang mesti kita percayai, dimulai 
dengan "pada mulanya Allah", maka Dasa Titah, pedoman semua yang mesti kita 
lakukan, diawali dengan "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPAN- 
KU" (Keluaran 20:3). 

Apa yang kita baca tersirat di balik hukum yang pertama ini? Tak lain, adalah kesan serta 
pesan monoteisme yang amat kental! Tauhid, tak kurang dan tak lebih! 

Dan di latar belakang larangan tersebut adalah kenyataan, bahwa kepercayaan manusia 
mengenai keberadaan Tuhan tidak cuma satu, melainkan tiga. Barclay menyebutnya 
sebagai "tiga tahap" kesadaran manusia akan Tuhan. Dari bentuk yang paling naif dan 



sederhana, meningkat ke abstraksi yang lebih canggih dan semakin rumit. Dari bentuk 
awal yang polos dan lugu, ke perkembangan kemudian yang kian berliku. 

Di samping "monoteisme", ada "politeisme". Disebut "politeisme", karena menurut 
konsep ini Tuhan itu tidak cuma satu, tapi banyak. Orang menyembah serta beribadah 
kepada bermacam-macam Tuhan. Ada yang menyembah bulan. Ada yang menyembah 
matahari. Ada yang menyembah laut. Ada yang menyembah gunung. Dan sebagainya. 

Konsep politeisme ini sepintas lalu terkesan paling "primitif dibandingkan dengan dua 
konsep yang lain. Bila memakai jalan pikiran Barclay, politeisme adalah tahap 
perkembangan yang paling awal. Tapi benarkah? Ternyata tidak! 

* * * 

ORANG moderen sekarang barangkali sudah tidak lagi menyembah bulan atau matahari 
atau pepohonan. Tetapi paradigma berpikir yang politeistis — tanpa banyak disadari orang 
— ternyata telah melakukan "come-back" yang luar biasa, dan kembali merasuki pola 
pikir dan pola sikap orang moderen. 

Apa sebenarnya prinsip terdalam di balik politeisme? Tidak lain adalah relativisme, yaitu 
langgam serta corak berpikir manusia, yang menolak bahwa ada satu atau sesuatu yang 
mutlak di dunia ini. Sama dengan pola berpikir orang moderen, yang juga mengatakan 
bahwa semuanya relatif. 

Relatif, sebab semua tergantung pada situasi dan kondisi. Relatif, sebab semua harus 
dihargai dan pantas dihormati. Relatif, sebab bagi orang moderen, apa pun oke, asalkan 
Anda oke dan saya pun oke. Apa pun boleh, asal mau sama mau dan suka sama suka - 
tidak saling memaksa dan tidak merugikan siapa-siapa. 

Yang dihasilkan dari pola pikir seperti tersebut di atas, adalah TOLERANSI yang nyaris 
tanpa batas. Dan "toleransi" adalah salah satu nilai yang paling diagung-agungkan dan 
diagul-agulkan oleh modernisme. Beradab atau biadabnya seseorang, diukur dari tinggi 
rendah tingkat toleransinya. 

* * * 

PADA satu pihak, bagi umat manusia yang sepanjang sejarahnya telah terlalu banyak 
menumpahkan darah akibat konflik yang tak berkeputusan, toleransi adalah bagaikan 
siraman air atau tiupan angin yang menyejukkan. Toleransi adalah rahmat ilahi yang 
amat luhur, yang khusus Ia sediakan bagi manusia, tidak bagi makhluk lain. 

Tapi bila yang kita bicarakan adalah toleransi yang nyaris tanpa batas, maka saya 
anjurkan agar kita cermat mengkiritisinya. Sebab toleransi tanpa batas juga berarti 
ketidak-pastian yang mutlak pula. Hidup yang serba limbung, tanpa pegangan dan tujuan. 



Lagipula sulit sekali menarik garis batas, antara pemahaman "toleransi" yang dianut 
orang moderen, dan sekadar "indiferentisme" atau "ketidak-acuhan" atau "ketidak- 
pedulian". Ada kecenderungan yang amat kuat, di mana orang bersikap "toleran" ( "apa 
pun oke") semata-mata karena yang bersangkutan tidak menaruh kepedulian yang 
sungguh. 

Sikap ini, tidak seperti klaim mereka, bukanlah sikap penghargaan dan penghormatan. 
Orang yang hormat dan peduli kepada sesamanya, tidak dapat dengan enteng berkata, 
"Silakan saja, kalau itu memang pilihan mereka". Sebab orang yang peduli tidak akan 
membiarkan orang mencelakakan dirinya sendiri. Orang yang peduli juga tidak mungkin 
mentolerir kejahatan atau kesalahan, tanpa paling sedikit mempertanyakannya. 

Toleransi adalah sikap yang luhur. Namun ketidak-pedulian, jelas bukan sikap yang layak 
dipuji. Keterbukaan adalah satu hal, tapi ketidak-acuhan adalah sesuatu yang lain sama 
sekali. 

* * * 

PERSOALANNYA adalah, bagaimana kita dapat mencegah atau melawan kesalahan dan 
kejahatan tanpa kehilangan toleransi? Sebab mungkin saja, bukan, bahwa semua yang 
berbeda dengan kita, serta merta kita anggap sebagai melakukan kesalahan, lalu kita 
kutuk habis-habisan? Dan apa pun yang merugikan ambisi serta kepentingan kita, kita 
nilai sebagai kejahatan, lalu kita babat mati-matian? 

Jawab saya: itu bukan hanya mungkin, melainkan sering! Dan mengenai itu perlu saya 
tegaskan, bahwa sikap, tindakan dan perbuatan seperti itulah yang justru tidak bisa kita 
tolerir. Tidak dapat kita tolerir, sebab yang seperti itu namanya juga bukan "kepedulian", 
melainkan "kesewenang-wenangan"! 

Kesalahannya adalah karena di situ "diri sendiri"-lah yang dimutlakkan dan dijadikan 
ukuran. Kebenaran sendiri dan kepentingan sendiri. Padahal semestinya, setiap kesalahan 
dan kejahatan siapa pun yang melakukannya — termasuk yang dilakukan oleh diri sendiri 
— adalah kesalahan dan kejahatan. Harus ditentang dan dilawan. 

Karena itu diperlukanlah satu perangkat ukuran yang mutlak dan obyektif. Kaidah penilai 
yang mampu memberi pegangan yang jelas dan pasti. Dan norma pengukur yang berlaku 
untuk siapa saja - orang lain atau diri sendiri. 

Satu-satunya yang dapat kita jadikan pegangan normatif itu adalah ALLAH. Hanya satu 
itu, tidak boleh dan tidak ada yang lain, sebab satu kapal hanya perlu satu nakhoda, tidak 
lebih. 

Dan satu pasukan, satu komando, tidak lebih. Oleh sebab itu, perintah pertama dari Dasa 
Titah itu berbunyi, "JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAP AN-KU". 
Monoteisme, bukan politeisme. 



* * * 



LALU mengapa agama bisa menjadi sumber sikap tidak toleran yang mengerikan? 
Jawabnya: karena agama yang bersangkutan telah melanggar isi perintah pertama itu. Ia 
memutlakkan dirinya sendiri — dogma-dogmanya dan kepentingannya sendiri . Tidak 
memutlakkan Allah. 

"Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku". Perintah yang sepintas lalu memberi 
kesan mengekang dan membatasi itu, ternyata adalah perintah yang MEMBEBASKAN 
(= liberating). Membebaskan manusia dari ketidakpastian, karena ketiadaan pegangan. 
Juga membebaskan manusia dari ketertindasannya, karena memutlakkan yang tidak 
mutlak, dan memperilah yang bukan Allah. 

Dua Kesalahan 

Oleh Eka Darmaputera 

Setelah beberapa kali mengikuti rangkaian tulisan saya mengenai "kesakitan", mungkin 
orang akan berkomentar, "Enak saja si Eka itu ngomong. Dia tidak mengalami sendiri 
sih, bagaimana realitas kesakitan itu. Pahitnya. Capeknya. Frustrasi-frustrasinya." 

Bila komentar itu datang dari saudara saya, yang saat ini sedang menyeringai menahan 
siksa rasa sakit, perkenankanlah saya melalui tulisan ini menyampaikan simpati saya 
yang sedalam-dalamnya. Demi Tuhan, tak secuil pun ada maksud di benak saya, 
meremehkan penderitaan Anda! Namun, dalam batas-batas tertentu, saya tahu apa artinya 
kesakitan. 

Selama hampir duapuluh tahun terakhir ini, saya mengidap bukan cuma satu, melainkan 
beberapa, penyakit, yang secara medis tak tersembuhkan. Penyakit-penyakit yang nyaris 
telah memakan habis seluruh daging saya, dan menyedot semua kekuatan fisik saya. 
Penyakit-penyakit, yang semua orang tahu apa prognosisnya. Dari keadaan seperti itulah, 
saya menulis. Bukan dari awang-awang. 

Toh sikap saya itu tidak unik. Saya malah memperoleh kekuatan dari banyak orang, yang 
dalam penderitaan justru menemukan makna kehidupan. Salah satunya adalah sastrawan 
pemenang Hadiah Nobel, Alexander Solzhenitsyn. Dalam The Gulag Archipelago, ia 
menulis antara lain, 

"Baru ketika aku berbaring di situ, di atas kasur jerami busuk milik penjara, untuk 
pertama kalinya aku merasakan di dalam diriku getaran-getaran kebaikan. Pelahan- 
pelahan, tersingkaplah kenyataan betapa garis pemisah antara kebaikan dan kejahatan itu, 
tidak terentang sebagai pembatas antar negara, atau antar kelas sosial, atau antar partai 
politik. Melainkan melintas di hati setiap orang; semua orang. Di situlah kusegarkan 
kembali jiwaku . seraya berkata tanpa ragu, Terberkatilah dikau, wahai penjara, karena 
telah berkenan hadir dalam hidupku!" 



* * * 



TUJUAN hidup manusia bukanlah untuk bernikmat-nikmat. Bahkan sebelum dosa hadir 
pun, dunia tidak dirancang sebagai "Disney World" atau "Dunia Fantasi". Tetapi dunia di 
mana Allah menitipkan tanggungjawab yang luar biasa besar kepada manusia: menjaga 
serta memelihara ketertiban semesta (Kejadian 1:28) 

Tuhan tidak merancang dunia yang membuat manusia rapuh dan lembek. Walau mungkin 
dunia seperti itulah yang kita idam-idamkan. Dalam hubungan ini, saya teringat akan 
nasib menyedihkan yang menimpa orang-orang Indian yang tinggal jauh di pelosok 
rimba Amazon. Ketika dalam waktu singkat, mereka mati hampir serentak dalam jumlah 
ribuan. Sebabnya ternyata "sepele" saja. Yaitu, virus influenza. 

Lho kok? Ya, karena mereka tak pernah mengenal virus ini. Karenanya tubuh mereka 
tidak mempunyai kekebalan terhadapnya. Ini tidak menjadi soal, sampai kemudian 
datanglah para penebang hutan dari luar. Bersama traktor-traktor mereka, mereka juga 
membawa virus asing itu. 

Padahal orang yang telah teruji seperti Ayub? Rabi Abraham Heschel, sebagaimana 
dikutip Philip Yancey, mengatakan, "Iman seperti Ayub tak mungkin tergoncang, karena 
iman itu sendiri lahir dari goncangan". 

Benarlah yang mengatakan, bahwa hidup kita bukanlah produk yang "sekali jadi", 
melainkan suatu "proses menjadi". Bergerak. Berkembang. Bertumbuh. Berubah. Dalam 
setiap proses pertumbuhan ini, satu unsur tak terhindarkan: kesakitan. Bertumbuh itu 
menyakitkan. Membingungkan. Menimbulkan ketidakpastian. 

* * * 

ALKITAB dengan konsisten menegaskan, bahwa kesakitan bukanlah yang terburuk. Para 
nabi Allah bahkan memperagakan ini di dalam kehidupan nyata mereka. Bacalah kisah 
nabi-nabi Elia, Yeremia, Hosea, Ayub! Sebuah komposisi besar selalu mengandung 
nada-nada minor. Sebuah lukisan agung selalu punya sisi kelabu. Sebuah novel maha 
karya disebut begitu karena unsur-unsur tragis dan ironis di dalamnya. 

Berlatarbelakangkan semua ini, Philip Yancey berbicara mengenai DUA KESALAHAN. 
Dua kesalahan yang bisa mencelakakan. Kesalahan pertama adalah ketika kita 
melemparkan semua tanggungjawab kepada Allah, seraya melihat setiap kesakitan 
sebagai kehendak Tuhan. Sedang kesalahan kedua adalah sebaliknya. Ia berasumsi bahwa 
hidup bersama Allah akan membebaskan manusia dari kesakitan. 

Mengenai yang pertama, rasanya tak perlu lagi penjelasan panjang lebar. Kitab Ayub 
adalah peringatan, BAHWA TAK SEORANG PUN BERHAK BERDIRI DI DEPAN 
SESAMANYA YANG MENDERITA, SAMBIL BERKATA, "INI ADALAH 
KEHENDAK ALLAH". 



Di dalam sejarah gereja, melemparkan seluruh tanggungjawab kepada Allah telah 
membawa akibat macam-macam. Di akhir Abad Pertengahan, banyak wanita dibakar 
hidup-hidup karena mengonsumsi obat penangkal sakit sewaktu melahirkan. Mereka 
dianggap murtad, sebab Alkitab mengatakan, "Dengan kesakitan engkau akan melahirkan 
anak-anakmu" (Kejadian 3:16). Mereka melawan kehendak Tuhan. 

Begitu Edward Jenner selesai dengan vaksin cacar air-nya, ia mengalami kesulitan 
dengan para petinggi gereja, yang beranggapan bahwa vaksin itu adalah bentuk intervensi 
terhadap kehendak Allah. Sampai sekarang pun, beberapa sekte tetap menolak 
pengobatan moderen. Prinsip mereka adalah, Allah menghendaki mereka menderita, 
karena dosa-dosa mereka. Sebab itu, biarlah mereka menderita. 

Sekarang saya hendak menegaskan: penyakit bukan "takdir". Fatalisme bukanlah sikap 
iman kristiani yang benar. Allah tidak pernah menyukai kesakitan, seperti kita pun tidak 
menyukainya! Kalau pun Ia meletakkan realitas kesakitan di depan kita, itu adalah karena 
Ia ingin kita melawannya dan mengatasinya. 

Barangsiapa masih meragukan ini, saya persilakan membaca kembali dengan teliti 
perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" (Lukas 10) atau perumpamaan 
"Kambing dan Domba" (Matius 25). Di situ amat jelas apa yang dikehendaki Allah. 

* * * 

SEKARANG menyangkut salah kaprah kedua. Akhir-akhir ini, dari mimbar-mimbar 
gereja maupun dari layar kaca, dengan gencar diperkenalkan suatu kepercayaan, seolah- 
olah kesembuhan pasti akan terjadi pada setiap orang, asal saja mereka mau meng"klaim" 
itu dari Allah. 

Sedikit pun saya tidak bermaksud meragukan adanya mujizat penyembuhan. Saya 
mempercayainya dan mengharapkannya! Namun demikian, saya menolak dengan tegas 
keyakinan bahwa ini berlaku setiap waktu bagi setiap orang percaya. No way! 

Dalam banyak hal, "percaya" dan "tidak percaya", tak banyak berbeda. Misalnya, angka 
mortalitas keduanya sama persis: 100 persen. Orang kristen mati, yang tidak kristen pun 
mati. Mata orang Kristen -seperti yang lain - pada satu saat perlu kaca mata. Tulang- 
tulang mereka sama-sama punya potensi untuk keropos. Daging di tubuh mereka sama- 
sama akan hancur bila digilas truk atau kereta api. 

Yang sering tidak kita sadari adalah, apakah dampak dari penekanan yang berlebih- 
lebihan kepada mujizat penyembuhan, terhadap mereka - yang jumlahnya pasti jauh lebih 
besar - yang rindu tapi tidak mengalaminya? Apa yang berkecamuk di dalam hati seorang 
yang lumpuh dari kursi rodanya, ketika melihat rekan senasibnya melompat-lompat 
kegirangan, sambil berteriak "Aku sembuh!" Tidakkah ia akan sangat kesepian, merasa 
ditinggalkan? Dan dengan frustrasi mencari, apa yang salah dengan imanku? 



"Teologi Kesehatan dan Kemakmuran" ini sangat berbeda dari apa yang ditulis oleh 
Paulus kepada Timotius. Ketika ia berkata, "Setiap orang yang mau hidup beribadah 
dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya" (2 Timotius 3:12). Berdasarkan ini, baiklah 
saya tegaskan: "SAKIT TIDAK BERARTI TIDAK ROHANI"! Dibaptis dengan air 
bukan berarti disemprot dengan cairan anti kuman dan anti sakit! 

Bagi Anda masih ragu, saya persilakan Anda membaca Ibrani pasal 1 1 . Di sini, penulis 
mendaftar pengalaman tokoh-tokoh iman sepanjang zaman. Sebagian besar dari tokoh- 
tokoh ini mengalami penyertaan Tuhan yang ajaib. Yusuf, Musa, Rahab. 

Tapi jangan lupa membaca ayat-ayat berikutnya, yang menyatakan, "Ada pula yang 
diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, 
digergaji, dibunuh dengan pedang. Mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba 
dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan" (Ibrani 11:36- 
37). Bukan naik limousine dan hidup makmur! Namun begitu mereka toh tidak kurang 
berimannya dibandingkan dengan yang lain. 

David Watson adalah seorang pendeta dan penulis dari Iggris. Ketika ia diberitahu bahwa 
ia menderita kanker usus, ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk kelompok 
doa. Mereka berdoa dengan keyakinan penuh, bahwa Watson akan mengalami mujizat 
penyembuhan. Watson pun kemudian menjadi tokoh terkemuka gerakan kharismatik di 
Inggris. 

Tapi ternyata ia tidak sembuh juga. Satu bulan terakhir dari hidupnya, ia pakai untuk 
menulis sebuah buku, yang diberinya judul Fear No Evil. "Tidak Gentar Menghadapi 
yang Jahat" Di situ ia bersaksi, bahwa yang ia butuhkan adalah iman yang menopang, 
seperti iman Ayub. Iman yang mengajarkan kepadanya "seni menghadapi maut". Di 
mana mati secara baik, adalah prestasi terbaik — bukan kegagalan — yang dapat dicapai 
oleh orang beriman. Dan pula iman yang tidak silau dalam kemakmuran! *** 

Bukan Sebabnya, Tapi Responsnya 
Oleh Eka Darmaputera 

Terbujur di pembaringan, mengaduh di puncak kesakitan, biasanya membuat orang 
berfikir, "Ah, sekiranya saja Tuhan mau datang, dan bersedia menjelaskan apa sebab 
musabab semua penderitaan ini! Oh, waktu itu, betapa leganya hatiku, dan puasnya 
batinku - pasti! Aku akan mampu menerima "nasib"ku. Sebab paling sedikit kini aku 
mengerti, mengapa semua yang terjadi ini, terjadi". 

Ayub - seperti kita — juga pernah berfikir begitu. "Ah, kalau saja Tuhan mau datang — 
sekali saja — memberi penjelasan!" Dan dalam kasus Ayub, ternyata Tuhan benar-benar 
datang. "Dalam badai," begitu kata Ayub 40:1. Tapi legakah Ayub karenanya? 
Terpenuhikah harapan-harapannya? Jawabnya adalah: Tidak! 



Pertama, kemungkinan besar Ayub - seperti kita - tentu membayangkan, bahwa Allah 
akan datang dengan kalimat-kalimat yang menghibur meneguhkan, dengan sikap hangat 
dan lembut kebapaan, dan dengan senyum yang menyalakan kembali harapan yang nyaris 
padam. 

Memang sepantasnya begitu! Sebab bukankah Ayub adalah kekasih dan putra 
kebanggaan Allah! Dengarlah apa yang Ia katakan kepada Iblis, "Apakah engkau 
memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang 
demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayuib 1:8). 
Dan hamba kekasih serta kebanggaan Allah itu, kini sedang tertekan, kesakitan, dan 
menderita teramat sangat! 

* * * 

NAMUN itukah yang Allah lakukan? Datang dengan lembut, ramah dan sikap 
menghibur? Jawabnya adalah: Tidak! Sebaliknyalah, Ia datang dengan wajah merah 
padam. Mungkin mendobrak pintu, mungkin menggebrak meja, dan dengan suara 
mengguntur berkata, "Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan- 
perkataan yang tidak berpengetahuan? Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan 
menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku" (38:2-3). Astaga! 

Saya bayangkan, Ayub pasti terpana. Shock berat. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, 
tak bisa percaya. Hal yang tak pernah ia harapkan bisa terjadi adalah, bahwa Allah datang 
membombardirnya dengan daftar pertanyaan yang panjang. Bukan membawa jawaban! 

Tuhan seakan-akan tak peduli sedikit pun akan 35 pasal yang sarat dengan perdebatan 
dan kontroversi yang panas, yang sampai pada akhirnya tetap menyisakan pertanyaan- 
pertanyaan penting yang tak terjawab. Pendeta yang paling buruk pun, saya kira, tak akan 
tega melakukan seperti apa yang Allah lakukan, terhadap warga jemaatnya yang tengah 
limbung kehilangan pegangan di limbah kesakitan. Toh Allah melakukannya. Ini tentu 
sangat mengherankan! 

Hal kedua yang kita baca adalah, bahwa Ia bukan hanya tidak mau menjawab pertanyaan- 
pertanyaan Ayub - yang nota bene adalah pertanyaan-pertanyaann yang sah — , eee Ia 
malah berpidato panjang lebar mengenai hal-hal yang sama sekali tidak punya relevansi 
apa-apa. 

Kepada orang yang sedang menderita kesakitan, Allah malah memberi kuliah atau 
ceramah tentang alam semesta. Tentang matahari trerbit, tentang hujan dan salju, tentang 
badai, tentang singa, tentang kambing hutan, tentang keledai liar, tentang burung onta, 
tentang kuda, tentang burung-burung. (Ayub 38 dan 39). 

Setiap selesai menjelaskan satu pokok, Ia juga menyodok dengan pertanyaan yang 
membuat Ayub terhempas ke sudut, " Ayub, mampukah engkau sedikit saja meniru apa 
yang Aku lakukan? Apakah engkau cukup arif untuk memerintah dunia? Mempunyai 



lengan seperti lengan-Ku? Dan suara mengguntur seperti suara-Ku? Ayo jawab, Ayub, 
jawab!" 

Kadang-kadang tidak puas dengan itu, jawaban Allah masih disertai pula dengan 
sarkasme yang menusuk hati, misalnya, "Tentu engkau mengenalnya, karena ketika itu 
engkau telah lahir, dan jumlah hari-harimu telah banyak" (38:21) Saya bayangkan nada 
yang mengejek dan mulut yang tersenyum sinis. 

* * * 

PERTANYAAN kita tentu adalah, mengapa Allah menjawab begitu, dan di saat-saat 
seperti itu? Mengapa Tuhan seolah-olah tidak mempedulikan luka batin Ayub? Terjang 
terus, sekali pun lawan telah jatuh? 

Kelihatan dengan amat jelas, betapa Allah menolak memberi jawaban yang logis yang 
rinci, butir demi butir, mengenai sebab musabab kesakitan dan penderitaan. Ia juga 
menampik dengan tegas "tuntutan" Ayub untuk memberikan "pertanggung-jawaban". 
Ketika banyak orang Kristen mengangkat diri menjadi "pahlawan iman" dan "pembela" 
Allah dalam masalah kesakitan dan penderitaan ini, eee, Allah sendiri tidak merasa perlu 
membuat pembelaan diri atau "apologia". Allah tidak memerlukan pembelaan! 

Apa sih yang sebenarnya Allah inginkan dari Ayub? Alkitab ingin memperlihatkan 
betapa Allah amat serius dengan apa yang Ia nyatakan. Bahwa isu kesakitan dan 
penderitaan bukanlah isu enteng, yang cukup dijawab dengan luapan -luapan spontan 
semata. Allah menuntut sikap yang benar dan tepat - bukan teori! 

Apa yang Ia mau katakan? Ini: BAHWA SELAMA MANUSIA NYARIS TIDAK TAHU 
APA-APA TENTANG BEKERJANYA ALAM SEMESTA - TERMASUK HAL-HAL 
YANG KELIHATANNYA REMEH DAN BIASA (MATAHARI TERBIT DAN 
TENGGELAM, ANGIN TOPAN DAN HUJAN, SINGA DAN KAMBING HUTAN) - 
JANGANLAH IA BERLAGAK BISA MENJADI PENENTU APA YANG BENAR 
DAN APA YANG SALAH (= MORALITAS) DI ALAM INI. Terlebih-lebih, bila Tuhan 
pun mau ia adili! 

Lalu apa yang Ia inginkan? Cuma satu ini: KEPASRAHAN DIRI YANG PENUH, 
UTUH DAN MENYELURUH KEPADA APA PUN - SEKALI LAGI, KEPADA APA 
PUN - YANG DIPERBUAT ALLAH. Janganlah pernah terpikir di benak Anda, untuk 
duduk di kursi hakim, lalu mengadili Allah, karena apa yang Ia lakukan sehubungan 
dengan kesakitan dan penderitaan manusia. 

Selama Anda tak mampu mengatur datangnya musim kemarau dan musim penghujan, 
menciptakan mahluk-mahluk kecil seperti kecambah atau kecebong, Anda tidak berhak, 
dan tidak memenuhi syarat untuk mengadili Allah, sang Maha Pencipta. 

Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Barangsiapa berniat untuk menghakimi Allah, 
biarlah ia terlebih dahulu meyadari kekecilannya dan kebesaran-Nya! Dan sebaiknya 



Anda percaya saja sepenuh hati Anda, bahwa Ia yang berkuasa mencipta kita dari tiada 
menjadi ada, masakan Ia tak berkuasa untuk memelihara dan menjaga kita? 

* * * 

DALAM kaitan ini, sungguh menarik mengikuti komentar Philip Yancey terhadap buku 
Harold Kushner, "When Bad Things Happen to Good People", yang amat termashur itu. 
Yancey mengritik Kushner, karena yang disebut belakangan - sekalipun percaya akan 
kebaikan Allah - toh mempertanyakan kemampuan serta kemahakuasaan-Nya. 

Menurut Kushner, Allah itu baik. Ia tidak suka melihat anak-anak-Nya menderita. Ia pun 
berupaya mencegah dan menolong mereka. Tapi, apa boleh buat, Ia tak cukup mampu 
untuk itu. Mengapa? Karena Ia adalah Allah keadilan, bukan Allah kekuatan. Oleh 
karena itu, kita berharap terlalu banyak. Bukan sapunya yang salah, bukan, kalau sapu 
tersebut tidak dapat kita pakai untuk, misalnya, bermain musik? 

Yancey mempertanyakan dalil Kushner ini. Atas dasar apakah ia dapat mengatakan, 
bahwa Allah seolah-olah berkata kepada Ayub, "Yub, maaf banget deh! Aku sebenarnya 
ingin menolong, tapi mau bagaimana lagi, Aku tak mampu"? 

Sebaliknyalah, begitu Yancey, yang kita baca dalam kitab Ayub adalah, betapa Allah 
datang kepada Ayub untuk menyatakan kemaha-kuasaan-Nya! Ia tak pernah satu kalipun 
sekalipun minta maaf kepada Ayub atas ketidak-mampuan-Nya. Elie Wiesel pun 
berpendapat sama. Bila benar Allah adalah seperti yang ditulis oleh Rabi Kushner, 
katanya, Ia pantas untuk mundur, dan memberi kesempatan kepada yang lebih mampu 
untuk menggantikan-Nya. 

* * * 

SETELAH ini jelas, sekarang kita dapat kembali kepada pertanyaan utama kita: 
bagaimana seharusnya kita menyikapi kesakitan dan penderitaan kita? Bagaimana 
seharusnya kita memandangnya, memahaminya, menafsirkannya, dan kemudian 
menyikapinya? 

Menjawab ini, kita hanya harus kembali kepada jalan pemikiran Yesus dalam Lukas 13 
dan Yohanes 9. Di sini Yesus juga tidak ingin kita menghabiskan enersi serta 
mengarahkan konsentrasi kita kepada persoalan yang bersifat spekulatif, yang tidak 
mempunyai makna bagi kehidupan sehari-hari. Yaitu pertanyaan "mengapa?". 

Kepada Ayub, secara implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia menjawabnya, 
Ayub toh tak akan mengerti juga. Seperti menjelaskan persoalan matematika tinggi 
kepada jebolan kelas 2 SD. Percuma! 

Yang relevan bukanlah "mengapa"nya, melainkan "bagaimana merespon"nya. Apakah 
kita biarkan penderitaan itu mematahkan semangat kita dan memadamkan seluruh 
vitalitas hidup kita? Atau, walau amat terbatas dan lemah, kita masih dapat menjadikan 



hidup kita tetap bermakna? Saya selalu terharu melihat seorang bocah kecil yang walau 
tak dapat lagi menggunakan tangannya untuk melukis, ia tidak menyerah. Ia memakai 
mulutnya. *** 

Jika Aku Lemah, Aku Kuat 
Oleh Eka Darmaputera 

Paul Tournier-seorang dokter, konselor, dan penulis berkebangsaan Swiss-dalam 
bukunya Creative Suffering, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, mengungkapkan 
rasa "surprise"nya setelah membaca sebuah artikel yang berjudul "Orphans Lead the 
World" atau "Para Yatim Piatu (yang) Memimpin Dunia". 

Artikel ini melakukan survei atas 300-an tokoh, yang dinilai mempunyai dampak besar 
dalam perjalanan sejarah dunia. Setelah melakukan studi perbandingan yang mendalam, 
para peneliti itu menemukan adanya persamaan yang sangat menarik di antara tokoh- 
tokoh itu. 

Yaitu, bahwa semua mereka telah dibesarkan sebagai yatim piatu. Baik secara aktual atau 
pun secara emosional. Maksudnya, mempunyai pengalaman buruk di masa kanak-kanak 
mereka. Termasuk dalam daftar tersebut, adalah nama-nama besar seperti Alexander 
Agung, Julius Caesar, Maximilien Francois Marie Isidore de Robespierre, George 
Washington, Napoleon Bonaparte, Ratu Victoria, Golda Meir, Adolf Hitler, Vladimir 
Ilyich Lenin, Jozef Stalin, dan Fidel Castro. 

Tournier sendiri adalah seorang yatim piatu. Bahkan setelah kematian istrinya, ia berkata, 
ia kembali merasa sebagai yatim piatu lagi di usia tuanya. Tapi kali ini, pengalaman duka 
tersebut telah membawa perubahan besar baik dalam kepribadian, sikap, maupun 
pandangan hidupnya. Perubahan yang positif. 

Sebelumnya ia menilai setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya-apakah itu 
keberhasilan atau kegagalan-, sebagai baik atau jahat, pada dirinya. Terserang influenza, 
misalnya, dengan sendirinya, adalah buruk. Sebaliknya, makan enak adalah baik. Kini ia 
menyadari, bahwa secara moral peristiwanya sendiri adalah netral. Tidak baik atau buruk 
pada dirinya. Terserang influenza lalu terpaksa tinggal di rumah, yang ternyata membuat 
ia terhindar dari kecelakaan kereta api yang fatal, adalah baik. Sebaliknya, makan enak 
tapi kemudian membuat kadar kolesterol naik drastis, adalah buruk. Iya, kan? Sesuatu itu 
baik atau buruk, tidak tergantung pada peristiwanya, melainkan pada manusianya. 

* * * 

TOURNIER juga menulis, "Langka sekali kita menjadi tuan atas peristiwa-peristiwa 
yang terjadi dalam hidup kita. Sering sekali, hal-hal yang tidak kita maui dan tidak kita 
sukai, itulah yang justru terjadi. Dan kita hanya bisa menerimanya. Namun begitu, 
bagaimana kita menyikapi dan meresponi peristiwa-peristiwa yang tidak kita pilih itu, 
adalah tanggungjawab kita sepenuhnya. Penderitaan an sich pada dirinya tidaklah 



bermanfaat. Apakah ia kemudian bermanfaat atau tidak, tergantung dari sikap kita. Di 
situlah tes yang sesungguhnya! 

Apakah reaksi yang dikembangkan adalah reaksi positif, aktif, kreatif? Bila demikian, 
kelemahan bisa diubah menjadi sumber kekuatan. Kegagalan bisa dijadikan titik awal 
keberhasilan. Dan kesakitan tubuh menjadi wahana bagi pertumbuhan rohani. 

Sebaliknya bila responnya negatif, maka kesakitan akan memadamkan semangat dan 
mematikan vitalitas. Pertolongan yang tepat serta diberikan pada saat yang tepat, akan 
amat menentukan perjalanan hidup yang bersangkutan selanjutnya. Tournier melihat 
tugasnya yang utama adalah menolong orang agar mampu memanfaatkan kesakitan 
menjadi pendorong perubahan yang positif 

* * * 

ANDA pasti kenal buah durian. Orang baru dapat menikmati manfaat dan kelezatan 
buahnya, setelah membelah kulitnya yang tebal. Tindakan itu pasti amat "menyakitkan", 
tetapi tidak membinasakan. Sebaliknyalah! Ia membebaskan buah durian itu melepaskan 
segenap potensinya. 

Martin Luther King Jr. juga berulang-ulang mengatakan hal yang serupa. "Apa yang 
tidak menghancurkanku, menguatkanku", katanya. Dan pasti begitu pula sikap para tokoh 
besar dunia. Gandhi, Solzhenitsyn, Sakharov, Tutu, Mandela. 

Dengan sengaja MLK, Jr. memilih Alabama, yang terkenal dengan gubernur dan sheriff- 
nya yang amat rasialis, sebagai pusat perjuangannya melawan diskriminasi. Di situ, ia 
dipukuli, dipenjarakan, dan diperlakukan amat tidak manusiawi. Tapi ia menerimanya 
dengan sadar dan sabar. Ia yakin, bahwa hanya bila orang melihat dan mengalami sendiri 
jahatnya rasialisme dalam bentuknya yang paling ekstrem, mereka akan tergerak untuk 
berjuang. Tapi tidak, selama keadaan masih bisa ditolerir. 

"Kekristenan," katanya, "menekankan bahwa salib selalu mendahului mahkota. Orang 
Kristen sejati mesti mau memikul salib. Kalau perlu, sampai salib itu meninggalkan parut 
luka yang perih. Sebab kota kebahagiaan cuma dapat dimasuki melalui jalan 
penderitaan". 

* * * 

PENGALAMAN-PENGALAMAN kongkret para tokoh iman tersebut, membuat saya 
mampu melihat ajaran Yesus yang "aneh" itu - "Kotbah di Bukit" - dalam terang yang 
baru. Dulu saya berfikir bahwa kata-kata Yesus, "Berbahagialah mereka yang miskin, 
yang berdukacita, yang lemah lembut, yang teraniaya", dan sebagainya itu, adalah kata- 
kata penghiburan bagi pengikut-pengikut-Nya yang nasibnya kurang beruntung di dunia 
ini. 



Seolah-olah Yesus ingin mengatakan, "Sebab kalian miskin, kesehatan kalian buruk, dan 
hati kalian selalu berduka, maka Aku bermaksud menghibur kamu. Aku juga menjanjikan 
berkat untuk hidup kalian di masa mendatang. Mudah-mudahan kalian lebih lega dan 
merasa "enakan" sekarang". 

Tapi, saudara, Yesus tidak menjanjikan sesuatu untuk masa yang akan datang saja. Ia 
berkata, "Berbahagialah yang ." ; bukan "Berbahagialah nanti .". Paulus juga mengalami 
paradoks iman itu sekarang, bukan baru nanti. "Justru dalam kelemahanlah kuasa (Tuhan) 
menjadi sempurna ". "Jika aku lemah, maka aku kuat" (2 Korintus 12:9,10). 

Adalah reaksi yang normal dan wajar, bila orang menerima kesakitannya dengan rintihan, 
kegetiran, bahkan kegeraman. Karena itu, bila respon dan reaksi orang justru sebaliknya, 
tentu kita bertanya-tanya kepingin tahu. Apa sebabnya? Apa rahasianya? 

Teologi Kotbah di Bukit, kadang-kadang disebut orang sebagai "Teologi Jungkir Balik" 
(= Theology of Reversal). Bagi yang sinis, sering diejek sebagai "Teologi Terbaik-balik". 
Tapi bukan cuma di sini Yesus mengajarkan hal-hal yang menjungkir-balikkan norma- 
norma yang lazim. Ia juga mengatakan, "Yang pertama akan menjadi yang terakhir" 
(Matius 19:30); "Barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan" (Lukas 14:11); "Yang 
terbesar di antara kamu harus menjadi yang paling muda; dan yang memimpin menjadi 
pelayan" (Lukas 22:26). Dan sebagainya. 

* * * 

MENGAPA ini? Apa sih istimewanya "orang-orang miskin" dan "orang-orang 
menderita", sehingga memperoleh tempat dan perhatian khusus dari Allah? Seorang 
biarawati Katolik, Monica Hellwig, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, 
mendaftarkan "nilai lebih" penderitaan dan kesakitan, tanpa memuja penderitaan dan 
kesakitan itu sendiri. 

Ada sepuluh. (1) Penderitaan membuat orang menyadari kebutuhannya akan penebusan. 
Membuat ia terbuka untuk Injil. (2) Kesakitan membuat orang sadar akan 
tergantungannya kepada Allah dan kepada sesamanya yang sehat. Tapi juga saling 
ketergantungannya dengan saudara-saudaranya senasib. (3) Penderitaan membuat orang 
tidak mempertaruhkan pengharapan mereka kepada benda-benda, yang cuma 
memberikan kepuasan semu dan sementara. (4) Penderitaan mendidik orang untuk tidak 
melebih-lebihkan kemandiriannya, melainkan belajar bersikap rendah hati. (5) 
Penderitaan membuat orang lebih menekankan ko-operasi (= kerjasama) ketimbang 
kompetisi (= persaingan). (6) Penderitaan memampukan orang membedakan kebutuhan 
dari kemewahan. (7) Penderitaan mengajarkan kesabaran. (8) Penderitaan memungkinkan 
orang mengenali perbedaan antara ketakutan yang wajar dan yang berlebihan. Dan (10) 
Penderitaan membebaskan orang untuk merealisasikan pangilan jiwanya. Karena tidak 
mempunyai banyak, yang bersangkutan tidak takut kehilangan banyak. 



* * * 



SADARLAH saya, mengapa tokoh-tokoh iman harus dan telah melampaui begitu banyak 
kesakitan dan penderitaan. Sebabnya adalah, karena ketergantungan kepada Tuhan, 
kerendahan hati, kesederhanaan, kerjasama, ketidak-tergantungan kepada kemuliaan 
dunia, adalah unsur-unsur mutlak bagi spiritualitas. Kualitas yang sulit diperoleh dari 
mereka yang bergelimang dalam kelebihan dan kemewahan bendaniah.. 

Masyarakat Korintus adalah masyarakat yang memuja penampilan eksternal luar 
ketimbang kualitas internal. Tapi masyarakat mana sih yang tidak? Toh Paulus bangga 
dengan "kelemahan"nya. Menjadikan salib sebagai pusat pemberitaannya- salib, yang 
dianggap "kebodohan" dan "kelemahan". 

Sejarah hidupnya sendiri telah mengajar dia mengalami, betapa kesakitan dan 
penderitaan adalah wahana yang efektif bagi anugerah Allah. Jika aku lemah, maka aku 
kuat. Semakin kita menyadari kelemahan kita, semakin kita akan mencari Allah. Dan 
semakin kita bergantung kepada-Nya, semakin kuat Ia akan mendekap kita. *** 

Sakit, Tapi Jangan Takluk 
Oleh Eka Darmaputera 

Masih ingatkah Anda, bahwa tatkala kita membuka rangkaian pembahasan kita tentang 
"kesakitan", diperlihatkan kepada kita betapa kesakitan yang paling parah, adalah ketika 
orang menderita sakit, tetapi tak mampu merasakannya. Walau sebuah paku besar 
menghunjam dalam ke telapak kakinya, dan darah mengucur deras, yang bersangkutan- 
alangkah mengerikannya-tidak merasakan apa-apa. "Sakit, tapi tidak sadar". 

Kini kita akan menutup rangkaian pembahasan kita dengan mengatakan, bahwa sikap 
yang paling ideal dalam menghadapi kesakitan, adalah menyadari bahwa ia sakit, 
mungkin merasakan sakit yang teramat sangat, namun tidak mau menyerah. Seperti 
Yesus ketika Ia merasakan ngilunya aniaya salib di sekujur tubuhnya. "Sakit, tapi tidak 
takluk". 

Jadi yang satu-yang terburuk-adalah "sakit, tapi tidak merasa sakit". Sedang yang lain- 
yang ideal-adalah "sakit, tapi merasa tidak sakit". Yang pertama-yang sebaiknya jangan 
kita alami --, adalah "tidak mampu merasa sakit". Sedang yang kedua-yang sebaiknya 
kita usahakan — , adalah "tidak mau merasa sakit". Begitulah kira-kira perbedaannya, 
secara amat sederhana. 

* * * 

SEBAGIAN besar kita pasti mengenal kisah mujizat penyembuhan yang dilakukan 
Yesus, terhadap seorang yang telah menderita sakit 38 tahun lamanya (Yohanes 5:1-18). 
Orang itu kini cuma mampu tergolek tanpa daya di tepi kolam Betesda. Menanti kalau- 
kalau ada orang bersedia menolong menceburkannya ke kolam, tepat di saat kolam itu 
bergejolak. Konon, begitu kepercayaan orang pada waktu itu, barang siapa berhasil 
masuk ke kolam tersebut pada saat yang tepat, ia akan sembuh,-apa pun penyakitnya. 



Penantian yang sia-sia! Sebab sang penolong itu tak pernah muncul. Jadi? Jadi ya 
terbaringlah kawan kita di situ. Di tepi kolam. Bertahun-tahun lamanya. Pasrah. Sebab, 
bisa apa lagi? Sampai Yesus datang menghampirinya di tepi kolam. Dan memutuskan 
rantai rutinitas nasibnya, yang seolah-olah sudah tak mungkin terubahkan itu. 

Ini berawal dengan pertanyaan Yesus. Pertanyaan yang sepintas lalu terdengar seperti tak 
perlu dijawab atau diperhatikan-saking pastinya. "Maukah engkau sembuh?, " begitu 
Yesus bertanya. Astaga! Pertanyaan macam apa ini ?! Siapa pun, tentu saja, akan 
menjawab dengan "mau", bukan? Atau Anda punya jawaban lain? 

Tapi benarkah begitu? Sungguh-sungguhkah semua orang dengan sendirinya "mau 
sembuh"? Pada kasus kawan kita ini, soal "ingin sembuh" itu so pasti. Tapi "mau 
sembuh"? O, belum tentu! Sebab setelah tergolek selama 38 tahun, 99 persen dari seluruh 
semangat dan pengharapan yang pernah ada, pasti sudah luruh bagaikan daun kering. 
Justru sikap "menyerah" itulah, pikirnya, yang memungkinkan orang bisa bertahan. 
Bukan "melawan" yang cuma bakal membuahkan frustrasi! Karena itu, setelah 38 tahun, 
kawan kita itu lebih siap mental untuk sakit, ketimbang untuk sembuh. 

* * * 

DENGAN pertanyaan yang "aneh" itu, Yesus ingin mengembalikan lagi semangat dan 
pengharapan yang telah nyaris pupus, raib dan sirna itu. Prinsip dasar yang Ia mau 
perkenalkan, adalah: BILA ORANG INGIN SEMBUH, IA PERTAMA-TAMA HARUS 
MAU SEMBUH! 

Prinsip dasar ini diperteguh dan dipertegas lagi melalui "resep" yang diberikan-Nya. 
Resep yang mengejutkan! Bunyinya: "Bangunlah, angkatlah tilammu, dan berjalanlah!" 
Astaga! Bangun? Angkat tempat tidur? Berjalan? Setelah 38 tahun? Apa tidak cuma mau 
ngeledek saja nih? 

Ketika Yesus memberi perintah tersebut, Ia pasti belum membaca buku Philip Yancey, 
atau pun teori-teori kesehatan paling mutakhir, yang menjelaskan betapa kuatnya 
pengaruh dari apa yang kita pikirkan itu, terhadap fisiologi atau keadaan tubuh kita. Tapi 
itulah sebenarnya yang Yesus lakukan. 

Sebab bila sikap mental Anda adalah "Sudahlah, takluk, tunduk, dan menyerah sajalah!", 
maka seluruh tubuh Anda pun akan lunglai dan litoy serta merta, tidak terpicu untuk 
melakukan perlawanan. Sebaliknya, bila spirit atau semangat Anda berkutat menolak 
untuk menyerah, maka seluruh kelenjar, hormon, syaraf, dan otot di tubuh Anda pun, 
akan bersikap laksana sepasukan tentara yang mendengar suara terompet, segera 
mengambil sikap siaga perang. 

Dr. Curt Richter, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins, AS, melakukan 
eksperimen dengan dua ekor tikus. Tikus pertama dicemplungkannya ke sebuah bak 



tertutup yang telah diisi dengan air hangat, untuk dipantau reaksinya. Sebab pintar 
berenang, baru setelah 60 jam tikus ini tenggelam sebab kelelahan. 

Berbeda dengan tikus kedua. Tikus ini terlebih dahulu telah digenggam erat-erat dengan 
tangan beberapa menit, sampai berhenti menggelinjang. Tatkala dicemplungkan ke air, 
reaksinya berbeda. Hanya beberapa menit saja dengan lemah ia berusaha berenang, lalu 
tenggelam. 

Richter menyimpulkan, bahwa tikus kedua ini-karena pengalamannya memberontak dari 
genggaman tangan yang sia-sia sebelumnya — , ia telah menyerah bahkan sebelum 
tubuhnya menyentuh air. Ia mati karena perasaan ketidak-berdayaannya. 

* * * 

EKSPERIMEN yang dilakukan pada manusia- tentu saja dengan metode yang berbeda- 
juga memberikan hasil akhir yang sama. Perasaan putus asa dan tidak berdaya bukan saja 
mengubah sikap kejiwaan, tetapi juga mengubah tingkat kesakitan yang dirasakan 
seseorang. Dengan cara-cara tertentu, batas toleransi seseorang terhadap rasa sakit, dapat 
ditingkatkan atau diturunkan sampai 45 persen. 

Williamson, misalnya, bisa tahan tidak kedinginan di tengah suhu yang hanya 2 derajat 
Celsius, yaitu ketika ia sedang berusaha keras menolong kucing kesayangannya, yang 
tidak bisa turun dari pohon di pekarangan rumahnya. Namun ketika ia tak punya apa-apa 
untuk dikerjakan, suhu kamar duduknya yang 15 derajat pun sudah terasa menyiksa. Ia 
membebat kakinya dengan kaus tebal, lehernya dengan syal panjang, dan duduk dekat- 
dekat pendiangan. 

* * * 

BEBERAPA orang akhir-akhir ini berbicara mengenai sindrom "mati pre-mortem", atau 
"mati sebelum mati" , sebagai akibat yang lebih lanjut dari perasaan takluk, menyerah 
dan tak berdaya. Orang bisa mengalami sindrom ini, ketika sedikit demi sedikit tetapi 
secara sistematis, diyakinkan bahwa ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan karena 
itu sebaiknya juga jangan mencoba berbuat apa-apa lagi. 

Keadaan ini bisa berawal dengan maksud baik. Dengan sahabat atau kerabat yang datang 
untuk menjenguk dan bermaksud menghibur. "Sudah, berbaring sajalah. Kalau perlu apa- 
apa, panggil suster! Jangan dilakukan sendiri!". Atau, "Istirahat saja tenang-tenang di 
sini, ya! Jangan pikir apa-apa, nanti stress. Saya nanti akan bereskan segalanya untuk 
Anda!" Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu! 

Tanpa sadar, sedikit demi sedikit, perasaan bahwa ia punya tempat dan peran yang 
bermakna dalam hidup ini, akan memudar. Orang segera merasa kehilangan identitas 
kediriannya. Merasa tak berharga. Hidup tergantung. Ia mati sebelum ajal. Mati pre- 
mortem. 



Tentu saja orang yang sakit amat parah sangat tergantung kepada bantuan orang lain. 
Bahkan kadang-kadang sampai sekadar untuk bernafas atau menelan makanan. Ya! Dan 
orang-orang yang mampu, wajib menolongnya. 

Namun yang ingin saya tekankan adalah, orang-orang yang ingin membantu itu mesti 
selalu sadar dan jeli membedakan antara "menawarkan pertolongan" dan "menawarkan 
pertolongan terlalu banyak". Sebab pertolongan yang berlebih-lebihan, seperti halnya 
sikap protektif yang kelewatan, tidak akan menguatkan si penderita, melainkan justru 
meperlemahnya. Membuat ia tak berdaya dan tak berharga. Bagaikan "tikus yang kedua" 
dalam eksperimen Richter. 

* * * 

SISTEM pengobatan moderen-termasuk cara-cara perawatan di rumah sakit-sekarang ini 
cenderung melihat penyakit dan memperlakukan orang sakit terlalu serius. Orang-orang 
yang dikategorikan sebagai "sakit" diberi perhatian, perlakuan dan tempat yang khusus. 

Terpisah serta terasing dari kehidupan biasa. Setiap saat, yang bersangkutan-melalui 
perlakuan-perlakuan yang diterimanya itu-seolah-olah diingatkan, "Hey, ingat, Anda 
sakit! Anda tidak normal! Jangan ini, jangan itu! Jangan begini, jangan begitu!" 

Padahal teolog besar asal Jerman, Juergen Moltmann, dengan tepatnya mengatakan, 
"Orang moderen cenderung melakukan pemisahan yang berlebih-lebihan antara "sehat" 
dan "sakit". "Sehat" didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja dan kemampuan 
untuk menikmati segala sesuatu. 

Padahal, "sehat" yang sesungguhnya bukan itu. "Sehat" yang sejati adalah kemampuan 
untuk hidup, tapi juga kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan kesanggupan untuk 
menghadapi kematian. "Sehat" tidak terutama berhubungan dengan kondisi tubuh, 
melainkan kekuatan jiwa untuk mengatasi kondisi tubuh yang berubah-ubah." 

Difahami demikian, semua orang-tanpa kecuali-sebenarnya "sakit". Lemah, terbatas, 
rentan. Tapi semua orang-termasuk Anda yang kini tergolek di tempat tidur-sebenarnya 
"sehat". Artinya, masih punya peran, tempat, makna! *** 

Kesakitan, Kata Penutup 
Oleh Eka Darmaputera 

Mengapa Tuhan tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub (yang juga pertanyaan- 
pertanyaan kita!): "Apa sebab kesakitan ini?" "Mengapa mesti ada?" Dan "Mengapa 
mesti saya?" Saya tak tahu apa jawabnya. 

Tapi apa yang dikemukakan oleh Frederick Buechner masuk akal juga. Menurutnya, 
Allah tahu takaran kemampuan manusia. 



Karena itu Ia juga tahu, bahwa andaikata dijelaskan pun kita toh tak akan mampu 
mengerti juga. Menjelaskan misteri kesakitan, adalah seperti menjelaskan teori-teori 
Einstein kepada jebolan kelas dua SD. Percuma! 

Bukan hanya sia-sia, tapi juga apa pentingnya? Yang jauh lebih penting — bila bukan 
yang terpenting - adalah, setelah itu lalu apa? Bagaimana kita mesti menyikapinya? 
Menurut Philip Yancey, yang penting bukanlah menjawab pertanyaan "apa sebabnya?", 
melainkan "apa respon kita?" 

Kita tidak perlu risau, karena tidak mengetahui semua rahasia tentang matahari. Yang 
penting manfaatkanlah sinar matahari itu sebaik-baiknya! Berjemurlah! Mandikanlah 
tubuh Anda dengan sinar ultra violetnya yang menyehatkan! Ubahlah panasnya menjadi 
sumber enersi, misalnya untuk menghasilkan air panas! 

* * * 

KESAKITAN juga begitu. Kita tidak tahu seluk-beluk misteri yang menyelimutinya. 
Tapi ia akan selalu hadir dalam hidup kita. Bila setelah kita usahakan mengusirnya, ia toh 
tak mau pergi-pergi juga - lalu apa? Apa sikap kita? Bagaimana respon kita? Pertanyaan 
yang paling mendesak, menurut saya, bukanlah: "Apakah Allah bertanggungjawab?", 
melainkan " Apakah tanggungjawab kita?" 

Bila kita kembali kepada berita Alkitab, maka yang paling banter Alkitab katakan ketika 
berbicara mengenai "Mengapa dan apa sebab kesakitan?", adalah: Allah hendak menguji 
manusia. Melalui kesakitan, Allah melakukan "tes kesetiaan" terhadap anak-anak-Nya. 

Stephen Brown, seorang pendeta dari Florida, AS, secara hiperbolis - mungkin berlebih- 
lebihan - melukiskannya dengan cara yang unik. Katanya, setiap kali ada seorang yang 
bukan-Kristen terkena kanker, maka Allah membiarkan satu orang kristen menderita 
penyakit yang sama. Tujuannya? Agar dunia melihat, di mana perbedaan di antara 
mereka berdua. 

Di mana perbedaan itu seharusnya? Sikap atau respon yang bagaimana, yang bisa disebut 
sebagai "khas kristiani"? 

* * * 

BEBERAPA ayat Alkitab menunjukkan sikap atau respon orang Kristen yang seharusnya 
terhadap kesakitan dan penderitaan. Misalnya, "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai 
suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu 
tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan" (Yakobus 1:2-3). Atau 
ini, "Janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian 
. . . Sebaliknya bersukacitalah sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan 
Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan 
kemuliaan-Nya" (1 Petrus 3:12-13). 



Dan ini, "Bergembiralah sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh 
berbagai-bagai pencobaan. Maksud semua itu ialah untuk membuktikan kemurnian 
imanmu "(1 Petrus 1:6-7). Dan sebagainya. 

Dari antara banyak lagi ayat lain yang berbicara mengenai kesakitan dan penderitaan, 2 
Korintus 7:8-9 adalah salah satu "favorit" saya. 

Ayat-ayat ini adalah buah perenungan dan penilaian diri Paulus, setelah ia mengirimkan 
surat-surat yang amat keras dan pedas kepada orang-orang Kristen di Korintus. Ia 
bergumul, arifkah dan tepatkah ia mengirim surat setajam itu? 

Hasil perenungannya adalah, katanya, "Meskipun aku telah menyedihkan hatimu dengan 
suratku itu, namun aku tidak menyesalkannya. Memang pernah aku menyesalkannya, 
karena aku lihat, bahwa surat itu menyedihkan hatimu - kendati pun untuk seketika saja 
lamanya - namun sekarang aku bersukacita, bukan karena kamu telah berduka cita, 
melainkan karena dukacitamu membuat kamu bertobat" 

Paulus tidak bersyukur karena ia berhasil membuat orang lain sedih atau sakit hati. Umat 
Tuhan tidak mensyukuri kesakitan. 

Apalagi mensyukuri kesakitan orang lain. Tapi orang Kristen bersyukur dan bersuka cita, 
apabila kesakitan itu mendatangkan berkat dan manfaat. Dalam kasus jemaat Korintus, 
"karena dukacitamu membuat kamu bertobat". 

* * * 

SALAH satu manfaat terbesar dari kesakitan adalah itu. Ia amat efektif dalam membawa 
orang berpaling kepada Allah. Secara konsisten Alkitab menekankan, bahwa yang 
terpenting dalam kesakitan bukanlah kesakitan itu sendiri, melainkan "respon kita". 
Apakah buah yang dihasilkannya? Apakah ia membawa kita mendekat dan terarah 
kepada Allah? Atau sebaliknya? 

Pada ayat-ayat yang saya kutip di atas, berulang-ulang dipergunakan kata-kata, 
"Bersukacitalah!" "Bergembiralah!". Apa kekhasan sukacita ini, dibandingkan dengan 
sukacita yang diupayakan melalui kata-kata ini, "Ayo deh, jangan menangis dan cengeng 
begitu. Anda 'kan orang beriman! Lihatlah sisi terangnya! Berfikirlah positif! Jangan 
mengeluh melulu! Sakit Anda ini kan tidak ada apa-apanya diandingkan dengan 
kesakitan Kristus atau penderitaan Ayub"? 

Berbeda sekali! Sebab sebaliknya dari pada mempersalahkan serta memper- masalahkan 
orang sakit yang mengeluh karena kesakitannya, sukacita kristiani yang sejati tidak 
pernah menafikan atau menisbikan penderitaan orang. Sebaliknyalah, ia mengakui, 
bahkan ber-empati sedalam-dalamnya, menempatkan diri dalam solidaritas dengan 
kesakitan sesamanya. "Menangis bersama dengan orang yang menangis". 



Bila Paulus mengatakan "Bersukacitalah", yang ia maksudkan bukanlah agar orang 
memaksakan diri terus-menerus tersenyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tidak 
merasakan apa-apa. Tidak! Sukacita kristiani tidak bertujuan menutupi dan 
menyembunyikan rasa sakit. 

Tidak usah takut dituduh "kurang beriman" bila Anda terpaksa menyeringai kesakitan! 
Anda tidak berdosa karena merasa sakit. Yesus pun pernah mengeluh. Paulus pun pernah 
mengaduh. 

* * * 

PERBEDAANNYA yang hakiki adalah, bahwa di dalam Tuhan kita masih dapat 
bersukacita dalam kesakitan kita. Kesakitan tidak kita biarkan menjadi pemberi kata akhir 
dalam hidup kita. Kita mengerang kesakitan dan mengeluh, tapi - kata Paulus - seperti 
orang sakit bersalin. Ada keyakinan dan pengharapan yang tidak akan mengecewakan, 
bahwa pada satu saat semua itu akan berlalu dan digantikan dengan sukacita yang luar 
biasa! Kesakitan tidak permanen. Ia interim. Sukacita itulah yang tetap. 

Karena itu sekali lagi, yang kita syukuri bukanlah rasa sakit itu sendiri. Yang kita syukuri 
adalah karena melaluinya kita dikaruniai kesempatan dan kemungkinan yang istimewa, 
untuk ikut ambil bagian dalam kesengsaraan Kristus. Dan inilah jalan satu-satunya bila 
kita juga ingin mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. 

Kemudian kita juga bersyukur, karena melalui kesakitan yang sementara itu, kita 
digembleng dan diuji oleh Allah sendiri, untuk kemudian bila lulus menjadi orang yang 
lebih kokoh, lebih matang, lebih tahan uji. Sukacita kristiani di dalam penderitaan sama 
sekali bukanlah sukacita yang masokhistis - yang menikmati kesakitan karena kesakitan 
itu sendiri. Tidak! 

Allah ingin agar kita terus ajek bertumbuh, berkembang, dan menjadi semakin dewasa. 
Potensi untuk itu adalah karunia Allah semata-mata. Tapi bagaimana agar potensi itu 
menjadi kenyataan, itu bukan lagi urusan Allah melainkan tanggungjawab kita 
sepenuhnya. 

Kitalah yang mesti berusaha sepenuh tenaga untuk memperkembangkan diri. Dan 
kesakitan adalah unsur yang mesti ada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu! 

Roma 5:3-5 mengatakan, "Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena 
kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan 
tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak 
mengecewakan" (Roma 5:3-5). 

Di manakah kita dapat memperoleh "pengharapan yang tidak mengecewakan"? Bukan 
dalam iming-iming kenikmatan yang ditawarkan dunia, yang manis seketika kemudian 



pahit selanjutnya. Pengharapan yang tidak mengecewakan adalah pengharapan yang 
dibangun melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, kesengsaraan. 

Karena itu kita mesti tekun, mesti ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah. Tapi di 
manakah kita dapat belajar menjadi tekun, ulet, berani sengsara, dan pantang menyerah 
itu? Kata Paulus, juga melalui pengalaman kesakitan, penderitaan, dan kesengsaraan. 
"Kesengsaraan," katanya, "menimbulkan ketekunan". 

Roma 8:28 mengatakan, bahwa "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk 
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia". Ini tidak berarti bahwa orang- 
orang yang mengasihi Allah hanya akan mengalami kebaikan. 

Sama sekali tidak! Yang ingin dikatakan adalah, betapa pun buruk pengalaman kita, 
Allah mampu mengubah yang buruk menjadi bermanfaat untuk kebaikan. 

Jadi, jangan pernah punya pikiran bahwa Allah mendatangkan penderitaan demi untuk 
memperlihatkan kebaikan! Alangkah kejamnya Allah yang merekayasa penderitaan 
seperti ini! 

Di manakah Allah ketika kesakitan begitu menyengat? Kata Philip Yancey, Ia ada di 
dalam kita. Untuk menghasilkan yang baik dari yang buruk. Bukan sengaja menciptakan 
kesakitan umtuk menghasilkan kebaikan. O, tidak! Sama sekali tidak. 

Dasa Titah yang Terlupakan 
Oleh Eka Darmaputera 

DALAM ibadah-ibadah kita kini, "Dasa Titah" nyaris tak pernah terdengar lagi. Tidak di 
gereja-gereja "tua" yang "tradisional", betapa lagi di gereja-gereja "baru" yang lebih 
"kontemporer". 

"Tapi mengapa mesti berduka?", — mungkin begitu Anda bertanya. Sebabnya adalah, 
karena bila dalam ibadah formal saja ia sudah dipandang sebelah mata, "nasib"nya dalam 
kehidupan nyata pasti jauh lebih merana dan terlunta-lunta. Dengan segala 
konsekuensinya. 

Toh alasan yang dikemukakan banyak orang berhubung dengan kian hilangnya pamor 
warisan spiritual yang satu itu, mesti kita akui, kedengaran masuk akal juga. Pertama, 
kata mereka, adalah karena roh yang bertiup di zaman kita kini, adalah roh kemerdekaan. 
Dan setelah perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan meraihnya, manusia tak 
mau kehilangan itu lagi — walau sedikit. 

Manusia ingin memutuskan sendiri, apa yang boleh dan tak boleh ia lakukan. Dalam 
batas-batas tertentu, politik maupun agama, okelah, boleh-boleh saja mereka ikut 
mengatur. Tapi manusia jualah yang berhak menetapkan "apa", "sejauh mana", dan 



"bagaimana"nya. Manusia yang menentukan batas otoritas agama. Bukan seperti 
sebelumnya, agama yang menentukan batas kewenangan manusia. 

Di tengah-tengah hiruk-pikuk sorak-sorai manusia yang mabuk kebebasan itu — kontras 
sekali — Dasa Titah adalah "HUKUM" - tak lebih dan tak kurang. Nota bene, "hukum" di 
mana manusia tak pernah sedikit pun diminta ikut merumuskan atau 
mempertimbangkannya. Nah, bila kita tidak diikut-sertakan dalam proses pembuatannya, 
wajar, bukan, bila kita juga tidak merasa terikat terhadap hasilnya? Begitulah Dasa Titah 
sedikit demi sedikit terdesak ke pinggiran. 

APA yang saya kemukakan itu, memang tidak mengurangi penghargaan orang moderen 
terhadap Dasa Titah, sebagai salah satu warisan sejarah yang tak ternilai. Namun, ya 
begitulah, penghargaan tersebut adalah penghargaan yang sama seperti yang diberikan 
orang terhadap, misalnya, sebuah j ambangan antik dari dinasti Ming. 

Orang bisa takjub menatapi keindahannya. Berdecah kagum membayangkan perjalanan 
sejarahnya yang panjang. Tapi tidak lebih dari itu. Secara praktis, benda-benda itu tidak 
punya manfaat apa-apa. Tempat yang paling cocok, adalah tempat yang aman. Semakin 
sedikit disentuh orang, semakin baik. 

Bagi Israel, Dasa Titah memang amat bermakna. Maksud saya, bagi mereka, dulu, dan di 
sana. Tapi bagi kita, sekarang, di sini? Orang Kristen Indonesia abad 21? Di Jakarta atau 
di Waikabubak? Di Gunung Sitoli atau di Muara Badak? Jawabnya adalah: "Tidak". 

* * * 

SEBAB ketiga mengapa bagi kita Dasa Titah dianggap tidak fungsional lagi adalah 
karena kita adalah "umat Perjanjian Baru" (PB). Dasa Titah adalah produk "Perjanjian 
Lama" (PL). Ia memang tidak kita buang. 

Namun faktanya adalah ia telah dirumuskan ulang. Ia telah direformulasikan sekaligus 
direvitalisasikan menjadi "HUKUM KASIH" (Matius 22:34-40). 

Bila sebuah buku telah dicetak-ulang, versi mana yang Anda cari? Tentu saja versi yang 
terbaru, bukan? Apa lagi, jangan Anda lupa, yang merumuskan ulang itu, hayo tebak, 
siapa dia? Ya! Tuhan kita sendiri! Dan . hasilnya jauh lebih cocok dengan alam berfikir 
orang sekarang. 

Lebih "pas" dengan selera orang modern, yang tidak suka dilarang-larang apalagi 
diancam-ancam. Bukankah Dasa Titah, harus kita akui, memang cenderung negatif 
("Jangan ini, jangan itu"), berbeda dengan Hukum Kasih yang lebih positif ("Hendaklah 
begini atau begitu" )? 

Bila Anda tersesat, mana yang lebih bermanfaat: orang datang mengatakan, "Hey bung, 
jangan ke situ! Berbahaya!", atau, "Hey bung, Anda salah jalan! Mestinya Anda belok 



kanan!"? Yang kedua, bukan? Dasa Titah memberi peringatan bahwa orang telah salah 
jalan. Sedang Hukum Kasih memberi petunjuk, ke mana orang mesti putar haluan. 

* * * 

NAMUN bila orang dapat mengemukakan tiga alasan mengapa Dasa Titah layak untuk 
dilupakan, saya dapat mengemukakan jauh lebih banyak alasan mengapa kita justru perlu 
kembali mengingatnya. Mengapa kita mesti menyadari maknanya yang abadi, serta 
menemukan kembali kekayaan spiritualnya yang hilang. 

Maksud saya, justru ketika orang cenderung mengabaikannya, saya merasa berkewajiban 
memunguti kembali nilai-nilainya yang tercecer di sepanjang perjalanan sejarah umat 
manusia. Mengapa? Sebab yang hilang itu tak lain adalah "sekrup-sekrup" peradaban 
manusia yang mengendor dan terlepas, dan yang telah membuat perjalanan hidup 
manusia terpincang-pincang, tersendat-sendat, tidak menyejahterakan. Bagaikan mesin 
yang baut-baut pengikatnya lepas satu demi satu. 

Nanti akan saya jelaskan satu demi satu, hukum demi hukum, mengapa tiap-tiap pasal 
dari Dasa Titah mutlak perlu menempati tempat yang sentral dan vital dalam kehidupan 
manusia masa kini. Namun sebelumnya - demi meluruskan banyak kesalah-pahaman - 
sebuah gambaran menyeluruh mengapa Dasa Titah tetap relevan untuk kita bicarakan, 
rasanya perlu juga. Untuk ini, William Barclay, melalui buku kecilnya, "The Ten 
Commandments", sungguh membantu. 

* * * 

PERTAMA, Barclay menolak anggapan, bahwa semata-mata karena kita adalah "umat 
PB", maka serta-merta kita lalu punya alasan untuk mencampakkan semua yang berbau 
PL. Salah besar! Sebutan "PB" justru hendak mengingatkan, bahwa ia tidak muncul tiba- 
tiba. Bahwa ia punya akar sejarah. Bahwa ia punya ibu yang mengandung dan 
melahirkannya. PB lahir dari rahim PL. 

Benar, Yesus Kristus adalah inti iman kristiani kita. Tapi jangan menyangka bahwa 
Yesus dapat kita fahami dalam ruang hampa. Tidak! PL adalah kesaksian tentang 
bagaimana Allah mempersiapkan kedatangan Yesus. Dan jangan sekali-kali Anda 
meremehkan sesuatu, hanya karena ia "cuma" persiapan! 

Anda dapat mengatakan mengenal seseorang dengan baik, bila Anda juga mengenal akar 
dan latar-belakang sejarah yang bersangkutan. Seperti Anda juga akan lebih dapat 
menghargai apa yang Anda makan atau Anda kenakan, jika Anda tahu betapa mahal 
bahan-bahannya, dan betapa rumit proses pembuatannya. 

Ketika Yesus memperkenalkan HUKUM KASIH, Ia tidak memperkenalkannya kepada 
sebuah umat yang tidak tahu apa-apa mengenai moralitas. Umat Israel sudah punya Dasa 
Titah. Dan sesuai dengan yang dikatakan-Nya, Ia datang bukan untuk membatalkannya, 



melainkan justru untuk menggenapinya! Apalagi HUKUM KASIH yang diperkenalkan- 
Nya itu, juga bukan orisinal ciptaan-Nya, melainkan Ia kutip dari Ulangan 6:5 — dari PL! 

Dasar dari Etika Kristen adalah Hukum Kasih. Benar! Tapi dasar dan akar dari Hukum 
Kasih adalah Dasa Titah. Tanpa mempelajari Dasa Titah, kita tak mungkin mengenal 
etika Kristen selengkap-lengkapnya. Sebab, seperti kata orang, buah jatuh tak jauh dari 
pohonnnya. Dan pohon bertumbuh dari akarnya. 

* * * 

KEDUA, Barclay juga menyangkal bahwa Dasa Titah adalah semata-mata etika-nya 
orang Yahudi dan orang Kristen. Tidak! Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang 
universal. Setiap masyarakat dari bangsa, agama dan zaman apa pun, yang berniat 
membangun kehidupan bersama yang baik, tertib serta sejahtera, suka atau tidak suka, 
harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama. Tentu saja 
tak perlu dengan nama dan pengalimatan yang persis sama Karena yang penting adalah 
kandungan nilai-nilainya yang utama. 

Dan sebaliknya, ketika nilai-nilai tersebut dinafikan, maka — seperti yang terjadi 
sekarang — , kehidupan pun pasti porak poranda, lambat atau cepat Kapan itu terjadi? 

Yaitu, (a) ketika orang memperilah yang bukan Allah, dan sekaligus menisbikan yang 
mutlak (Hukum I); (b) ketika orang memberhalakan yang kelihatan, sehingga hidupnya 
mengalami pendangkalan spiritual yang amat memprihatinkan (Hukum II); (c) ketika 
yang ilahi tidak dipermuliakan, tetapi dinafikan dan dihujat, dalam ucapan dan tindakan, 
khususnya dalam paradigma pemikiran (Hukum III); (d) ketika manusia punya waktu, 
perhatian, serta kepedulian bagi hampir semua perkara kehidupan, tetapi tidak untuk 
Allah. Akibatnya prioritas hidupnya terbalik-balik, bagaikan meletakkan kuda di 
belakang kereta (Hukum IV); 

(e) ketika manusia tak lagi punya hormat dan respek yang tulus dan spontan terhadap apa 
pun dan siapa pun (Hukum V); (f) ketika manusia kehilangan penghargaan terhadap nilai 
kesucian hidup sesamanya (Hukum VI); (g) ketika manusia tak lagi mempunyai lagi 
wilayah-wilayah kehidupan yang sakral, unik dan eksklusif - termasuk kehidupan 
pernikahan dan kekeluargaannya (Hukum VII); (h) ketika manusia tidak menghormati 
hak milik pribadi serta privasi orang lain (Hukum VIII); (i) ketika manusia kehilangan 
integritas dan kredibilitas kata-katanya (Hukum IX); dan (j) ketika relasi antar manusia 
dinodai oleh rivalitas yang tidak sehat, serta perasaan dengki dan iri yang negatif dan 
destruktif (Hukum X). 

* * * 

ITULAH yang terjadi, ketika nilai-nilai Dasa Titah dionggokkan seperti sampah di 
pinggiran kehidupan. Apa yang sedang kita alami sekarang ini membuktikan, betapa 
manusia tidak cuma perlu "bebas", tapi juga perlu "batas". Dan bahwa pendekatan yang 



"negatif ternyata ada gunanya juga. Dalam kaitan inilah, Dasa Titah masih sangat 
relevan. *** 



Mohon Ampun, Alangkah Sulitnya 
Oleh Eka Darmaputera 

Karena itu, kata Yesus, berdoalah demikian, "AMPUNILAH KAMI AKAN 
KESALAHAN KAMI, SEPERTI KAMI JUGA MENGAMPUNI ORANG YANG 
BERSALAH KEPADA KAMI" (Matius 6:12). 

Tegas, ringkas, jelas. Tak ada kesulitan sedikit pun memahami maksud dan makna doa 
ini, begitu pikir kita. Kita tinggal melaksanakannya saja. Di sini baru ada persoalan: di 
tingkat pelaksanaannya. 

Tapi benarkah demikian? Ternyata tidak! Doa ini tidak semudah yang kita sangka. 
Padahal kita harus memahami maknanya dengan benar terlebih dahulu, baru kita bisa 
berbicara soal pelaksanaannya. Bila pemahamannya saja sudah salah, bagaimana 
mungkin melaksanakannya dengan benar, bukan? 

"AMPUNILAH KAMI AKAN KESALAHAN KAMI". Di mana sih letak kesulitannya? 
Sepintas lalu sih kelihatannya tak ada masalah. Siapa yang tak pernah melakukan 
kesalahan? "To err is human", artinya, "Melakukan kesalahan itu manusiawi". Sebab itu, 
minta ampun? Atau lebih tepat, minta maaf? No problem-lah! 

Namun begitu, sebenarnya ada persoalan besar di sini. Persoalan besar itu adalah pada 
kata "kesalahan" yang digunakan.. Terjemahan ini belum mampu mengekspresikan 
seluruh kekayaan nuansa yang ada pada bahasa aslinya. 

Dalam terjemahan bahasa Inggris, persoalannya lebih kelihatan. Yaitu, ketika kita 
mendapati terjemahan yang amat bervariasi. Ada yang menerjemahkan "kesalahan" 
dengan "utang" ("Forgive us our debts"). Ada yang menerjemahkannya dengan 
"pelanggaran" ("Forgive us our tresspasses"). Lukas bahkan menggunakan kata yang 
sama sekali lain, yaitu: "dosa" (Lukas 11:4) "Ampunilah kami akan dosa kami". 

* * * 

ANDA tahu kan apa bedanya "kesalahan" dan "dosa"? Secara sederhana dapat dijelaskan 
demikian. "Kesalahan" yang dibuat oleh manusia, pada dasarnya juga dapat diperbaiki 
atau dikoreksi oleh manusia. Orang bisa "salah jalan", "salah hitung", "salah sangka", 
atau "salah pilih". 

Berbeda dengan "dosa". Di sini, manusia tidak dapat memperbaiki atau menghapuskan 
"dosa" yang ia lakukan. Sebab "dosa" tidak dapat dikoreksi oleh manusia. "Dosa" hanya 
dapat diampuni oleh Tuhan. Kita minta "maaf kepada sesama kita atas "kesalahan- 
kesalahan" kita, tetapi mohon "ampun" kepada Tuhan atas "dosa-dosa" kita. Jelas? 



Jadi, sekali lagi, di mana kesulitannya? Jawab saya: karena minta ampun itu, secara 
langsung atau tidak, berarti mengaku dosa. Ini sesuatu yang serius. Mengakui bahwa kita 
sering melakukan "kesalahan" adalah satu soal, tetapi mengakui bahwa kita berbuat 
"dosa" adalah soal yang sama sekali lain. 

Saya toh tidak pernah membunuh atau berzinah atau mencuri atau murtad dari agama! 
Karena itu, Bambang Sudjatmiko, misalnya, dengan tegas menolak minta grasi. 

"Saya tidak bersalah. Pemerintahlah yang mesti minta ampun kepada saya, bukan 
sebaliknya!", katanya. Dan saya tegaskan di sini, bahwa yang dimaksudkan oleh Yesus 
dalam doa-Nya adalah "dosa", bukan sekadar "kesalahan"! 

* * * 

"AMPUNILAH kami akan kesalahan kami". Kata "kesalahan" di sini adalah terjemahan 
kata "opheilamata" (= bentuk jamak dari "opheilema") dalam bahasa Yunani. Dalam 
konteks aslinya, "opheilema" mencakup pengertian yang luas sekali. 

Namun intinya satu saja, yaitu ia menunjuk kepada sesuatu yang dipinjam; sesuatu yang 
sebenarnya adalah hak atau milik orang lain; sesuatu yang karenanya adalah tugas serta 
kewajiban kita untuk membayar atau melaksanakannya. 

Dengan perkataan lain, "opheilema" adalah "utang" dalam pengertian yang seluas- 
luasnya. Dari bentuknya yang paling sempit yaitu utang uang, sampai kepada yang paling 
luas, yaitu kewajiban moral atau agama. Balas budi atas kebaikan sesama, menurut 
Thucydides, dan berbakti kepada orang tua, menurut Plato, adalah termasuk "utang" yang 
harus kita bayar itu - sebuah "opheilema". 

Dengan demikian, doa Yesus dapat kita kalimatkan ulang menjadi, "Ampunilah kami atas 
setiap kegagalan kami dalam melaksanakan kewajiban kami; dan atas setiap utang yang 
belum berhasil kami lunasi; baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kami". 

Lukas, seperti telah saya sebutkan, memakai kata "dosa", yang bahasa Yunani-nya adalah 
"hamartia". Arti asli kata ini, adalah: "meleset" atau "melenceng". Seperti anak panah, 
atau peluru pistol, atau bola, yang gagal mengenai sasaran. 

"Dosa" adalah itu: melenceng atau menyeleweng dari arah yang seharusnya. Kegagalan 
untuk menjadi atau melakukan apa yang seharusnya. "Opheilema" dan "hamartia" adalah 
dua kata yang berbeda. Tapi dalam makna, dekat sekali, bukan? 

* * * 

SEDANG mengenai mengapa kedua penginjil itu memakai dua kata yang berbeda untuk 
sebuah doa yang sama, sebabnya adalah karena Yesus mengajar dengan bahasa Aram. 



Ketika Matius dan Lukas menerjemahkannya ke dalam bahasa Yunani itulah, yang satu 
menerjemahkannya begitu, sedang yang lain menerjemahkannya begini. 

Di dalam bahasa Aram, kata yang dipakai oleh Yesus (kemungkinan besar) adalah 
choba'. Inilah kata yang paling umum dipakai untuk "dosa". 

Bagi orang Yahudi, "dosa" atau choba' adalah kegagalan untuk taat sepenuhnya kepada 
Allah. Padahal, menurut agama Yahudi, ketaatan kepada Allah inilah kewajiban paling 
utama. 

Mereka hanya boleh taat kepada Allah saja, dan tidak kepada yang lain. Tapi sayang, 
orang selalu cenderung berbagi kesetiaan. Loyalitasnya ganda. Dengan demikian, ia 
ber"utang" ketaatan kepada Allah. Artinya, tidak melakukan apa yang seharusnya ia 
lakukan. Jadi, tidak ada perbedaan mendasar antara Matius dan Lukas, bukan? 

* * * 

SETELAH semua tadi jelas, kini kita dapat masuk lebih jauh ke dalam doa itu sendiri. 
Untuk mengerti dengan benar, pertama-tama perlulah kita membaca doa Yesus ini 
dengan cermat. Perhatikanlah, di situ Yesus tidak mengatakan, "Ampunilah kami 
sekiranya kami melakukan kesalahan". Tidak! Doa ini tidak dimaksudkan hanya sebagai 
doa "orang-orang berdosa"! 

Doa ini diajarkan oleh Yesus agar menjadi doa setiap orang; doa semua orang; doa Anda 
dan doa saya, tanpa kecuali. Karenanya, ia berbunyi: "Ampunilah kami akan kesalahan 
kami". Siapa pun perlu meminta ampun untuk kesalahan-kesalahannya, untuk utang- 
utangnya, untuk dosa-dosanya. Tak ada yang tidak. 

Jadi melalui doa ini, Yesus menegaskan kembali mengenai "universalitas dosa". Bahwa 
dosa itu bersifat universal. 

Artinya, setiap orang dan semua orang tanpa kecuali, seperti kata Martin Luther, "nyaris 
kelelap di negeri utang, di mana permukaan dosa hampir mencapai telinga". 

Karena itu, sekali lagi, setiap orang perlu minta ampun. Implikasinya, setiap orang mesti 
terlebih dahulu menyadari dan mengakui, bahwa ia adalah seorang pendosa. 

Ini sama sekali tidak mudah. Pengakuan itu menuntut kerendahan hati sekaligus 
keberanian yang luar biasa. 

Keberanian si Anak Hilang yang bersedia mengakui dosa-dosanya, dan kemudian 
mengambil langkah putar, kembali ke rumah bapa. Akuilah, saudara, tidak semua orang 
memiliki kerendahan hati serta keberanian seperti itu! Banyak yang memilih kelelap di 
pusaran dosanya, ketimbang mengambil risiko ketahuan "belang" atau "wirang"nya. 



* * * 



TAPI Alkitab tak pernah malu-malu, malah sebaliknya dengan penuh simpati, menulis 
betapa tokoh-tokoh besarnya adalah orang-orang yang berdosa; orang-orang yang 
bersedia mengakui dosa-dosa mereka. "Tuhan, pergilah dari padaku," pinta Petrus, 
"karena aku ini seorang berdosa" (Lukas 5:8). "Kristus Yesus datang ke dunia untuk 
menyelamatkan orang berdosa. Dan di antara mereka, akulah yang paling berdosa", 
demikian Paulus (1 Timotius 1:15). 

"Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri, dan 
kebenaran tidak ada di dalam kita", tegas Yohanes (1 Yohanes 1:8). 

Di sisi lain, dengan gemas Alkitab menampilkan sisi suram dari orang-orang yang justru 
membanggakan ke"bersih"an jiwa dan kehebatan tingkah laku mereka. Misalnya doa 
orang Farisi yang memuakkan ini, "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena 
aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan permampok, bukan orang lalim, bukan 
pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini ." (Lukas 18:1 1). 

Atau pernyataan si Orang Muda, yang dengan tanpa rasa risih membanggakan suksesnya 
sebagai orang beragama, "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku" (Lukas 
18:21). Manusia boleh berdecah kagum, namun Allah membenci kesombongan rohani 
seperti itu. 

Pengakuan akan universalitas dosa ini amat penting. Pertama-dalam rangka kehidupan 
pribadi orang per orang-, ia mendorong setiap orang untuk setiap kali dengan jujur 
mengintrospeksi diri. Setiap setiap orang didorong menyempurnakan diri setiap hari. Ini 
tentu amat besar pengaruhnya terhadap meningkatnya kualitas hidup. 

Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa-bagi ketenteraman kehidupan bersama- 
universalitas dosa menegaskan pentingnya tingkah-laku setiap orang itu diawasi, 
khususnya mereka yang berkuasa. 

Mengapa? Karena semua orang memiliki kecenderungan berbuat dosa, termasuk para 
penguasa. Bahkan lebih dari itu, semakin tinggi kekuasaan, semakin besar pula 
kemungkinan penyalah-gunaan kekuasaan, serta semakin hebat bencana yang 
diakibatkannya. 

Inilah salah satu inti demokrasi. Kekuasaan mesti dibagi dan diawasi. 

Catatan-Catatan Lepas Mengenang Th Sumartana (1944-2003) 
Oleh Eka Darmaputera 

Seandainya ia tentara atau polisi, pastilah ia memperoleh kenaikan pangkat anumerta. 
Seandainya ia pejabat negara, pastilah ia dilepas dengan upacara kenegaraan dan 
dimakamkan di TMP. Tono, begitu panggilan akrabnya, meninggal dalam tugas. Di 



sebuah hotel di Cibogo, Jawa Barat, di tengah-tengah tugasnya sebagai ketua DEMOS, 
sebuah ornop baru konon dengan konsentrasi masalah-masalah demokrasi dan HAM. 

Tapi Tono bukan tentara, polisi, atau pegawai negeri. Sebab itu ia meninggal begitu saja. 
Terkulai di kursi. Tanpa kenaikan pangkat, upacara kenegaraan, atau penganugerahan 
gelar pahlawan. Tanpa bunyi terompet, genderang, atau tembakan salvo. Malah, saya 
yakin, tanpa pensiun! 

Toh ia tidak pergi dalam senyap. Media massa, baik cetak maupun elektronik, 
memberitakan kepergiannya. Di malam kepergiannya, Jumat 24 Januari 2003, teman- 
teman dan kerabatnya pergi pulang Jakarta-Ciawi untuk melihat jasadnya, dan melakukan 
apa yang perlu. Saya membaca, bahwa hujan lebat ternyata juga tidak menghalangi 
ribuan orang melayat jenazahnya di Salatiga sampai ke tempat pemakamannya di Pakem, 
Yogyakarta. Dan pasti lebih banyak lagi yang hanya bisa menangisi kepergiannya dari 
jauh. Termasuk saya sendiri, sebab baru saja keluar dari rumah sakit. Tono adalah teman 
dan saudara banyak sekali orang. Seorang penunjuk serta perintis jalan. Seorang 
pahlawan dan orang besar dalam arti yang sesungguhnya. 

* * * 

Saya sering membayangkan, bila saya tiba ke ajal nanti, barangkali Tono akan menulis 
sesuatu tentang saya. Semacam obituari, begitulah. Tapi Tuhan agaknya menentukan lain. 
Saya— yang 2 tahun lebih tua dan lebih berpenyakitan— yang kini harus menulis sesuatu, 
untuk mengenang kehidupannya sekaligus menghormati kematiannya. 

Harus! Walau karena kesehatan saya yang buruk, tulisan ini agak terlambat dan agak 
dipaksakan. Ketika pertama kali mendengar berita duka itu, begitu banyak yang ingin 
saya lakukan. Tapi saya hanya bisa terkesiap dan tercenung, meneteskan air mata, sambil 
tubuh "terpasung" di tempat tidur. Dalam keadaan itu, setiap sayatan di hati, astaga, jauh 
lebih terasa perihnya. 

Belum sebulan yang lalu, Tono datang ke rumah bersama Djohan Effendi, Zulkifli Lubis 
dan Elga Sarapung. Ia bercerita tentang penyakitnya, tetapi— dengan enteng— juga tentang 
ketidak-berdayaannya melawan godaan rokok dan sate kambing. "Orang seperti ini masih 
perlu dibebaskan dari keterpenjaraannya," kata Bung Zul. 

Kini Tono telah "dibebaskan". Ia tak butuh rokok lagi. Boleh makan sate kambing atau 
gulai kepala ikan sepuas-puasnya. Tapi yang terpenting, ia kini berada di sebuah alam 
kehidupan, di mana batas-batas dan sekat-sekat antar agama— realitas yang menjadi pusat 
kepedulian, keprihatinan, serta konsentrasinya sampai akhir hidupnya— tak ada lagi. 

Sebab yang ada "di sana" hanyalah kemanusiaan yang satu dan iman yang satu kepada 
Tuhan yang satu. Kalau "di sana" Tono kepingin bikin yayasan lagi, yayasan tersebut 
saya kira lebih pantas diberi nama Unio Fidei; ketimbang "Inter-Fidei". "Dialog dalam 
Iman" (= DIAM). Bukan lagi "Dialog antar Iman" (= DIAN). Setuju, Ton? 



* * * 



Nama Th. Sumartana mulai berkibar terutama setelah ia pulang dari negeri Belanda, dan 
mendirikan Yayasan Dialog- Antar-Iman "INTER FIDEI". Ini dilakukannya sebelum 
wadah-wadah sejenis semenjamur sekarang. Karena itu, betapa pun kontroversialnya, 
bersama-sama dengan tokoh-tokoh besar lain seperti Gus Dur dan Cak Nur, Sumartana 
pantas disebut sebagai salah seorang perintis, pembuka jalan, serta "dedengkot" gerakan 
dialog antaragama di Indonesia. 

Khususnya di kalangan Kristen Protestan, ia membuka— dengan setengah paksa— jendela- 
jendela kesadaran tentang pentingnya teologi agama-agama (= theologia religionum), 
misiologi, bahkan kristologi yang baru. Dan ia mengabdikan hidupnya yang relatif 
singkat tapi produktif itu, dengan memberi contoh bagaimana seharusnya duduk, berdiri, 
dan berjalan bersama dengan orang-orang lain, di sebuah lorong terjal dan berbatu-batu 
yang bernama "Jalan Kemajemukan". Sayang, jendela-jendela itu, sampai kini, belum 
juga terbuka sepenuhnya. Dan masih terlampau sedikit orang yang bersedia berjalan di 
"Jalan Kemajemukan". 

Markas "Inter Fidei" di Kompleks Banteng Baru, Yogyakarta, sengaja ia buat bukan 
hanya sebagai tempat di mana ide-ide akademis ber-"kawin-silang" dengan gaduhnya, 
tapi juga sebagai tempat di mana orang-orang muda dari berbagai latar belakang etnis, 
ras, agama, dan profesi bisa bersenda-gurau, saling mengejek, tanpa menjadi marah atau 
menyimpan dendam. Dialog-dialog tak terstrukturkan ini, walau daya jangkaunya 
mungkin tak luas, hasilnya bisa jauh intens, lebih mendalam, dan lebih awet. Lebih 
mampu mengubah pribadi, tidak sekadar mencerahkan akal-budi. 

* * * 

Tono dan saya, walau bersahabat erat, sebenarnya tidaklah sekubu sepemikiran. Bila 
mengambil tamsil dari dunia persilatan, kami berdua bukanlah saudara seperguruan. Di 
mata saya, pikiran-pikiran Tono sering saya anggap terlalu "liar" dan cenderung 
"dekonstruktif '. Menarik untuk didengar, tapi kurang realistis mempertimbangkan betapa 
dahsyat implikasi dan konsekuensinya. Ibarat obat yang terlampau "keras" yang mau 
dipaksakan untuk tubuh yang terlalu "lemah". Di pihak lain, di pemandangan Tono, saya 
terlalu "santun", "tidak ada apa-apanya", "terlalu akomodatif. Kepada Martin Sinaga dari 
Jurnal Teologi "PROKLAMASI", Sumartana memberi penilaian pribadinya tentang saya, 
antara lain, "Waktu mahasiswa Eka adalah seorang mahasiswa yang menonjol dalam arti 
memiliki kemampuan berorganisasi. Kepemimpinannya di kalangan mahasiswa sangat 
mengesankan. Tetapi keberaniannya melakukan eksplorasi dalam pemikiran 
bagaimanapun tidak menonjol. Sama sekali tidak terkesan bahwa dia memiliki gagasan- 
gagasan yang diartikulasikan dengan canggih. Waktu itu dia hanya dikenal sebagai 
seorang Soekarnois, seorang kader dalam arti orang yang berusaha ikut dalam wacana 
Soekarnois. 

Dalam teologi, Eka tidak menonjol sebagai pemikir yang reflektif. Dia sebenarnya 
mungkin lebih (ber)tipe solidarity-maker, bukan orang yang suka berdebat dan mengadu 



pendapat sehabis-habisnya. Dia selalu mengerem, tidak sampai pada pemikiran yang 
tuntas. Jadi dia mungkin dapat dikatakan sebagai teolog yang santun daripada seorang 
teolog yang terobsesi ..." (No.l/Th. 1/2001 h. 21). 

Penilaian Tono banyak benarnya. Tapi apa hendak dikata, Tono adalah bagaikan seorang 
penerbang solo; penerbang akrobatik. Sedang saya adalah penerbang pesawat jumbo, 
pesawat komersial, membawa banyak penumpang. Saya tidak bisa berakrobat. Tidak 
boleh, dan tidak mau. 

Toh penilaiannya itu tidak menghalangi Tono untuk meminta saya mengetuai Inter-Fidei. 
Kesadaran bahwa kami berbeda memang membuat ia jarang melibatkan saya dalam 
pergulatan pemikiran di sana. Tapi bagi saya ini sudah cukup membuktikan jiwa serta 
semangat kemajemukan Sumartana. Ia bersedia mengundang saya untuk berjalan 
bersama, walau sadar kami berbeda. Dan saya pun menerima undangan itu dengan ikhlas 
dan sukacita. Sambil berusaha tahu diri akan "tempat" saya. 

* * * 

Perbedaan dalam pemikiran juga tidak sedikit pun mengganggu persahabatan kami dan 
antara keluarga kami. Kami telah saling mengenal lama sekali, sejak tahun 60-an. Bagi 
mereka yang tidak terlalu mengenal Tono pra-Inter-Fidei, dapat saya katakan bahwa 
sewaktu kami sama-sama mahasiswa dan hidup seasrama, saya pun tidak mengenal Tono 
sebagai "teolog". 

Saya lebih mengenalnya sebagai—ini amat berbeda dengan saya— mahasiswa yang intens, 
serius, dan sedikit pendiam. Bakat-bakat seninya jauh lebih menonjol ketimbang 
minatnya berteologi. Ia penulis sajak dan esai yang andal, cerdas, dan mendalam. Juga 
seorang dramawan yang tangguh. Drama monolog yang ditulis, diperankan, dan 
disutradarainya sendiri, sampai kini masih berbekas di hati. 

Kegemarannya akan kontroversi juga sangat terkenal. Saya tahu, bagaimana ia berperan 
sebagai "provokator", "tukang kipas", dan "pengatur strategi di belakang layar", dalam 
gerakan mahasiswa di asrama yang berusaha "menggulingkan" kepemimpinan saya. 
Ketika bertahun-tahun kemudian saya mengingatkannya tentang ini, dengan terbahak- 
bahak khas Tono ia menjawab, "Itu kan cuma buat bikin rame-rame saja. Ha, ha, ha!" 
Dua kali, saya ingat, ia dipercaya untuk menjadi ketua dua organisasi. Keduanya berakhir 
dengan heboh besar. Mengapa? Sebab yang ia lakukan bukanlah mengembangkan 
organisasi-organisasi itu, melainkan membubarkannya. Dua organisasi yang pernah 
mengalami "nasib buruk" itu adalah, "Persekutuan Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi" 
dan "Kampus Diakonia Modern". 

Yang juga tak dapat saya lupakan ialah, ketika saya dan istri— waktu itu masih pengantin 
baru— mengundang Tono dan Julius Syaranamual untuk tinggal bersama kami selama 
liburan. Baru di situ saya mendapati, bahwa walaupun mereka sudah hampir tamat dari 
STT, keduanya belum juga "mengaku percaya". Padahal ini adalah syarat mutlak untuk 
menjadi anggota penuh sebuah gereja. Lha bila jadi "anggota" saja tidak memenuhi 



syarat, bagaimana pula untuk menjadi "pendeta"?, pikir saya. Karena itu saya 
menawarkan kepada mereka untuk "mengaku percaya", tanpa perlu—seperti yang lain— 
mengikuti kursus pendalaman iman terlebih dulu. Tapi mengenal ke-nyentrik-an mereka, 
saya pun berpesan wanti-wanti, "Tolong ya, kalau ditanya pimpinan gereja nanti, jangan 
memberi jawaban yang "aneh-aneh". Munafik sedikit, tak apalah!" Ternyata mereka 
menurut juga. Dan saya pun lega. 

* * * 

Sejak aktif dalam gerakan-gerakan kemahasiswaan di tahun 70-an, sikap eksentriknya 
semakin hilang. Penampilan Tono semakin santun. Kegemarannya adalah mengenakan 
kemeja batik atau kemeja putih lengan panjang. Gaya bicaranya pun semakin penuh 
tenggang rasa. Sementara bakat seninya, entah bersembunyi di mana. 

Tapi dalam gagasan dan wawasan, ia tetap Tono yang dulu. Intens, serius, keras kepala, 
kontroversial, terus mencari terobosan-terobosan baru, dan penuh kejutan. Studi 
formalnya membantunya memberi kedalaman dan koherensi kepada ide-ide spontan yang 
terus meletup-letup dari benaknya. Dan yang terpenting, seperti ungkapannya sendiri, ia 
tetap "garuda" yang tak gentar terbang sendiri. Bukan "bebek" yang mencari aman di 
tengah kerumunan. 

Pertanyaannya adalah, akan kita biarkankah ia terus terbang sendirian? Saya menyadari 
benar, betapa kepergiannya yang amat tiba-tiba itu memperhadapkan kita kepada 
tantangan yang amat serius. Yaitu, terdorongkah kita untuk terbang bersama-sama dia? 

Kepergian Tono, menurut saya, tidak cuma me- "legasi" -kan (= mewariskan) sebuah peta 
perjalanan serta begitu banyak aset pemikiran, tetapi juga men-"delegasi"-kan (= 
menyerahkan) segudang agenda yang mesti dikerjakan. Mulai dari cita-citanya 
mendirikan sebuah "Dialogue Center", sampai kepada yang jauh lebih praktis, misalnya 
perjalanan Inter Fidei selanjutnya. 

Selamat jalan, Ton! Nikmatilah kebebasanmu sekarang! Biarlah yang lain, menjadi 
kecemasan kami! Mbak Cang, Dyah, Adi, dan Nugi, kuatkanlah hati kalian dan 
lanjutkanlah perjalanan kalian! Elga dan kawan-kawan, teruslah warisi "api"-nya dan 
lestarikan nyalanya! Agar "Jalan Kemajemukan" tak lagi sepengap sekarang. 

* Penulis adalah Ketua Yayasan Dialog- Antar-Iman, sahabat dekat almarhum. 

Siapakah Sesamaku Manusia? 
Oleh Eka Darmaputera 

Kali ini saya ingin mengundang Anda menimba inspirasi dan pelajaran dari seseorang 
yang, menurut Alkitab, betul-betul pantas disebut sebagai "orang baik". Bahan 
perenungan ini, saya akui, telah pula diilhami oleh karya tulis satu "orang baik" lainnya, 
seorang pejuang HAM dan anti kekerasan yang saya kagumi, Martin Luther King Jr.. 



Bukankah begitu hakikatnya hidup ini? Saling belajar dan mengajar. Saling memberi dan 
menerima. 

Tokoh kita layak disebut "orang baik", bukan karena loyalitas atau fanatisme pasifnya 
memegangi doktrin-doktrin agama yang telah ditetapkan, melainkan karena keterlibatan 
aktifnya dalam upaya meringankan penderitaan manusia. Ia tidak kita kagumi atau acungi 
jempol, karena ziarah spiritualnya yang panjang telah membawanya tiba di tujuan, namun 
karena tindakan kasih konkret yang ia praktikkan di sepanjang jalan kehidupan. Singkat 
kata ia adalah "orang baik", sebab telah menjadi "sesama yang baik" bagi orang lain. 

Kepedulian etis yang mengagumkan dari orang ini, mencuat dalam perumpamaan Yesus 
yang sangat terkenal, "Orang Samaria yang Baik Hati". Sebuah perumpamaan yang 
berawal dengan sebuah diskusi teologis abstrak tingkat tinggi mengenai makna 
kehidupan kekal-nanti, di kutub kehidupan sana. "Guru, apakah yang harus kuperbuat 
untuk memperoleh hidup yang kekal?" Pertanyaan ini berakhir dengan sebuah tindakan 
praktis, yang tanpa kata-kata menjelaskan apa artinya menyatukan diri dengan 
penderitaan sesama manusia-di sini, antara Yerusalem dan Yerikho, di pinggir-pinggir 
jalan kehidupan. 

Dibuka dengan pertanyaan seorang ahli hukum agama, "Apa yang harus aku perbuat?" 
Ditutup dengan jawaban Yesus, "Perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." 
Maksud Yesus, "Praktikkan sajalah apa yang telah kauketahui dan selalu kaukatakan itu! 
Tak perlu banyak berfilsafat lagi." Apa yang harus diperbuat itu? "Kasihilah Tuhan 
Aliahmu, dan kasihilah sesamamu." 

Si ahli Taurat tidak puas, kemungkinan besar merasa dilecehkan, sebab jawaban Yesus 
itu "biasa-biasa saja". Jawaban yang "biasa-biasa saja" menurut mereka cocok untuk 
orang-orang "yang biasa-biasa" pula; untuk orang-orang seperti Jamidin atau Ponimin, 
Nasiyem atau Saritem. Tapi jelas merupakan penghinaan untuk para pemegang gelar SI, 
S2, apalagi S3 teologi. Mestinya yang lebih teologis, lebih filosofis, dan lebih akademis, 
gitu lo! 

Sebab itu, ulama tersebut mengajukan sebuah pertanyaan lagi, yang ia harapkan akan 
bisa memancing perdebatan teologis yang lebih seru, lebih panjang, dan lebih ilmiah. 
Sebuah pertanyaan yang memang memenuhi syarat untuk menjadi judul sebuah buku 
referensi teologi, atau menjadi tema sebuah seminar sehari. "Siapakah sesamaku 
manusia"? 

Namun Yesus tidak menggubris pancingan ter-sebut. Ia tidak mau terjebak dalam sebuah 
situasi yang lazim disebut sebagai "paralysis of analysis." Artinya: suatu keadaan di mana 
orang, karena begitu sibuk dan asyiknya menganalisis, lalu "lumpuh," tidak sempat, tidak 
minat, dan tidak dapat, berbuat apa-apa lagi. Yesus mengerek turun pembicaraan dari 
kemungkinan berputar-putar di awan-awan, untuk mendaratkannya di sebuah kelokan 
tajam dijalan antara Yerusalem dan Yerikho. 



Siapakah sesamaku manusia? "Aku tak tahu namanya," jawab Yesus. "Dan dalam banyak 
kasus, tak perlu tahu. Sebab "sesama manusia" itu bisa siapa saja. Sesama adalah siapa 
saja yang tergeletak tanpa daya di pinggir-pinggir jalan yang kaulalui. Tak penting 
apakah ia Yahudi atau Samaria, Islam atau Kristen, Afghanistan atau Amerika, warga 
keturunan atau pribumi. 

Yang jelas, ia adalah sosok manusia nyata yang sedang mengerang menanti 
pertolongan, di begitu banyak jalan antara Yerusalem dan Yerikho di muka bumi ini." 
Begitulah, Saudara, bagaimana Yesus mendefinisikan "siapakah sesamaku manusia." 
Bagi Yesus, persoalan "siapakah sesamaku manusia" bukanlah bagian dari sebuah 
wacana perdebatan tingkat tinggi, melainkan bagian dari situasi dan pengalaman 
kehidupan sehari-hari. 

* * * 

DALAM ilmu etika, apa yang dilakukan orang Samaria itu, yaitu menolong korban 
kesewenang-wenangan yang terkapar di tepi jalan, biasanya disebut sebagai tindakan 
"altruisme". Apakah "altruisme" itu? Istilah ini, di dalam kamus, biasanya dijelaskan 
sebagai "perbuatan yang didorong oleh rasa kepedulian terhadap, serta diabdikan bagi, 
kepentingan orang lain". Orang Samaria itu kita sebut "baik", karena ia telah 
menunjukkan kepedulian (= concern, care) kepada orang lain, teristimewa yang 
menderita, sebagai prinsip hidupnya yang utama dan pertama. 

Cuma itu? Ternyata tidak. Sebab di dalam beberapa hal, altruisme yang dilakukan oleh 
orang Samaria tersebut, berbeda secara prinsipiil dengan "perbuatan baik" para altruis 
umumnya. 

Pertama, altruisme tokoh kita adalah "altruisme yang universal". Disebut 'universal', 
karena kepeduliannya kepada sesama itu melampaui batas-batas ras, agama, kebangsaan, 
dan pembatas lainnya. Padahal kecenderungan naluriah manusia pada umumnya adalah, 
seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan Belanda, "soort zoekt soort". Masing-masing 
mencari yang se-"jenis"-nya; yang se-"level". Yang putih cari putih, yang kuning cari 
kuning. 

Altruisme universal ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Di wilayah-wilayah 
konflik, kita tahu, tidak semua korban ditangisi. Ada yang diratapi, sebab berasal dari 
kelompok sendiri. Namun ada pula yang disoraki, karena berasal dari kelompok lawan. 
Orang-orang yang melakukan "sweeping KTP" di Makasar baru-baru ini, adalah contoh 
paling menusuk tentang bagaimana orang, walau mungkin 'intelek', bisa begitu 
terjerembab ke titik nadir kenaifan, kepicikan, dan kesewenang-wenangan. Dan 
bagaimana orang, walau mengaku modern, sebenarnya pantasnya tinggal di gua-gua, 
sebab tidak mampu berinteraksi dengan yang berbeda. 

Untuk kurun waktu yang amat panjang, umat manusia hidup dalam kecupetan 
pemahaman, bahwa 'sesama' mereka adalah orang-orang yang 'sama' dengan mereka. 



Sebab itu perintah "jangan membunuh", serta-merta dimengerti sebagai "jangan 
membunuh sesama Yahudi, tapi tumpas orang Filistin atau Amori". 

Anda mengagumi Yunani karena demokrasinya? Untuk pengetahuan Anda, demokrasi 
mereka waktu itu cuma berlaku bagi lapisan aristokrat, bukan bagi segenap rakyat. 
Sedang bagi sementara orang di Amerika, pernyataan bahwa "semua orang diciptakan 
setara" adalah berarti "semua orang kulit putih diciptakan setara"; tapi tidak yang 
"hitam", "merah", atau "kuning". 

Kecenderungan serupa terjadi di beberapa negara agama. Memang mereka menegaskan, 
betapa kebebasan beragama berlaku bagi semua. Tapi dalam kenyataan, ini cuma berlaku 
selama atau sepanjang yang beragama lain tunduk kepada hukum agama yang mayoritas. 
Hak-hak minoritas, kata mereka, dilindungi. Tapi yang dilindungi adalah hak-hak mereka 
sebagai warga negara kelas dua atau kelas tiga. 

* * * 

APAKAH konsekuensi dari altruisme yang provinsial seperti itu? Yang jelas adalah 
kepedulian menjadi sangat terbatas. Perhatian kepada kelompok lain-kalau ada-biasanya 
lebih didorong oleh perasaan cemburu atau perasaan terancam. Memperhatikan, dengan 
mata curiga. 

Pada tataran yang lebih praktis, provinsialisme selalu berakibat tragis. Martin Luther 
King Jr. menuturkan apa yang terjadi ketika sebuah bis yang mengangkut rombongan 
pemain bola basket-semuanya hitam-mengalami kecelakaan. Beberapa terluka parah. 
Tapi ketika ambulans tiba, tanpa minta maaf, si sopir mengeloyor pergi. "Ambulansnya 
tidak untuk mengangkut negro," katanya. Ketika seorang pengendara mobil yang 
kebetulan lewat berbaik hati membawa para korban ke rumah sakit terdekat, dokter jaga 
serta-merta menolak. "Rumah sakit ini khusus untuk orang kulit putih," dalihnya. Dan 
tatkala para korban akhirnya tiba di rumah sakit yang mau melayani mereka, 100 
kilometer dari situ, seorang mati ditengah jalan, dan dua orang lagi menyusul setengah 
jam kemudian. 

Sisi paling tragis dari provinsialisme adalah, bahwa manusia tidak dipandang dan 
diperlakukan sebagai manusia. Ini adalah akibat semacam penyakit rabun dekat atau 
miopia rohani. Orang-orang tidak mampu dan tidak mau melihat sesamanya sekadar 
sebagai sesama. Tapi plus label-label atau cap-cap tertentu. Karena itu, Yohan tidak 
sekadar disebut "Kristen", tapi "Kristen KTP"; berbeda dengan Yofan yang adalah 
"Kristen Lahir Baru". Pendeta Simon itu "liberal", berbahaya! Penginjil Yoas itu 
"fundamentalis", hati-hati! Dan sebagainya. 

Inilah yang tidak dilakukan oleh orang Samaria yang baik hati itu. Kalau ada yang 
terpenting yang dapat kita pelajari dari orang ini, maka itu adalah bagaimana ia berhasil 
menghilangkan selaput katarak dari mata rohaninya. Sehingga ia tidak lagi melihat si 
korban sebagai Yahudi, tetapi semata-mata sebagai sesama. 



Sakit, "Tulah" atau "Anugerah" 
Oleh Eka Darmaputera 

"Sakit" tidak sama dengan "penyakit". Ada "sakit" yang bukan "penyakif'-tertusuk paku, 
misalnya. Dan sebaliknya, ada pula "penyakit" yang justru membunuh "rasa sakit" -pada 
penderita penyakit diabetes dan penyakit kusta, misalnya. 

Tapi saya harap Anda tidak berkata, "Wah, enak benar dong, kalau ada 'penyakit' yang 
malah menghilangkan 'rasa sakit'! Jadi tidak perlu menderita!" Salah besar! Sebab justru 
di situlah penderitaan si pasien itu. Bila ia tak mampu lagi merasakan "sakit". 

Suatu ketika, tatkala bertugas ke luar kota, saya dan istri amat beruntung, sebab diajak 
makan lesehan rame-rame ke luar kota, di tepi sebuah telaga. Di situ kami menikmati 
udara yang sejuk, pemandangan yang indah, makanan yang lezat, serta dikelilingi teman- 
teman yang ramah. Pokoknya, serba "perfek"-lah! 

Toh satu saat, tiba-tiba selera makan saya luruh seketika. Ini terjadi setelah seorang ibu 
menunjukkan kaki kanannya. Yang ternyata telah kehilangan dua buah jarinya. "O, 
diamputasi," pikir saya, padahal tidak. 

Ibu itu bercerita, bahwa ia kehilangan dua jari kakinya itu, ketika berlibur bersama 
keluarga di luar kota. 

Tatkala bangun pagi, ia merasa heran karena ujung tempat tidurnya basah digenangi 
darah. Dua jarinya hilang, rupanya karena dimakan tikus. Segumpal kecil sisanya, malah 
masih dibiarkan tergeletak di lantai. 

Mengapa ibu itu tidak merasakan apa-apa? Tidak lain, karena penyakit diabetes yang 
dideritanya, telah membuat syarafnya tak berfungsi lagi. Ngerinya! 

* * * 

ITULAH, antara lain, perbedaan antara "sakit" dan "penyakit". "Penyakit" adalah suatu 
keadaan yang sedapat mungkin harus kita atasi, kita obati, dan kita lenyapkan sampai 
tuntas-tas , tidak berani datang-datang lagi. 

Sedang "rasa sakit"? Haruskah ia kita basmi dan kita musuhi? Wah, mengenai ini, lebih 
baik kita bicarakan dulu lebih saksama. Apalagi, mumpung kita juga sedang berada di 
tengah-tengah minggu-minggu peringatan sengsara Kristus. 

Nabi Yeremia, dalam pergumulan imannya yang hebat, pernah berteriak memprotes 
Tuhan, "Mengapakah rasa sakitku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar 
disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat 
dipercayai!" (Yeremia 15:18). 



Bila seorang nabi sekaliber Yeremia saja sampai berteriak kesakitan, dan hampir 
kehilangan kepercayaannya kepada Allah, tidak mungkin tidak rasa sakitnya itu pasti 
telah mencapai titik puncak. 

Tapi siapa sih yang dalam kesakitannya, tidak pula meraung minta penderitaannya 
diakhiri? Dalam pengalaman sakit saya sendiri, saya mengakui, betapa saya dapat 
menerima "penyakit" saya. 

Betapa saya siap menghadap Dia, kapan pun ajal tiba. Tapi dengan harapan, agar-kalau 
boleh-saya tak perlu mengalami kesakitan. Salahkah Yeremia? Salahkah saya? Salahkah 
mohon dibebaskan dari kesakitan? 

* * * 

SIAPA PUN, kecuali mereka yang menderita kelainan jiwa, tidak menyukai kesakitan. 
Kita menyukainya atau tidak, rasa sakit itu ada dan akan terus ada. Ia akan senantiasa 
menjadi bagian integral dari kehidupan manusiawi kita yang normal. 

Jadi kalau memang mustahil menghindarinya, pikir saya, mengapa kita tidak berusaha 
merangkulnya? Mengapa kita tidak berusaha mengenalnya dengan lebih akrab? Supaya, 
siapa tahu, setelah berkenalan, kita lalu lebih mau dan lebih mampu menerimanya dengan 
rela. Dan kita tidak menanggung stress yang tidak perlu. 

Pemahaman yang lebih komplit, lebih objektif, dan lebih adil mengenai "sakit" (= 
"pain")-bukan "penyakit" (= "disease")-saya peroleh melalui karya laris Philip Yancey, 
berjudul "WHERE IS GOD WHEN IT HURTS?". Atau, "DI MANAKAH ALLAH, 
KETIKA (SAYA) TERLUKA DAN KESAKITAN?" 

Buku ini diawali dengan penegasan, betapa "rasa sakit" adalah anugerah Allah yang luar 
biasa! Karena itu, ketimbang menyumpah "God dam'mit, it hurts!" (= "Setan alas, aduh 
sakitnya!"), kita semestinya memuji, "Thank God for pain!" ("Puji syukur, Tuhan, untuk 
sakit ini!"). 

Tentu tidak semua "rasa sakit" bisa kita syukuri. Rasa sakit luar biasa, yang setiap saat, 
selama bertahun-tahun, terus menerus tanpa henti dan tanpa iba menikam para penderita 
kanker - apanya yang pantas kita syukuri? Toh yang bersangkutan telah menyadari bahwa 
ia sakit dan tak mungkin disembuhkan. Mengapa Tuhan tidak membiarkannya menjalani 
sisa hidupnya dengan tenang - tanpa rasa sakit? Untuk apa "excess baggage" (= beban 
lebih) ini ? 

Saya tak tahu apa jawabnya. Seorang pakar yang khusus melakukan studi dan penelitian 
tentang "rasa sakit", Dr. Paul Brand, mengakui bahwa memang sayang sekali Tuhan tidak 
memberikan kita "tombol", yang bila kita "klik" dapat menghentikan "rasa sakit" yang 
lebih merupakan "laknat" ketimbang "berkat" itu. 



Tapi, kata Dr. Brand, "rasa sakit berkepanjangan yang tak jelas manfaatnya seperti itu, 
"hanya" berjumlah sekitar satu persen saja. Sedang yang sembilanpuluh sembilan persen 
sisanya, bersifat jangka pendek. Begitu "penyakit"nya teratasi, "rasa sakit" itu juga pergi. 

* * * 

"PUJI syukur, Tuhan, untuk rasa sakit ini!" Mengapa mesti bersyukur? Jawabnya: sebab 
alangkah malangnya dan celakanya, mereka yang tidak bisa merasakan sakit lagi. 

Yang tak merasakan apa-apa, walaupun tangannya hangus terpanggang panci panas. 
Yang tak merasakan apa-apa, walaupun paku panjang menusuk telapak kakinya. Banyak 
penderita penyakit kusta meninggal dunia bukan karena penyakitnya, melainkan karena 
luka-luka yang tak tersadari itu. 

"Rasa sakit" adalah anugerah Allah untuk memberi peringatan bahwa ada bahaya yang 
mengancam. Saya kira Anda pernah mengalami, bagaimana kepala Anda - bum! - sakit 
luar biasa, ketika di suatu siang yang panas terik, karena hendak cepat-cepat memuaskan 
dahaga, Anda menghabiskan satu contong es krim dalam dua kali telan. 

Sakit ini bukan karena es krim itu masuk ke otak Anda. Tidak! Tapi tubuh Anda memberi 
sinyal, bahwa perut Anda tidak tahan terhadap "perubahan cuaca" yang drastis, akibat es 
krim yang Anda paksakan masuk dalam jumlah "besar" itu! 

Atau suatu pagi, begitu bangun dari tidur, Anda merasakan ngilu luar biasa di pundak 
Anda? Ini bukan akibat Anda terlalu capek main tenis semalam. Tapi sangat boleh jadi, 
karena kadar gula darah Anda sedang meninggi! Awas! 

* * * 

TAPI mengapa mesti diiringi sakit? Malah kadang-kadang diiringi dengan kolik, seperti 
pada penderita penyakit batu empedu? Mengapa sih, tidak cukup Tuhan berbisik ke 
telinga kita, "Anak-Ku, empedumu tidak beres! Segeralah ke dokter, dan jaga 
makananmu!" Atau mengapa tidak cukup dengan menunjukkan-melalui alat-alat 
diagnostik-berapa tinggi kadar gula darah, tekanan darah, atau kolesterol kita? 

Mengapa Tuhan mesti meng-"aniaya" kita dengan rasa sakit yang kadang-kadang 
keterlaluan, dan sungguh bikin orang jera? Sebabnya, saudara, adalah itu. Yaitu, supaya 
kita jera! Supaya kita segera bertindak! 

Tuhan tahu seluk-beluk kejiwaan manusia. Yang kalau cuma dibujuk dengan halus, o, 
sekadar masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Saya punya teman yang didiagnosis 
menderita penyakit jantung. Oleh dokter ia dianjurkan untuk diit. Lalu apa yang ia 
lakukan? Ia "berkeliling" dari satu dokter ke dokter lain, sampai bertemu dengan dokter 
yang mengatakan , "O, Anda sehat walafiat! Tak perlu diit apa-apa". 



Nasihat dokter yang terakhir inilah yang ia patuhi dengan gembira. Sampai suatu ketika 
ia mengalami rasa sakit yang luar biasa di dadanya. Seolah-olah ditindih dengan beban 
berton-ton beratnya. Ia tidak tahan! Ia tidak ingin mengalami sakit seperti itu lagi. Dan ini 
membuat ia bersedia dioperasi, dan dengan sukarela menjalani diit. Ini berkat apa? Berkat 
rasa sakit yang luar biasa itu. Thank God for pain! 

* * * 

RASA sakit adalah anugerah Allah. Tapi jelas,, anugerah Allah yang paling tidak disukai 
dan disyukuri. The most unappreciated gift. Tuhan, saya yakin, memahami sikap Anda 
itu. Rasa sakit memang tidak enak. Tidak semua orang bisa seperti Yesus, yang menolak 
mencicip minuman penangkal sakit. 

Tapi yang penting, janganlah lalu fanatik memusuhi, menolak dan menghindarinya!. 
Kehidupan moderen punya kecenderungan ini. Teknologi menolong manusia 
menghindari ketidaknyamanan. AC untuk menghindari panas. Sepatu untuk melindungi 
telapak kaki. Lalu obat penurun panas, penangkal sakit, penghilang batuk. 

Munafiklah saya, bila saya katakan, saya tidak memanfaatkan produk budaya manusia 
itu. Tapi akhirnya semakin banyak orang mengakui, bahwa ada yang bermanfaat dan 
hakiki yang hilang dalam gaya hidup moderen kita. 

Kini orang kian menyadari, bahwa udara segar lebih sehat ketimbang udara AC. Bahwa 
berjalan dengan kaki telanjang, baik untuk kesehatan. Bahwa batuk, demam, atau rasa 
sakit, bermanfaat bagi tubuh dalam melakukan perlawanan terhadap gangguan dari luar. 
Bahwa berjalan kaki naik tangga lebih sehat daripada naik- turun lift. 

Saya tidak menganjurkan agar kita mem"berhala"kan atau me"romantisasikan" "rasa 
sakit". Bagaimana pun, "rasa sakit" itu ya sakit; tidak nikmat. Tapi kita perlu lebih 
memahami, lebih memanfaatkan, dan lebih menghargai pemberian Tuhan yang satu ini. 
Bahwa "rasa sakit" adalah "anugrah". Tidak selalu merupakan "tulah". 

Karena itu, kita masih akan melanjutkan lagi percakapan kita tentang "rasa sakit". 
Semoga Anda tertarik mengikutinya. * 

Kesakitan dan Kenikmatan 
Oleh Eka Darmaputera 

Dalam kenyataan praktis sehari-hari, ternyata "rasa sakit" banyak manfaatnya. "Rasa 
sakit" bukanlah semacam ilalang yang tumbuh di taman yang kehadirannya amat 
mengganggu dan sulit dilenyapkan. Karena itu, heran, mengapa Tuhan menciptakannya. 
Dunia tanpa ilalang, jauh lebih menyenangkan, bukan? 

"Rasa sakit", sekali lagi, bukan ilalang. Di tengah-tengah begitu banyak ancaman yang 
tersembunyi dalam hidup manusia sehari-hari, ia berfungsi memberi peringatan. Seperti 



klakson. "Tut! Tut!" Dan lebih baik Anda memperhatikan peringatannya. Seorang warga 
jemaat saya meninggal karena mengabaikan rasa pening-pening sedikit yang tak mau 
pergi dari kepalanya. Walau "sedikit", itu adalah bunyi "klakson" yang berusaha 
memberi peringatan-mumpung masih jauh. "Awas!" 

Ada pula manfaat "rasa sakit" yang lain. Yang ini sering tidak kita sadari, yaitu adanya 
keterkaitan yang erat antara "kesakitan" dan "kenikmatan". Pain and pleasure. 

Seperti daging adalah unsur utama masakan rendang, menurut Philip Yancey, "rasa sakit" 
adalah komponen esensial dari setiap kepuasan batin yang kita alami. Semakin besar 
"kesakitan"nya, semakin besar "kenikmatan"nya. 

Aneh kedengarannya, bukan? Lha wong sakit kok menyenangkan? Kesulitan kita 
memahami "logika" ini, sama sekali tidak mengherankan. Setiap waktu kita memang 
dicekoki dengan "dalil" yang berlawanan. 

Kita dibesarkan dan dididik dengan pemahaman, bahwa "kesakitan" adalah antitesis dari 
"kesenangan". Bahwa semua yang menyakitkan itu, tidak nikmat. Dan semua yang 
nikmat, tidak menyakitkan. 

Sebab itu, begitu kepala Anda "nyut, nyut, nyut", cepat-cepatlah minum tablet X yang 
"pancen oye" Atau Anda merasa agak meriang? Jangan pandang enteng, segera ambil 
puyer A, maka "ewes, ewes, ewes, bablas panase". 

Cobalah sekali-sekali Anda datang ke apotik, lalu tanyakan obat pencahar apa saja yang 
tersedia di situ . Saya jamin, pasti buanyaaak sekali. Yang tablet, yang puyer, yang sirop, 
yang kapsul, yang gel. Padahal tujuannya 'kan ya cuma yang satu itu: agar lancar 
"B.A.B"nya. 

* * * 

"RASA sakit" mesti dibasmi segera, sebab merusak kenyamanan dan mengganggu 
kenikmatan. Begitu orang berpikir. Tapi benarkah cuma itu makna "rasa sakit" itu, yaitu 
sebagai "pengganggu"? Menurut Helmut Thielicke, tidak. Karenanya ia mengecam gaya 
hidup moderen, sebagai yang telah kehilangan "pemahaman yang memadai tentang 
penderitaan". Pemahamannya cupet, naif, jomplang. 

Thielicke benar. Serta merta menolak, memusuhi, dan berpandangan negatif terhadap 
"rasa sakit", seperti tutur Philip Yancey, "membuat kita putus hubungan serta melenceng 
dari "alur sejarah umat manusia, yang selamanya merangkul kesakitan sebagai bagian 
yang menyatu dengan kehidupan". 

Sebenarnya belum terlalu lama berselang, kita masih menganggap "rasa sakit" sebagai 
sesuatu yang normal dan rutin. Tidak nyaman dan tidak menyenangkan, memang, tapi 
itulah konsekuensi kehidupan. 



Mau hidup, ya berarti mau sakit. Mungkin baru berawal dari generasi kita saja, orang 
menganggap dan memperlakukan kesakitan sebagai "mahluk asing dari galaksi lain", 
yang datang meng-invasi dan mengancam eksistensi kita. 

Karena itu, sebelum sempat menjamah tubuh kita, sedapat-dapatnya "rasa sakit" itu mesti 
kita perangi dan kita tundukkan. Dan itulah antara lain fungsi teknologi. Dengan 
teknologi, Anda tidak perlu lagi membebani pundak manusia dengan beban berat, seperti 
tatkala nenek-moyang kita membangun Borobudur, ada fork-lift. Anda juga tidak perlu 
memenatkan kaki Anda dengan menaiki puluhan anak tangga, ada escalator. Bahkan tak 
perlu bersusah-susah belanja sendiri ke pasar atau membeli tiket pesawat terbang ke agen 
perjalanan, ada internet. Dan seterusnya. 

* * * 

TEKNOLOGI memang amat membantu. Siapa mengatakan tidak? Karena itu, silakan 
manfaatkan seoptimal-optimalnya. Tapi saya mohon Anda menyadari, bahwa ada sisi 
faktualnya yang lain. 

Yancey menganalogikan kerja otak manusia dengan sebuah amplifier. Fungsi sebuah 
amplifier adalah mengoordinasikan 1001 macam aneka masukan (= input) yang berasal 
dari luar. Sedemikian rupa, sehingga alat-alat elektronis kita hanya menerima masukan 
yang diperlukan dan telah di"tertib"kan saja. 

Otak manusia pun demikian. Ia juga menerima pelbagai macam masukan, melalui 
sentuhan, penglihatan, cita rasa, dan bau, dan sebagainya. Pada orang sehat, "rasa sakit" 
adalah salah satu masukan, yang berfungsi melaporkan apabila ada potensi bahaya. 

Semakin lanjut usia manusia, kepekaan dan kesigapan indera manusia dalam merasakan 
rangsangan semakin melemah. Untuk mengatasi ini, otak harus memutar tombol 
"volume"-nya lebih keras, agar masukan yang melemah itu masih dapat tertangkap. Pada 
penderita kusta, daya tangkap itu terus berkurang dengan cepat, sampai lenyap sama 
sekali dan seluruh tubuh tak lagi bereaksi apa-apa. 

Budaya moderen, kata Yancey, melakukan yang justru sebaliknya. Yaitu sebaliknya dari 
pada meningkatkannya, ia malah terus menekan dan memperlemah rangsangan "rasa 
sakit" yang vital itu. Dan apa yang terjadi ini sungguh memprihatinkan! Karena ketika 
tombol volume "rasa sakit" ditekan habis-habisan, volume masukan yang lain kian 
menguat. 

Pendengaran kita, misalnya. Dengarkanlah jenis musik apa yang membombardir 
pendengaran orang sekarang! Bandingkanlah berapa desibel bedanya antara dentuman 
musik Mick Jagger atau Led Zepelin dengan kelembutan karya Strauss atau Mozart. 

Atau penglihatan kita. Masukan apa yang diterima orang sekarang melalui 
penglihatannya? "Volume" masukan untuk penglihatan kita juga meningkat tajam. 



Betapa mata kita disilaukan oleh gemerlapannya cahaya lampu-lampu neon dan fosfor di 
daerah-daerah hiburan dan pertokoan. Sehingga, seperti pernah ditulis oleh Kierkegaard, 
kita kehilangan indahnya cahaya syahdu bulan, bintang, dan kunang-kunang. 

Atau penciuman kita. Masihkah Anda menikmati segarnya bau tanah yang tersiram 
hujan? Halusnya keharuman bunga melati di waktu malam? Atau "semegrak"nya bau 
kotoran hewan yang telah menyatu dengan tanah? Saya sungguh merasa kehilangan yang 
sangat akan aroma pedesaan itu. Tak dapat digantikan oleh "invasi" aneka macam aroma 
parfum, pewangi pakaian, pengharum udara, dan entah pengharum apa lagi. 

* * * 

ORANG modern telah menggantikan "kenikmatan alami" yang asli dengan "kenikmatan 
artifisial" - "kenikmatan buatan" ciptaan sendiri. Itulah inti persoalan kita dengan 
penyalah-gunaan obat-obatan terlarang sekarang ini! Yang memberi "kenikmatan buatan" 
yang, harus kita akui, memang lebih segera dan lebih terasa. "Volume"nya lebih keras. 
Tapi akibatnya? 

O ya, Anda pun pasti tahu apa nama "dunia" yang paling menguasai akal, batin dan jiwa 
manusia sekarang - dari pagi sampai malam; sejak di rumah, di kantor, bahkan dibawa ke 
mana-mana sebagai teman jalan yang tak boleh ketinggalan? Ya! "Dunia maya", tak 
salah lagi! Kotak kecil bernama "komputer" itu kini adalah tempat banyak orang 
menggantungkan segala sesuatu. Sekali ia "ngambek", lumpuhlah manusia dibuatnya, 
bak bayi prematur yang tak berdaya apa-apa. 

Persoalannya adalah, susunan syaraf manusia tidak punya "jalur" khusus untuk "rasa 
nikmat". Jalur untuk "rasa nikmat" adalah jalur yang sama untuk "rasa sakit". Rasa gatal 
nan tak nyaman karena digigit serangga, disalurkan ke otak melalui jalan yang sama 
dengan rasa nyaman ketika berada di pelukan kekasih. 

Itulah sebabnya, secara alamiah, "kenikmatan" dan "kesakitan" tidak dapat dipisahkan. 
Tolong Anda jawab pertanyaan ini: menggaruk bagian tubuh yang gatal luar biasa sampai 
berdarah-darah - ini "sakit" atau "nikmat"? Minum coklat panas - begitu panasnya 
hingga lidah kita "matang" dibuatnya — di tengah hawa pegunungan yang sedang dingin- 
dinginnya - ini "sakit" atau "nikmat"? Makan mi ayam panas dengan sambal pedas, 
sampai perut mulas — ini "sakit" atau "nikmat"? Mengapa "jatuh cinta itu indah", padahal 
jatuh cinta juga berarti kurang enak makan dan kurang enak tidur? "Kenikmatan" dan 
"kesakitan" - sulit terpisahkan, bukan? 

Yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Agustinus, bahwa "Di mana pun, sukacita 
yang lebih besar selalu didahului oleh penderitaan yang lebih besar pula". Tidak pernah 
orang merasakan nikmatnya makan, seperti ketika ia sedang lapar selapar-laparnya. Atau 
merasakan kelegaan begitu dalam, seperti waktu ia berhasil "lolos dari lubang jarum", 
dari kecemasan yang sangat mencekam. 



* * * 



KEKRISTENAN tidak memuja kesakitan. Tapi ia mengajak kita merangkul -nya, sebagai 
bagian dari berkat Tuhan yang bernama "kehidupan". Karena itu, kata Paulus, kemuliaan 
kebangkitan hanya tersedia bagi mereka yang telah mengalami kehinaan salib. Dan biji 
gandum akan tetap tinggal satu, kata Yesus, mandul tanpa buah, kecuali bila ia ditanam, 
busuk dan mati (Yohanes 12:24). 

Kita tidak mencari-cari kesakitan demi kesakitan.. Tujuan kita bukanlah untuk menjadi 
juara menahan rasa sakit! Tujuan hidup kita adalah "menghasilkan buah" (Filipi 1:22). 
Demi untuk "berbuah" itulah, kita tidak serta-merta menghindar bila kita memang harus 
ditanam, busuk, bahkan mati sekali pun. * 

Dunia Tanpa Kesakitan? 
Oleh Eka Darmaputera 

Ada waktu-waktu tertentu, ketika hidup kita berlangsung mulus. Sepertinya bumi tempat 
kaki kita berpijak, subur dan hijau semata. Matahari bersinar cerah dan angin sejuk 
bertiup lembut. Pada saat-saat seperti ini, tidak terlalu sulit untuk mempercayai kebaikan 
dan kasih Allah. 

Namun siapa pun tahu bahwa matahari yang sama itu pula yang telah memanggang 
Afrika menjadi hamparan gurun dan membuat jutaan orang kelaparan. Bahwa angin yang 
itu-itu juga, yang tiba-tiba bisa berubah jadi puting beliung, siap menelan apa saja dan 
siapa saja ke perutnya. Tatkala ini semua berlangsung, masih mampukah kita dengan 
jujur memuji kebaikan dan kasih Allah? 

Tapi apakah kita mampu atau tidak mampu, alam memang tak pernah berwajah satu. Ada 
kalanya ia laksana ibu yang membelai kepala kita dengan penuh kasih sayang. Kali lain, 
ia berubah menjadi saudara kita yang liar dan beringas. Bumi kita, walau benar ciptaan 
Allah, adalah ibarat "Dasamuka"-berwajah sepuluh-sebagian besarnya mengerikan. 

Sebut saja makhluk yang bernama "manusia". Spesies ini telah menampilkan orang-orang 
berhati mulia seperti Gandhi dan Teresa, orang-orang berotak cemerlang seperti Newton 
dan Einstein, dan orang-orang berdaya cipta luar biasa, seperti Ismail Marzuki dan 
Affandi. Namun, dari rahimnya pula lahir monster-monster kemanusiaan seperti Hitler 
dan Idi Amin; serta teroris-teroris berdarah dingin seperti Ali Imron dan Amrozy. 

Yang ingin saya katakan adalah semua realitas yang ada di sekitar kita maupun di dalam 
diri kita senantiasa berwajah ganda, termasuk di dalamnya adalah "RASA SAKIT". 

Di satu pihak, "kesakitan" adalah sahabat yang dapat diandalkan. Yang selalu dan segera 
memberi peringatan, ketika bahaya mengancam. Inilah yang tampak bila kita 
meneropong "kesakitan" melalui sebuah "mikroskop"-kasus demi kasus, orang demi 
orang. 



Seperti kesaksian berikut, "Mula-mula sih cuma seperti kesemutan biasa. Tapi begitu 
saya periksakan ke dokter, dokter mengatakan bahwa saya menderita penyakit jantung 
akut, yang mesti segera dioperasi. Kesemutan itu sungguh telah menolong saya!". 
"Untung, ada "rasa sakit"!", bukan? 

Namun, tinggalkanlah sejenak mikroskop Anda, lalu naiklah ke "ketinggian" sambil 
menengok ke sekeliling Anda! Maka yang Anda saksikan adalah kelaparan massal, 
pembantaian etnik, jutaan anak jalanan yang tanpa masa depan, pengidap HIV/AIDS 
yang tanpa perawatan, penderita kanker terminal yang mengerang kesakitan. 
Menyaksikan semua ini, bukankah kita melihat wajah "kesakitan" yang lain? 

* * * 

PERSOALANNYA bukanlah sekadar mengapa "rasa sakit"-yang merupakan bagian dari 
sistem penyangga kehidupan-bisa "membandel" keluar dari sistem. Sehingga apa yang 
semula berfungsi begitu "positif, berubah menjadi "destruktif. 

Namun, lebih dalam dari itu, adalah pertanyaan-pertanyaan abadi. Mengapa Atmo sakit, 
tapi Bimo tidak? Mengapa "aku", mengapa bukan "dia"? Adakah alasan yang masuk 
akal? Maukah Engkau menjelaskannya, Tuhan? 

Di sini keluhan seorang pemazmur menjadi sangat relevan. "Aku cemburu kepada 
pembual-pembual, sebab kesakitan tidak ada pada mereka. Sehat dan gemuk tubuh 
mereka. Mereka tidak mengalami kesusahan manusia. Namun sepanjang hari aku kena 
tulah, dan kena hukum setiap pagi. (Rasa-rasanya) sia-sia sama sekali aku 
mempertahankan hati yang bersih" (Mazmur 73:3-5; 13-14). Why, my Lord, why? 

Sajak William Blake, sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey, dengan telak 
menyimpulkan sisi getir dari eksistensi manusia sejak kelahirannya. Tulisnya, "Ibuku 
mengerang, ayahku menangis girang, tatkala ke dunia penuh ancaman aku dilemparkan" 

"Kesakitan" (mungkin) memang dimaksudkan sebagai sistem pemberi tanda bahaya yang 
efektif. Namun jelas, ia telah berubah liar tak terkendali. 

Karena itu, menurut Yancey, barangkali kita membutuhkan dua kata yang berbeda. Yang 
pertama adalah "kesakitan" (= pain) untuk yang menunjuk kepada sistem perlindungan 
tubuh. Dan yang kedua adalah "penderitaan" (= suffering) untuk yang memperlihatkan 
sisi kelam kenyataan hidup manusia. 

Menurut saya, usul ini masuk akal! Sebab pada kasus para pasien lepra, mereka tidak 
merasakan "kesakitan", tapi toh mengalami banyak sekali "penderitaan". Sementara itu, 
sekalipun tidak semua orang mengalami "rasa sakit" yang akut, setiap orang pasti 
mempunyai "penderitaan" atau "salib"nya masing-masing, kekurangan pribadi, hubungan 
yang pecah, kenangan pahit masa lalu, rasa bersalah yang mengejar. 



Pertanyaan kita adalah, "Di manakah Allah ketika rasa sakit menerpa tanpa henti?" 
"Bagaimana mungkin Ia membiarkannya?" "Katakanlah, Tuhan, apa gunanya?" 

* * * 

SELAMA berabad-abad, para filsuf sudah memperdebatkan pertanyaan, "Apakah bumi 
kita ini sudah merupakan kemungkinan yang terbaik?" Artinya, apakah Allah tidak 
mungkin lagi membuat yang lebih baik? Sebab, ujar Voltaire dalam Candide, "Jika yang 
seperti ini sudah merupakan yang terbaik, lalu bagaimana lagi dengan yang lainnya?" 

Ratusan tahun yang lalu, teolog-teolog raksasa, seperti Agustinus dan Thomas Aquinas, 
dengan mantap dan seolah-olah tanpa beban menegaskan bahwa Tuhan memang 
menciptakan bumi kita ini sebagai yang terbaik. Sekarang-menyaksikan parahnya 
kerusakan alam dan penderitaan manusia-, saya kira hanya mereka yang naif dan picik 
saja yang dapat dengan mudah membuat penegasan seperti itu. 

Namun, toh saya ingin menegaskan satu hal. Benar, dunia kita bukanlah yang terbaik. 
Namun bila yang Anda pikirkan adalah bahwa dengan menyingkirkan semua bentuk 
"rasa sakit" dan "penderitaan", maka akan ada hidup yang ideal, Anda salah sangka! 

Misalnya, mengapa Allah tidak melenyapkan saja semua bakteri yang ada? Eit, tunggu 
dulu! Sebab ini bisa menciptakan malapetaka yang jauh lebih besar. Menurut Yancey, 
sekarang ini ada 24.000 jenis bakteri telah berhasil diidentifikasikan. Dari antaranya, 
hanya sedikit sekali yang menyebabkan penyakit. Sebaliknya, sekiranya semua bakteri 
dibasmi habis, maka makanan yang kita telan pun tidak akan dapat dicerna oleh tubuh. 

Bagaimana kalau taifun? Yancey mencatat bahwa India dan Bangladesh-dua negara yang 
paling sering dilanda bencana taifun-telah memperoleh pelajaran yang pahit: tidak ada 
taifun sepanjang tahun, hujan pun enggan turun sepanjang tahun! 

Ketika saya masih remaja, saya pernah mengalami patah kaki. Padahal saya ingin sekali 
menjadi pemain bola yang hebat. Karena itu saya berkata, "Andaikata saja tulangku lebih 
kuat!" Waktu itu saya tidak menyadari konsekuensi keinginan saya itu. Bahwa tulang 
yang lebih kuat juga berarti lebih berat. Lebih berat akan membuat gerak tubuh saya 
menjadi lebih lamban. Bila lamban, mana mungkin saya bermain bola? 

Saya bayangkan, betapa Tuhan harus membuat pilihan-pilihan sulit ketika merancang 
tubuh manusia. Mana yang lebih baik: kuat tapi lamban, atau lincah tapi rapuh? Dunia 
yang sempurna-juga dunia yang tanpa kesakitan-itu tidak ada. Yang ada hanyalah 
pilihan-pilihan. Maksud saya, betapa pun tidak sempurnanya hidup kita, apakah kita 
punya pilihan atau usulan yang lebih baik? Anda punya? 

* * * 

JADI, benarkah Allah yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesakitan manusia? 
Jelaslah bahwa Allah sendiri melakukan pilihan. Dan Ia mengambil keputusan, termasuk 



segala risikonya, yaitu menciptakan alam dengan "hukum kodrat" yang pasti, sekaligus 
menciptakan manusia dengan "kehendak bebas". 

Kayu misalnya diciptakan oleh Allah keras dan padat. Ini "hukum kodrat"nya. Manusia 
tidak bisa mengubah "kodrat" ini. Tapi "kehendak bebas" manusia, memberinya pilihan 
untuk memanfaatkan kayu yang keras itu untuk membangun rumah atau untuk melukai 
sesamanya. 

Tentu saja Allah bisa-mengetahui maksud jahat manusia-lalu mengubah kayu yang keras 
itu menjadi seperti spons. O, bisa! Tapi ini sengaja tidak dilakukan-Nya. Pertama, karena 
Ia menghormati "hukum kodrat" yang Ia tetapkan sendiri. Dan kedua, karena Ia juga mau 
menghormati "kehendak bebas" manusia, yang risikonya memang adalah bebas 
melakukan kebaikan tapi bebas pula melakukan kejahatan. 

Ini, saya tahu, menciptakan banyak persoalan. Tapi sekali lagi, apakah Anda punya 
alternatif yang lebih baik ketimbang pilihan yang dibuat Allah? 

Jadi, apakah Allah-lah yang bertanggungjawab atas penderitaan dan kesakitan manusia di 
muka bumi? Secara tidak langsung, "ya". Sebab tak ada yang bisa terjadi di muka bumi 
ini, di luar pengetahuan Allah. Tapi saya mohon dengan sangat Anda ingat baik-baik, 
bahwa memberikan anak Anda hadiah ulang tahun berupa sebuah sepeda-yang 
memungkinkannya untuk jatuh dan terluka-adalah sesuatu yang sangat berbeda 
dibandingkan dengan bila Anda secara sadar dan sengaja membanting anak Anda, dengan 
maksud melukainya. 

Jangan berilusi bahwa ada dunia yang bebas dari kesakitan. Tidak sempurna, memang, 
tapi kita tak punya pilihan lain. 

Karena itu yang paling bijak adalah: pakailah "kehendak bebas" kita sebaik-baiknya. 
Andaikata kita tidak dapat mengobati secara tuntas luka kita, paling sedikit janganlah 
memperburuknya. Tidak memperparah luka, ini sepenuhnya ada dalam batas kemampuan 
dan merupakan tanggung jawab kita! * 

Kesakitan, Belajar dari Yesus 
Oleh Eka Darmaputera 

Renungan kita minggu lalu kita akhiri dengan mengatakan dua hal. Pertama, kesakitan 
dapat bersumber pada kesalahan kita sendiri. Artinya, apa yang kita buat, senantiasa 
punya akibat. Kitab Amsal penuh pernyataan-pernyataan mengenai ini. 

Misalnya, "Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak, dan orang yang lamban akan 
menderita lapar" (Amsall9:15). Namun sebaliknya, "Muliakanlah Tuhan dengan hartamu 
dan dengan hasil pertama segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi 
penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahannya akan meluap dengan air buah 
anggurnya" (Amsal 3:9-10). Kejujuran, ketulusan dan kemurahan hati akan menghasilkan 



kebaikan. Sedangkan kecurangan, tipu daya dan keserakahan akan memberikan yang 
sebaliknya. 

Apakah prinsip Perjanjian Lama ini masih relevan dan berlaku sampai sekarang? YA, 
walaupun dalam jangka pendek, kejujuran, misalnya, justru menimbulkan banyak 
persoalan. Tapi yang penting 'kan siapa yang akan tertawa paling akhir, bukan? 

Sampai kapan pun, saya yakin, hukum "perbuatan tertentu mendatangkan akibat 
tertentu", tidak pernah kadaluarsa. Membangun pabrik mercon di tengah pemukiman 
penduduk selalu berbahaya. Tiga kali sehari, selama bertahun-tahun, hanya mengonsumsi 
hamburger plus kentang goreng, minumnya selalu wiski atau cognac, sambil menyedot 
asap rokok tiga bungkus sehari, pasti fatal akibatnya. Prinsip ini berlaku untuk semua 
orang -- Kristen maupun bukan. 

* * * 

BAGAIMANA dengan prinsip kedua, bahwa Tuhan-lah penyebab mala-petaka manusia, 
karena dengan itulah Ia menghukum Israel atas dosa-dosa mereka? Apakah prinsip ini 
masih "valid" dan berlaku bagi kita sekarang? 

Menurut Philip Yancey, tidak serta merta. Mengapa? Karena, menurutnya, hubungan 
"perjanjian" (= covenant) antara Allah dan Israel itu "unik". Tak ada duanya. Seperti tutur 
Musa kepada Israel, "Engkaulah yang dipilih oleh Tuhan, Aliahmu, dari segala bangsa di 
atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya" (Ulangan 7:7). 

Janji kepada Israel tidak serta merta bisa kita klaim sebagai janji untuk kita. Demikian 
pula halnya dengan ketentuan-ketentuan bagi Israel. Ini juga tidak secara langsung dan 
menyeluruh berlaku atas kita. 

Dalam kasus Israel, setiap hukuman Tuhan selalu didahului dengan peringatan dan 
teguran para nabi. Israel diingatkan agar menyadari dosa-dosa mereka. Nabi-nabi seperti 
Amos, Yeremia, Yesaya, Habakuk, Hosea, dan sebagainya, secara rinci dan spesifik 
menyebutkan dosa-dosa apa saja yang dimaksudkan Allah. Israel dituntut untuk bertobat 
dan kembali kepada Allah. 

Barulah bila kesempatan untuk bertobat ini tidak dimanfaatkan oleh Isarel, Allah akan 
datang dengan penghukuman. Penghukuman itu dalam bentuk apa, itu pun disebutkan 
secara kongkret. Kepada penduduk Yerusalem, Yesaya memaklumkan, 

"Tuhan, Tuhan semesta alam telah menentukan suatu hari, (di mana) Ia akan 
menggemparkan, menginjak-injak dan mengacaukan orang. Di "Lembah Penglihatan" 
tembok akan dirombak, dan teriakan minta tolong (akan) sampai ke puncak gunung! 
Elam telah memasang tabung panah. Aram datang dengan pasukan berkereta dan 
berkuda. Dan Kir membuka sarung pedang ." (Yesaya 22:5-6). Sekali lagi, sangat 
spesifik. 



* * * 



BERBEDA sekali dibandingkan kita sekarang, bukan? Israel-berbeda dari kita-tidak 
pernah dan tidak perlu bertanya-tanya: "Apa dosaku?", "Mengapa penderitaan ini?, atau 
"Apa yang dituntut Tuhan?". Apa yang misterius bagi kita, amat jelas bagi mereka. 

Kesakitan akibat terkena peluru nyasar, atau akibat tawuran yang membabi buta, atau 
akibat penyakit kanker yang amat lanjut, atau akibat dikhianati serta ditipu teman seiring, 
jelas berbeda dibandingkan "penderitaan-sebagai-hukuman" yang dialami Israel ! 

Dan jangan sekali-kali mempersamakannya! Betapa sering dalam hal ini, orang-orang 
Kristen punya maksud baik, tapi tidak peka dan tidak arif. Mengunjungi saudara- 
saudaranya yang sakit, mereka tidak membawa kata-kata penghiburan atau kue atau 
karangan bunga. Tapi menanamkan "perasaan bersalah", "Anda pasti melakukan sesuatu, 
sehingga Tuhan menghukum Anda begini." 

Atau ada pula yang membawa oleh-oleh berupa "dakwaan". "Anda kurang percaya dan 
kurang berdoa sih". Oleh-oleh semacam itu samasekali tidak menghibur atau membantu. 
Malah menambah kesakitan yang tidak perlu. Sebelumnya cuma sakit raga, kini hati 
mereka luka, tidak sejahtra, dan ragu. 

* * * 

ITU sebabnya, kita perlu membaca dan memahami berita Alkitab secara baru. Kita juga 
perlu mencari "model" lain untuk coba menjawab pertanyaan, "Siapa di balik kesakitan 
dan penderitaan manusia?". "Model" yang baru itu adalah YESUS. 

Kita tahu bahwa Yesus adalah "Allah yang menjadi manusia". Allah Maha Pencipta yang 
adi-kodrati, menjelma menjadi makhluk, menjadi manusia yang kodrati. Allah yang serba 
tak terbatas, dengan ikhlas membatasi diri-Nya, menjadi sama seperti kita-terikat oleh 
hukum alam. Bisa merasakan lapar, haus, sedih, gembira dan .. sakit! Karena itu, 
bagaimana Yesus merespon kesakitan dan penderitaan, bagi kita adalah cermin yang 
ideal mengenai sikap yang benar dalam menghadapi sakit dan penderitaan. 

Apa saja yang dapat kita katakan mengenai Yesus dalam kaitan ini? Pertama, Ia 
menghadapi realitas kesakitan dengan "takut" dan "gentar" "Hatiku sangat sedih, seperti 
mau mati rasanya," begitu Ia mengungkapkan perasaanNya (Matius 26:38). Karena 
kemampuan-Nya untuk merasakan kesakitan itu, Ia menjadi peka terhadap orang-orang 
yang "senasib". Ia tidak sekadar mengkotbahi mereka dengan kata-kata. Tapi dengan 
tindakan. Kuasa ilahi yang dimiliki-Nya tidak Ia pakai untuk menghukum, melainkan 
untuk menyembuhkan! 

Namun walaupun begitu, toh "mujizat penyembuhan" (yang memang dilakukan-Nya, dan 
digemari banyak orang!) tidak pernah Ia jadikan pusat pelayanan-Nya. Apalagi sebagai 
alat pemikat. Prinsip Yesus adalah, "percaya dulu, maka mujizat terjadi", bukan 



"pamerkan mujizat sebanyak-banyaknya, supaya sebanyak-banyaknya pula orang takjub 
lalu percaya". 

Cuma sekali-sekali, pada saat-saat yang Ia anggap perlu, Ia memperlihatkan kuasa-Nya. 
Tapi pada umumnya, Ia memilih untuk menghormati hukum alam. Bahkan pada saat 
yang paling gawat pun, ketika Ia akan ditangkap. "Kau sangka bahwa Aku tidak dapat 
berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan 
malaikat untuk membantu Aku?" (Matius 26:53). Tapi bukan itu yang Ia lakukan. Ia rela 
pergi bersama-sama dengan para penangkap-Nya. 

Oleh karena itu, Ia pun ingin agar kita dengan rendah hati bersedia menerima 
keterbatasan kodrati kita, termasuk realitas bahwa kita bisa sakit dan menderita, dan 
bahwa sakit serta menderita itu tidak enak. Tidak terlalu mudah cari mujizat. 

* * * 

BAGAIMANA pendapat Yesus mengenai "penanggung)' awab utama" kesakitan dan 
penderitaan manusia? Ia tak pernah memberi jawaban "instan", yang tinggal aduk 
langsung reguk. Tapi yang jelas adalah, bagi Yesus, keduanya tidak ada dalam skenario 
Allah. Allah yang Ia perkenalkan adalah Allah yang bersedia menanggung penderitaan 
manusia, karena itu alih-alih sengaja membuat manusia menderita. Imposibel-lah! 

Bagaimana kalau Iblis yang kita jadikan tertuduh utama? Tentu saja Iblis berperan besar, 
tapi jangan kita pikir ia bisa seenaknya berbuat apa saja tanpa perkenan Allah. Tidak 
sehelai rambut pun gugur dari kepala kita, kata Yesus, tanpa diketahui oleh Bapa yang di 
sorga! 

Kalau begitu, manusia sendirikah penyebabnya? Manusia tentu bertanggungjawab. 
Tangan mencencang, bahu memikul. Tapi Yesus segera memperingatkan, bahwa belum 
tentu kesakitan dan penderitaan adalah buah kesalahan yang bersangkutan. 

Menjawab pertanyaan murid-murid-Nya, mengenai dosa siapa yang menyebabkan 
seseorang buta sejak lahir? Yesus menjawab, itu bukanlah akibat dosa yang 
bersangkutan! (Yohanes 9:2-3). Tapi "karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan 
di dalam dia". 

Jadi tetap tidak ada satu jawaban yang pasti. Ini disebabkan bukan karena jawabannya 
yang sulit, melainkan karena pertanyaannya yang salah! Seharusnya pertanyaan kita 
bukanlah "mengapa?" atau "apa sebabnya?" atau "siapa yang menyebabkannya?". Semua 
pertanyaan ini menunjuk ke masa lampau. 

Yang Yesus kehendaki adalah kita melihat ke depan. "Oke, sekarang saya sakit. Apa 
yang sekarang dapat dan harus saya lakukan, supaya 'pekerjaan-pekerjaan Allah 
dinyatakan' melalui keterbatasan saya ini?". Kalau bisa begini sikap kita, wah, kita dapat 
menghindarkan banyak frustrasi yang tidak perlu. Sungguh! 



Karena itu doa saya bukan saja supaya saya sembuh. Tapi apakah saya sehat atau sakit, 
saya masih bisa berguna bagi Kerajaan-Nya. Apakah saya sehat atau sakit, saya 
dimampukan menjadi saksi nyata dari kebaikan-Nya. * 

Kesakitan, Megafon Tuhan yang Paling Kuat 
Oleh Eka Darmaputera 

Kita telah membahas betapa "kesakitan" bukan saja merupakan jeritan manusia, tetapi 
juga teriakan Tuhan. "Megafon" atau "pengeras suara" yang dipakai Tuhan untuk 
menggugah kesadaran manusia. Mengapa "kesakitan"? Sebab bisikan halus saja sering 
diabaikan. Sedang bujukan manis sampai ancaman keras pun acap kali tidak dihiraukan. 

Cuma "kesakitan" lah yang berbunyi cukup lantang untuk membuat manusia tersentak. 
Memaksanya menengok memeriksa diri, lalu berpaling kembali kepada Tuhan. 

Sejarah umat Israel membuktikan ini. Ketika hidup mereka mulai mapan dan serba 
kecukupan, begitu kita baca dari Perjanjian Lama, mereka cenderung melupakan Sumber- 
nya. Mereka mengabaikan hukum-hukum Tuhan. Mereka melecehkan peringatan keras 
para nabi. 

Sampai, sebagai akibatnya, mereka masuk ke lubang bencana yang mereka gali sendiri. 
Baru mereka menjerit kesakitan. Baru mereka berteriak minta tolong. Ternyata 
"kesakitan" dan "penderitaan" inilah yang mampu membuat mereka mengenali serta 
mengakui kejahatan-kejahatan mereka, dan menggiring mereka kembali ke pangkuan 
Allah. Bukan kenikmatan atau kesenangan, melainkan kesakitan dan penderitaan. 

Ini tentu tidak ideal. Siapa sih yang menyukai kesakitan? Allah sendiri tidak Ia malah 
dengan tidak jemu-jemunya mengingatkan, " Hati-hatilah, supaya apabila engkau sudah 
makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya, dan apabila 
lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak, dan emas serta perakmu 
bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak, jangan engkau tinggi 
hati, sehingga engkau melupakan Tuhan, Aliahmu, yang membawa engkau keluar dari 
tanah Mesir, dari rumah perbudakan" (Ulangan 8:12-14). Ini yang ideal. Tapi sayang, 
hampir selalu dilupakan orang. 

Yang terjadi adalah, dengan tidak jera-jeranya, manusia mengulangi dan mengulangi 
kesalahan yang sama. Sampai Allah mengeluh, "Lembu mengenal pemiliknya, tapi Israel 
tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tapi umat-Ku tidak 
memahaminya" (Yesaya 1:3). Sehingga terpaksa, dengan "megafon" -Nya - "kesakitan" 
dan "penderitaan" - Allah memanggil manusia untuk kembali. Cara yang menyakitkan 
dan tidak ideal. Tapi perlu. Lagi pula, pilihannya ya cuma satu itu. 



* * * 



"KESAKITAN" dan penderitaan bukan ternyata saja "megafon" Tuhan yang paling kuat, 
tetapi juga paling efektif. Paling berhasil-guna. Paling "ces pleng" 

Anda tidak percaya? Baik - untuk membuktikannya, saya persilakan Anda Anda pergi ke 
ruang tunggu Bagian "Perawatan Intensif (ICU) di rumah sakit mana saja. Philip Yancey 
— dalam "Where is God When it Hurts?" yang sering saya sebut sebagai sumber inspirasi 
rangkaian tulisan ini — dengan amat mengesankan melukiskan apa terjadi di situ. 

Di tempat itu, tulisnya, Anda akan bertemu dengan segala macam jenis orang. Campur 
aduk antara yang kaya, yang miskin, yang perlente, yang kumuh, yang tua, yang muda, 
yang intelektual, yang buta huruf, yang agamis, yang ateis - apa saja. Ruang tunggu ICU 
(barangkali) adalah satu-satunya tempat di bumi ini, di mana perbedaan-perbedaan tak 
secuilpun punya makna apa-apa. 

Beraneka-ragam orang itu diikat menyatu oleh ikatan yang amat kuat, walau mengerikan. 
Yaitu, oleh keprihatinan akan kesakitan serta penderitaan seorang yang amat dekat, 
sahabat atau kerabat, yang sedang sekarat. Kesenjangan sosial-ekonomi dan perbedaan 
agama, serta merta menguap lenyap. Ketegangan rasial serta etnis tak setitik pun 
membekaskan tanda. 

Tidak jarang dua orang yang sebelumnya tak saling mengenal, kini saling merangkul dan 
menghibur, kemudian menangis bareng tanpa malu-malu. Ada yang untuk pertama kali 
merasa terdorong untuk berdoa, atau memanggil pastor atau pendeta. 

Semuanya dipersatukan oleh satu perasaan: alangkah berharganya, tapi juga alangkah 
rapuhnya kehidupan! Ketika orang berada begitu dekat dengan kematian, barulah ia 
menyadari betapa pentingnya kehidupan. 

Ideal sekali, bukan? Ya. Dan yang "ideal" itu dimungkinkan oleh realitas kesakitan dan 
penderitaan! Agaknya cuma "megafon kesakitan"-lah yang terdengar cukup nyaring dan 
bekerja cukup efektif, untuk menggiring beraneka-ragam manusia ini untuk sama-sama 
menekuk lutut mereka dan memalingkan hati mereka kepada Allah. 

Tidak heran, kata Helmut Thielicke, yang ada ialah "pendeta rumah sakit". Tidak ada 
"pendeta rumah makan" atau "pendeta rumah karaoke". 

* * * 

INI tidak berarti bahwa Allah membiarkan "kesakitan", supaya manusia berpaling 
kepada-Nya. Sebab kalau ini benar, wah, alangkah "egois"nya dan "kejam"nya Allah. 
Tega menyakiti anak-anak-Nya, sekadar supaya hasrat dan kepentingan-Nya terpenuhi. 
Tidak! Allah sendiri tidak menyukai "kesakitan". "Kesakitan tidak ada dalam skenario 
penciptaan-Nya. Sang Putra, Yesus Kristus, harus menempuh "kesakitan" dan 
"penderitaan", justru untuk membebaskan manusia dari padanya. 



Tapi yang jelas, ketika "megafon kesakitan" ini berbunyi, Allah sedang mengumumkan 
bahwa ada sesuatu yang salah. "Sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh, 
dan sama-sama merasa sakit bersalin" (Roma 8:22). "Sakit bersalin" artinya, ada 
kesakitan tapi juga pengharapan. 

* * * 

JOHN DONNE adalah penyajak berkebangsaan Inggris pada abad 17. Ia secara langsung 
mengalami perihnya sengatan kesakitan. Bukan cuma istrinya yang amat ia cintai, Anne, 
mati meninggalkannya. Tapi ia sendiri, tak lama setelah itu, didapati mengidap penyakit 
yang tak tersembuhkan, dan yang membuat ia amat menderita. 

Tapi di tengah kesakitannya itu, ia mendengar "megafon Tuhan" . Dari tempat 
pembaringannya, tanpa mampu lagi menulis, ia melahirkan karya-karya terindah yang 
pernah ditulis orang tentang makna kesakitan. Salah satunya adalah Meditation XVII, 
yang seperti dikutip oleh Philip Yancey, antara lain berbunyi, 

"Ketika seseorang meninggal dunia, sebuah bab tidak dicabik keluar dari buku, 
melainkan diterjemahkan ulang ke dalam bahasa yang lebih indah. Setiap bab mesti 
diterjemahkan seperti itu. (Untuk ini) Allah mempekerjakan beberapa penerjemah. 
Beberapa bagian diterjemahkan ulang oleh usia. Beberapa oleh penyakit. Beberapa oleh 
perang. Beberapa oleh keadilan. Tapi tangan Tuhan ada di tiap terjemahan. 

Tangan-Nya pula yang akan mengikat kembali halaman-halaman yang telah terserak- 
serak, untuk ditaruh di perpustakaan di mana setiap buku akan saling terbuka satu 
terhadap yang lain. Demikianlah lonceng (kematian) ini memanggil kita semua. Terlebih- 
lebih aku, yang telah dibawa begitu dekat melalui kesakitan ini". 

Untuk orang lain, kematian adalah sebuah titik; sebuah akhir kehidupan. Bagi Donne, 
kematian adalah sebuah tanda tanya. Apakah aku siap menghadap Dia? Pendek kata, ia 
menyadari betapa hidupnya - bahkan di tempat tidurnya dan di tengah erangan 
kesakitannya - bukan tanpa makna. 

Karena itu ia mengerahkan seluruh daya yang ada padanya, memanfaatkan kesempatan 
khusus ini untuk melatih disiplin rohani-nya. Berdoa, mengaku dosa, menulis sebuah 
jurnal (yang kemudian dijadikan sebuah buku Devotions). Ia memindahkan perhatian 
utamanya, tidak lagi kepada diri sendiri, melainkan kepada yang lain-lain. 

Dalam Devotions, Donne memperlihatkan perubahan sikap yang mencolok terhadap 
"kesakitan". Ia mulai dengan doa agar kesakitan diangkat dari dirinya. Tapi ia 
mengakhirinya dengan doa agar "kesakitan"nya dikuduskan , dan ia dididik melauinya. Ia 
masih mengharapkan mujizat. Namun andaikata itu tidak terjadi, ia tahu Allah sedang 
me"murni"kannya melalui tanur api. 



* * * 



BETAPA jelas, tujuan hidup manusia bukanlah untuk sekadar merasa aman dan nyaman, 
bebas dari persoalan, kesakitan atau tantangan. Sekiranya kita sedikit saja mau peka 
terhadap realitas di sekitar kita, maka kita akan menyadari betapa mustahilnya Tuhan 
menciptakan dunia ini, dengan maksud agar kita berpesta ria. 

Bagaimana kita dapat berpesta ria, bahkan tidur dengan tentram, ketika pada saat yang 
sama kita tahu dua per tiga penduduk dunia pergi tidur dengan perut kosong - setiap 
malam? Sungguh tidak mungkin untuk percaya bahwa tujuan hidup kita adalah untuk 
bernikmat-nikmat, ketika kita menyaksikan penderitaan anak-anak yang harus mencari 
nafkah pengganti orang tua mereka, atau pemuda-pemuda yang membunuh masa depan 
mereka dengan mengikatkan diri pada narkoba, atau apa yang dialami oleh mereka yang 
tercabut dan kehilangan segala-galanya dan kini "terjebak" di kamp-kamp pengungsian. 

Bisa saja kita menutup mata, dan menjadi penganut hedonisme. Tapi semua itu pasti akan 
berakhir, ketika kesakitan dan penderitaan pada akhirnya berlabuh pada hidup kita 
sendiri. Ketika kenyerian dan kengerian setiap detik mengetuk pintu mengganggu 
ketentraman tidur kita. 

Para hedonis, yaitu mereka yang melihat kenikmatan sebagai tujuan, haruslah 
menyumpal telinga mereka dengan kapas banyak-banyak. Sebab megafon "kesakitan" 
dan "penderitaan" sesungguhnya berbunyi amat lantang! * 

Kesakitan, Tuhankah Penyebabnya? 
Oleh Eka Darmaputera 

Ketika saya mempersiapkan tulisan ini, Andreas Suwito-seorang sahabat dekat- 
meninggal dunia sewaktu berselancar-udara di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Padahal ia 
termasuk senior dalam olah raga itu dan, konon, selalu cermat dan hati-hati. 

Hampir bersamaan waktu dengan itu, sebuah helikopter tergelincir dari Lantai 23, 
kemudian jatuh terperosok ke kolam renang Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Mayor Pnb. 
Affandi Malik, Daisy Hermawan, dan Donovan Ardiansyah menjadi korban. Padahal, 
konon, pesawatnya laik terbang. Dan penerbangnya pun pilot berpengalaman. 

Apakah peran Tuhan dalam tragedi-tragedi itu? Apakah Ia sendiri yang memilih dan 
menentukan-dari antara milyaran orang, ribuan atlit olah-raga udara dan pilot di dunia ini 
— , siapa-siapa yang mesti mati hari itu? Apakah Ia sendiri-setelah memeriksa peta dan 
almanak-yang memutuskan lokasi dan saat, di mana dan bilamana orang-orang muda itu 
mesti mati terhunjam ke bumi? 

Apakah Tuhan berperan bagaikan Kepala Tramtib DKI Jaya yang menggusur 
perkampungan liar? "Ya, ayo! Benar, kampung itu, rumah-rumah itu, hancurkan! 
Timbuni dengan tanah longsor! Sapu dengan air bah! Ingat, Tuginah dan Sa-mono boleh 
jadi korban, tapi jangan Pramono dan Supini. Walau mereka tetangga sebelah!" 



Begitukah Tuhan bekerja? Dengan cara seperti itukah Ia menghukum yang berdosa, dan 
memberi pahala mereka yang berjasa? 

* * * 

HAMPIR semua orang yang sedang mengaduh dan mengerang kesakitan, saya yakin, 
percaya bahwa Allah sedang menghukum mereka. Atau paling sedikit, membiarkan 
mereka menderita. Karena itu teriakan mereka: "Duh Gusti!". "Masya' allah". "Ya 
Tuhan!" Semua, dengan caranya sendiri-sendiri, menyebut nama Tuhan. Dengan 
perkataan lain, mereka beranggapan Allah-lah "aktor intelektualis" utama di belakang 
kesakitan mereka. Ah, kalau saja Allah mau bertindak lain! 

Cara berpikir seperti itu memang tak selalu berkonotasi negatif. Tak selalu berarti 
menghujat atau mempersalahkan Allah. Paulus berpendirian seperti itu juga, namun 
sedikit pun ia tidak sakit hati kepada Tuhan. 

Kita pun telah diyakinkan, bahwa-sekiranya datang dari Allah-kesakitan adalah "berkat" 
bukan "laknat". Bahwa kesakitan bisa memperkaya, menggembleng, memurnikan, serta 
mendewasakan spiritualitas kita. Bahwa kesakitan adalah "megafon" Tuhan, yang 
mendorong manusia meng-introspeksi serta mengoreksi diri setiap kali. Itulah, secara 
umum, fungsi dan makna kesakitan. 

Tapi sayang seribu kali sayang, kesakitan tidak pernah menerpa kita "secara umum". 
Kesakitan selalu kita alami sebagai sesuatu yang "spesifik", "khusus", dan "pribadi". 
Kesakitan adalah rasa ngilu yang hebat di setiap persendian saya. 

Kesakitan adalah rasa pening luar biasa, bagaikan buldoser menerjang kepala saya. 
Kesakitan adalah perasaan teraniaya, ketika setiap tarikan nafas harus merupakan 
perjuangan yang amat berat. Kesakitan adalah perasaan sedih, sunyi, patah hati, sakit 
hati. 

Selalu "spesifik". Dan selalu menyiksa. Perasaan tersiksa ini tidak serta merta hilang, 
hanya karena kita "secara umum" sudah mengetahui fungsi-fungsi kesakitan. Karenanya, 
tak ada satu kekuatan pun yang mampu mencegah orang bertanya, "Bagaimana mungkin 
Tuhan yang Pengasih membiarkan siksa seperti ini?" 

* * * 

BILA benar kesakitan adalah "megafon" Tuhan, pertanyaan kita adalah: apa sih yang 
Tuhan ingin sampaikan melalui penyakit liver saya yang tak mungkin tersembuhkan ini? 
Mengapa penyakit ini, mengapa bukan penyakit lain? Mengapa saya, bukan dia? 
Mengapa sekarang, tidak 20 tahun lagi. Spesifik. 

Philip Yancey menuliskan pengalaman yang menarik, ketika di sebuah pesta salah 
seorang sahabatnya dengan wajah serius bercerita, tentang bencana gempa bumi dahsyat 
yang baru saja menimpa suatu wilayah di Amerika Selatan. "Tahukah Anda," demikian 



teman tadi bertanya, "bahwa korban yang beragama Kristen jauh lebih sedikit 
dibandingkan dengan yang bukan Kristen?". 

Walau yakin bahwa tidak ada maksud buruk apa-apa, cerita teman itu toh membuat 
Yancey gelisah. "Sekiranya cara berfikir teman itu benar, wah, apa ya kira-kira dosa 
orang-orang Kristen yang mati itu, sehingga-walaupun jumlahnya kecil-nasib mereka 
disama-ratakan dengan nasib "orang-orang kafir"?" 

Menurut saya, cara berfikir seperti itu sangat tidak kristiani. Sangat "kafir"! Korban 
musibah kok ditanggapi seperti pertandingan sepak bola saja. Kalau Anda mengatakan, 
"Brasil 3 - Prancis 0", tanpa perasaan apa-apa, ini oke-oke saja. Tapi kalau misalnya 
Anda menilai konflik Ambon berdasarkan atas jumlah korban, "Kristen 10 - Muslim 30" 
- lalu "Hureee!"? Saya tegaskan: Anda bukan orang Kristen sejati! Yesus mati bukan 
hanya untuk yang 10 orang, tapi juga untuk yang 30 orang itu. 

* * * 

YANCEY selanjutnya menulis, "Pikiran saya lalu terbawa ke peristiwa-peristiwa tragis, 
yang korbannya justru hampir seluruhnya adalah orang-orang Kristen. Pembantaian 
massal di Armenia; kecelakaan bis yang mengangkut rombongan paduan suara di Yuba 
City, California; banjir besar yang menyapu bersih seluruh kompleks Campus Crusade di 
Estes Park, Colorado; waduk bobol yang menghantam kompleks Sekolah Alkitab di 
Toccoa Falls. Jelaslah, betapa beriman kepada Allah tidak menjamin orang bebas dari 
tragedi!". 

Jadi, apakah Allah berperan dalam kesakitan dan penderitaan manusia? Atau tidak? Bila 
Ia sama sekali tidak berperan, alangkah mengerikannya! Sebab hidup manusia seolah- 
olah dibiarkan bergulir sendiri, seperti mobil yang berlari kencang tanpa ada sopir yang 
mengemudikannya. Tapi bila berperan, apakah perannya? Seberapa besar? Seberapa 
menentukan? 

Menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini, orang Kristen tidak punya pilihan lain 
kecuali mencari jawabannya dari Alkitab. Apakah kata Alkitab, mengenai pelaku dan 
penyebab kesakitan serta penderitaan manusia? Tapi bila itu yang kita lakukan, ternyata 
Alkitab bukanlah "buku kunci" untuk pertanyaan-pertanyaan itu. 

Mengapa? Alkitab tidak punya satu jawaban. Alkitab tidak punya satu teori besar 
mengenai penyebab kesakitan dan penderitaan manusia. Secara sepintas, Alkitab paling 
sedikit punya empat macam jawaban. 

PERTAMA, adalah ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa TUHAN-lah si "biang 
kerok". Dalam Kejadian 38:7 dikatakan, "tetapi Er, anak sulung Yehuda itu, adalah jahat 
di mata Tuhan, maka Tuhan membunuh dia". Allah, bagaikan "pemain tunggal", dengan 
tangan-Nya sendiri bertindak mendatangkan hukuman atas manusia. Allah-lah yang 
berada di belakang sepuluh tulah yang menimpa Mesir. Ia pula yang - sendirian- 
berperang di depan Israel, menghancur- lumatkan bangsa-bangsa Kanaan. 



Namun ini toh baru salah satu pilihan jawaban. Alkitab juga menyajikan pilihan "menu" 
yang KEDUA. Yaitu, bukan Tuhan, melainkan SETAN, yang menjadi penyebab utama 
kesakitan dan penderitaan manusia. Lukas 13:10-18 bercerita mengenai penderitaan 
seorang perempuan. Penderitaannya begitu hebat, hingga ia tidak dapat berdiri tegak. Dan 
juga begitu lama, 18 tahun lamanya. Dan yang menyebabkan semua itu? Lukas jelas-jelas 
mengatakan: ia dirasuk "roh""! (ayat 11) 

Setelah dua macam jawaban itu, eee, ternyata masih ada yang KETIGA. Ini dapat kita 
baca dalam kitab Ayub, dan menawarkan semacam kombinasi atau perpaduan dari dua 
jawaban di atas. Ayub 2:4-7 dengan sangat jelas mengemukakan, bahwa SETAN-lah 
yang menciptakan dan mendatangkan kesakitan, namun dapat melakukan itu hanya 
setelah memperoleh izin dari ALLAH. 

Akhirnya - walau bukan yang terakhir — , adalah jawaban KEEMPAT. Jawaban ini 
seolah-olah dengan setengah mengejek berkata, "Mencari-cari "biang kerok" penderitaan 
kok jauh-jauh amat sih?! "Allah"-lah, "Setan"-lah, "Roh-roh jahat"-lah. Salah semua! 
Bila sakitnya ada pada kita, maka penyebabnya ya juga ada pada kita. As simple as that." 

Pandangan seperti itu adalah ciri khas kitab Amsal yang serbapraktis dan selalu 
membumi. Tanamlah yang jahat, itu pula yang Anda akan tuai! Ikutilah jalan yang salah, 
maka ke tujuan yang salah pula Anda akan tiba! 

"Siapa menggali lubang akan jatuh ke dalamnya; dan siapa menggelindingkan batu, batu 
itu akan kembali menimpa dia." (Amsal 26:27). Alhasil, siapakah biang kerok kesakitan 
Anda? Jawab di empunya Hikmat: ya Anda sendiri! Manusia sendiri! Keempat 
kemungkinan jawaban itu sama-sama menariknya, sama-sama masuk akalnya dan sama- 
sama yangpunya dasar yang kuat di dalam Alkitab. Tapi, di antara yang empat itu mana 
yang benar? Mana yang sebaiknya kita pilih? 

Alkitab bungkam seribu bahasa. Tidak mau menjelaskan mana yang pantas jadi "favorit". 
Tapi kita toh tidak boleh cuma berhenti sambil kebingungan. Kita harus mengubah cara 
kita membaca dan memahami Alkitab. Kita harus mencari "model" jawaban yang lain. 
Sayang sekali, ini baru dapat kita lakukan minggu depan. 

Untuk sementara, yang dapat segera kita simpulkan adalah: ada penderitaan yang tak 
dapat kita hindari, karena kita tidak tahu asal-usul, penyebab, maupun tujuannya. Tapi 
ada pula penderitaan yang sebabnya terletak pada kesalahan kita sendiri. Salah pilih 
mengundang akibat buruk. Wrong choices lead to painful consequenses. Kesakitan ini 
dapat dan harus kita hindari! Untuk sementara, latihlah diri Anda melakukan yang satu 
itu. Pilihlah yang benar, walau mungkin tidak spektakuler. Jangan dulu berpikir yang 
ruwet-ruwet, yang cuma menambah kesakitan. *** 



Kesakitan: Belajar dari Ayub 
Oleh Eka Darmaputera 



Menyimak penjelasan Alkitab mengenai sebab-musabab kesakitan, wah, bisa bingung 
kita. Sebab kadang-kadang berbicara begini, kadang-kadang berbicara begitu. Itu, bila 
kita cuma membaca huruf-hurufnya saja. Tapi kalau kita mau sedikit lebih bersusah- 
payah, yaitu berusaha menangkap jiwanya, kesan kita pasti berbeda. 

Pembahasan yang paling mendalam dan paling menyeluruh di dalam Alkitab mengenai 
kesakitan dan penderitaan, ternyata cuma memunculkan satu kesimpulan saja. Tidak dua, 
tiga atau beberapa. Kesimpulan itu, dapat kita temukan di kitab AYUB. Sebuah kitab 
yang amat tua. Tapi persoalan yang digelutinya, tak pernah lapuk oleh usia. Sebab yang 
dibahasnya adalah persoalan semua orang; persoalan kita; kini, di sini. 

Dalam kitab ini, Ayub diperkenalkan sebagai seorang yang "saleh dan jujur; takut akan 
Allah dan menjauhi kejahatan" (1:1). Anehnya, ia juga kaya raya. Ini yang barangkali 
yang berbeda dengan realitas di zaman kita, bukan? Sebab di zaman kita, mana mungkin 
bisa kaya raya, kalau "saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan"! 

Melalui tokoh kita ini, Allah ingin memperlihatkan tipe seorang yang "ideal" dan 
berkenan di hati-Nya. Karena itu, tulis Philip Yancey, kalau ada manusia di muka bumi 
ini yang tidak pantas menderita akibat perbuatannya, orang itu adalah Ayub. 

Tapi apa yang terjadi? Dalam sekejap semua kekayaan Ayub lenyap. Seluruh anggota 
keluarganya musnah, kecuali istrinya. Tapi kemudian terbukti, istrinya itu cuma 
menambah depresi sang suami. Lalu kesakitan menjamah langsung tubuh Ayub. Ia dibuat 
menderita sangat oleh penyakit kulit yang hebat, yang menyerangnya dari ubun-ubun 
kepala sampai ke telapak kaki. 

Hanya dalam hitungan hari — mungkin jam — seluruh kutuk neraka seolah-olah 
ditumpahkan ke setiap relung kehidupan Ayub. Tanpa ada yang disisakan atau 
di"dispensasikan". Namun toh dalam bayangan saya, yang paling menyakitkan bagi 
Ayub, bukanlah yang saya sebutkan itu. Melainkan "rasa ditinggalkan"; "rasa dikhianati". 

* * * 

BETAPA tidak. Selama ini ia percaya dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah 
yang pengasih dan adil. Tapi apa yang ia alami? Seratus persen bertolak belakang! 
Karena itu, seperti kita, wajarlah bila yang secara spontan meluap dari hatinya dan 
terucap dari mulutnya, adalah pertanyaan: "Mengapa semua ini?" Mengapa saya? Apa 
salahku? Apa sih yang sesungguhnya dimaui Tuhan? 

Kepada Ayub disajikan dua pilihan jawaban, yang semuanya ditolaknya mentah-mentah. 
Pilihan pertama diberikan oleh teman-temannya. Kata mereka, "Benar, Yub, melalui 
kesakitanmu Tuhan memang ingin mengatakan sesuatu. Sebab tidak ada akibat tanpa 
sebab, 'kan? Tuhan tidak mungkin bertindak sembarangan. Kepada yang setia, Ia 
menyediakan pahala. Kepada yang berdosa, Ia menyediakan hukuman. Fair! Karena itu, 
Yub, demi kebaikanmu sendiri, berhentilah mengeluh. Akui dosa-dosamu!" 



Pilihan kedua dikemukakan oleh sang istri. "Ah, sudahlah, Bang, berhentilah merajuk! 
Sebab apa kubilang? Tuhan yang Abang ikuti dengan setia itu, ternyata tidak setia, 
bukan? Juga - berbeda dengan yang Abang selalu bilang - tidak pengasih dan penyayang. 
Omong kosong semua itu, bah! Ia sama saja seperti dewa-dewa lain, senang pamer kuasa 
dan gemar mempermainkan manusia. Karena itu: "Kutukilah Aliahmu dan matilah!" (1:9) 

Ayub sempat "grogi" juga. Nyaris terhanyut ke dalam pemikiran, bahwa Allah itu sadis 
dan semena-mena. Senang "mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah" 
(2:23). Dan sayangnya, "tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami 
berdua!", guna memberi keadilan (2:33). Sehingga kejahatan tidak selalu mendapat 
hukuman, sebaliknya kebaikan tidak otomatis mendatangkan ganjaran. 

* * * 

SUNGGUH menarik mengikuti perdebatan antara Ayub dan teman-temannya. Emosi 
Ayub sering meledak-ledak. Sebaliknya, sahabat-sahabatnya tetap tenang, dingin, 
rasional. Pandangan teologi mereka pun jernih, teguh, "sehat" . Orang sering tergoda 
lebih sepakat dengan para sahabat, ketimbang dengan Ayub. 

Menurut Yancey, ini wajar semata.. Sebab, katanya, argumentasi para sahabat itu 
memang amat mirip dengan pandangan konvensional orang-orang Kristen sekarang! 
Boleh saja kita katakan, hati kita tertuju kepada Ayub. Tapi betapa sering, tanpa kita 
sadari, sikap kita adalah sikap para sahabat! 

Secara fundamental, Ayub menolak pemahaman teologi mereka. Ia tetap bersikeras 
bertahan, bahwa tidak seharusnya dan tidak semestinya ia mengalami kesakitan seperti 
itu. Ia memang tidak lebih suci dibandingkan orang-orang lain, tapi pasti juga tidak lebih 
berdosa. Apalagi bila dibandingkan dengan mereka yang sehat dan makmur, tapi 
sebenarnya koruptor, munafik, dan penjilat. 

Namun demikian, ini tidak berarti ia punya alasan yang sah untuk meninggalkan Allah. 
IA MEMANG TIDAK LAYAK MENDERITA, TAPI ALLAH TETAP LAYAK 
MENERIMA KESETIAANNYA! 

Di sinilah keindahan, keunikan dan kehebatan isi kitab Ayub! Yaitu bahwa kesetiaan kita 
kepada Allah, tidak boleh kita gantungkan kepada apakah Ia memberikan yang kita 
inginkan atau tidak. Ini adalah mental pengemis dan pengamen murahan! Kualitas iman 
yang paling rendah! Ketika senang, Tuhanku sayang; tapi ketika sedikit saja 
dikecewakan, Tuhanku malang. 

Yang menarik adalah, Tuhan lebih berpihak kepada Ayub ketimbang kepada para 
sahabat. Ya, walaupun para sahabat itu dengan gigihnya membela Allah. Seperti kata Gus 
Dur, Allah tidak perlu dibela! Allah berkata, "Murka-Ku menyala terhadap kalian, karena 
kalian tidak berkata benar tentang Aku, seperti hamba-Ku Ayub" (42:7). 



Kalau benar teologi para sahabat itu mirip dengan teologi kita sekarang, maka penilaian 
Allah ini punya implikasi serius. Yaitu, secara tidak langsung, Allah juga 
mempersalahkan kita! Kita mesti segera mengintrospeksi diri serta melakukan koreksi. 
Untuk itu, kita perlu mengetahui dulu, apa sebenarnya isu yang paling pokok dan pesan 
yang paling utama dari kitab Ayub. 

* * * 

MENURUT Philip Yancey, isu paling pokok dari kitab ini adalah: APAKAH MANUSIA 
BENAR-BENAR BEBAS? Atau, serba tergantung dan terkondisi? 

Setan mewakili pendapat yang mengatakan, bahwa manusia itu tidak bebas melainkan 
serba terkondisi. Manusia, menurut Setan, terkondisi untuk taat dan setia kepada Allah. 
Tidak benar-benar mengasihi Allah! "Cabutlah semua kemudahan dan fasilitas, dalam 
sekejap ia pasti akan berbalik melawan Allah!". 

Sebaliknya Allah hendak membuktikan, bahwa kebebasan itu ada. Bahwa kasih dan 
kesetiaan Ayub kepada Allah, adalah hasil pilihan dan keputusan yang bebas. Ada atau 
tidak ada fasilitas - bahkan di tengah penderitaannya yang ekstrem — , Ayub tetap akan 
memperlihatkan kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah! 

Kisah Ayub yang sepintas terasa sangat tragis, adalah ajang pembuktian siapakah yang 
benar: Tuhan atau Setan? Manusia itu punya kehendak bebas, atau tidak? Apakah ada 
cinta yang tulus, tanpa pamrih dan tanpa syarat, atau selalu ada "udang di balik batu?" 
Sekiranya Ayub sampai murtad, ini berarti Iblis menang. Iman yang tulus itu tidak ada. 
Kasih yang tanpa pamrih juga tidak ada. 

* * * 

TERBUKTI Ayub - dengan segala kepahitan dan kegetirannya - berhasil 
mempertahankan loyalitasnya. Dan ini sangat dihargai oleh Tuhan. Sebab Ia memang 
mengharapkan orang-orang yang MENCARI DIA, BUKAN TERUTAMA KARENA 
PEMBERIAN-NYA. TETAPI SEMATA-MATA KARENA DIA ADALAH DIA - 
ADA ATAU TIDAK ADA YANG DIBERIKAN-NYA. 

Tuhan menginginkan iman berkualitas nomor satu. Orang-orang Kristen yang tidak 
ber"mental pengemis", yang mendekat hanya karena ada yang diharap. Melainkan orang- 
orang yang ber"mental patriot". Orang-orang Kristen yang dengan tulus berkata, "Saya 
rasa tidak sepantasnya saya harus menanggung kesakitan ini. Tapi bagaimana pun, Tuhan 
tetap pantas menerima kasih dan kesetiaan saya. (Sebab) apakah saya mau menerima 
yang baik dari Allah, tapi tidak mau menerima yang buruk? (1 : 10)". 

Dengan latar belakang pemikiran demikian, seharusnya pahamlah kita sekarang, 
mengapa Tuhan membiarkan kita hidup di tengah-tengah dunia yang "tidak fair". Kita 
tentu memimpikan sebuah dunia yang serba "fair", di mana yang baik diberkati, dan yang 
jahat dibasmi. Dan anak-anak Tuhan yang baik tak usah menderita. Fair, bukan? 



Ya. Tapi bila "dunia yang fair" seperti itulah yang Ia karuniakan, maka Tuhan tidak 
ubahnya akan seperti orang tua, yang tak pernah membiarkan anaknya belajar berjalan 
sendiri, karena takut anaknya jatuh dan terluka. Ia mengurung anaknya di dalam kamar 
yang "aman". Di mana di situ tersedia lengkap makanan, permainan dan semua 
kebutuhan. Kecuali kebebasan. 

Aman dan nyaman. Tapi Anda pasti bisa menebak, anak macam apa yang akan 
dihasilkan oleh "Allah yang fair" seperti itu. Menjadi anak seperti itukah, harapan Anda? 
Dunia dan kehidupan seperti itukah, yang Anda idam-idamkan? Atau sebuah dunia yang 
mungkin tidak "fair", dunia yang mungkin sarat dengan penderitaan - dunia Ayub — , tapi 
dunia di mana cinta yang tulus dan merupakan hasil keputusan bebas — bukan cinta 
otomatis — dimungkinkan? *** 

Wawancara Eka Darmaputera: 
Pluralis Sekaligus Eksklusivis 

GloriaNet - Hisanori Kato adalah seorang doktor sosiologi lulusan Universitas Sydney, 
dengan perhatian khusus kepada hubungan antaragama di Indonesia. Dalam sebuah 
kesempatan yang amat langka, terutama setelah sakit saya yang terakhir, saya 
mengabulkan permintaannya melakukan wawancara. 

Wawancara dilakukan dalam dua "bahasa". Ia berbahasa Inggris logat Jepang- Australia, 
sedangkan saya berbahasa Inggris logat Jawa-Indonesia-Amerika. Berikut ini saya 
narasikan kembali wawancara tersebut. 

Maaf, saya datang satu jam lebih cepat. 

O, tidak mengapa. Supaya nanti kita juga selesai lebih cepat. Oke, apa yang akan kita 
bicarakan? 

Bagaimana penilaian Anda tentang hubungan antaragama di Indonesia sekarang ini? 
Hubungan antara beberapa pribadi dan kelompok tertentu berjalan baik sekali. Tetapi, 
hubungan antarkomunitas, khususnya di beberapa tempat, buruk sekali. Orang yang 
mengatakan tidak ada masalah apa-apa, dan keadaan baik-baik saja, adalah pembohong. 
Bayangkan, seorang teman saya hampir saja dibatalkan perjanjian kontrak rumahnya, 
hanya gara-gara ketahuan bahwa ia orang Kristen. Ini terjadi di Jakarta. 

Mengenai Ambon dan Poso, bagaimana? 

Menurut saya, itu adalah bukti, bahwa persoalannya bukanlah "antaragama", tapi 
"antarkomunitas agama". Bahkan lebih rumit daripada itu. Anda tahu, entah berapa kali 
para pemimpin agama itu menandatangani pernyataan bersama, diarak-arak berkeliling 
kota, mengimbau umatnya masing-masing untuk menghentikan permusuhan, tapi 
hasilnya nihil. Ini artinya, persoalannya bukan di situ dan kuncinya tidak pada mereka. 



Kalau bukan di situ, lalu di mana? 



Bila Anda ingin jawaban yang rumit, bisa. Tapi jawaban yang amat sederhana, pun ada. 
Orang-orang yang bertempur di lapangan itu kan ibarat "ayam sabung" belaka. 
Dimanjakan. Kalau menang, bangga. Padahal, mereka cuma diadu, demi kepentingan si 
pemilik. Kalau kelelahan, dielus-elus, tapi lalu dikilik-kilik lagi. 

Siapa pemilik atau pengilik itu? 

Wah, jangan tanya saya, dong. Lha wong BIN (Badan Intelijen Negara) saja tidak tahu, 
apalagi saya. Yang jelas aparat tidak cukup serius, tidak cukup tegas, dan tidak cukup 
berani menangkap si "biang kerok". Atau, kemungkinan lain, ya mereka memang pandir. 

Apakah menurut Anda, itu berarti bahwa dialog yang terjadi di lapisan atas selama ini, 
tidak berhasil di- "turun" -kan ke bawah? 

Tidak berhasil di-"sosialisasi"-kan sampai ke tingkat grass-root adalah satu hal. Tapi 
kalau pun berhasil di-"turun"-kan, apa sih yang mau di-"turun"-kan? 

Menurut Anda? 

Menurut saya, di situ justru salah satu akar masalahnya. Kita tanpa sadar menganut 
paradigma yang keliru. Kita menyangka bahwa persoalan pokoknya adalah masalah 
hubungan antaragama atau masalah hubungan antarkelompok agama. Katakanlah, 
hubungan antara Islam dan Kristen. Tapi benarkah itu masalahnya? 

Saya tidak tahu. 

Menurut saya, tidak. Yang menjadi dan membuat persoalan menurut saya adalah sayap 
tertentu — katakanlah "sayap kanan" — yang ada pada kedua komunitas, baik Islam 
maupun Kristen. Mereka itu masalahnya. Jadi seharusnya pemecahan masalah kita juga 
mesti dicari di jalur itu. Secara lintas agama, bersama-sama. Lintas agama tidak dijadikan 
bahan dialog, tapi wahana pemecah persoalan. 

Saya masih belum terlalu jelas menangkap maksud Anda. 

Begini. Kalau masalahnya cuma "dialog antaragama"; o, ini sudah terjadi entah berapa 
ratus kali. Paramadina, Madia, Dian, ICRP, dan banyak lagi yang lain telah 
menyelenggarakannya. Gus Dur, Hasyim Muzadi, Romo Kardinal, Cak Nur, Djohan 
Effendy, Komarudin Hidayat, Habib Chirzin, Ulil (Ulil Abshar Abdalla, -Red) saya — 
entah berapa kali kami bertemu. Jadi dialog antarkelompok agama terjadi. 

Tapi kalau yang ketemu orang-orang itu, ya tidak terjadi apa-apa, sebab masalah tidak 
terletak pada mereka. Gus Dur menamsilkannya sebagai "kelompok arisan". 
Persoalannya erat sangkutannya dengan "kelompok-kelompok tertentu" yang terdapat 
pada kedua komunitas. 

Sekali lagi, dalam jalur dan perspektif itu kita seharusnya berjalan ke depan. Tidak 
membicarakan masalah lintas agama, tapi ber-"lintas agama" membicarakan dan 
menghadapi masalah bersama. 



Satu pertanyaan lagi. Dalam percakapan antaragama, sebagaimana Anda tahu, dikenal 
tiga macam tipe sikap, yaitu eksklusif, inklusif, dan pluralis. Anda termasuk kategori 
mana? 

Mesti jelas dulu apa yang kita maksudkan dengan istilah-istilah tersebut. Kalau saya, 
secara sederhana, biasanya menjelaskannya prinsip kaum eksklusivis adalah: "Saya pasti 
selamat, Anda pasti binasa". Kaum inklusivis: "Saya pasti selamat, boleh jadi beberapa 
dari Anda mungkin selamat". Kaum pluralis: "Saya selamat, Anda selamat, tak peduli 
agama apa". Itukah yang Anda maksudkan? 

Ya, kira-kira. 

Menjawab pertanyaan Anda, dengan jujur saya katakan, bahwa saya tidak melihat diri 
saya sepenuhnya berada di kategori mana pun. Pada dasarnya saya adalah seorang 
pluralis. Sebab keselamatan bergantung kepada Yesus, tidak kepada agama. Namun 
dalam hal-hal tertentu saya eksklusivis, dan dalam hal-hal tertentu yang lain saya 
inklusivis. Harus begitu. 

Seorang pluralis sejati harus menghormati integritas agama orang lain seperti apa adanya. 

Anda setuju? 

Tentu. 

Termasuk klaim-klaimnya yang eksklusif, kalau ini adalah bagian integral dari 
keyakinannya? 

Ya. Lha kalau klaim iman orang lain yang eksklusif saja saya hormati, apalagi klaim 
iman saya sendiri — betapa pun eksklusifnya, bukan? Saya tidak bisa memaksa orang lain 
mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan. Tapi seperti 
saya menghormati iman orang lain, orang lain juga harus menghormati integritas iman 
saya yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat satu-satunya. Dengan 
syarat, mempropagandakan kecap sendiri, dengan tidak perlu mendiskreditkan kecap 
orang lain. Seorang pluralis sejati, dalam hal-hal tertentu, adalah eksklusivis -- tak bisa 
lain. 

Tapi Th Sumartana mengatakan bahwa teologi Kristen, khususnya yang eksklusif, harus 
dirumuskan ulang. Pendapat Anda? 

Saya punya dua komentar. Pertama, siapa yang akan mengerjakan proyek raksasa itu? 
Mungkin masih harus menunggu lahirnya seorang Thomas Aquinas yang lain dulu. Dan 
lebih serius, jangan-jangan pekerjaan akademis seperti itu, yang akan menyita sebagian 
besar waktu, sehingga hal-hal yang lebih praktis dan lebih mendesak yang dapat 
dikerjakan justru tak terkerjakan. 

Kedua, apakah Sumartana juga menuntut semua agama melakukan hal yang sama? Kalau 
tidak, ya kurang adil bukan? Walaupun saya an sich tidak menolak ide itu, tapi menurut 
saya yang jauh lebih penting ketimbang mencari perumusan baru, adalah melakukan 
pemahaman baru atas perumusan-perumusan lama. Dan ini jangan dijadikan tugas 
akademis, melainkan tugas pendidikan umat. 

Kali ini benar-benar terakhir. Apa sebenarnya visi Anda tentang dialog antaragama? 



Saya berterima kasih Anda menanyakannya. Saya jawab ringkas-ringkas saja, ya. 
Pertama, sekalipun saya seorang aktivis gerakan dialog antaragama, saya sebenarnya 
tidak happy dengan adanya gerakan itu sendiri. Mengapa? Karena itu berarti, agama 
menjadi pokok persoalan. Padahal agama kan mestinya menjadi faktor yang ikut 
memecahkan persoalan. 

Kedua, saya juga tidak terlalu bahagia, karena menurut pendapat saya, agama di 
Indonesia sudah overdosis. Yang seharusnya kita lakukan bukanlah "mengagamakan 
masyarakat", melainkan "memasyarakatkan agama". 

Maksud saya, mengembalikan fungsi agama sebagai perekat sosial yang paling vital, 
seperti yang dikatakan Emile Durkheim dan sebagainya. Karena itu, ketiga, saya akan 
berbahagia, kalau pada suatu ketika gerakan dialog antaragama ini tidak perlu ada lagi. 

(Terkejut dan terbangun dari kantuknya) Maksud Anda? 

Maksud saya, saya merindukan saat di mana agama berhenti berdialog di antara mereka 
sendiri, tetapi bersama-sama bekerja untuk kesejahteraan bersama. Saat di mana dialog 
formal digantikan oleh dialog fungsional. 

Jadi motivasi Anda ikut aktif dalam kegiatan dialog antaragama? 

Ya, ikut saja tanpa berpretensi apa-apa. Sambil berbuat apa yang bisa diperbuat. Tapi 
secara umum, saya ambil bagian dalam gerakan itu, adalah untuk membuatnya pada satu 
saat ia tidak diperlukan lagi. Tidak diperlukan lagi, karena sudah tidak ada persoalan lagi. 
Impian besar, bukan? 

Wah, "orisinal" benar jawaban-jawaban Anda. Saya sebenarnya ingin berjam-jam lagi 
mendiskusikannya. Tapi sayang, waktu sudah habis. Saya mengucapkan banyak terima 
kasih untuk waktu yang telah diberikan. Nanti pada peluncuran buku saya (tentang 
Masyarakat Madani), bulan Oktober, mudah-mudahan Anda bisa hadir. 
Terima kasih kembali. Tolong sampaikan salam saya khususnya untuk Kang Sobary. Ia 
masih betah di Antara? 

* * * 

Ia pergi. Saya tidak tahu apakah saya telah menolongnya dengan wawancara ini. Tetapi, 
yang jelas, Anda bisa menolongnya, bila Anda dapat mencarikan sebuah universitas, 
untuk ia mengajar di Jakarta, seperti yang amat diinginkannya. (Suara Pembaruan 
100802) 



Supremasi Hukum Bukan Segalanya 
Oleh Eka Darmaputera 



Banyak orang beranggapan bahwa sekiranya saja supremasi hukum betul-betul 
dijalankan dan kepastian hukum dilaksanakan, semua carut-marut negeri ini akan beres 
dengan sendirinya. Krisis panjang ini pun segera akan tamat riwayatnya. 

Mengapa? Tertib hukum, begitu mereka berkata, akan menjamin investasi modal luar 
negeri kembali antri mengalir masuk dengan derasnya. Iklim dunia usaha Indonesia jadi 
nyaman dan bergairah yang pada gilirannya akan merangsang miliaran dolar yang selama 
ini di-"parkir" di luar negeri pulang kandang. 

Tidak cuma itu. Konflik-konflik, semisal di Maluku dan Poso, yang seolah-olah telah 
menjadi "borok" yang membusuk di tubuh kita — sebentar mengering sebentar meradang 
— dan tak mempan dilawan dengan "antibiotik" apa pun, akan berhenti tiba-tiba. Tingkat 
laju kemakmuran dan kesejahteraan menaik tajam. 

Sementara itu, kriminalitas akan menurun drastis. Apalagi yang disebut "KKN": korupsi, 
kolusi, dan nepotisme. Uh, pasti mati kutu! Lalu Indonesia kembali jadi sorga! Lalu 
Indonesia kembali jaya! 

Indonesia Jaya, sudah pasti, adalah doa serta kerinduan kita semua. Namun, 
pertanyaannya adalah benarkah semua yang dikatakan itu? Benarkah supremasi serta 
kepastian hukum adalah penentu segala sesuatu? 

Tentu tak salah mengatakan bahwa keduanya — kepastian serta supremasi hukum — 
sangat penting dan amat menentukan. Negara apa pun di seluruh dunia yang pantas 
disebut aman, makmur, dan sejahtera, tidak ada yang tidak menjamin kepastian serta 
supremasi hukum di negerinya. 

Pelanggaran hukum tentu ada. Mungkin banyak. Namun, setiap pelanggaran hukum yang 
kedapatan pasti ditindak tegas, tanpa pandang bulu, sesuai dengan hukum yang berlaku. 
Ingat kasus Chun Do Hwan dan Roh Tae Wo, keduanya mantan presiden Korea Selatan, 
bagaimana mereka diperlakukan di pengadilan? Dan sekarang putra ketiga Presiden Kim 
Dae Jung. 

Tak perlu diragukan, betapa saya dan amat banyak orang lagi sangat merindukan 
ditegakkannya hukum secara konsisten dan konsekuen. Sudah muak betul kita melihat 
bagaimana hukum dilecehkan dan aturan diinjak-injak, justru oleh mereka yang 
seharusnya menegakkannya. Dan toh masih tanpa malu-malunya, mereka berani 
menyebut diri "penegak-penegak hukum" dan "pelayan-pelayan masyarakat"! Muka 
badak betul! 

* * * 

Jalankan hukum dan tegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu! Jangan kalau untuk 
pejabat atau mantan pejabat atau anak presiden, yang ditinjau dari logika mana saja sudah 
jelas-jelas koruptor besar, kepadanya diberlakukan asas "praduga tak bersalah", tapi bila 



tersangkanya cuma maling kelas teri, yang diberlakukan adalah prinsip "gebuk dulu 
sampai remuk, supaya mengaku". 

Kemunafikan dan kesewenang-wenangan seperti ini amat memuakkan. Ketidakadilan 
yang telanjang seperti ini sangat melukai hati rakyat. Yang tidak merasa terluka, tidak 
pantas disebut "rakyat" ! 

Ada hubungan timbal balik antara "kesejahteraan masyarakat" dan "kepastian hukum". 
Saya setuju! Kalau masyarakatnya jauh dari sejahtera, mustahil penegakan hukum dapat 
dilaksanakan dengan konsekuen. 

Perut lapar cenderung tidak mempedulikan aturan. Itu sebabnya selama tingkat 
pengangguran masih tinggi, mustahil membersihkan jalan-jalan dari para pedagang kaki 
lima. Kecuali, mungkin, dengan mengerahkan demonstran bayaran, seperti yang pernah 
dilakukan oleh seorang wali kota. Ironisnya: bapak kita ini mau menegakkan hukum 
dengan cara melanggar hukum! 

Sebaliknya, tidak mungkin pula meningkatkan kesejahteraan rakyat, tanpa menegakkan 
kepastian hukum. Itulah yang pertama-tama dilakukan oleh Lee Kuan Yew, begitu 
partainya menang pemilu. 

Mengubah Singapura dari "negara gangster" menjadi negara-kota yang paling "tertib 
hukum" di dunia. Ia mengatur warganya, mulai dari soal makan permen karet, buang 
ludah, sampai soal siapa yang memperoleh prioritas untuk hamil. Ironisnya: keadilan 
ekonomi ingin dibangun tanpa keadilan politik. 

* * * 

Jadi bagaimana mengatasi dilema ini? Tidak mudah. Tapi yang pertama-tama harus kita 
sadari adalah: betapa pun penting dan menentukannya supremasi hukum, ia bukan yang 
terpenting, dan tidak boleh diperlakukan sebagai segala-galanya! Anarkisme jangan 
diatasi dengan legalisme. Kedua-duanya racun. 

Masih dalam rangka "Kotbah di Bukit" — Magna Charta-nya Tata Dunia Baru — Yesus 
bersabda, "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum 
Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk 
menggenapinya". 

Dengan pernyataan ini, secara tegas Yesus menjelaskan posisi-Nya. "Kebebasan" yes, 
"kebablasan" no! 

Karenanya Ia menampik baik anarkisme maupun nihilisme. Allah yang Ia 
representasikan, adalah Allah yang tertib. Allah "kosmos", bukan Allah "khaos". Ia pun 
amat menghormati hukum. "Selama belum lenyap langit dan bumi ini," kata-Nya, "satu 
iota dan satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat". 



Untuk apa penegasan yang agak "berlebihan" ini? Mengapa Yesus mengawali 
pernyataan-Nya dengan, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk 
meniadakan hukum ..."? Sebabnya adalah, karena banyak orang yang salah sangka. 

Yesus ditentang dan dimusuhi, khususnya oleh para ulama, karena dalam tindak-tanduk- 
Nya sehari-hari, Ia dianggap mengabaikan dan melecehkan hukum, tradisi dan aturan 
agama. 

Orang-orang Yahudi amat menghormati Musa dan hukum-hukum yang disampaikan 
melalui-nya. Tapi apa kata Yesus? Dengan nada seolah-olah menantang, Ia berkata, 
"Musa mengatakan begitu, tapi Aku mengatakan begini". Di mata mereka, Yesus adalah 
"urakan" yang tak peduli aturan dan tata krama. 

Tuduhan tersebut tidak seluruhnya salah. Yesus memang sering "nyeleneh". 

Tidak patuh pada apa yang tersurat dalam hukum. Kadang-kadang Ia tidak mencuci 
tangan sebelum makan. Tidak mengharuskan murid-murid-Nya berpuasa. Malah 
menyembuhkan orang pada hari Sabat. Dan sebagainya. Jadi cukup beralasan bila para 
ulama Yahudi menjadi berang dibuat Yesus. 

* * * 

Namun, Ia toh mengatakan, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk 
meniadakan hukum ...." Ia menolak disebut "anti-nomian" atau tidak peduli aturan. 
Bagaimana menjelaskan ini? Tidak sulit, sebenarnya. 

Yesus memang sering tidak mematuhi hukum yang "tersurat" serinci-rincinya. Namun 
demikian ini dilakukan-Nya, justru demi memelihara serta menggenapi apa yang 
"tersirat". Sebab keduanya — "yang tersurat" dan "yang tersirat" — di dalam praktik, tidak 
selalu identik. 

Secara umum dapat dikatakan, bahwa apa yang "tersirat" nyaris dapat dijamin. Yang 
tersirat adalah yang mewakili situasi ideal yang dirindukan dan dikehendaki oleh 
manusia. Tidak ada kan orang yang menginginkan yang tidak baik? 

Tetapi ketika "yang tersirat" itu hendak di-"kongkret-"kan dalam bentuk "tersurat", di 
sinilah sering muncul masalah. Dalam bentuknya "yang tersurat", atau "hukum formal", 
ia tidak selalu dan tidak otomatis baik. Paling-paling baik untuk satu situasi tertentu saja, 
atau baik untuk orang-orang tertentu saja. 

Mengapa demikian? Karena kehidupan serta tingkah laku manusia itu begitu kaya 
nuansa, sehingga mustahil terekam dan terumuskan lengkap ke dalam "huruf-huruf dan 
"kata-kata". Roh menghiupkan, kata-kata cenderung mematikan. Mem-"baku"-kan selalu 
mengandung risiko mem-"beku"-kan. 



Contoh yang sangat jelas adalah ini. Siapa yang bisa mengatakan bahwa "kerukunan 
beragama" itu buruk? Pasti tidak ada! Dan siapa bisa menolak bahwa kerukunan 
beragama itu mesti dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya, dan karena itu perlu dibuat 
aturan untuk itu? Saya kira, semua setuju. Yang tersirat, selalu baik. 

Tetapi begitu yang baik yang "tersirat" itu dijadikan peraturan yang "tersurat", apa yang 
kita lihat? Produk hukum yang berupa "Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan 
Menteri Agama tentang Pembangunan Rumah Ibadah" yang terkenal itu, justru menjadi 
produk hukum yang amat buruk, amat tidak adil, dan amat diskriminatif! 

Ia merusak baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Atau kalau pun ada yang 
mengatakan bahwa peraturan itu baik, peraturan itu cuma baik untuk satu golongan saja. 

Hukum "yang tersurat" tidak otomatis baik, karena yang membuat dan merumuskannya 
adalah manusia. Nota bene manusia yang punya kepentingan pribadi, dan karenanya 
mustahil membuat aturan yang bakal merugikan dirinya sendiri — walaupun itulah 
sebenarnya yang adil dan yang benar. Karena itu tidak jarang, atau malah hampir selalu, 
hukum dan undang-undang dibuat untuk melindungi kepentingan pembuatnya — 
walaupun jelas-jelas tidak adil dan tidak benar. 

Mengapa, misalnya, proses amandemen UUD 1945 berjalan maju-mundur? Bukan 
karena orang-orang di PAH-I BP.MPR itu tidak tahu apa yang benar dan apa yang baik. 
O, kalau tentang prinsip umum seperti itu, saya jamin, konsensus akan segera dapat 
dicapai dalam beberapa menit. 

Namun, ketika yang umum harus dirumuskan dan dirinci secara kongkret, dan mesti 
dirumuskan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin semua kepentingan 
terakomodasi, di situlah terjadi proses tarik-ulur dan dagang sapi terjadi, 

Karena itu, bagi Yesus, supremasi hukum bukan segala-galanya. Tentu saja! Sebab kalau 
yang di-"supremasi"-kan itu adalah produk-produk yang "konyol" seperti itu, bayangkan 
sendiri apa akibatnya. 

Kita tidak boleh lupa, bahwa semua tirani di dunia ini, semua pelanggaran HAM di muka 
bumi ini, dan semua bentuk ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan dari yang biadab 
sampai yang terselubung, semuanya itu sah dan punya dasar hukum! Artinya, memenuhi 
"asas legalitas". Legal, tapi tanpa moral. 

Bagi Yesus, ada yang lebih tinggi dari pada supremasi hukum. Yang lebih tinggi itu 
adalah martabat manusia. Karena itu, Ia mengatakan: "Hukum diciptakan untuk manusia, 
bukan manusia diciptakan untuk hukum". Apa pun yang menginjak-injak martabat 
manusia, betapa legal-nya sekali pun, ia salah. Ia jahat. 

Bagi Yesus ada yang lebih tinggi dari pada supremasi hukum. Yang lebih tinggi itu 
adalah supremasi keadilan dan kebenaran. Karena itu, betapa pun legal-nya, suatu produk 



hukum yang tidak adil dan tidak benar, kehilangan legitimitasnya. Dan yang paling 
penting, adalah : Sang Pemberi Legitimitas dan Sang Sumber Hukum itu sendiri: Tuhan! 

Penyanyi dan Nyanyiannya (Refleksi Matius 5:21-48) 
Oleh: Eka Darmaputera 

ANDAIKATA Yesus adalah mahasiswa sekolah teologi, lalu saya dosen homiletika-(= 
ilmu khotbah)-Nya, "KHOTBAH DI BUKIT" akan saya beri nilai B. Artinya baik, tapi 
toh tidak istimewa-istimewa banget. 

Metode penyampaiannya, saya nilai bagus. Lumayan kreatif dan komunikatif. Tidak 
seperti gaya sebagian pendeta kita yang kaku bagaikan di-"super-glue", atau seperti arca, 
tak pernah beranjak setengah inci pun dari tempatnya. 

Yesus tidak. Kata Matius, "Melihat orang banyak itu, Ia naik ke atas bukit". Bayangkan, 
berkhotbah dari lereng bukit! Wow, romantisnya! 

Sewaktu berbicara, mata-Nya tidak cuma terpancang ke kertas, atau melulu mendongak 
ke atas. Tidak berkhotbah bak latihan membaca, dan yang mendengarkannya seperti 
menonton deklamasi. 

Menurut Matius, Ia "melihat ke orang banyak". Ia memelihara "eye-contact" atau "kontak 
mata" dengan para pendengar-Nya. Membuat orang merasa disapa secara pribadi. Sebuah 
faktor penting dalam komunikasi. 

Adapun mengenai isinya, khotbah Yesus saya nilai oke. Bahasanya sederhana, mudah 
ditangkap. Walau pasti tidak membuat segala sesuatunya jadi bening, paling sedikit Ia 
tidak bikin orang tambah pening. 

Penyampaian pesannya padat, ringkas, tepat ke sasaran. Ibarat ke Sukabumi, langsung ke 
Ciawi, tidak putar-putar dulu ke Sukamandi. 

Kemudian ada satu hal lagi yang amat penting untuk diketahui dan diteladani oleh setiap 
pengkhotbah. Apa itu? Khotbah di Bukit, tak salah lagi, adalah khotbah yang tegas, 
tajam, menempelak. Yang menuding tanpa tedeng aling-aling. Yang mengecam tanpa 
sembunyi tangan. 

Dengarlah, misalnya, tiga yang berikut ini! "Jika matamu menyesatkan, cungkillah ... jika 
tanganmu menyesatkan, penggalah dan buanglah". "Jika kamu berdoa, janganlah berdoa 
seperti orang munafik "Jangan memberikan barang yang kudus kepada anjing, dan 
jangan kamu lempar mutiaramu kepada babi 

Tajam dan menusuk, ya, tapi tidak menyakiti hati atau melukai pribadi. Yesus 
mengingatkan bahwa tujuan sebuah khotbah adalah mengajak mereka yang bersalah agar 
sadar dan bertobat. Bukan menghukum, dengan membuat orang malu dan sakit hati. 



Sebuah pelajaran bagi para pengkhotbah yang gemar menyalah-gunakan mimbar untuk 
memuntahkan unek-unek pribadi, atau menyerang lawan. 

* * * 

JADI, khotbah Yesus secara umum lumayan-lah. Lebih dari rata-rata. Namun, terus 
terang, tidak juga terlalu istimewa. Banyak pengkhotbah, penginjil, orator, bahkan 
demagog, yang sanggup berkhotbah lebih baik dan menarik; lebih memikat dan 
mengikat. 

Menurut saya— entah Anda—Bung Karno dan John Kennedy; Buya Hamka dan Zainudin 
MZ lebih baik. Yohanes Pembaptis juga lebih hebat. Saya tidak mengatakan bahwa 
Yesus adalah pembicara yang buruk. O, tidak! Saya cuma ingin menegaskan, bahwa Ia 
bukan pengkhotbah atau orator yang terbaik. 

Pertanyaannya adalah bila bukan yang terbaik, mengapa mesti repot-repot 
memedulikannya? Mengapa kita tidak alihkan saja fokus perhatian kita kepada orang 
lain. yang benar-benar "terbaik"? Pertanyaan yang sah dan wajar! Dan itulah yang akan 
kita bahas bersama sekarang. 

Hanya saja, pertanyaannya akan saya rumuskan lebih positif. Bukan "Mengapa kita tidak 
tinggalkan Yesus?", tetapi "Mengapa kita mesti bertahan pada Yesus?" 

* * * 

MENGAPA bertahan pada Yesus? Mengapa kata-kata-Nya layak menyita perhatian kita? 
Apa sih yang ada pada Yesus, yang tidak ada pada orang lain? 

Jawabannya sangat sederhana. Kelebihan Yesus adalah pada otoritas, kewibawaan, dan 
kewenangan yang dimiliki-Nya. Inilah yang tidak dimiliki oleh siapa pun yang lain. 

Otoritas yang membuat Matius menulis, "Setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, 
takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka 
sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka". 

Takjub! Itulah reaksi para pendengar langsung khotbah Yesus waktu itu. "Takjub" adalah 
percampuran pelbagai macam perasaan sekaligus, yang semuanya muncul secara 
spontan. Kata "spontan" ini penting sekali. Sebab "spontan" berarti sesuatu yang muncul 
secara tulus, tidak bisa direkayasa atau dipaksa-paksa. 

Di situ ada rasa heran. Ada rasa kagum. Ada rasa terpesona. Ada rasa "terkuasai" 
(overwhelmed). Ada rasa hormat. Semua yang saya sebutkan itu harus muncul secara 
spontan, bukan? Orang dapat dibuat bengong, tapi tidak bisa dipaksa kagum. Orang bisa 
dibuat takut, tapi tidak bisa dipaksa hormat. 



Dan perlu saya tambahkan, rasa takjub juga merupakan "induk" dari hal-hal seperti iman, 
ketaatan, penyerahan diri, dan sebagainya. Semua ini tidak akan ada, betapa pun orang 
terkagum-kagum misalnya kepada David Copperfield, si pesulap dahsyat bermata elang 
itu. 

Dengan amat tepatnya, seseorang, entah siapa, saya lupa, melukiskan bagaimana wujud 
perasaan takjub, yang lahir alamiah tanpa "bedah kaisar" akibat perjumpaan dengan 
Kristus. Katanya, "Apabila kaisar yang paling adhikuasa di dunia ini tiba-tiba masuk 
ruangan, semua orang yang duduk akan serta-merta segera berdiri di atas kaki mereka. 
Tetapi apabila Kristus yang memasuki ruangan, semua orang yang semula berdiri, akan 
serta-merta rebah segera bersujud bertumpu di atas lutut mereka". 

* * * 

PADA bagian Khotbah di Bukit yang kita refleksikan kali ini, dengan amat jelas Yesus 
menegaskan otoritas yang dimiliki-Nya. Tidak kurang dari lima kali, Ia berkata, "Kamu 
telah mendengar firman 'begitu, begitu, begitu' .... Tetapi Aku berkata kepadamu 'begini, 
begini, begini' .... Bila sebelum ini Yesus mengatakan, bahwa "Ia datang bukan untuk 
meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya", seka-rang Yesus 
berulang-ulang mengutip hukum Taurat, tetapi hanya untuk melawannya. Mengapa ini? 

Pasti bukan karena "sok jago" seperti kecenderungan "koboi-koboi Senayan" kita tempo 
hari. Yesus tetap sangat mematuhi dan menghormati hukum. Karena itu, Ia bukan 
mengajarkan hal-hal yang bertentangan., melainkan hal-hal yang melebihi tuntutan 
Taurat. 

Jadi, kalau Taurat mengatakan, "Jalan lima kilo"; Yesus tidak mengatakan, "Jangan 
berjalan!". Tetapi, "Berjalanlah sepuluh kilo". Ia menuntut lebih daripada ketaatan legal 
atau ketaatan formal. Ia menghendaki ketaatan total; ketaatan eksistensial. Bukan karena 
"saya harus", melainkan karena "saya mau". 

Di mana letak otoritas Yesus, sehingga Ia dapat menuntut ketaatan total seperti itu? 
Otoritas yang tidak dimiliki bahkan oleh Abraham, Musa atau Elia? Ada dua alasan. 
Pertama, yang bersangkutan dengan "siapa Dia". Karena Yesus adalah Yesus. Betapa pun 
hebat "peringkat" rohani Abraham atau Musa atau Elia, mereka menyandarkan otoritas 
mereka kepada tiga kata ini, yaitu, "Demikianlah Firman Tuhan". 

Hanya apabila mereka dengan setia menjadi "saluran" Allah, dan tidak menyandarkan 
diri kepada otoritas mereka sendiri, perkataan mereka punya kewibawaan, dan orang laik 
mendengarkannya. Yesus tidak! Ia adalah satu-satunya yang punya wewenang untuk 
berkata, "Tetapi Aku berkata kepadamu 

Yesus bukan cuma "saluran Allah". Ia adalah Allah sendiri. Anda bertanya, "Mengapa 
bertahan pada Yesus?" Anda telah memperoleh jawabnya. Yesus adalah satu-satunya 
yang layak untuk didengarkan dan diikuti karena Ia adalah Allah. 



Tahun 2004 nanti, kita akan melaksanakan agenda lima tahunan kita, Pemilu. Namun, 
bagi orang Kristen, hidupnya setiap saat adalah "pemilu". 

Setiap saat ia harus memilih. Pesan untuk Anda, adalah: "Jangan sampai salah pilih! 
Pilihlah dengan saksama siapa yang layak Anda ikuti! Yang punya otoritas untuk 
menuntut ketaatan dan kesetiaan mutlak dari Anda!" 

Yang kedua, pendek saja. Mengapa kita bertahan pada Yesus? Jawabnya adalah: karena 
integritas-Nya. Jangan Anda ikuti orang berdasarkan omongannya! Orang yang pantas 
menerima ketaatan dan kesetiaan Anda adalah orang yang satu perkataan dan 
tindakannya. Dalam hal ini, tidak ada yang mampu melebihi Yesus. Ia melakukan apa 
yang Ia katakan, dan Ia mengatakan apa yang Ia lakukan. 

Kadang-kadang kita mendengar orang mengatakan bahwa yang penting adalah 
"nyanyian" -nya bukan "penyanyi"-nya. It's the song, not the singer. Saya tidak sepakat. 

Banyak tokoh jadi amat memuakkan, sebab ia bukan penyanyi yang baik untuk nyanyian 
yang selalu ia nyanyikan. Untuk apa menyimak, bila cuma nyanyiannya saja yang bagus, 
tetapi penyanyinya parau dan sumbang? Anda masih berminat juga membeli rekaman- 
rekamannya? Saya tidak! 

Dari Hati Turun ke Mata 
Oleh: Eka Darmaputera 

"Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta? Dari 
mata turun ke hati" Begitu, bukan, bunyi pantun yang sangat kita kenal itu? "Mata" 
dianggap sebagai asal-muasal dan pokok-pangkal hal-hal yang baik, tapi juga rahim yang 
melahirkan perkara-perkara yang jahat. 

Tidak heran orang Jepang konon punya kepercayaan, bahwa wanita hamil sebaiknya 
melihat pemandangan yang indah-indah saja. Misalnya, bunga-bunga di taman nan 
beraneka-warna. Atau suasana telaga yang damai. Sebaliknya, mereka mesti dihindarkan 
dari melihat - apalagi melakukan - hal-hal yang jahat. Sampai membunuh seekor nyamuk 
atau kecoa sekali pun. 

Menurut saya, kepercayaan tersebut banyak benarnya. Bukankah siapa pun dalam 
keadaan apa pun, melihat yang indah-indah selalu baik? Sebaliknya melihat, apa lagi 
terlibat, dengan yang jahat, amatlah riskan dan berbahaya - mudah tertular. 

Tapi agaknya Firman Tuhan punya pandangan lain. Memang benar Yesus pernah 
mengatakan, bahwa "mata itu pelita hati". Artinya, mata punya fungsi dan posisi yang 
vital. Namun salahlah pandangan yang mengatakan, bahwa mata adalah "biang kerok" 
segala sesuatu. 



Bahkan bukan cuma salah, tapi juga berbahaya. Ia telah membuat banyak orang tertindas 
dan menderita, karena hak-hak asasi mereka dilanggar. Praktik-praktik sensor yang 
sewenang-wenang, misalnya, pada umumnya terjadi karena asumsi bahwa kalau saja 
"mata" tidak melihat yang "jahat-jahat", maka kejahatan pun tidak akan terjadi. 

Karena itu, apa yang boleh dan tidak boleh dilihat harus diatur dan dibatasi. Kita pasti 
masih ingat betul masa tatkala majalah-majalah tiba di tangan kita berlumuran tinta 
hitam. Ini adalah karena orang-orang seperti Ali Murtopo atau Harmoko percaya, bahwa 
kalau saja masyarakat tidak membaca yang "buruk" (dalam pandangan mereka), otomatis 
segala sesuatu akan baik-baik semata. 

* * * 

TAPI sensor yang dimaksudkan sebagai alat pendidikan yang positif, dalam realitas 
ternyata lebih berfungsi sebagai alat penindasan yang destruktif. Dengan sengaja saya 
menyebutnya "penindasan", sebab memang itulah yang terjadi, ketika orang dicabut hak- 
haknya untuk berpikir bebas dan mengambil keputusan sendiri. 

Padahal Tuhan saja menghormati kebebasan manusia. Ia bahkan memberi pilihan kepada 
manusia untuk tidak taat! Sebab itu merenggut hak dan kebebasan sesama adalah 
bertentangan dengan kehendak Allah. Kita mesti setuju dengan pendapat, bahwa 
kebebasan pers adalah pilar utama HAM. Kebebasan pers tercabut, maka semua hak asasi 
yang lain tinggal menunggu gilirannya. 

Namun demikian, penolakan terhadap sensor tidak berarti bahwa pembatasan atau 
pengaturan tak perlu ada. Salah besarlah mengatakan, bahwa "siapa saja boleh melihat 
apa saja, di mana saja, dan kapan saja". Di dalam Alkitab kita membaca, bahwa tidak 
semua boleh dan dapat dilihat dengan bebas oleh manusia. 

Ada hal-hal yang dilarang keras oleh Allah untuk dilihat. Misalnya, melihat wajah Allah. 
Ada hal-hal yang karena kefanaan kita tidak mungkin kita lihat. Misalnya, masa depan 
kita. Kemudian ada pula hal-hal yang sengaja dirahasiakan oleh Allah. Misalnya, kapan 
Hari Akhir dan ajal kita akan tiba. Lalu akhirnya, ada hal-hal yang walaupun dapat dilihat 
oleh mata kita, tapi sebaiknya jangan kita lihat. 

* * * 

PADA satu sisi, kebebasan adalah bagian hakiki manusia. Begitulah Allah 
menciptakannya dan menghendakinya. Sebab itu pantang dinafikan. Namun demikian, 
kebebasan tersebut tidak tanpa batas. Sebab pada sisi lain, kebebasan tanpa batas selalu 
bersifat negatif dan destruktif. Mengapa? Karena ini juga bertentangan dengan kodrat 
manusia. 

Kodrat manusia adalah makhluk, ciptaan, karena itu fana. Serba terbatas. Bagaikan singa 
dalam kurungan. Tampaknya saja garang dan meyakinkan, tapi cuma sampai batas 
tertentu. Ia tidak bisa keluar dari situ. 



Upaya manusia untuk melawan dan keluar dari keterbatasannya, pasti berakibat satu di 
antara dua. Atau ia binasa seperti ikan yang menolak hidup di dalam air. Atau ia celaka 
karena tak mampu mengendalikan kebebasannya sendiri - seperti mengendarai mobil 
yang remnya "blong". "Kebebasan" yang "kebablasan". 

Jadi bagaimana? Jawabnya adalah, pembatasan atau sensor - sampai pada batas tertentu - 
penting dan perlu. Tapi si penyensor juga wajib terus-menerus disensor, dibatasi dan 
diawasi! Di sinilah masalah kita yang paling krusial. 

* * * 

UDARA rohani di mana kita hidup - sebagaimana halnya dengan udara "jasmani" di 
sekitar kita - menurut Firman Tuhan telah mengalami pencemaran atau terpolusi dengan 
hebatnya. Inilah yang dimaksudkan Paulus, ketika ia menulis tentang perjuangan 
melawan "penghulu dunia yang gelap" dan "roh-roh jahat di udara". 

Karena itu, kita perlu "filter" atau "sensor rohani" pula. Menurut Firman Tuhan, 
"lembaga sensor rohani" yang paling kredibel adalah Roh Kudus. Dia-lah yang tahu dan 
mampu mem'Tilter" apa yang boleh masuk dan apa yang harus keluar. Sedemikian rupa, 
sehingga semua yang keluar menyenangkan hati Allah dan mendatangkan rakhmat bagi 
sesama. Sedangkan yang masuk melahirkan rasa lapang dan damai sejahtera di hati kita. 
Tidak sebaliknya, malah membuat nafas rohani kita menjadi sesak. 

Tapi bagaimana "membuat" agar Roh Kudus benar-benar berfungsi?. Sama seperti untuk 
dapat memanfaatkan komputer, kita mesti pertama-tama mengetahui cara bekerjanya, 
kita juga perlu mengetahui bagaimana Roh Kudus bekerja. Alkitab antara lain 
menjelaskan sebagai berikut. 

Roh Kudus atau "nafas kehidupan yang dari Allah", adalah salah satu unsur terpenting 
yang membuat manusia menjadi manusia. Tanpa itu, manusia (= adam) hanyalah debu (= 
adama) belaka. 

Namun kita diberitahu bahwa manusia tidak cuma "adama". Manusia adalah suatu 
kesatuan tubuh, jiwa dan roh - dan karenanya, ia berakal budi dan berhati nurani. Dalam 
hal memiliki "tubuh", manusia tidak berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Dalam hal 
memiliki "jiwa", manusia juga tidak berbeda dengan binatang-binatang tertentu. 

Hanya dalam satu hal, manusia benar-benar unik, tak ada duanya. Yaitu dalam hal 
keberadaan "Roh Allah" di dalam dirinya. "Roh Allah" inilah yang bekerja di dalam diri 
manusia, melalui "akal budi" dan "hati nurani"nya - dan membuatnya menjadi makhluk 
yang istimewa, "gambar Allah". 



* * * 



BILA menurut pandangan populer dunia ini, semua tindakan manusia - baik maupun 
buruk - "dari mata turun ke hati", Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Yaitu, segalanya 
bertolak dan berpangkal dari "hati" 

Kalau yang keluar adalah tindakan yang baik, itu berarti Roh Kudus yang berfungsi. 
Sebaliknya bila yang jahat dan kotor yang keluar, maka roh kegelapan-lah yang 
beroperasi. Tapi bagaimana pun, tak mungkin manusia otonom sepenuh-penuhnya. 
Manusia cuma punya pilihan: menjadi "hamba Allah" atau "hamba dosa"; "hidup 
menurut Roh" atau "hidup menurut daging". 

Kitab Kejadian mengisahkan peristiwa yang menggambarkan pola proses kejatuhan 
manusia ke dalam dosa. Pola proses yang terus-menerus terulang sampai sekarang. Di 
situ kita membaca, antara lain, "Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk 
dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi 
pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga 
kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya". 

Kutipan kita dimulai dengan kalimat "perempuan itu melihat". Sepintas lalu ini memberi 
kesan, seolah-olah proses dosa berawal dari "mata". "Dari mata turun ke hati". Padahal 
tidak. Tindakan "perempuan itu melihat" tidak lebih adalah kelanjutan dari suatu proses 
batin sebelumnya. 

Yaitu, pertama, ketika manusia berhasil diperdayakan sehingga bersedia berdialog 
dengan si Iblis. Padahal seharusnya manusia hanya boleh mendengarkan Allah saja. Dan 
kedua, ketika kemudian manusia - di dalam hatinya - mulai meragukan kebenaran firman 
dan titah Tuhan. 

Proses paling awal kejatuhan manusia selalu adalah, ketika di hatinya secara tanpa sadar 
ia "menyej ajarkan" Allah dengan Iblis. Maksud saya ialah, ketika hati manusia mulai 
mendua, mendengarkan sini mendengarkan sana. Menyangka bahwa ia memiliki 
wewenang untuk pada akhirnya memutuskan siapa yang benar di antara keduanya: Allah 
atau Iblis. Padahal seharusnya ia hanya boleh taat kepada Allah. Prinsip yang berlaku 
adalah: "Bukan karena benar maka sesuatu itu adalah perintah Allah, tetapi karena 
sesuatu itu adalah perintah Allah maka ia benar". 

* * * 

BEGITU manusia membuka hati untuk mendengarkan Iblis di samping Allah, ia 
membuka peluang bagi Iblis untuk melancarkan serangan yang mematikan. Dari mula- 
mula membanding-bandingkan antara Allah dan Iblis, proses melanjut dengan meragukan 
Allah dan kian mempercayai Iblis. "Jangan-jangan embah dukun yang benar!" 

"Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu 
memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang 
yang baik dan yang jahat". Atau, "Ayo lakukan saja! Jangan terlalu pusing soal Allah. 



Sudah berapa kali kamu berteriak dalam doamu kepadaNya? Adakah manfaatnya? 
Apakah Ia mendengarkanmu? Mengapa tidak coba "orang pinter" sekarang?". 

Tatkala keraguan akan kebenaran dan kebaikan Allah mulai tersemai di hati Anda, Anda 
telah tiba di tapal batas antara dosa sebagai "niat" dan dosa sebagai "tindakan". Inilah 
saatnya mata mulai berfungsi. Ia mengajak Anda berpaling ke arah yang salah, dan 
memerosokkan Anda semakin dalam ke perangkap dosa. "Lalu ia mengambil buahnya 
untuk dimakan dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, 
dan suaminya pun memakannya". 

Herankah kita sekarang, mengapa dalam Kotbah di Bukit Yesus begitu menekankan 
peran hati? Dosa, dalam bentuknya yang paling nyata, memang berwujud tindakan. Tapi 
dosa tidak berpangkal di situ. Tindakan hanyalah out-put saja dari apa yang ada di dalam 
hati. 

Mata yang tertarik lalu melirik, serta tangan yang meraih lantas membagi, adalah sekadar 
konsekuensi logis dari yang sebelumnya menggejolak di sanubari. Seperti uap yang 
dengan sendirinya keluar dari ketel, ketika air yang dijerang mulai mendidih. "Dosa" ada 
di ketel, bukan di uap. Tanpa air yang mendidih, uap pun tiada. 

Yesus menekankan apa yang tersemai di hati manusia, sebab itulah yang akan kita tuai 
dalam bentuk dosa. Membunuh, misalnya, adalah tindakan dosa. Tidak ada yang 
mengatakan tidak. Begitu pula dengan mencuri atau berzinah atau berdusta. Tapi bila 
dosa cuma itu maka, wah, dengan lega saya dapat membusungkan dada dan berkata, 
"Saya bersih tanpa dosa! Sebab saya toh tidak pernah mengambil jiwa orang, atau 
mencuri milik orang, atau berzina dengan istri orang, atau menipu orang". 

Menanggapi ini, Yesus akan berkata, "Kalau dosa adalah itu, maka situasi-mu sungguh 
memprihatinkan dan tidak ketulungan. Sebab segala sesuatu telah amat terlambat. Ibarat 
membawa pasien ke bagian gawat darurat, ketika kedaan benar-benar sudah gawat dan 
sudah darurat. Ya apa lagi yang dapat dilakukan?! 

Padahal besar kemungkinan yang bersangkutan masih dapat ditolong, sekiranya ia mau 
mulai berobat, ketika nafasnya mulai kadang-kadang sesak, atau pencernaannya mulai 
sering terganggu, atau kepalanya mulai mudah pening, atau tidurnya mulai kurang lelap. 
Ketika segala sesuatu baru "mulai". 

* * * 

SESEORANG, kata Yesus, tidak baru berdosa setelah ia membunuh atau berzina. Seperti 
pada beberapa penyakit tertentu, penyakit itu telah mulai sejak amat awal. Dosa 
membunuh berawal dari membiarkan diri dikuasai amarah. Sedang dosa berzina, menurut 
Yesus, telah terjadi ketika orang melarutkan diri tanpa melawan dalam arus nafsu 
kedagingannya Mungkin sambil berkata, "Toh saya tidak berbuat apa-apa?!" 



Ismail Marzuki dalam salah satu gubahannya, mengungkapkan apa yang saya kemukakan 
itu. Yaitu ketika sang pemuja gadis "Ayati" setengah bertanya mengatakan, "Dosakah 
hamba, memuja dikau dalam mimpi. Hanya dalam mimpi?!" Toh cuma dalam mimpi, 
tidak apa-apa 'kan?! 

Yesus berkata, "Tidak" Sel kanker yang menyebar liar begitu berbahaya ke seluruh tubuh 
dimulai dengan satu sel saja! Dosa membunuh berawal dari amarah yang tidak segera 
dikendalikan. Amarah ini berubah menjadi kebencian. Kemudian kebencian 
bermetamorfose menjadi dendam. Dan akhirnya dendam hanya menanti kesempatan 
untuk menjadi tindakan.. Sebelum orang membunuh dengan tangannya, ia terlebih dahulu 
membunuh dalam hatinya. 

Tak ada "dosa kecil" atau "dosa besar". Sebab "dosa besar" selalu berasal dan berawal 
dari "dosa kecil" yang dibiarkan. Bagaikan luka kecil di kulit. Sebaliknya dari pada 
diobati, luka kecil tersebut dikorek-korek terus setiap kali. Maka luka pun menganga lagi. 
Dan luka ini akan terus berkembang menjadi kian berbahaya. 

Anda bertanya, mengapa "Kesepakatan Malino I", nampaknya tak akan berumur 
panjang? Sebab cuma senjata di tangan saja yang diminta untuk diserahkan. Bukan hati 
yang terpanggang dendam. 

Dari mana datangnya dosa? Dari hati turun ke mata. Dari mana datangnya celaka? Dari 
luka kecil yang dibiarkan menganga! 



Meretas Batas 

Oleh Eka Darmaputera 

Kecuali Anda adalah orang yang sangat istimewa-yang kemungkinan besar tidak-pastilah 
Anda pernah mengalami sekali-dua, ketika doa Anda seakan-akan kandas bagaikan mobil 
yang terperangkap di lumpur. Tak mampu mencapai Allah. 

Barangkali kita telah memusatkan perhatian dengan sebaik-baiknya. Kita juga telah 
mengerahkan segenap kemauan kita. Semua yang disyaratkan untuk sebuah doa yang 
baik telah kita laksanakan sedapat-dapatnya. Toh tetap terkendala juga. Ini apa sebabnya? 

Apakah yang bisa menjadi kendala hubungan antara Allah dan manusia? Salah satunya, 
menurut Yesus, adalah hubungan kita dengan sesama. 

"Sebab itu jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah, dan engkau 
teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah 
persembahanmu itu di depan mezbah itu, dan pergilah berdamai dahulu dengan 
saudaramu, lalu (baru) kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu" 

Inti sari yang ingin Ia tekankan ialah mustahil menjalin hubungan baik dengan Allah, 
tanpa hubungan baik dengan sesama. Tak ada gunanya menakbirkan "haleluya" atau 



"allahhu akbar", bila hati kita dipanggang benci membara atau tangan kita berlumuran 
darah saudara kita. 

* * * 

KEMBALI di sini Yesus mengemukakan hal-hal yang sebaliknya dari yang lazim kita 
lakukan. Pertama, adalah ketika Ia mengatakan "Tinggalkanlah persembahanu di atas 
mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu". Kelaziman kita 
mengatakan bahwa kesalehan itu berbanding lurus dengan kemampuan untuk tidak peduli 
terhadap hiruk pikuk di sekitarnya, sebab seluruh kesadarannya tenggelam di "lautan" 
Allah. 

Karena itu, tiba-tiba meninggalkan ibadah, sebab teringat kepada persoalannya dengan si 
Rustam, atau utangnya kepada si Rusmi, sungguh tidak pantas ditiru. Yang sebaliknyalah 
yang layak kita jadikan teladan: orang-orang yang sekalipun bumi berguncang atau 
misalkan mentari tiba-tiba kelam, namun konsentrasi doanya tak bergoyang. 

* * * 

KEDUA, adalah sewaktu Yesus menekankan pentingnya "yang ada dalam hati 
saudaramu terhadap engkau". Pentingnya peka terhadap perasaan saudara kita. 
Tersinggungkah ia karena ucapan kita? Terlukakah hatinya oleh tindakan kita? Apa kira- 
kira yang tersimpan dalam hatinya tentang kita? Dan seterusnya. 

Namun, banyak orang mengajarkan sebaliknya. "Orang macam mereka itu bodoh! 
Mereka pasti cuma akan jadi pecundang. Bila Anda ingin jadi politikus atau pengusaha 
atau pendeta yang sukses, ini saja kok , bung Eka, resepnya. Tegar sekaligus luwes! 
'Tegar' dalam arti 'ndablek'. Dan 'luwes' dalam arti 'membebek' ". 

"Muka badak". "Hati buaya". Tidak mudah tergetar oleh pendapat, kesan atau kecaman 
orang. Contohlah pemimpin-pemimpin kita! Begitu tenangnya di pengadilan. Begitu 
"cuek"nya di tengah badai kecaman! Begitu "ndablek"nya di tengah tuntutan mundur! 
Begitu konsistennya kepada prinsip "emangnye gue pikirin?!" 

Yesus mengajarkan bentuk ketegaran yang berbeda. Bukan "tegar" demi kedudukan atau 
keuntungan, tapi "tegar" demi prinsip dan kebenaran. Dan dalam hubungan ini, pikiran, 
kesan dan pandangan orang lain itu penting. Anda mesti bersedia belajar dan 
mendengarkan siapa saja. Peka. Peduli. Tidak jadi batu sandungan! 

Sesama Anda, kata Yesus, lebih penting ketimbang kewajiban-kewajiban ritual Anda. 
Apa yang mereka pikirkan tentang Anda, kata Yesus, sama pentingnya dengan apa yang 
Anda pikirkan tentang mereka. Apa gunanya kekhusyukan di depan altar, bila sementara 
Anda ber"khusyuk ria" ada yang terisak dan terusik akibat perbuatan Anda? Datanglah ke 
hadirat-Nya dengan hati yang hancur, bukan dengan menghancurkan hati orang! 



* * * 



HAL ketiga yang, bagi sebagian orang yang lain, tidak cocok dengan pikiran mereka 
adalah, kata-kata Yesus, "Lalu (barulah) kembali untuk mempersembahkan 
persembahanmu itu". Yang ini Yesus tujukan kepada kelompok yang lain. Bukan kepada 
orang-orang Kristen penganut formalisme ("pokoknya menjalankan aturan-aturan 
agama"), melainkan kepada orang-orang Kristen pengikut "fungsionalisme" ("pokoknya 
melaksanakan ajaran-ajaran agama"). Yang pertama menekankan "yang tersurat", yang 
kedua mementingkan "yang tersirat". 

Fungsionalisme ini banyak penganutnya, khususnya di negara-negara Barat. Itu sebabnya 
di sana banyak gedung gereja dijual, dan ruang-ruang ibadah sepi pengunjung. 

Di Basel, Swiss, pada suatu Jumat Agung, saya pernah diajak mengikuti ibadah. Di 
Indonesia, di samping Natal, ibadah Jumat Agung adalah yang paling ramai 
pengunjungnya. Karena itu amat "shock" saya, sebab setiba di gedung gereja, saya hanya 
disambut oleh hawa dingin udara pagi awal musim semi dan selebihnya bangku-bangku 
kosong, padahal ada pelayanan sakramen Perjamuan Kudus, pikir saya. 

Pada petang harinya, barulah gedung gereja tersebut penuh sesak. Tapi untuk apa? 
Tenyata untuk menyaksikan pagelaran sebuah konser musik. Mattheus Passion. 
"Mengapa ibadah hari Minggu tidak diminati lagi?", saya coba bertanya. 

Jawaban yang saya terima, "Untuk apa? Bukankah yang terpenting adalah menjalankan 
apa yang diajarkan Kristus, bukan menjalankan ketentuan-ketentuan formal agama yang 
ratusan tahun usianya dan telah kehilangan maknanya?" 

Yesus mengatakan, formalitas memang tidak cukup. "Bukan setiap orang yang berseru 
Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan 
kehendak BapaKu yang di sorga". Sebab itu, "tinggallah persembahanmu di depan 
mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu" Tapi, setelah itu, 
kembalilah dan lanjutkan persembahanmu! 

Tapi setelah itu, kembalilah! Jangan menganggap formalitas itu tak ada gunanya. 

* * * 

DALAM hubungan suami-istri, orangtua-anak, atasan-bawahan-pendek kata hubungan 
antar manusia-formalisme punya makna. Cinta, memang benar, harus dipraktikkan dalam 
seluruh kehidupan, tapi juga harus dikatakan dan dinyatakan secara khusus, bukan? 

Jangan Anda katakan ungkapan cinta dengan bunga itu bodoh! Atau saling menelepon 
dari luar kota itu pemborosan belaka! Manusia membutuihkan simbol-simbol. Untuk hal 
yang semakin berharga dan bermakna, semakin ia hanya dapat diungkapkan dengan 
bahasa simbol. 



Misalnya ya formalisme dalam ibadah itu, di mana yang kita lakukan di sana lebih 
banyak bersifat simbolis ketimbang pragmatis. Ini adalah agar terpenuhilah sedapat 
mungkin seluruh dimensi kebutuhan manusiawi kita. Sekiranya manusia itu hanya tubuh 
saja-seperti rumput yang diperlukannya memang hanya air dan pupuk. Atau sekiranya 
manusia itu hanya tubuh plus jiwa, cukuplah manusia-seperti kucing-dielus-elus 
kuduknya. Ia sudah puas. 

Tapi manusia adalah kesatuan tubuh-jiwa-roh. Ia punya kebutuhan fisik, punya 
kebutuhan psikis, dan . kebutuhan spiritual. 

Sebab itu cuma manusia punya agama. Simpanse tidak. Ikan lumba-lumba tidak. 
Saudara-saudara kita di Barat pasti tidak terlalu bodoh untuk mengetahui mengapa 
mereka mengalami kekosongan jiwa yang luar biasa. Sayang mereka mungkin terlalu 
keras kepala untuk bersedia mengakui dan mengoreksinya. Fungsionalisme telah 
menyeret mereka terlampau jauh. 

Sebaliknya dengan kita orang-orang Indonesia. Kita amat menikmati kegiatan-kegiatan 
simbolis. Mungkin malah berlebih-lebihan. 

Untuk ini kita perlu diingatkan, bahwa upacara tidak serta-merta memenuhi seluruh 
dimensi kebutuhan hidup kita. Demokrasi, HAM, pemberantasan KKN, reformasi, 
Indonesia Baru, tidak akan terealisasi hanya dengan memukul gong tiga kali. Di sini lah 
letak stagnasi kita selama ini dalam membangun bangsa serta meretas batas-batas 
kekinian kita memahat masa depan yang kita cita-citakan. Kita mesti belajar berpikir, 
bersikap dan bertindak fungsional. Mengatasi formalisme. 

Formalitas saja tapi tidak fungsional, adalah kemunafikan yang kosong. Sebaliknya, 
fungsional saja tanpa formalitas, adalah kering, gersang, dangkal. Yang satu bagaikan roh 
tanpa jasad, yang lain seperti tubuh tanpa roh. Keduanya adalah tembok-tembok batas 
yang harus kita retas. 

Kesamaan dan Persamaan (Refleksi Matius 5:21-48) 
Oleh Eka Darmaputera 

Tiap-tiap orang itu unik. Artinya, tidak ada dua orang yang sama persis. Paling sedikit, 
sidik jarinya berbeda. Bahkan, menurut teori yang lebih mutakhir, bukan cuma secara 
fisik seseorang itu khas, tapi juga secara psikis dan spiritual. Bukan hanya "IQ"-nya, tapi 
juga "EQ"-nya dan "SQ"-nya berlain-lainan. 

Keanekaragaman tersebut kita akui dan kita syukuri.. Namun begitu, iman Kristiani juga 
menekankan kesamaan. Tolong perhatikan, saya tidak berbicara mengenai "persamaan" 
(= similarity), tapi kesamaan (= equality)! Maksud saya, sebagai pribadi, Andika berbeda 
dari Andiki, dan Cornelius berbeda dari Delmethius. Namun sebagai manusia, mereka 
setara. Mereka berbeda secara eksistensial, tapi sama secara esensial. 



Sayang sekali tidak semua orang mempercayainya. Padahal ini punya implikasi yang 
sangat menentukan bagi pandangan yang bersangkutan mengenai HAM. Sebab kalau 
orang tidak percaya bahwa pada hakikatnya manusia itu sama, bagaimana mungkin ia 
percaya bahwa orang punya hak asasi yang sama, bukan? 

* * * 

SEBAGAI contoh tentang pandangan yang berbeda itu, saya akan menyebutkan dua saja. 
Ekstrem yang satu adalah "determinisme" atau "fatalisme". Menurut aliran ini, setiap 
orang sudah ditentukan (= determined) "nasib"nya sejak awal. Dari "sononya" telah 
ditetapkan bahwa yang satu berdarah biru, sedang yang lain orang kebanyakan. Yang satu 
masuk daftar urut pewaris tahta, sementara yang lain tetap "kromodongso" sampai tutup 
usia. Dan semua ini punya konsekuensi dalam hak dan perlakuan; dan selanjutnya dalam 
pembagian kekuasaan dan kekayaan. 

Jadi, menurut aliran ini, yang hakiki pada manusia adalah justru ketidaksamaannya. 
Sebab ketidaksamaan itu di-"predestinasi"-kan sejak semula, hanya harus diterima, dan 
mutlak tak dapat diubah. Dalam pewayangan, Petruk adalah seorang abdi yang baik. Tapi 
sekaligus, ia pasti tuan yang buruk. Mengapa? Karena "kodraf'nya dari awal adalah abdi. 

Ketika "Petruk" merampas tahta dan coba mengubah nasibnya dengan mengangkat diri 
menjadi "ratu", gemparlah dunia para dewa dan kacau-balaulah seluruh alam semesta. Ini 
bukan terutama karena "Petruk" tidak mampu jadi "ratu", tapi karena "tempat"nya tidak 
di situ. Dunia hanya akan sejahtera bila semua dengan "mapan" berada di tempat yang 
telah ditentukan: Jadi kalau tempat Anda adalah raja, memerintahlah! Tapi bila tempat 
Anda adalah rakyat, taatlah! Jangan dibalik-balik! 

* * * 

PADA ekstrem yang lain, adalah faham egalitarianisme. Aliran ini justru ngotot meyakini 
yang sebaliknya. Yaitu bahwa manusia tidak cuma memiliki "kesamaan" yang esensial, 
tapi juga "persamaan" dalam segala hal. "Semua orang adalah sama dengan semua orang 
dalam semua hal," begitu kira-kira prinsip mereka. 

Karena itu bila ada perbedaan, ini adalah kesalahan yang mesti dikoreksi. Atau kalau toh 
belum bisa diubah sekarang, ya diterima dulu. Namun hanya dengan sangat terpaksa dan 
untuk sementara saja. Akibatnya? Sendi-sendi kehidupan juga porak-poranda. Mengapa? 
Sebab ini juga bertentangan dengan kodrat. 

Orang tidak akan produktif dan roda ekonomi akan macet total, bila yang bekerja 12 jam 
diupah sama dengan mereka yang bekerja 4 jam. Bagaimana orang akan termotivasi 
bekerja giat, bila seorang insinyur yang amat inovatif, di akhir bulan, dihargai sama 
dengan seorang opas yang malas? 



Bayangkan pula betapa kacaunya sebuah kesatuan militer, ketika hierarki kepangkatan 
dihapuskan, dan semua orang dari jenderal sampai prajurit mengenakan seragam yang 
sama - tanpa tanda pangkat? Ini pernah coba dijalankan di RRC, dan gagal total. 

Egalitarianisme bukanlah idealisme yang masuk akal. Saya anjurkan, Anda 
memimpikannya pun jangan! Ia bukan saja tidak mungkin bisa diwujudkan, tapi juga 
akan merusak tatanan, dinamika dan kreativitas. Kodrat manusia memiliki dua sisi 
sekaligus, yang mesti diperhitungkan dengan seimbang: baik "perbedaan" maupun 
"kesamaan". Kesalahan determinisme adalah karena ia hanya memperhatikan dimensi 
perbedaannya, sedang egalitarianisme melulu dimensi kesamaan bahkan persamaannya. 

* * * 

MENURUT iman Kristen, nyaris dalam segala hal, manusia tidak memiliki "persamaan" 
dengan yang lain. Ke"bhinneka"an ini mesti disyukuri sebagai manifestasi kekayaan dan 
keajaiban kreativitas Allah. Sebab, wah, betapa kelabunya hidup, sekiranya segala 
sesuatu serba seragam dan satu warna belaka! 

Namun sekaligus dengan itu kita juga harus mengatakan, bahwa dalam beberapa hal, 
manusia memiliki "kesamaan" (bukan "persamaan"!) satu sama lain. Pertanyaannya 
adalah, dalam hal apa Presiden Mega, misalnya, punya kesamaan dengan Andi Sepa, 
pemulung sahabat saya? Jenderal Sutarto, yang Pangab, punya kesamaan dengan 
Mohamad Idris, yang prajurit GAM? Atau kesamaan taipan Nursalim dengan Nurbuat, 
nelayan yang bekerja di tambak udang plasma-nya di Lampung? Atau Collin Powel 
dengan al'Hamid yang rumahnya baru saja dihancurkan di Ramallah? 

Ada empat hal. Kesamaan pertama, adalah, bahwa semua orang adalah CIPTAAN 
ALLAH yang sama. Ini, saya kira, tak perlu kita percakapkan lagi. Kesamaan kedua, 
adalah, bahwa semua orang diciptakan sebagai GAMBAR ALLAH. Jadi, apakah ia Mega 
atau Andi Sepa, Sutarto atau Mohamad Idris, Nursalim atau Nurbuat, Coillin Powel atau 
al'Hamid, semuanya adalah "gambar Allah". 

Yang seorang tak ada yang lebih atau kurang dibandingkan dengan yang lain. Dengan 
perkataan lain, semua orang punya hubungan yang istimewa dengan Allah, yaitu sebagai 
"gambar'Nya. Dan karenanya semua orang adalah makhluk bermartabat mulia, yang 
tidak boleh diperilah tapi juga tidak boleh diperhamba. 

Kesamaan ketiga dan keempat adalah, bahwa setiap orang dan semua orang adalah 
PENDOSA dan sekaligus penerima tawaran PEMBENARAN dari Allah. Atau, mengutip 
Paulus, " Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan ke-muliaan Allah, dan 
oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan Kristus 
Yesus". 



* * * 



DARI empat hal yang saya sebutkan di atas, dua yang terakhir adalah yang paling 
kontroversial. Di mana letak kontroversi-nya? Pertama-tama, karena mungkin hanya 
orang Kristen saja yang percaya dan mengatakan bahwa "semua orang telah berbuat dosa 
dan telah kehilangan kemuliaan Allah". 

Semua orang? Ah, yang benar saja dong! Kalau dikatakan "banyak" atau "sebagian 
besar" orang telah berbuat dosa - ya okelah. Tapi melakukan generalisasi begitu saja, 
bahwa "semua orang telah berbuat dosa", bukankah keterlaluan? Paling sedikit secara 
teoritis, kita harus membuka kemungkinan bagi adanya orang yang tidak pernah 
membunuh, berbohong, berzima. mencuri, atau melakukan hal-hal yang lazim disebut 
"dosa". 

Masakan main hantam kromo dengan a priori mengatakan, bahwa semua semua orang 
telah berbuat dosa?! Apa ini tidak berarti secara gegabah mempersamakan Martin Luther 
King Jr dengan pembunuhnya? 

Secara tersirat, dalam bagian Kotbah di Bukit yang sedang kita bahas ini, Yesus memang 
memperkenalkan sebuah konsep yang sama sekali baru tentang "dosa". Konsep yang 
mengejutkan! 

Ia, misalnya, berkata, "Kamu telah mendengar firman Jangan membunuh ; siapa yang 
membunuh harus dihukum, tapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah 
terhadap saudaranya harus dihukum. . Kamu telah mendengar firman: Jangan berzina. 
Tapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta 
menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya. ." 

* * * 

MEMBACA ini, reaksi spontan orang biasanya adalah menolak dan mendebatnya. Ini 
adalah manifestasi tersembunyi dari "defense mechanism" orang yang merasa bersalah 
tapi tidak mau dipersalahkan. Sebab itu kali ini saya anjurkan agar yang pertama-tama 
Anda lakukan adalah merenungkannya, dan mencari kebenarannya. Bila ini Anda 
lakukan, percayalah, Anda akhirnya pasti akan mengatakan, "Benar juga, ya?!". 

Bukankah benar mengatakan, bahwa "tindakan" itu adalah anak kandung "keinginan"? 
Tindakan hanya akan ada, bila pertama-tama ada niat. Karena itu, pembunuhan lahir dari 
kebencian. Zina lahir dari hawa nafsu dan pikiran kotor. 

Bukankah benar pula mengatakan, bahwa bila kita tidak ingin berbuat dosa, maka kita 
harus membunuh dosa itu sejak ia masih berada dalam kandungan. Lenyapkanlah dosa, 
sementara ia masih berwujud keinginan. Artinya: stop melamunkan itu! Seperti kata 
sebuah pepatah India, "Bunuhlah kobra sementara ia masih telur". Dosa telah mulai, 
ketika Hawa mulai tertarik melihat yang dilarang! 

Martin Luther King Jr memang jauh berbeda kualitas maupun karakternya, dibandingkan 
dengan pembunuhnya. Tapi dapatkah kita mengatakan, bahwa MLK tidak pernah - walau 



sekali - mempunyai keinginan yang jahat? Dan ini juga berlaku bagi siapa saja. Tak 
seorang pun dapat membanggakan diri, bahwa kita "lebih manusia" atau "lebih ilahi" dari 
pada yang lain, karena tak pernah punya niat buruk. 

Paling sedikit dalam hal itulah, semua orang adalah sama-sama pendosa. Sama-sama 
tergantung kepada anugerah pembenaran Allah. Semua kita pada hakikatnya sama saja: 
perlu membunuh kobra sementara ia masih telur. 

Jangan seorang pun merasa terlalu yakin diri, "Ah, saya sih tak mungkin tergoda soal- 
soal begituan!". Tapi jangan pula bersikap sebaliknya, yaitu merasa tidak percaya diri, 
sehingga kita terlalu mudah menyerah melawan keinginan, sebelum sempat melawan! * 

Tuhan, Ajarlah Kami Berdoa! 
Oleh Eka Darmaputera 

Lukas bertutur demikian, "Pada suatu kali Yesus sedang berdoa di salah satu tempat. 
Ketika Ia berhenti berdoa, berkatalah seorang dari murid-muridNya kepada-Nya: "Tuhan, 
ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-murid-Nya." 

"Tuhan, ajarlah kami berdoa". Anda pasti pernah berdoa meminta kesembuhan atau 
keberhasilan atau keberuntungan. Namun, pernahkah Anda berdoa memohon "Tuhan, 
ajarlah kami berdoa?" Belum? 

Lalu mengapa para murid minta agar Yesus mengajar mereka berdoa? Apakah ini karena 
mereka belum pernah berdoa? Atau karena mereka belum bisa berdoa? 

Sudah barang tentu tidak. Bagi orang Yahudi, berdoa adalah seperti makan, minum, tidur, 
mandi-bagian dari rutinitas hidup sehari-hari. Maksud saya, seperti mereka makan tiga 
kali sehari, mereka berdoa sekian kali sehari. Ini mereka lakukan dengan amat fasihnya, 
sebab telah terlatih sejak dini. 

Ada ungkapan terkenal yang berkata, "Begitu anak-anak Yahudi mulai bisa berbicara, 
mereka telah bisa berdoa". Bahkan sampai sewaktu akan menarik napas penghabisan, 
kata-kata terakhir mereka pun adalah sebuah doa. Yesus sendiri pun tak lupa 
mengucapkannya. "Ya Bapa, ke tangan-Mu kuserahkan rohku". 

Karena itu kalau mereka minta, "Tuhan, ajarlah kami berdoa", sekali lagi, ini pasti bukan 
karena mereka tidak tahu bagaimana caranya berdoa. 

Mereka telah mengetahuinya dan mempraktikkannya sejak masa balita mereka. Jadi? 
Yang kadang-kadang masih mengganjal dan meragukan hati, adalah sudah benarkah doa 
mereka selama ini? 



Mirip seperti tatkala kita masih kecil, lalu ayah atau ibu kita berkata, "Nak, ayo dong tulis 
ke Oma. Oma 'kan ulang-tahun hari ini". Ingatkah Anda bagaimana perasaan Anda waktu 
itu? Bukan soal tidak tahu bagaimana menulis. 

Bukan soal tidak tahu apa yang akan ditulis, bukan pula soal Anda sayang atau tidak 
sayang kepada Oma, melainkan, "Saya mesti omong apa ?" 

* * * 

ORANG-ORANG Yahudi mengenal apa yang disebut "doa-doa bebas". Di sini mereka 
bebas mengatakan apa saja dalam doa-doa mereka, juga bebas untuk tidak mengatakan 
apa-apa. Alias berdoa dalam diam. 

Tapi pada kesempatan-kesempatan khusus, ada pula "doa-doa khusus", dengan rumusan- 
rumusan khusus, yang harus mereka hafalkan dan ucapkan. Setiap guru agama 
mengajarkan formula mereka sendiri-sendiri, yang satu berbeda dari yang lain. Yang satu 
dianggap lebih ampuh ketimbang yang lain. 

Kemungkinan besar karena alasan itulah, seorang murid meminta, "Tuhan, ajarlah kami 
berdoa". Minta diajarkan doa yang paling "mujarab". 

Sebuah permintaan yang sederhana. Hampir-hampir naif. Namun demikian, toh ada 
sesuatu yang indah tersembunyi dalam permohonan ini. Sesuatu yang baik untuk ditiru 
oleh kita semua. 

Pertama, permintaan "Tuhan, ajarlah kami berdoa" menunjukkan bahwa masih ada 
orang-orang yang percaya akan kegunaan atau faedah doa. Karena itu, meraka ingin 
belajar berdoa. Kelompok ini kian lama kian tipis, walaupun jumlah orang-orang yang 
berdoa - secara formal dan ritual - masih banyak, bila tidak semakin banyak. 

Mayoritas orang sudah tidak lagi merasa kebutuhan untuk memohon, "Tuhan, ajarlah 
kami berdoa". Dalam hati, mereka berkata, "Doa tidak mengubah apa-apa dan tidak 
menolong apa-apa. Cuma tindakan nyata dan kerja keras tangan kita saja yang bisa." 

Karena itu, bukan "Tuhan, ajarlah kami berdoa", tapi "Profesor, ajarilah kami caranya", 
atau "Dokter, katakanlah apa obatnya"; atau "Pak pejabat, tolong dong katabelece-nya". 

Orang-orang ini tidak sadar bahwa mereka yang tidak mempercayai manfaat doa adalah 
orang yang sangat malang. Mengapa? 

Mereka cuma bisa bergantung kepada kemampuan otak atau ototnya. Tidak berkuasa 
berbuat apa-apa lagi, begitu otak dan otot mereka keok tak berdaya. 

Doa padahal memberi kemungkinan kepada mereka untuk melampaui keterbatasan 
alamiah mereka, yaitu dengan memanfaatkan kuasa kekuatan Allah. Mereka adalah 
orang-orang yang malang, sebab situasi mereka analog dengan orang yang memiliki 



lembaran uang seratus ribuan sepuluh lembar, tapi cuma dimanfaatkan untuk menyeka 
peluh. Mubazir, bukan? 

* * * 

KEDUA, barangkali tanpa disadari oleh si pengucapnya sendiri, permohonan "Tuhan, 
ajarlah kami berdoa" menyiratkan pengakuan bahwa setiap orang perlu terus-menerus 
belajar dan diajar berdoa. Belajar bagaimana berdoa dengan benar. 

Berdoa itu seperti berbicara. Pada satu pihak, berbicara itu alangkah mudahnya! Begitu 
lahir, setiap bayi yang normal-tanpa belajar-sudah bisa berbicara. 

Maksud saya, mengeluarkan bunyi-bunyian dari mulutnya. Tapi untuk dapat berbicara 
dengan benar, apalagi untuk berbicara dengan baik (dan menarik, di depan umum), orang 
harus belajar terus-menerus seumur hidup. Tak seorang pun dilahirkan jebrol sebagai 
orator. 

Ada dua hal yang paling sering membuat orang salah memahami doa. Di satu sisi adalah 
orang-orang yang begitu yakinnya akan kuasa doa sehingga doa menjadi satu-satunya 
dan segala-galanya. 

"Berdoa saja, nanti semuanya akan dibereskan oleh Tuhan," begitu kata mereka. Seperti 
di restoran, kita cuma tinggal "order", makanan akan datang sesuai dengan pesanan. 

Lha kalau kurang sesuai dengan selera? Seperti misalnya daging steak-nya terlalu 
matang, atau makanan yang dipesan terlalu lama datang? O, kita berhak marah! Kepada 
Tuhan pun kita marah, kita kecewa, kita ngambeg, bila "serpis"nya kurang memuaskan. 

Pernah terpikirkankah oleh Anda, Tuhan kita "marah-marah"-i? Keterlaluan, bukan? 
Sebab itu kita perlu berdoa, "Tuhan, ajarilah kami berdoa". 

Pada sisi yang lain, ada sejumlah besar orang yang skeptis dan memandang remeh doa. 
Orang-orang ini tidak menolak doa. Namun, menurut mereka, doa sebenarnya hanya 
cocok untuk orang-orang yang sudah kepepet, tidak berdaya, putus asa, bagaikan tersudut 
dijalan buntu. Desperate. 

Prinsip mereka adalah, "Selama masih ada yang bisa dilakukan, pakailah otak dan tangan. 
Baru setelah segala upaya menthok, bolehlah coba-coba berdoa. Siapa tahu ada 
gunanya?" 

"Siapa tahu ada gunanya". Yesus, saudara, pernah menghardik seorang ayah yang datang 
meminta pertolongan-Nya dengan sikap seperti itu. Orang ini mempunyai anak laki-laki 
yang sakit ayan berat, semua upaya telah dicoba, kini ia datang kepada Yesus, berkata, 
"Jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami" Yesus-saya 
bayangkan dengan sorot mata yang tajam dan nada suara meninggi-berkata, "Katamu jika 
Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!" 



Berdoa, saudaraku, adalah bagi orang yang yakin. Haqul yakin. Berdoa bukanlah bagi 
mereka yang cuma setengah yakin, "Coba-coba saja deh, siapa tahu, ada manfaatnya". 

Berdoa bukanlah bagi mereka yang tidak yakin. "Kalau doaku benar-benar terkabul, aku 
berjanji, aku akan percaya. Tapi mesti bukti lebih dahulu". 

Sebaliknya, doa juga bukan bagi orang yang terlalu yakin, tapi dengan keyakinan yang 
salah. "Toko Anda pasti laris, karena telah saya doakan. Kalau tidak laris juga, itu 
tandanya Anda kurang berdoa". 

* * * 

SIKAP-SIKAP yang salah tentang doa, terdapat baik pada orang-orang Kristen lama 
maupun baru. Penyakit ini sungguh tidak membeda-bedakan orang. 

Siapa saja diserangnya, dan siapa saja bisa terkena. Bila Anda merasa perlu belajar 
berdoa, inilah satu-satunya alamat yang tepat untuk itu: Tuhan sendiri. Bukan pendeta 
Anu atau penginjil Itu. 

Masih banyak yang harus kita pelajari tentang doa. Karena itu mulai minggu depan, bila 
Tuhan berkenan, saya ingin mengajak Anda mulai belajar berdoa secara intensif, dengan 
doa yang Tuhan sendiri ajarkan, DOA BAPA KAMI. * 

"Kristen Garam" dan "Kristen Semut" 
Oleh Eka Darmaputera 

BAGI orang Kristen, lambang identitas imannya yang paling utama, tak pelak lagi, 
adalah "salib". Memang ada juga sih lambang-lambang kekristenan yang lain, tapi 
dibandingkan dengan "salib", o jauh! 

Sebut saja misalnya "ikan" dan "roti". Atau dua huruf Yunani: "Alpha" dan "Omega"; 
serta "Chi" dan Rho". 

* * * 

Toh menurut Yesus, lambang orang Kristen yang paling sentral mestinya adalah "garam". 
"Kamu adalah garam dunia", begitu Ia bersabda. 

Inilah raison d'etre atau alasan pokok keberadaan orang Kristen di dunia ini. Seperti 
alasan pokok adanya sebuah rumah sakit adalah untuk melayani pasien, dan alasan pokok 
adanya sebuah sekolah adalah untuk belajar- mengajar, alasan pokok keberadaan orang 
Kristen di dunia ini adalah untuk menjadi "garam dunia". 



Anda gagal menjadi "garam dunia", otomatis gagal pula Anda sebagai pengikut Kristus. 
Lebih mengerikan lagi, kata Yesus, akhir nasib Anda tidak akan lebih baik dari pada 
seonggok "sampah"! 

"Jika garam itu menjadi tawar," kata-Nya, "dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi 
gunanya, selain dibuang dan diinjak orang"! 

* * * 

"KAMU adalah garam dunia". Mendengar ini, saya maklum, bila Anda merasa sedikit 
kecewa. 

Paling sedikit, tidak berbunga-bunga. Sebuah lambang seharusnya diharapkan mampu 
membangkitkan rasa bangga pada yang memakainya, dan sekaligus perasaan respek pada 
yang melihatnya 

Oleh alasan ini, selalu dipilih kiasan-kiasan yang memberi kesan megah, gagah, agung, 
dan wah. Misalnya: garuda, rajawali, singa, buaya, beruang, naga. Tidak heran, di Bekasi 
baru-baru ini terjadi kontroversi hebat, ketika ada gagasan menjadikan ikan lele sebagai 
lambang kota. Lebih tak terbayangkan lagi, bila yang diusulkan adalah lipan, cacing atau 
kecoa. Atau . garam! 

"Garam" tidak memenuhi kriteria yang lazim itu, apalagi bagi benak orang-orang 
moderen. Apanya dari garam yang megah, yang gagah, yang indah, dan mulia? Di 
pedalaman Papua, konon, garam memang aduhai berharganya. Tapi di Jakarta? 

Jadi, mengapa Yesus memilihnya? Mengapa Yesus memilih sebuah kiasan yang tidak 
membanggakan (= "garam"), untuk melukiskan sesuatu yang amat membanggakan (= 
"menjadi pengikut Kristus")? 

Jawabnya adalah karena Ia hendak dengan menekankan betapa kebanggaan seorang 
pengikut Kristus itu tidak terletak pada hal-hal yang "eksternal". Tidak terutama 
ditentukan oleh hal-hal yang kasat mata. 

Kebanggaan duniawi memang bertumpu pada faktor-faktor eksternal. Memiliki menara 
yang "tertinggi", atau masjid yang "terbesar", atau umat yang ter"banyak", serta "ter-ter" 
lain, sejenis yang tercatat di museum rekornya Jaya Suprana. Kemegahan eksternal 
memang memesona, namun juga sering memperdaya. 

Kiasan "garam" diharapkan mampu memelihara "kesadaran fungsional", sekali pun 
mungkin tidak bisa memberikan "kebanggaan eksternal". Di mana bedanya? 

Kebanggaan karena berhasil membuat lumpia Semarang yang terpanjang, atau mpek- 
mpek Palembang yang terbesar di dunia, adalah kebanggaan eksternal. Sementara itu, 
kebanggaan karena berhasil membuat kue singkong yang termurah, tersehat, dan terlezat 
sedunia, adalah kebanggaan fungsional. 



Kebanggaan karena ber-hasil meng"kristen"kan sebanyak mungkin orang adalah 
kebanggaan eksternal. Akan tetapi, kebanggaan karena berhasil membuat orang banyak 
se"kristen" mungkin adalah kebanggaan fungsional.. 

* * * 

"KEBANGGAAN garam" adalah kebanggaan fungsional. Parameternya adalah apakah 
produk akhirnya berfungsi maksimal bagi sebanyak mungkin orang? Atau cuma hebat 
dan cocok untuk pamer serta "jago-jagoan" doang? Jelas sekali yang Yesus kehendaki 
ialah, agar kita menjadi "Kristen kualitas" - bukan "kuantitas". 

Untuk menjadi "Kristen kuantitas", jalannya relatif lebih mudah. Anda cukup 
membangun gedung atau mengumpulkan massa. Anda berhak menilai keberhasilan 
Anda, berdasarkan target yang Anda tetapkan sendiri. Namun, untuk menjadi "Kristen 
kualitas", sungguh berbeda. 

Di sini, seperti kata Petrus, kemurnian Anda hanya bisa diperoleh dan mesti "diuji 
melalui api". Lagi pula yang menentukan kualitas Anda adalah orang lain, dunia ini. Dan 
berdasarkan kriteria mereka. Artinya, menurut mereka, cukup "asin"kah Anda? 

Sebab itu, bila orang Kristen mencari kebanggaaan pada yang kuantitatif dan fisikal 
semata, ia sungguh salah alamat! Anda bisa menjadi "garam dunia", tanpa semua yang 
gemerlapan. Ibu Teresa, misalnya. 

Sebaliknya, Anda bisa mempunyai semua yang gemerlapan, tanpa pernah menjadi 
"garam dunia". Paus-Paus abad pertengahan, misalnya. 

Bahkan menjadi "garam" pun belum jaminan. Sebab bukan "garam"-nya yang penting, 
tapi "asin"nya! Buat apa jadi garam kalau tidak asin? Apa gunanya jadi "patung garam" 
seperti istri Lot? Atau jadi "garam salon" yang tersimpan rapi di almari? Kata Yesus, 
"Tidak ada gunanya selain dibuang dan diinjak-injak orang". 

Siapakah yang dimaksud oleh Yesus "garam yang tidak asin" itu? Tidak lain adalah orang 
Kristen yang cuma ada-mungkin besar, mungkin berkembang pesat-tapi tidak fungsional. 

Maksud saya, dunia tidak merasakan dampak dan makna positif apa-apa dari 
kehadirannya. Karena itu juga tidak akan berduka, sekiranya gereja tiba-tiba tiada. Ada 
atau tidak ada gereja, tidak berarti apa-apa. 

Ingatlah bahwa Yesus tidak cuma mengatakan, "Kamu adalah garam", tapi "Kamu adalah 
garam dunia". 

Garam bagi dunia! Gereja yang hidup cuma buat dirinya sendiri, barangkali memang 
"garam". Tapi garam yang tawar. Tidak berguna. 



* * * 



"KAMU adalah garam dunia". Di atas kita telah mengatakan bahwa kiasan ini tidak 
terlalu ber"gengsi". Tidak salah, namun tidak pula benar seluruhnya. Sebab pada waktu 
Yesus mengatakannya, Ia justru bermaksud mengangkat hati murid-murid-Nya. 

Yesus bermaksud meyakinkan mereka, betapa di balik kesederhanaan mereka, mereka 
tidak perlu merasa rendah diri. Pakaian mereka sederhana. Status sosial mereka 
sederhana. Latar belakang pendidikan mereka sederhana. Tapi mereka adalah "garam 
dunia" ! 

Artinya, betapa dunia membutuhkan mereka! Betapa hidup tidak lengkap, bahkan tak 
terbayangkan, tanpa kehadiran mereka! Bagaikan "soto" membutuhkan "garam"! 

Tambahan pula, pada zaman Yesus, "garam" punya nilai simbolis yang tinggi sekali di 
pandangan masyarakat! Sampai-sampai orang Yunani menyebutnya "theion", atau "yang 
ilahi". 

Karena berasal dari "air laut" dan "sinar matahari"-dua benda yang dipercaya sebagai 
benda-benda yang paling murni di alam ini-"garam" juga dihubungkan dengan 
kemurnian. "Garam" melambangkan sesuatu yang tidak tercampur maupun tercemar. 

Orang Kristen hidup di tengah-tengah dunia yang standar kualitasnya terus menurun 
dengan ajeg.. Fasilitas membaik, tapi kualitas menurun. 

Ini berlaku untuk semua bidang kehidupan. Tapi Yesus mengamanatkan, orang Kristen 
mesti mempertahankan standar kemurniannya! Jangan ikut-ikutan merosot atau melorot! 

Jadilah bak "oasis" di padang gurun! Jadilah "komunitas percontohan", di tengah-tengah 
dunia yang dahaga akan keteladanan! Jangan tercampur dan tercemar! 

Lebih dari sekadar mempertahankan kemurnian, orang Kristen juga harus berfungsi 
sebagai pencegah kebusukan. Proses pembusukan dunia ini memang tak terhindarkan. 

Jalannya sudah harus begitu. Bahwa segala sesuatu akan berujung pada katastrofi total. 
Namun, prosesnya dapat diperlambat agar pintu tobat lebih lama terbuka. 

Salah satu fungsi "garam" yang terpenting, di samping menjadi penyedap, adalah menjadi 
pengawet. Sebab itu, tidak ada ironi yang lebih besar daripada ketika orang-orang Kristen 
juga ikut-ikutan membusuk, bahkan ikut-ikutan membusukkan! 

Apakah Anda mencium bau busuk itu? Saya tidak cuma menciumnya, tapi juga 
melihatnya dengan jelas. Di dalam maupun di luar gereja! Ini harus diamputasi cepat- 
cepat, agar pembusukan tidak menjalar ke seluruh tubuh. 



* * * 



"KAMU adalah garam dunia". Bagi Yesus, status yang tinggi tidak ditentukan oleh 
penampakannya, melainkan oleh kemanfaatannya. Ini dilukiskan dengan indah sekali 
oleh "garam". 

Untuk mengasinkan sesuatu, tidak diperlukan garam yang besar dan banyak. Sebab itu, 
kecil atau sedikitnya kita tidak dapat dijadikan dalih untuk ketidakmampuan kita 
berfungsi. Lihatlah "garam"! 

Namun, ada persoalan serius, yaitu bahwa untuk mengasini, garam yang sedikit itu harus 
melarut. Padahal, kecenderungan insaniah kita sebaliknya. Kita berambisi semakin lama 
semakin besar. Apakah ada jalan tengah? Sayang sekali, tidak. 

Anda tahu apa bedanya "Kristen semut" dan "Kristen garam"? Semut senang berkerumun 
di tempat yang nyaman. Di mana ada gula, di situ ada semut. Garam? O, garam mesti 
siap diterjunkan di mana saja ia diperlukan. Biasanya di tempat-tempat yang tidak manis. 
Di situ, ia diminta rela memberikan semuanya, termasuk memberikan dirinya - melarut. 

Menjadi "Kristen semut" tentu jauh lebih nikmat. Tentu! Tapi sayang sekali, Yesus tidak 
mengatakan bahwa kita adalah "semut". Ia berkata, "Kamu adalah garam dunia". 

Aku Adalah Aku 
Oleh Eka Darmaputera 

Menurut pendapat Anda, Tuhan Allah itu laki-laki atau perempuan? Menurut keyakinan 
saya, orang yang ngotot mengatakan, Allah itu laki-laki sama bodohnya dan sama 
salahnya dengan mereka yang tanpa kompromi mengatakan bahwa Dia perempuan. 

Allah adalah Allah, "AKU adalah AKU", tak tergambarkan dan tak terjabarkan. Dia tak 
dapat kita katakan tinggi atau pendek, tua atau muda, hitam atau putih, laki-laki atau 
perempuan. Dia ada di dalam semua (tapi juga di luar semua) dan di atas semua (tapi juga 
di bawah semua). 

Tentu saja saya sadar sepenuhnya bahwa Alkitab amat sering menyebut Allah sebagai 
"Bapak". Yesus mengajar kita untuk mengalamatkan doa kita kepada "Bapa kami yang di 
surga". Dan Dia juga pernah bercerita tentang "anak yang hilang" dan "bapak yang 
pengasih". Dan macam-macam lagi. Namun demikian, bagi saya, ada begitu banyak hal 
yang dilakukan oleh Allah, yang lebih pantas untuk digambarkan sebagai tindakan 
seorang "ibu" daripada seorang "bapak". 

Perumpamaan Yesus tentang "Anak yang Hilang" itu misalnya, Dia benar-benar 
mengingatkan saya kepada si Kelik (bukan nama sebenarnya). 



Saya mula-mula mengenal si Kelik ini sebagai seorang yang baik. Sayang sekali, ia 
mempunyai satu, atau lebih tepatnya, dua masalah. Namun, akibat dari dua masalah 
inilah, ia lalu mempunyai 2.002 masalah. 

Kelik adalah pemabuk berat dan penjudi berat. Karena dua penyakit ini, ia bercerai 
dengan istrinya. Berulang-ulang dipecat dari pekerjaannya, bahkan dikucilkan dari 
gerejanya. Ayahnya (!) telah memasang iklan di surat kabar menyatakan tidak mengakui 
lagi si Kelik sebagai anak. Saudara-saudarinya, semuanya ada enam, tak satu pun mau 
menerimanya. Kelik kini hidup menggelandang. 

Namun, ia masih datang juga dengan sembunyi-sembunyi untuk minta makan dan uang. 
Uang yang akan dibelikan minuman keras atau dihabiskan di meja judi. Tetapi tentu saja 
tak seorang pun mau memberikannya, kecuali sang ibu. Inilah yang membuat mereka 
marah, menuduh sang ibu lebih mencintai Kelik yang bobrok daripada mencintai mereka. 

Pada suatu ketika, Kelik harus masuk rumah sakit jiwa dan harus ada yang mau 
menandatangani pernyataan pertanggungjawaban atas pembiayaannya. Sang ayah 
menolak. Semua saudara-saudarinya juga menolak. "Biarlah ia merasakan akibat 
tindakannya sendiri," begitu kata mereka. 

Hanya sang ibu yang mau menandatangani. Walaupun dengan menangis tersedih-sedih. 
Dan semua marah setengah mati. "Sungguh kami tak bisa mengerti, mengapa Ibu bisa 
bertindak lemah begini!" 

Tentu saja mereka tidak mampu mengerti. Sebab mereka adalah ayah. Mereka adalah 
saudara atau saudari. Mereka adalah kakak atau adik. Bukan ibu. 

Seorang ibu tahu betul bagaimana mengasihi anak, bagaimanapun tidak layaknya anak itu 
un-tuk dikasihi. Bagaimanapun tidak masuk akalnya kasih itu. Hanya ibu yang tahu itu. 
Bukan bapak atau yang lain. 

Ini sama sekali bukan membenarkan begitu saja apa pun tindakan si anak. Yang salah 
tentu tetap saja salah. Sebab itu, mengasihi dengan sungguh tidak jarang diiringi rasa 
sakit yang pedih. Ibu si Kelik menandatangani surat pernyataan dengan air mata yang 
bercucuran. Allah menyayat hati-Nya sendiri dengan rela mengurbankan Sang Putra. 
Tetapi kasih selalu lebih besar dari apa pun. Lebih besar dari kesalahan yang mungkin 
dibuat oleh orang yang kita kasihi. Lebih besar dari rasa sakit yang mungkin kita 
tanggung demi orang yang kita kasihi. 

Oleh karena itu, saya dapat lebih memahami tindakan kasih Allah itu sebagai tindakan 
seorang "ibu" daripada sebagai tindakan seorang "bapak". Artinya, beruntunglah kita dan 
bersyukurlah Anda karena Allah tidak hanya mau bertindak sebagai seorang "bapak" 
yang adil, tetapi terutama sebagai seorang "ibu" yang penuh we-las asih. 



Hanya karena kasih seorang "ibu", kita da-pat memahami kalimat ini, "Kamu yang 
dahulu bukan umat Allah, sekarang telah menjadi umat-Nya; yang dahulu tidak 
dikasihani, sekarang telah beroleh belas kasihan" (1 Petrus 2:10). 

Ayat ini diambil dari kisah Nabi Hosea yang, bagi saya, sensasional dan sama sekali tidak 
masuk akal, yaitu ketika Hosea bin Beeri diperintahkan oleh Tuhan sendiri untuk 
menikahi Gomer binti Diblaim, seorang perempuan sundal (tak dijelaskan kelas tinggi, 
rendah, atau menengah). "Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan 
peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan 
membelakangi Tuhan!" (1:2). Menurut saya, ini lebih mirip suara dan perintah seorang 
bapak yang sedang dibakar amarah yang amat besar. 

Konon, dari pernikahan yang aneh itu lahirlah tiga orang anak yang mesti diberi nama 
yang aneh-aneh pula. Anak yang kedua, seorang pe-rempuan, diberi nama Lo-Ruhama, 
artinya: "tidak dikasihani". Kemudian anak yang ketiga, seorang laki-laki mesti diberi 
nama Lo-Ami, artinya: "bukan umat". Semua itu menggambarkan sikap "sang Bapak" 
yang marah terhadap anak-Nya, umat Israel, yang tidak setia. Israel adalah "lo-ruhama" 
dan "lo-ami". 

"Lo-Ruhama", karena "Aku tidak akan menyayangi lagi kaum Israel, dan sama sekali 
tidak akan mengampuni mereka". Dan "Lo-Ami", karena "kamu ini bukanlah umat-Ku 
dan Aku ini bukanlah Aliahmu" (1:6,9). (Sebab itu, nasihat saya, walaupun kedengaran 
enak, bila Anda mempunyai anak, janganlah Anda berikan kedua nama itu). 

Namun, terpujilah Nama Tuhan karena Dia tidak hanya menyatakan diri sebagai seorang 
bapak yang pemberang, tetapi sekaligus sebagai seorang ibu yang pengampun. Di 
pasalnya yang kedua, kita membaca Tuhan berfirman, "Pada waktu itu, Aku akan 
mendengarkan langit, dan langit akan mendengarkan bumi. (Aku) akan menyayangi Lo- 
Ruhama, dan Aku (akan) berkata kepada Lo-Ami: Umat-Ku engkau! Dan ia akan 
berkata: Aliahku!" (2:20,22). 

Itulah latar belakang 1 Petrus 2:10 yang dikutip di atas, "Kamu yang dahulu To-ami', 
sekarang telah menjadi 'ami'; yang dahulu To-ruhama', sekarang telah beroleh 
'ruhama'." 

Pola yang sama kita lihat pula dalam kisah tak lama setelah manusia jatuh ke dalam dosa. 
Sang Bapak segera datang dengan amarah. Ular dikutuk makan debu seumur hidup. Laki- 
laki dilaknat bekerja keras sepanjang usia. Dan perempuan ditentukan melahirkan dengan 
kesakitan yang amat sangat, lagi pula tertindas oleh laki-laki. Dan manusia pun diusir 
keluar dari Taman Eden. 

Yang kita bayangkan di sini adalah anak-anak yang bandel menerima ganjarannya 
masing-masing dari Sang Bapak. 

Namun, kemudian ada cerita yang mengharukan. Allah memberikan kepada manusia 
pakaian agar tak kedinginan di jalan. Gambaran apa lagi di sini, kecuali gambaran 



seorang ibu yang dengan amat berat hati melihat anak-anaknya diusir pergi dan tak 
membiarkan mereka pergi tanpa membekali mereka apa pun. 

Salahlah kita bila kita memperdebatkan Allah itu laki-laki atau perempuan. Namun, 
tepatlah kita memahami Allah sebagai bapak dan ibu sekaligus. * 

Mengetahui Kehendak Tuhan 
Oleh Eka Darmaputera 

Siapa pun tanpa ragu akan mengatakan bahwa "Jadilah Kehendak-Mu" adalah doa yang 
paling masuk akal. Sebab kalau bukan kehendak "Tuhan", lalu kehendak siapa lagi?! Doa 
ini juga paling pantas diucapkan. Dan semua orang beragama, saya yakin, akan setuju. 

Tapi bila memang benar demikian, kita pantas bertanya: mengapa menerima kehendak 
Tuhan begitu sulitnya? Jangankan "menerima", lha wong "mengetahui" yang mana 
kehendak Tuhan saja sudah begitu membingungkan, bukan? Apakah Anda juga 
berpendapat demikian? 

Yoris punya keinginan mulia. Ia mau menikah dengan seseorang yang bukan saja sesuai 
dengan keinginan hatinya, tetapi juga yang ia tahu benar memang dikehendaki oleh 
Tuhan. 

Tapi sekarang ia mesti memilih antara Berta dan Anita. Siapa di antara keduanya yang 
Tuhan kehendaki? 

Rustandi juga berada dalam pergumulan hebat. Ia adalah karyawan senior yang amat 
dipercaya di perusahaan yang telah diabdinya lebih dari 21 tahun, tapi sebenarnya ia 
sudah tidak betah lagi bekerja di situ. 

Keluarganya pun mendorong ia mencari pekerjaan di tempat lain, mumpung masih 
mungkin. Tapi apakah ini juga kehendak Tuhan? 

Kasus-kasus serupa ini banyak sekali. Dan sering kali, tetap tanpa kepastian apa-apa 
sampai akhir. Padahal, menurut logika, hanya setelah kita mengetahui dengan jelas "apa" 
kehendak-Nya, barulah dengan mantap kita dapat mengatakan, "Oke, Tuhan, jadilah 
kehendak- Mu". 

Tapi bagaimana caranya? Apakah ada metode yang ces-pleng, reliable, dan siap pakai 
untuk mengetahui kehendak Tuhan? 

* * * * 

AKHIR-AKHIR ini, saya tahu, banyak orang mengaku diberi karunia memiliki talenta 
untuk itu. Iwan mengajak temannya, Partomuan, bersama-sama ke Tanjung Priok untuk 
suatu urusan gereja. "Baik," jawab si Partomuan, "tapi aku mesti tanya Tuhan dulu". 



Lima menit kemudian ia keluar, sambil berkata, "Beres, Tuhan bilang kita boleh ke 
Priok". Hebat, bukan? 

Tidak kalah hebat (dan tragisnya!), adalah cerita tentang Arifin. Yang tanpa hujan tanpa 
angin, tiba-tiba memutuskan hubungan cintanya dengan Ismi, kekasihnya selama lebih 
dari 7,5 tahun. Ada apa? "Tuhan menghendakinya," jawabnya enteng. Katanya, Tuhan 
juga menghendaki ia menjalin hubungan dengan Warsini, bukan Ismi. 

Bagi orang-orang seperti mereka, berhubungan dengan Tuhan adalah semudah orang 
mengangkat telepon. Tekan nomor tertentu, sambungan langsung terjadi, dan jawaban 
segera. Beberapa penginjil dan pendeta membuka "praktik spesialis", untuk orang-orang 
yang perlu informasi mengenai "kehendak Tuhan". Peminatnya ternyata banyak juga, 
yaitu mereka yang datang untuk menanyakan soal jodoh, peruntungan, pekerjaan, dan 
lain sebagainya. 

Pendeta-pendeta ini, tanpa sadar atau pura-pura tidak sadar, telah menghidupkan kembali 
praktik-praktik kekafiran-seperti praktik orakel Delphi-yang telah dibasmi ketika orang- 
orang Yunani dan Romawi menjadi Kristen. 

Di samping itu, para pendeta itu juga telah membangkitkan kembali roh-roh kepercayaan 
lama, yaitu ketika orang-sebelum melakukan sesuatu yang penting-datang terlebih dahulu 
kepada "dukun-dukun" atau "pelihat-pelihat", untuk bertanya dan memperoleh kepastian 
tentang apa kehendak para dewata. 

Kekristenan sangat menentang praktik-praktik yang populer ini, bukan cuma karena ia 
merupakan sarang penipuan, melainkan juga pusat penyesatan iman. 

Sepanjang ingatan saya, tidak ada "dukun" atau "penginjil" yang pernah diajukan ke 
pengadilan, karena "ramalan" mereka meleset. Tapi saya yakin, mereka tidak akan luput 
dari pengadilan Tuhan. 

* * * * 

TUHAN tentu saja bisa menyatakan kehendak-Nya secara langsung. Menurut Alkitab, 
itulah cara Ia berkomunikasi dengan Adam, Abraham, Musa, Maria, Yusuf, dan 
sebagainya. Ia adalah Allah yang bebas untuk memakai cara apa pun yang dikehendaki- 
Nya. 

Namun yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa ini hanya terjadi pada saat-saat yang 
Ia anggap perlu, dan mengenai hal-hal yang Ia nilai penting. Artinya, tidak setiap kali 
kapan pun "kita" mau, melainkan sekali-sekali bila "Ia" mau! Alkitab menyaksikan, 
bahwa pernah ada satu masa-lama sekali-di mana Tuhan diam. Tidak menyatakan 
kehendak. Bahkan mengutus nabi pun tidak. Mengapa begitu? Karena Ia berkehendak 
begitu, walaupun Israel tidak menghendaki itu. 



Kemudian, bila Ia mau menyatakan kehendak secara langsung, itu hanyalah mengenai 
hal-hal yang "Ia" anggap penting. Bukan mengenai apa saja yang "kita" anggap penting! 
Tuhan memang memperhatikan soal-soal "kecil", tapi bukan soal-soal yang "remeh", 
yang cuma mengekspresikan hawa nafsu serta keinginan daging manusia. Ia 
memperhatikan air mata orang miskin, tapi mengacuhkan doa si kaya yang minta mobil 
Rolls Royce. 

Jadi, apa yang Tuhan mau? Tidak lain adalah, mencari kehendak-Nya! Berulang-ulang Ia 
katakan itu. "Carilah wajah-Ku" (Mazmur 27:8). "Biarlah bergirang dan bersukacita 
semua orang yang mencari Engkau" (Mazmur 70:5). "Carilah Tuhan, hai semua orang 
yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya, carilah keadilan, carilah 
kerendahan hati, mungkin kamu akan terlindung pada hari kemurkaan Tuhan" (Zefanya 
2:3). Cari, cari, cari! 

"Mencari" mengimplikasikan usaha dan kerja keras; bukan sekadar angkat telepon atau 
kirim SMS. "Mencari" mengimplikasikan kerinduan dan hubungan batin yang dalam; 
bukan sekadar "saya tanya - Ia jawab - urusan selesai". 

Akhirnya, "mencari" juga mengimplikasikan sesuatu yang mesti kita lakukan terus- 
menerus. Kehendak Tuhan tidak pernah kita kuasai sepenuhnya. 

Ia senantiasa harus kita gumuli dari waktu ke waktu, dari situasi ke situasi. Di setiap 
waktu dan situasi itulah, kita dipanggil untuk berdoa, "Jadilah kehendak-Mu". 

Wah, sekiranya saja benar mengetahui kehendak Tuhan itu sesederhana angkat telepon ke 
sorga, lalu apa gunanya Alkitab? Yang bakal terjadi, tetapi untung tidak terjadi, adalah 
kita menjadi "sama seperti Allah". 

Mengetahui segenap batin dan pemikiran Allah. Inilah yang diinginkan Adam dan Hawa, 
dan yang membuat mereka jatuh ke dalam dosa! Kepingin tahu mengenai segala sesuatu. 

* * * * 

ANDA pasti ingat permohonan si Kaya kepada Abraham, dalam perumpamaan "Orang 
Kaya dan Lazarus yang Miskin". Ia minta agar Lazarus boleh sebentar saja kembali ke 
bumi, untuk memberitahu sanak kerabat si Kaya, agar hidup baik-baik di dunia, sehingga 
tidak mengalami nasib sama seperti dia. 

Dan apa jawab Abraham? "Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah 
mereka mendengarkan kesaksian itu" (Lukas 16:29). 

Itulah makna doa "Jadilah kehendak-Mu". Pelaj arilah isi Alkitab dengan benar, dan 
laksanakanlah dengan taat. Jangan cuma punya Alkitab, mungkin sekali-sekali dibaca, 
tetapi apa yang dilaksanakan adalah menanti "orang pintar" memberitahukan secara 
langsung apa kehendak Tuhan. No way! 



Kita mesti mencari dan menggumulinya sendiri. "Ada pada mu kesaksian Musa dan para 
nabi". Baca itu, pelajari itu, hayati itu, laksanakan itu! 

* * * * 

KETIKA menghadapi pilihan-pilihan yang sulit dan dilematis, apakah ada cara tertentu 
untuk mengetahui yang mana kehendak Tuhan? Saya tahu beberapa orang minta "tanda" 
kepada Tuhan. 

Cara ini, walau mungkin saja dipakai oleh Tuhan, tapi amat sulit untuk diandalkan. Sebab 
pertanyaan berikutnya setelah ada "tanda" adalah, benarkah "tanda" tersebut berasal dari 
Tuhan, atau penafsiran subyektif kita saja? 

Kita sadar bahwa kemanusiaan kita terlalu lemah dan terlalu egois, untuk dapat membaca 
dan menerima kehendak Tuhan yang berlawanan dengan kehendak hati. Kecenderungan 
manusia adalah mengindentikkan kehendak-nya sebagai kehendak Tuhan. Tidak 
sebaliknya. 

Sulit sekali menerima bahwa itu adalah "tanda" dari Tuhan, ketika Ia menghendaki kita 
memikul salib, dan bukan mengambil cawan kematian dari mulut kita. 

Jadi bagaimana? Jawabnya adalah: tidak ada jalan yang mudah untuk mengetahui 
kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan, sekali lagi, harus terus dicari dan digumuli. 

Kita mesti punya stamina iman seperti Yakub, siap bergulat dengan malaikat Tuhan 
sampai pagi (Kejadian 32:22-32). Ini menunjukkan keseriusan kita dalam mencari. 

Toh Tuhan berkenan memberikan pedoman, petunjuk dan rambu-rambu batas, mengenai 
mana yang Ia kehendaki dan mana yang pasti tidak Ia kehendaki. Di mana kita dapat 
memperolehnya? 

Kita mempunyai Alkitab. Kita mempunyai Dasa Titah. Kita mempunyai Hukum Kasih. 
Dan lebih spesifik lagi, sabda-Nya, "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa 
yang baik. 

Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, 
dan hidup dengan rendah hati di hadapan Aliahmu" (Mikha 5:8). Lakukanlah itu, maka 
Tuhan akan menyukainya. Langgarlah itu, pasti Allah tidak menghendakinya. 

Tapi tidak mungkinkah, untuk pengambilan keputusan dari saat ke saat, kita mengetahui 
kehendak Tuhan? Mungkin sekali, walaupun apa yang kita ketahui itu tetap saja tidak 
mutlak. 

Begini caranya: bergaul akrab-lah dengan Allah setiap saat, dan bersungguh-sungguhlah 
mencintai-Nya! Seorang sahabat dekat dan seorang kekasih sejati, tahu benar apa yang 



dikehendaki dan apa yang tidak disukai sahabat dan kekasihnya. Ia tidak perlu bertanya- 
tanya ke kanan atau ke kiri. Tidak perlu menunggu "orakel orang pinter". * 

Respon Pada Acara 

"Ibadah Syukur, Peluncuran Buku, dan Apresiasi Karya Eka Darmaputera" 
Sabtu, 16 November 2002 - GKI Kayu Putih, Jakarta 

Ibu-ibu, Bapak-bapak, saudara-saudara sekalian! 

Apa yang akan saya katakan sore ini, mudah sekali ditebak. Yaitu, apalagi, bila bukan 
ungkapan syukur dan ucapan terimakasih. Rasa terima kasih yang tak terhingga itu 
memang ada di hati. Dan itu akan saya utarakan, sebentar lagi. 

Namun mendahului itu, saya merasa wajib mengatakan sesuatu terlebih dahulu. Yaitu 
tentang betapa tidak pantasnya saya sebenarnya memperoleh perlakuan seperti yang saya 
dapatkan sore ini. Sebab itu, melampaui rasa gembira, yang ada ialah rasa malu. Rasa 
jengah. Dan perayaan petang ini saya terima, bukan dengan dada yang membusung, 
melainkan dengan kepada yang tertunduk. 

Banyak orang, termasuk yang duduk di ruangan ini, yang sebenarnya lebih memenuhi 
syarat. Orang-orang yang tadi berbicara, misalnya, — semuanya-jelas lebih mumpuni 
untuk di-apresiasi ketimbang meng-apresiasi. Dan ini bukan basa-basi. 

Saya ini apa, dibandingkan dengan seorang Jonathan Parapak dengan pengetahuannya 
yang segudang, dan pengalaman jabatan serta pengabdiannya yang se-"abrek"? Saya ini 
apa, dibandingkan dengan Andreas Harefa, yang dengan produktivitas dan orisinalitasnya 
yang mengagumkan berhasil menembus "tembok" Gramedia, seraya mengokohkan diri 
menjadi penulis buku-buku laris? Bahkan saya ini apa dibandingkan dengan Winfrid, 
dengan Tek Khun, dengan Susanto, dengan Ayub Yahya, yang walaupun lebih yunior, 
tapi integritas, prestasi maupun potensinya luar biasa? 

Kalau, kalau katakanlah, saya bintang, maka saya adalah bintang yang memudar, sedang 
mereka adalah fajar yang menyingsing. Kalau saya sudah "menthok", mereka masih akan 
terus melesat jauh. Daftar ini dapat kita perpanjang terus: saya ini apa, dibandingkan 
dengan Yakob Tobing, dengan Dorothy Mara, dengan Ichsan Gunawan, dengan Romo 
Magnis, dengan Soen Siregar, . . . 

Ada prinsip yang saya anut yang berbunyi: "Kalau menyangkut kekayaan dan kesenagan, 
lihatlah ke bawah-supaya engkau bersyukur selalu. Sebab betapa pun miskin dan 
sengsara engkau, masih banyak lagi yang lebih menderita. Tapi kalau menyangkut 
kemampuan dan pengetahuan, lihatlah ke atas-agar engkau tetap rendah hati. Sebab 
sepintar-pintarnya dan sehebat-hebatnya engkau, banyak yang masih lebih pintar dan 
lebih hebat." Jadi, memang tak ada alasan untuk berpongah-pongah. 



Sekarang pertanyaannya adalah, jika semua yang saya katakan itu bukan Cuma basa-basi, 
mengapa saya biarkan ada acara seperti petang ini? Pertanyaan yang tepat! Dan dari sisi 
pandang saya, saya punya beberapa alasan. 

(1) Perkembangan terakhir penyakit saya menunjukkan, bahwa senja telah semakin 
membayang. Sebelum malam benar-benar tiba, saya pikir, baik juga bila sekali ini saya 
mengizinkan orang mewujudkan maksud baik mereka. Yaitu, merayakan kebaikan Tuhan 
selama 60 tahun di dalam kehidupan saya dan keluarga. Ini tidak berarti seolah-olah kali 
ini pasti merupakan HUT saya yang terakhir. Bisa begitu, tapi siapa tahu masih ada yang 
ke-70 atau 80 atau 90. tapi kalau soal perayaan, cukuplah sekali ini saja. 

(2) Apa lagi bila perayaan ini dapat sekaligus dimanfaatkan untuk memperkenalkan 
Yayasan Gloria, yang memang menjadi penyelnggara acara sore ini. Yayasan ini adalah 
sebuah usaha yang dirintis oleh beberapa orang muda, nyaris tanpa modal apa-apa, 
kecuali iman yang teguh, visi yang jernih, doa yang tak berkeputusan, serta integritas 
yang tinggi dan kerja keras. Karenanya saya amat mengagumi orang-orang ini. Dan ingin 
agar, khususnya di tengah-tengah paceklik prestasi orang-orang kristen di Indonesia 
dewasa ini, kita menimba inspirasi dari mereka. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. 

(3) Kemudian alasan yang ketiga adalah, alangkah baiknya pula bila melalui perayaan ini, 
buku-buku saya dan terbitan GLORIA lainnya bisa dikenal, dibeli dan dibaca kian 
banyak orang. Selama ini kita barangkali terlalu berendah hati (atau rendah diri?), 
sehingga promosi selalu menjadi titik lemah para penerbit dan toko buku kita. 

Tanpa malu-malu saya katakan, bahwa saya sangat rindu karya-karya saya dibaca dan 
disebarkan seluas-luasnya. Jadikan misalnya buku-buku tersebut sebagai hadiah Natal. 
Hadiah berupa buku, ditanggung lebih berharga ketimbang biskuit-apalagi bila telah 
kadaluarsa. Saya tidak malu-malu mempromosikan buku-buku saya sendiri, sebab satu- 
satunya obsesi saya adalah, bagaimana (a) agar melaluinya kehendak Tuhan dipahami, 
dihayati dan ditaati dengan benar; dan (b) agar kekristenan kita dihadirkan secara efektif. 
Artinya, umat kristen tidak dianggap sepele, seperti topi atau dasi-yang boleh ada, boleh 
tidak, tidaklah. 

Hampir semua tulisan saya adalah rintihan mengenai kondisi kita bergereja, 
bermasyarakat, berbangsa, bernegara; serta peringatan mengenai betapa seriusnya 
keadaan. Suasana batin saya adalah suasana batin para nabi, yang meratapi nasib umat 
Allah, menyadari negerinya malapetaka yang bakal menimpa, aibat kebebalan serta 
kedegilan sendiri. Namun demikian, masih ada yang nomor tiga. Yaitu, bahwa Tuhan toh 
masih menganugerahkan kesempatan - walau tak banyak - untuk bertobat. Buku-buku 
saya menyerukan pertobatan! O Saudara, dengarlah pesannya, lalu please berbuatlah 
sesuatu - segera! 

Martin Sinaga atau Trisno - saya lupa siapa - pernah melontarkan kritik mengatakan, 
betapa tulisan-tulisan saya belakangan menjadi semakin introvert dan tertuju ke dalam. 
Saya merasa perlu menanggapi kritik ini. Bahwa ada perubahan, baik dalam gaya 
maupun dalam substansi penulisan, itu saya akui. Berubah, bagi saya, adalah konsekuensi 



kehidupan. Lalu bahwa kecenderungan tulisan-tulisan saya sekarang semakin banyak 
tertuju ke dalam, itu pun tidak saya pungkiri. 

Tetapi bahwa saya introvert, ini tidak saya akui. Concern utama saya tetap, yaitu 
bagaimna menerjemahkan dan menghadirkan iman kristiani kita secara konkret, relevan 
dan efektif di tengah-tengah realitas kehidupan. Ringkas kata, bagaimana membuat 
kekristenan kita punya arti. Ini tidak introvert. 

Sudah cukup lama, saya merasa dikejar-kejar oleh pertanyaan yang kian lantang saja saya 
dengar: "APAKAH AGAMA MASIH PUNYA ARTI? APAKAH DUNIA TIDAK 
AKAN LEBIH SEJAHTERA TANPA-NYA? Tengoklah peristiwa Bali! Saya tidak 
mengatakan bahwa tragedi Bali pasti dimotivasi oleh agama, walau saya punya dugaan 
kuat,bahwa ada warna, simbol dan aroma agama yang kental dan keras di situ. Yang 
ingin saya pertanyakan adalah, siapapun yang akhirnya nanti terbukti melakukannya, 
mengapa agama seolah-olah Cuma bisa mengutuk, menyalakan lilin, menabur bunga, dan 
berdoa? Selebihnya, lunglai tak berdaya apa-apa? 

Dan di mana kekristenan? Apa yang sesungguhnya harus dilakukannya, dapat 
dilakukannya, dan telah dilakukannya? Anyting? Anything at all? Jujurlah, apakah 
kekristenan masih punya makna bagi dunia? 

Bagi saya jawabannya sangat sederhana. Kekristenan punya makna bagi dunia, kalau 
Kristus punya makna bagi dunia. Dan Kristus punya makna bagi dunia, bila Ia terlebih 
dahulu punya makna bagi kita-pengikut-pengikut-Nya. Tapi, astaga, bukankah justru 
pada titik inilah, terletak akar persoalan kita? Karena Kristus hampir-hampir tak punya 
makna, arti, fungsi, konsekuensi apa-apa lagi bagi orang-orang Kristen sendiri! Ada 
ratusan gerja di Jakarta, tapi di mana Kristus? Ada jutaan orang Kristen di Indonesia, tapi 
dimana wajah dan Roh Kristus? 

Pengamatan serta pengalaman saya belasan tahun lamanya mengatakan, betapa gereja- 
gereja yang tradisional kian mem-fosil, sementara gereja-gerja yang kontemporer - 
dengan segala gegap-gempita dan sorak-soarainya - Cuma berhasil menambah jumlah 
"bayi-bayi rohani" yang tak kunjung dewasa. 

Gambarannya menjadi lebih suram lagi, Saudaraku, ketika kita mengamati 
kepemimpinan kristiani kita. Proses demoraisai pemimpin-pemimpin kita agaknya 
bergulir amat cepat, dan kini telah hampir tiba di titik nadir. Salehnya khotbah-khotbah 
mereka, galaknya dan muluknya statement-statement mereka! Tapi juga skandal-skandal, 
amoralitas serta kemunafikan mereka! Tak kalah buruk dibandingkan dengan gereja- 
gereja abad pertengahan semasa Luther! 

Selama keadaan seperti ini kita biarkan berlangsung, maka bukan saja kita semakin tak 
akan punya wibawa moral lagi di hadapan dunia, namun kita pun sedang mengundang 
kehancuran masuk ke rumah kita! O bisa saja - dan mudah sekali - mengkhotbahi dunia 
ini dengan statement-statement dan esai-esai kita, mengatakan apa yang disukai dan 
berkesan di hati orang banyak, seperti yang selalu dilakukan oleh para nabi palsu. Tapi 



tanpa didukung oleh kejujuran dan integritas moral, dunia tahu juga betapa kita Cuma 
macan ompong yang hanya pintar mengaum. Karena itu, tak perlu diacuhkan benar. 
Salahkah saya bila kini berkeyakinan, dapur dan kamar tidur kitalah yang mesti kita 
bereskan terlebih dahulu, sebelum mengundang orang datang? 

Akhirnya, tibalah saatnya sekarang saya menyampaikan ucapan terima kasih saya yang 
sedalam-dalamnya. Ucapan terima kasih saya yang paling khusus sudah sepantasnya saya 
tujukan kepada para "aktor intelektual" sekaligus "korlap" (=koordinator lapangan" - 
istilah yang populer setelah aksi teror di Bali) di balik peristiwa sore ini, yaitu saudara- 
saudara ANG TEK KHUN dan Pendeta AYUB YAHYA. Anak-anakku dan rekan- 
rekanku, terimalah penghargaan saya yang setinggi-tingginya atas prakarsa dan kerja 
keras kalian! 

Tak kurang khususnya, terima kasih juga saya alamatkan kepada semua orang yang telah 
ikut berprihatin atas sakit saya selama belasan tahun ini, dan menyatakannya dalam 
pelbagai bentuk: pemberian, doa, kunjungan, bahkan ada pula yang dalam bentuk sengaja 
tidak mau mengunjungi saya, justru karena mengasihi saya - "Takut mengganggu," kata 
mereka. Mereka ini dari dalam kota dan luar kota; dari dalam negeri dan luar negeri. 
Semua ini, saya yakin, yang telah membuat saya lebih mampu bertahan. Terima kasih! 
Merci beaucop! 

Dan kepada Anda sekalian, baik yang hadir maupun yang tidak bisa hadir pada sore ini. 
Terus terang, tidak ada nikmat yang lebih besar daripada merasa dicintai - dan itu betul- 
betul saya rasakan sore ini. Namun sekaligus, juga tidak ada rasa tertekan yang lebih 
besar daripada merasa berhutang kepada begitu banyak orang, dan tahu bahwa saya tak 
mungkin membayarnya kembali. Perasaan itu pun ada pada saya saat ini. 

Terima kasih banyak semuanya! Anda semua begitu berarti bagi saya! Namun demikian, 
toh hanya Allah yang layak ditinggikan dan dimuliakan. Ayat-ayat yang akan saya kutip 
berikut ini, saya pandang penting untuk senantiasa kita camkan, 

"Seorang raja tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; 

seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan. 

Kuda adalah harapan sia-sia untuk mencapai kemenangan; 

Yang sekalipun besar, ketangksannya tidak dapat memberi keluputan. 

Sesungguhnya mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, 

Kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya" (Mazmur 33: 16-19) 

Sekian, Tuhan memberkati Anda sekalian! 

Jakarta, 16 November 2002 
Dengan Penuh Kerendahan Hati, 
Eka Darmaputera,- 



Refleksi Akhir TAHUN 2002 



Alangkah Mujurnya Kita, Andaikata... 
Oleh: Eka Darmaputera 

Hari ini, hari Selasa, 31 Desember 2002. Puji Tuhan, tiba juga kita di penghujung tahun - 
akhirnya. Dengan selamat, walau terengah-engah. Tetapi - apakah seperti saya- Anda 
tidak melonjak dan terpekik gembira karenanya? 

Barangkali pengalaman yang terlalu sering melemparkan kita ke atas lalu membanting 
kita kembali ke bawah beberapa tahun terakhir ini telah kian menumpulkan perasaan kita. 
Menjadikan kita terlalu skeptis untuk bisa tertawa lepas. Sekaligus terlalu letih buat 
menangis keras. Lalu sekadar menjalani hidup ini seadanya. 

Apalagi rasa-rasanya tahun 2002 ini juga tidak menyuguhkan hal-hal yang kualitatif baru. 
Bom Bali? Mengejutkan "y a '\ tetapi mengherankan "tidak". Megawati? Semakin tidak 
peduli dan kian berani unjuk-gigi "ya", tetapi drastis berubah "tidak". Akbar Tandjung 
divonis, MA Rachman digugat, dan Tommy Soeharto ke Nusakambangan "ya", tetapi 
memperlihatkan pertobatan publik (public-repentance) mereka "tidak". 

Rupiah terpilih jadi mata uang terbaik tahun 2002 "ya", tetapi apa itu membuat nasib 
rakyat juga membaik, saya rasa "tidak". UUD 1945 berhasil diamandemen "ya", tetapi 
apa mentalitas dan budaya politik kita berubah lebih baik dan lebih demokratis, saya kira 
"tidak". Para tersangka pelaku teror satu demi satu tertangkap "ya", tetapi apa itu akan 
membuat terorisme dan kekerasan berhenti serta-merta, saya yakin "tidak". 

* * * * 

JADI, apakah yang bisa saya tulis untuk Refleksi Akhir Tahun kali ini? Untuk refleksi 
kali ini saya memilih untuk "berimajinasi-ria". Mengapa ini pilihan saya? 

Anda salah bila beranggapan bahwa imajinasi dan fantasi adalah permainan anak-anak 
semata. John Rawls mengatakan, mustahillah orang menghasilkan pengertian tentang 
keadilan yang seadil-adilnya, selama definisi itu di-"gelendot"-i oleh kepentingan- 
kepentingan pribadi para perumusnya. Bagi Bush, menyerang Irak adalah "adil", seadil 
menghancurleburkan Amerika Serikat bagi Osama bin Laden. 

Lalu bagaimana? Menurut Rawls, untuk dapat mendefinisikan keadilan seobjektif 
mungkin, kita harus berimajinasi seolah-olah kita baru saja mendarat di sebuah planet 
lain, dan baru akan mulai membangun sebuah masyarakat yang benar-benar baru di sana. 
Ketika itu kita belum punya kepentingan pribadi apa-apa, kecuali bagaimana menata 
kehidupan seadil-adilnya, yang menjamin kepentingan masing-masing maupun 
kepentingan semua. Orang-orang macam mereka itulah, kata Rawls, yang bisa 
mendefinisikan keadilan seadil-adilnya. Karyanya, Theory of Justice, yang amat "ilmiah" 
itu, adalah hasil "imajinasi" itu. 



MASIH ingatkah Anda akan cerita lama, tentang Pairun si petani miskin dari Desa 
Sendangpitu, yang pergi ke pasar untuk menjual beberapa butir telur ayamnya? 

Di tengah jalan, karena kelelahan, ia beristirahat. Di bawah sebuah pohon rindang, dibelai 
angin sejuk yang bertiup lembut. Lalu melamunlah Pairun. Bagi orang semiskin dia, apa 
lagi hiburan yang lebih aman, bebas, murah dan nyaman daripada melamun? 

Dalam lamunannya itu, ia ber-"fantasi-ria". "Seandainya nanti telur-telur ini laku 30.000 
rupiah, maka 5.000 rupiah cukup untuk makan hari ini dan besok. Sisanya, 25.000 rupiah, 
akan aku belikan dua ekor ayam betina. Ayam-ayam itu akan bertelur, dan hasil 
penjualannya nanti akan aku belikan kambing, yang pasti akan beranak-pinak. 

Dari hasil menjual telur, ayam, dan anak-anak kambing, aku akan membeli sapi. Setelah 
aku mempunyai lima ekor sapi saja, aku akan sudah bisa mendirikan usaha pemerahan 
susu. Pairun, petani paling melarat dari Desa Sendangpitu, kini jadi juragan susu!" 

Ia tersenyum puas, lalu tertidur pulas. Satu dua jam kemudian, ia terbangun. Tetapi baik 
senyum maupun seluruh sisa rasa kantuknya hilang seketika. Diganti oleh kepedihan dan 
kebingungan. Keranjang telurnya lenyap dicuri orang. Dan ingatkah Anda, bagaimana 
tragedi itu berawal? Semua itu berawal dari satu kata, "seandainya". 

* * * * 

KARENANYA, terdengar arif bila para petinggi kita, untuk mengelak dari kejaran 
pertanyaan wartawan, cukup berkata, "Saya tidak mau berandai-andai". Dan masuk akal 
pula, bila yang ada ialah Tim Pencari Fakta, bukan Tim Pengusut Andaikata. 

Toh, sekali lagi, berandaikata-ria itu tak selalu buruk. Sebagian besar penemuan ilmiah 
dimulai dengan imajinasi. Ingat teori gravitasi Newton? Perkembangan ilmu juga sering 
menempuh rute dari science fiction ke science vision. Kegiatan matematika, fisika dan 
kimia adalah meng-"imajinasi"-kan realitas dengan huruf-huruf dan angka-angka. 

Sedang ilmu-ilmu lain, khususnya yang noneksakta, pada hakikatnya adalah upaya 
me-"rekonstruksi"-kan, meng-"inter-relasi"-kan dan kemudian men-"defmisi"-kan fakta. 
Semua itu hanya mungkin dilakukan, dengan daya imajinasi yang tinggi. 

Berandai-andai memang tidak baik untuk hal-hal tertentu dan pada saat-saat tertentu. 
Apalagi bila itu membuat orang terbuai oleh lamunannya, sehingga tidak merasa perlu 
berupaya melakukan apa-apa dengan tangannya. Namun untuk hal-hal tertentu yang lain, 
berandai-andai itu mutlak perlu. 

Bayangkanlah andaikata di tahun 2003 ini MA Rachman atau Akbar Tandjung 
mencalonkan diri jadi presiden. Ketika ditanya, "Kok berani-beraninya Anda 
mencalonkan diri? Apa rencana konkret Anda untuk membasmi korupsi, andaikata 
terpilih?"; jawab mereka cuma, "Saya tak mau berandai-andai. Yang penting menang 



dulu". Akan Anda pilihkah calon yang fasilitasnya mau tetapi tanggung jawabnya emoh, 
seperti mereka itu? 

* * * * 

KARENA saya bukan calon apa-apa, saya akan memanfaatkan kebebasan saya untuk 
berandai-andai. Bukan saja karena berandai-andai itu aktivitas yang sah dan banyak 
manfaatnya, tetapi terutama karena sepanjang tahun 2002 ini, bila cuma melihat fakta, 
rasa-rasanya tak ada apa-apa yang berharga untuk kita bicarakan. 

Ini sama sekali bukan karena saya sengaja menutup mata terhadap fakta-fakta perbaikan 
yang ada. Sama sekali tidak! Ditangkapinya para tersangka teroris itu baik. Hidup Polri! 
Perdamaian di Aceh itu baik! Hidup TNI! Kegiatan-kegiatan KPKPN itu baik! Hidup 
KPKPN! 

Tetapi, sayang seribu sayang, semua kebaikan itu masih kalah bahkan terkubur oleh hal- 
hal yang memrihatinkan. Karena itu, tidak berarti banyak. Panas setahun terhapus oleh 
hujan sehari. Tidak ngefek, istilah popnya. 

Apa, menurut pendapat Anda, masalah yang bila tak tertanggulangi akan membuat semua 
hasil baik jadi mubazir? Jawabnya pasti beranekarupa. Ada yang mengatakan "sistem 
politik", ada yang memilih "situasi ekonomi", ada yang menunjuk "kepastian hukum", 
dan ada pula "kepemimpinan nasional". 

Saya mengakui, yang disebutkan itu memang krusial. Namun demikian, bagi saya, 
persoalan kuncinya tidak di situ! Ada satu persoalan kunci, yang bila tidak teratasi, akan 
membuat semua upaya sia-sia. Hasil-hasil yang telah berhasil kita capai dengan susah- 
payah akan tersapu bersih, bagai embun atau halimun diterpa terik mentari pagi. 

* * * * 

APAKAH persoalan kunci yang satu itu? Menurut keyakinan saya, penyakit kanker yang 
paling ganas bagi kelangsungan hidup sebuah negara, tak lain adalah korupsi. Sebuah 
kata yang telah kian kehilangan makna dan gregetnya di negeri kita, sebab telah menjadi 
santapan sehari-hari. Padahal ia begitu mengerikan dan menghancurkan! Politik yang 
korup akan berfungsi sebagai penyalur ambisi kekuasaan serta ajang konflik 
antarkepentingan semata. Boro-boro memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Ekonomi yang korup akan berfungsi sebagai pemberi lisensi dan pengabsahan untuk 
menguras kekayaan negara belaka. Boro-boro membawa pemerataan. Hukum yang korup 
akan berfungsi sebagai pelindung para pelaku tindak kejahatan -bergantung pada tarifnya. 
Boro-boro menegakkan keadilan. 

Karena itu tokoh sehebat apa pun tak akan berdaya apa-apa di dalam sebuah negara yang 
korup. Untuk bertahan, ia mesti mau menjadi bagian dari struktur yang korup. Atau, bila 



ia toh berkeras-kepala ingin melawannya juga, kemungkinan besar ia akan segera 
terguling dan tergulung oleh sistem yang ingin dilawannya itu. 

Korupsi membuat segala sesuatu bisa diperjualbelikan. Termasuk harga diri, keyakinan, 
dan nilai-nilai kebenaran. Sebuah negara yang diisi oleh orang-orang -apalagi pemimpin- 
pemimpin- yang tak lagi punya rasa malu, tak lagi punya prinsip, tak lagi mampu 
membedakan antara yang baik dan yang jahat, tidak punya kemungkinan untuk bisa 
bertahan. 

* * * * 

MERAJALELANYA korupsi mengekspresikan runtuhnya moralitas bangsa. Keruntuhan 
akhlak itulah yang membuat semua upaya perbaikan menjadi mubazir, dan karena itu 
harapan akan masa depan pun redup. Orang menghendaki perubahan yang drastis! 
Tetapi, astaga, dalam keadaan seperti ini, yang mereka lihat adalah justru betapa tidak 
seriusnya pemimpin-pemimpin mereka mengatasi persoalan korupsi ini. 

Kekecewaan yang kian mendalam itulah yang menumbuhkan radikalisme dan 
ekstremisme. Karena amat dikecewakan oleh pemimpin-pemimpin yang ada, banyak 
orang muda berpaling kepada tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi radikal, yang 
menurut anggapan mereka, paling sedikit -for better or for worse- menjanjikan 
perubahan. Semakin radikal, semakin menarik. 

Mereka memang salah, bila tidak menyadari bahwa perubahan bisa membawa perbaikan, 
tetapi juga keburukan. Namun yang jelas, sia-sialah upaya mengatasi radikalisme (dengan 
segala eksesnya) tanpa mengubah keadaan secara drastis. Dan sia-sialah upaya mengubah 
keadaan, selama kita biarkan korupsi merajalela. 

Jadi, karena besok adalah hari libur, bagaimana kalau saya usulkan agar Anda memakai 
kesempatan itu untuk sedikit berimajinasi, berfantasi-ria, berandai-andai: "Bagaimana ya, 
andaikata Indonesia kita bebas korupsi?" Alangkah mujurnya kita, andaikata ... 

Juga, karena besok kita akan memasuki tahun 2003, dan konon pada tahun itu calon- 
calon presiden sudah mulai disosialisasikan, bagaimana kalau mulai besok kita mulai 
berpikir keras mencari calon yang punya baik niat, iktikad maupun tekad untuk 
memberantas korupsi? Masa ada teman saya yang mengusulkan, daripada membayar 
biaya konsultan begitu mahal untuk BPPN, mengapa kita tidak menyewa Lee Kuan-yew 
saja? Ah, ada-ada saja! 

Tetapi namanya juga cuma berandai-andai, bukan? Siapa tahu, dalam setahun lebih 
sedikit ini kita menemukan "Lee Kuan-yew" Indonesia. Tak perlu Jawa. Tak perlu pria. 
Tak perlu bekas tentara. Tetapi harus betul-betul antikorupsi! 

O ya, kemudian bagaimana kalau "Lasykar Jihad" kita hidupkan kembali? 
Keanggotaannya lintas agama, dan sekarang agenda utamanya adalah berjihad melawan 



korupsi dan pejabat-pejabat yang korup. Itu juga sekadar berandai-andai. Tetapi bila 
ditanggapi serius, boleh juga lho! Saya mendaftar. (Pembaruan/31 1202) 

Sederhana Itu Tidak Sederhana 
Oleh Eka Darmaputera 

Banyak orang merasa "risih" dengan hal-hal yang sederhana. Simplifikasi atau 
"penyederhanaan" dianggap sebagai pendangkalan dan pemangkasan kekayaan nuansa 
suatu fenomena. 

Ini pantangan keras bagi para cerdik cendekia. Sebab sesuatu yang "ilmiah" adalah bila 
yang "sederhana" bisa dibuat menjadi "tidak sederhana". 

"Penyederhanaan masalah" cuma pantas dilakukan oleh "orang-orang sederhana". Yakni 
orang-orang yang berpendidikan rendah (alias "bodoh"), dan yang penampilannya pun 
"sederhana". 

"Sederhana" yang ini, artinya: tidak "modis", jauh dari dunia gemerlapan, tidak 
mengikuti selera zaman. Mereka begitu, karena terpaksa begitu. Dan terpaksa begitu, 
karena kemampuan mereka ya memang cuma sampai di situ. Bila ada yang "mampu" tapi 
toh berpenampilan "begitu"-seperti Bob Sadino, si pemilik Kem Chick itu, misalnya -ini 
namanya "nyentrik". Tidak umum. 

"Kesederhanaan" karenanya cuma indah di tingkat penuturan, dan mungkin 
mengagumkan sebagai tontonan. Tapi untuk diterapkan ke diri sendiri? Wah, umumnya 
ini cuma bila sangat terpaksa. 

Mode mutakhir yang menonjolkan penampilan "sederhana" - biar "selebor" asal nyaman 
atau "comfi" - ternyata sama sekali tidak murah dan sederhana. Sebuah celana jean yang 
warnanya "belang-blentong", lututnya sobek, dan ujung-ujungnya seakan-akan lupa 
dijahit, harganya bisa ratusan ribu rupiah. 

Begitu pula kemeja "butut" yang tidak pernah bisa licin diseterika, atau kaus oblong 
buntung yang "pletat-pletot" bentuknya. Percaya atau tidak, yang mampu mengenakan 
ini, bukanlah "orang-orang sederhana". 

* * * * 

KARENA orang merasa kurang terhormat dengan hal-hal yang sederhana itulah, maka 
doa yang diajarkan oleh Yesus, "BERILAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN 
KAMI YANG SECUKUPNYA" pun, menurut pendapat beberapa orang, perlu difahami 
dan ditafsirkan lebih mendalam. Supaya tidak terlalu vulgar! 

Sebab, menurut mereka, tidak masuk akal-lah bila Yesus, Tuhan yang Maha Mulia itu, 
berbicara- apalagi mengajar-murid-murid-Nya, berdoa untuk sekadar minta roti atau nasi 



atau tiwul atau mi. Tambahan lagi, bukankah Ia sendiri pernah mengajarkan, " Janganlah 

kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami 

minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak 
mengenal Allah" (Matius 6:31-32)? 

Doa ini, kata orang-orang itu, karenanya mesti kita maknai secara lebih "canggih". 

Agustinus, misalnya, mengartikan "makanan" dalam doa Yesus, sebagai roti dalam 
sakramen Perjamuan Kudus yang seharusnya dirayakan setiap hari. 

Bila tafsiran Agustinus ini benar, maka doa ini lalu berarti memohon berkat Tuhan atas 
"roti" yang dipecahkan dan "anggur" yang dituangkan di "meja"-Nya yang kudus itu. 
Dengan kata lain, doa ini hendak mengingatkan, bahwa di samping "roti" bagi tubuh kita 
yang adalah hasil jerih lelah kita, setiap hari kita membutuhkan pula "roti rohani" bagi 
jiwa kita yang adalah "pemberian" Tuhan semata-mata. Karena itu kita berdoa, "Berilah 
kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya". 

* * * * 

JADI, sekali lagi menurut mereka, "makanan" yang dimaksud adalah "roti rohani"; "roti 
sorgawi"; "roti hidup". Dan ini adalah siapa lagi bila bukan Yesus sendiri? Ia yang 
berkata, "Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Barangsiapa makan daging-Ku 
dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia 
pada akhir zaman" (Yohanes 6:51, 54). 

Penggubah KIDUNG JEMAAT 464 juga me"rohani"kan makna "roti" tersebut. Dalam 
liriknya, Mary Artemisia Lathbury (1877) menulis: "Tuhan, pecahkanlah roti hayat, bagai 
di tasik dulu Kau buat. Kau kerinduanku, ya Tuhanku, Dikau kucari dalam sabda-Mu. 
Kau Roti hidupku, Firman kudus; ajar 'ku makan roti itu t'rus. Kau kes'lamatanku dan 
hidupku; bri kucintai kebenaran-Mu". 

Dibayangkan di sini betapa kehidupan rohani manusia itu juga bisa merana kelaparan, 
kecuali bila setiap hari secara teratur diberi "makanan", yaitu Firman Tuhan. Makanan itu 
sebenarnya telah siap tersaji di hadapan kita. 

Namun tak ada artinya apa-apa, bila kita tidak bersedia meraihnya, menyuapkannya ke 
mulut kita, mengunyahnya, menelannya, dan mencernanya. Doa Yesus, menurut tafsiran 
ini, hendak mengingatkan kita akan dimensi kebutuhan ini: membaca dan merenungkan 
isi Alkitab secara teratur setiap hari. "Berilah kami pada hari ini makanan kami". 

* * * * 

DENGAN cara penafsiran seperti itu, doa kita memang lalu kelihatan "lebih kaya", "lebih 
subtil", "lebih dalam". Tidak terlalu "vulgar" dan tidak terlalu "sederhana" lagi. Namun 
sebagai tafsiran, yang selalu perlu kita tanyakan adalah, benarkah "tafsiran kita" itu 
sesuai dengan "maksud-Nya"? 



Artinya, ketika Tuhan mengajarkan doa tersebut, benarkah memang masalah "sakramen" 
itulah yang terlintas di benak-Nya? Benarkah soal "makanan rohani" yang hendak 
disampaikan-Nya? Atau hal pentingnya "membaca Alkitab"? Atau bukan? 

Saya cenderung mengatakan, "Tidak". Keyakinan saya adalah, yang Ia ucapkan itulah, 
yang Ia maksudkan. Yesus bukan seorang "eufimis". Ia tidak pernah berusaha 
membungkus berita buruk dengan kata-kata manis. 

Bagi-Nya, "kelaparan" ya "kelaparan", bukan "kelangkaan pangan". "Melarat" ya 
"melarat", tidak menjadi "pra-sejahtera". Itulah gaya Tuhan kita. "Ya" untuk "ya"; "tidak" 
bila "tidak". Berbeda sekali, bukan, dengan gaya bicara penggede-penggede kita? "Saya 
tidak mencalonkan diri, tetapi .". "O, saya setuju saja mengundurkan diri, tetapi ." 

Eufimisme adalah penyakit dan kegenitan orang kota. Sedang Yesus adalah orang desa. 
Gaya-Nya lugu, jujur, terus-terang, tanpa pretensi. Tak pernah merasa risih atau 
kehilangan gengsi dengan hal-hal yang kecil dan sederhana. Rakyat kecil-dengan siapa 
Yesus mengidentifikasikan diri-Nya-memang begitu. 

Silakan Anda tanya apa pendapat mereka tentang "demokrasi" atau "demonstrasi". Jawab 
mereka pasti, "Ah, bagi kami orang kecil, yang penting mah asal bisa makan, anak-anak 
bisa sekolah, dan semua aman-aman ajah". 

Mengatakan, "Bagi saya yang penting asal bisa makan", bagi mereka, bukanlah soal 
gengsi. Seperti Yesus, yang juga tidak merasa "minder" berbicara soal roti, soal ikan, soal 
garam, soal ragi, dan soal biji sesawi. Itu alasan saya, mengapa saya yakin benar, bahwa 
apa yang Ia ucapkan, itulah yang Ia maksudkan. 

Salah satu sifat Allah yang hakiki adalah itu. Tak pernah membuat jarak antara kata-kata 
dan realita. Tak pernah menggali jurang antara yang diucapkan dan yang dimaksudkan. 
Tak pernah membangun tembok antara yang dikatakan oleh mulut dan yang dikerjakan 
oleh tangan. Tak pernah bersikap "lain di depan lain di belakang"; atau "lain di mulut lain 
di hati". Bila Anda mau merefleksikan Allah, teladanilah integritas-Nya! Buang jauh-jauh 
kemunafikan dan kepalsuan! 

* * * * 

"BERIKANLAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI YANG 
SECUKUPNYA". Menurut anggapan Anda, doa ini masih juga terlalu dangkal, terlalu 
vulgar, dan terlalu sederhana? 

Dari satu sisi, Anda tidak salah berpendapat begitu. Doa ini memang tidak bermaksud 
bicara yang "dalam-dalam" atau yang "tinggi-tinggi". Ia mau berbicara mengenai hal-hal 
yang amat sederhana, masalah kebutuhan hidup manusia sehari-hari: "Makan apa saya 
hari ini?" 



Ya. Namun, di balik kesederhanaannya itu, doa ini sesungguhnya mempunyai implikasi 
yang luar biasa. Yaitu, bahwa Tuhan memperkenankan kita membawa persoalan- 
persoalan kita yang "sepele" dan "sederhana", kebutuhan-kebutuhan hidup kita yang 
kongkret dan nyata, di dalam doa-doa kita! 

Allah kita tidak cuma mau peduli terhadap "orang-orang besar" dengan "persoalan- 
persoalan besar". Melainkan Allah yang punya perhatian khusus kepada "orang-orang 
kecil" dengan "persoalan-persoalan kecil". Soal "makanan mereka sehari-hari". 

Ia bersedia mendengarkan doa si Cynthia kecil, yang mengkhawatirkan anjingnya, sebab 
akan ditinggal pergi berlibur ke Bali selama beberapa hari. Berkenan memberi tempat di 
hati-Nya bagi keluhan para petani yang sawahnya puso akibat kemarau panjang. 

Hati-Nya bergetar mendengarkan protes diam para nelayan yang kehilangan sumber 
nafkah mereka, sebab pantai di mana mereka tinggal selama ratusan tahun akan 
direklamasi menjadi daerah pariwisata. Ia merintih bersama nenek tua yang kambuh 
penyakit rematiknya. 

Resah bersama anak-anak muda yang tak melihat banyak harapan di masa depan mereka. 
Ikut gamang bersama dengan buruh-buruh lepas, yang sewaktu-waktu bisa kehilangan 
pekerjaan. 

Bila di zaman sulit ini, sulit pula mencari orang-orang yang bersedia mendengarkan 
keluhan-keluhan kita, apalagi mengenai soal-soal yang "remeh" dan "sepele", doa ini 
hendak membesarkan hati kita, karena kita punya Tuhan yang bersedia mendengarkan 
dengan penuh perhatian setiap keluh-kesah kita. 

Di hadapan-Nya, tak ada orang yang terlalu kecil, dan tak ada persoalan yang terlalu 
sepele. Termasuk soal "makanan kita untuk hari ini". Itulah "Bapa kita yang di sorga". 

Konsekuensinya, untuk hal-hal yang paling kecil sekali pun, kita harus menyadari dan 
mengakui ketergantungan kita kepada-Nya. Sebab tak satu bulir padi pun yang kita 
peroleh, dan tak satu butir nasi pun yang kita telan, yang bukan anugerah Allah. Karena 
itu doa kita, "Berilah kami hari ini makanan kami yang secukupnya". 

Menerima Kehendak Tuhan 
Oleh Eka Darmaputera 

"JADILAH KEHENDAK-MU, DI BUMI SEPERTI DI SORGA". Apakah Anda-seperti 
saya- merasakan bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam doa ini? Tidak? Kalau begitu, 
tolong timbang-timbang. 

Bila sesuatu memang benar-benar "kehendak Tuhan", apa perlunya kita doakan? 
Bukankah kita doakan atau tidak, ia tentu akan terjadi? Sebab kalau tidak begitu, 



namanya bisa "kehendak Parman" bisa pula "kehendak Firman", tapi pasti bukan 
"kehendak Tuhan". Iya, kan? 

Cuma ada satu kemungkinan menjawab itu, yaitu doa ini bukanlah suatu permohonan dan 
bukan pula suatu harapan, melainkan sebuah sikap atau pernyataan. Sebuah komitmen 
iman. Bahwa kita bertanggung jawab atas terwujudnya kehendak Tuhan itu. 

Pertama-tama dalam hidup pribadi kita masing-masing, tapi kemudian juga pada hidup 
semua orang di seluruh muka bumi. Orang yang cuma mau memuaskan "kehendak 
dewek", tidak layak berdoa, "Jadilah kehendak-Mu". 

Tak mungkin berdoa, "Jadilah kehendak-Mu", tanpa terlebih dahulu menerima 
terwujudnya kehendak-Nya itu dengan sukacita. Tentu saja! Begitu, kita akan berteriak 
spontan. Memang! Tapi sadarkah kita, bahwa tepat di sini, kita menghadapi dilema yang 
paling pelik. 

* * * 

SEBAB yang Yesus ajarkan, adalah berdoa, "Jadilah kehendak-Mu". Titik. Tanpa plus, 
tanpa minus. Ini berarti, yang wajib kita upayakan agar "terjadi", adalah setiap dan 
seluruh kehendak Tuhan. 

Apa pun kehendak Tuhan itu? Ya. Kalau begitu, alangkah ngerinya! Sebab kita tahu, 
tidak selalu "kehendak Tuhan" itu cocok dan sejalan dengan "keinginan kita". Bagaimana 
bila kehendak Tuhan itu adalah ingin mengambil, bukan memberi? Merubuhkan, bukan 
membangun? Menampik, bukan menerima? Masih "berani"kah kita berdoa, "Jadilah 
kehendak-Mu" ? 

Tapi kita berani atau kita takut, Anda benar, "kehendak Tuhan" pasti terjadi. Tak ada 
kuasa apa pun di alam semesta ini yang mampu melawan kehendak-Nya. Jadi? Jadi tak 
ada yang lebih baik, dari pada kita memakai nalar sehat kita. 

Maksud saya, bila kita tahu persis, bahwa kehendak Allah itu tak mungkin dilawan dan 
percuma ditolak, - ibarat menghadapi banjir bandang di mana kita tak mungkin mengelak 
- mengapa kita tidak menerimanya saja dengan sukarela dan sukacita? And make the best 
of it! Bodoh sekali bila kita membenturkan kepala kita untuk membobol tembok yang 
menghalang di hadapan. Jauh lebih bijak, bila kita bersedia "mengalah", mengambil rute 
berputar sedikit, asal selamat tiba di tujuan. 

* * * 

BAGAIMANA caranya, kalau begitu, supaya kita mampu dengan sukarela dan sukacita 
menerima kehendak Tuhan? Dua hal ingin saya kemukakan. Yang pertama adalah, 
percayalah dengan setulus hati Anda akan KEBIJAKSANAAN Allah. 



Ini tentu bukan hal yang baru. Semua mengakui, bahwa dalam kebijaksanaan-Nya, Allah 
mengetahui jauh lebih akurat dan jauh lebih lengkap apa yang terbaik bagi setiap orang. 
Manusia terbatasi oleh waktu. Ia hanya dapat hidup dari saat ke saat. Yang lampau, tak 
dapat ia ulang kembali. Sedang yang akan datang, tak dapat kita ia ketahui dengan pasti. 
Ini cuma Allah yang mampu. Karena itu Ia mengetahui apa yang terbaik bagi tiap-tiap 
hal. 

Keyakinan seperti ini bukan monopoli milik orang Kristen saja. Ribuan tahun sebelum 
Kristus, Seneca sudah mengatakan, "Aku melatih keras kemauanku, tidak hanya untuk 
taat kepada Allah, tetapi untuk mengamini setiap keputusan-Nya. Ini kulakukan karena 
aku mau, bukan karena aku harus". 

Epictetus pun mengatakan hal yang senada, "Aku telah menaklukkan seluruh 
kebebasanku untuk memilih kepada Allah. Bila Ia mau aku sakit, itu adalah kemauanku 
juga. Bila Ia mau aku memperoleh sesuatu, itu pun merupakan keinginanku". 

"Deo parere, libertas est", kata Seneca. Artinya, "Menaati Allah adalah kemerdekaan 
yang sempurna". "Ducunt volentes fata, nolentem trahunt," katanya lagi. "Nasib 
menggandeng mesra mereka yang rela, tapi menghela paksa mereka yang melawan". 

Bagi orang yang beriman, yang berlaku bukanlah " Karena benar dan baik, maka ia pasti 
kehendak Tuhan". O, bukan! Bukan ini! Ini adalah jalan pikiran manusia pada umumnya. 
Yang menilai segala sesuatu-termasuk kehendak Tuhan-dari sudut apakah ia "benar" dan 
"baik" menurut kepentingannya. 

Padahal, seperti terjadi pada Israel sekeluar dari Mesir, Tuhan sering menetapkan jalan 
berputar . Kereta penghidupan kita bukanlah kereta kelas "eksekutif, "patas", "ekspres", 
dan "non-stop" ke "Tanah Perjanjian". Melainkan kereta "bumel", "truthuk", yang 
rutenya muter-muter, berhenti di setiap setasiun, dan berjalan terbatuk-batuk. 

Toh Israel pantas bersyukur bahwa Tuhan membawa mereka berputar selama 40 tahun di 
padang gurun. Pengalaman yang tidak menyenangkan memang. Tapi bayangkanlah bila 
tidak! Kapan Israel akan pernah ditempa menjadi satu bangsa? Kapan mereka akan 
sempat dilatih untuk memerintah diri sendiri? Kapan mereka akan dapat dipersiapkan 
berperang melawan musuh-musuh yang jauh lebih berpengalaman? Pengalaman 
sependeritaan, tutur Ernest Renan, adalah perekat paling ampuh bagi teranyamnya 
solidaritas sebagai satu bangsa. 

Sebab itu, yang berlaku bukanlah "Karena benar dan baik, maka ia kehendak Tuhan", 
tetapi: "Karena ia kehendak Tuhan, ia pasti benar dan baik". "Memang tiap-tiap ganjaran 
pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan 
buah-buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. 
Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah!" (Ibrani 12:1 1-12). 



* * * 



KEDUA, percayalah dengan sepenuh hati akan KASIH ALLAH. Dalam hal yang kedua 
inilah, sayang sekali, kita mesti bersimpang arah dan tak mungkin seiring sejalan dengan 
pemikir-pemikir besar Yunani, yang saya sebutkan di atas. Mengapa? 

Menurut keyakinan mereka, segala sesuatu yang ada, ada karena kehendak Allah. 
Konsekuensinya, semua itu tidak bisa lain harus kita terima. Kita mesti melatih jiwa kita, 
begitu kata mereka, untuk tidak peduli terhadap apa pun yang terjadi atas diri kita 
maupun orang lain. Jangan coba-coba lakukan apa-apa, sebab boleh jadi itu akan 
melawan kehendak Allah! 

"Mulailah dengan mangkuk yang pecah, lalu jubah yang robek, kemudian hewan 
kesayangan yang mati, dan akhirnya Anda akan bisa melihat orang yang terdekat dan 
paling Anda cintai mati, dan berkata " Aku tak peduli. Aku tidak mau peduli!", sebab ini 
adalah kehendak Allah" (Epictetus). 

Kekristenan mengecam keras sikap seperti ini. Sering sekali secara gampangan dan 
serampangan orang begitu saja mengatakan, "Ini sudah kehendak Tuhan. Kita bisa 
apa?!". 

Seorang pedagang kaki lima yang mati disambar bis kota. Seorang anak yang depresi 
berat karena hidup bersama dengan ayahnya yang pemabok. Seorang janda yang 
melacurkan diri karena ditinggalkan oleh suami sementara ia mesti menghidupi tiga 
orang anak. Negara yang porak poranda dan mendekati kehancuran, karena digerogoti 
korupsi. Astaganaga, begitu sajakah akan kita kataan, bahwa semua ini adalah kehendak 
Tuhan, karena itu tak ada yang perlu kita lakukan? 

Padahal jelas-jelas, semua itu bukan kehendak Tuhan. Semua itu terjadi karena ulah 
manusia yang justru melawan kehendak-Nya: sopir yang ugal-ugalan, ayah yang 
pemabok, suami keparat yang tak bertanggungjawab, aparat yang korup. Semua ini, 
saudaraku, adalah wujud kebejatan manusia, bukan kehendak Tuhan! 

Percaya bahwa Tuhan itu Maha Kasih berarti tidak mungkin percaya bahwa Tuhan ada di 
balik tragedi itu. Sebaliknyalah, Tuhan yang Maha Kasih datang untuk melawan itu, serta 
menolong mereka yang menjadi korban kejahatan dan kesemena-menaan sesamanya. 
Dengan mengajak kita berdoa "Jadilah Kehendak-Mu", Ia mengajak kita bersama-sama 
dengan Dia memeranginya. 

Memang saya akui kasih serta kebaikan Tuhan tidak jarang diwujudkan melalui suatu 
proses yang meneteskan air mata, memeras keringat, dan mencucurkan darah. Yesus 
sendiri menunjukkan, betapa "jalan kasih" yang paling nyata adalah "jalan salib". 

Namun, di penderitaan dan kesakitan yang terdalam, kita toh harus mengatakan, "Tidak! 
Penderitaan dan kesakitan ini bukan kehendak-Nya. Sekiranya dosa tak ada, aku yakin, 
manusia tak perlu mereguk piala pahit ini. 



Tapi aku tahu, aku boleh bersandar pada kasih-Nya. Mungkin sekali, Ia tidak serta merta 
mengusir penderitaan dan kesakitan itu pergi seketika. Tapi kasihNya membuat aku 
mampu tetap berdiri tegak, mataku menatap mantap, dan kakiku melangkah pasti, 
melewati semua ini. 

Lalu sekeluar dari situ, aku akan menjadi lebih matang, lebih bijak, lebih teguh, dan lebih 
tahan uji ketimbang sebelumnya. Aku yakin, "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu 
untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia" (Roma 8:28). 

Tapi bagaimana kita bisa seteguh itu? O saudara, tak ada resepnya, kecuali kita mesti 
mengerahkan tekad melatih disiplin jiwa kita. Dengan ajek, teratur, sedikit demi sedikit. 
Seperti seruan orang-orang Stoi, "Taklukkan seluruh kemauanmu ke situ, bung, Anda 
pasti bisa!" Tapi kita tahu, betapa labil-nya kemauan dan tekad manusia itu! Kita 
memerlukannya, tapi tak pernah dapat mengandalkannya. Karena itulah, kita masih harus 
terus berdoa, "Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga". 

Yang Empunya Kerajaan, Kuasa, dan Kemuliaan 
Oleh Eka Darmaputera 

"KARENA ENGKAULAH YANG EMPUNYA KERAJAAN DAN KUASA DAN 
KEMULIAAN SAMPAI SELAMA-LAMANYA" (Matius 6:13). Menurut para ahli, 
dalam naskah-naskah Alkitab yang paling tua dan paling terpercaya, kalimat tersebut 
kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak. Lukas tidak mencantumkannya (Lukas 11:4). 
Tidak heran, ada gereja-gereja tertentu yang juga tidak memasukkan kalimat tersebut 
dalam doa mereka. 

Namun, saya toh berpendapat, kalimat tersebut sarat dengan makna serta pelajaran yang 
berharga. Sebab itu, tanpa mempersoalkan apakah Yesus pada waktu itu memang benar 
mengajarkannya atau tidak, kita akan berusaha menggalimya. Sayang, bukan, bila harta 
rohani seberharga itu kok dibiarkan mubazir? 

"KARENA ENGKAULAH YANG EMPUNYA KERAJAAN DAN KUASA DAN 
KEMULIAAN SAMPAI SELAMA-LAMANYA". Pertama-tama, sama sekali tidak 
kebetulan-lah bila kata "KARENA" yang dipakai di sini. Bukan "supaya Engkau-lah ." . 
Bukan "semoga Engkau-lah .". Tetapi "karena Engkau-lah .'. 

Kata penghubung ini mengingatkan kita, bahwa kita dapat, boleh, dan berani dengan 
mantap mengucapkan doa kita, semata-mata karena Tuhan adalah pemilik seluruh 
kerajaan, pemegang semua kekuasaan, serta penggenggam segenap kemuliaan -dulu, 
sekarang, sampai selama-lamanya! 

Dan "karena" Ia adalah satu-satunya "yang empunya" itu, maka Ia pula satu-satunya yang 
pantas, layak serta berhak menerima, baik puji-pujian kita maupun permohonan kita. 
Dengan perkataan lain, doa kita terarah ke alamat yang tepat. Tidak "nyasar". Tidak salah 
alamat. 



Kita lalu bisa berdoa dengan pasti dan tanpa sangsi. Mengapa? Sebab kita tahu bahwa Ia 
mampu, bahwa Ia punya wewenang atau otoritas, untuk mengaruniakan apa yang kita 
minta. 

Berbeda dengan jawaban seorang pejabat, "Saya pribadi sebenarnya ingin sekali 
menolong. Tapi sayang, itu benar-benar di luar wewenang saya". Allah tidak pernah 
begitu. Ia-lah "yang empunya" segenap wewenang. Surat permohonan kita berada di 
tangan yang tepat. Konfirmasi ini alangkah pentingnya. 

* * * 

SEBAB bandingkanlah ini dengan situasi Pak Joyo, yang pada suatu hari mendatangi 
sebuah perusahaan guna melamar pekerjaan. Di situ ia bertemu dengan Pak Trimo, 
seorang petugas kebersihan. Ketika Pak Joyo menceritakan maksud kedatangannya, o, 
dengan nada suara yang penuh keyakinan, Pak Trimo serta merta berkata, "Anda tidak 
perlu kuatir! Saya lihat Anda memenuhi syarat! Karena itu, Anda pasti diterima! 
Tinggalkan saja surat-surat ini, dan besok Anda mulai bekerja!". 

Pak Joyo tentu saja lega mendengar "jaminan" ini. Tapi ia tidak salah, bila di hatinya ia 
pun menyimpan ragu. Benar-benar akan terwujudkah apa yang dijanjikan Pak Trimo itu? 
Atas dasar apa dan wewenang siapa ia memberi jaminan itu? 

Keadaannya berbeda 180 derajat dibandingkan dengan sekiranya Pak Joyo bertemu 
langsung dengan Pak Bambang, pemilik dan sekaligus pres-dir perusahaan itu. Lalu 
kemudian Pak Bambang dengan mulutnya sendiri yang mengatakan, "Oke, Anda 
diterima. Silakan datang besok untuk mulai bekerja!". 

Kata "karena" memberi jaminan, bahwa kita berhadapan dengan Dia yang tidak hanya 
mau mendengarkan, atau yang cuma ingin mengabulkan, melainkan—lebih dari semuanya 
- berhadapan dengan Dia, yang punya otoritas untuk merealisasikannya. 

* * * 

SEKARANG kata yang kedua, "ENGKAU". "Karena Engkau-lah yang empunya 
kerajaan dan kekuasaan dan kemuliaan sampai selama-lamanya". Siapa sih "sang 
Engkau" ini? Tak lain, Ia adalah yang kita sapa "BAPA" di awal doa kita! 

Kata "Engkau" hendak menegaskan siapakah "Bapa" yang kita hadapi dalam doa kita. 
Yakini pemilik semua kerajaan, semua kuasa, dan semua kemuliaan. Penegasan ini perlu, 
sebab di dalam praktik, wah, betapa berbeda! Tingkah-laku kita sering menunjukkan, 
seolah-olah kitalah atau yang lain - bukan Dia—sang penguasa itu! Kita bertindak semau 
kita. Kita mengambil keputusan sekehendak hati kita. Allah, Sang Pemilik yang sah, kita 
perlakukan seolah-olah tidak ada. Allah kita desak ke samping, atau kita depak ke latar 
belakang. 



Kalimat penutup doa kita dengan tegas mengatakan, "Stop penghujatan ini sekarang 
juga!" Sebab cuma Dia— "Bapa Kita yang Di Sorga"— satu-satunya yang "empunya 
kerajaan, kekuasaan dan kemuliaan". Tiada yang lain. Bila ada yang lain, ini namanya 
penghujatan! Pengkhianatan! Pemberhalaan! Kejahatan yang paling keji dan paling 
dibenci Allah! 

Ini dengan pilu mengingatkan saya kepada bapak-bapak (dan ibu-ibu) di bumi ini, yang 
dengan tenang dan "angler"nya melakukan kejahatan demi kejahatan, bersikap seolah- 
olah Allah tidak ada. Seolah-olah hari penghakiman tak akan pernah tiba. Dan neraka 
cuma dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak melawan. 

Mereka adalah para penyalah-guna kekuasaan, koruptor, manipulator, provokator, kaum 
munafik, alim ulama yang memperolok Tuhan dengan menyalah-gunakan kepolosan 
umat, untuk menumpuk kuasa dan kekayaan bagi diri sendiri. Pendek kata, orang-orang 
yang sedikit pun tidak pandang mata terhadap Dia yang "empunya kerajaan, kuasa dan 
kemuliaan". Celakalah kalian bila saat itu tiba! Ketika semua aib akan terbuka, dan 
semua kemunafikan akan tersingkap! 

* * * 

"KARENA Engkau-lah yang empunya kerajaan, dan kuasa, dan kemuliaan, sampai 
selama-lamanya". Kalimat ini paling sedikit punya dua fungsi. Pertama, ia—seperti telah 
dikemukakan— mengingatkan siapa yang kita hadapi dalam doa kita. Doa nya sendiri 
amat sederhana. Ya! Tapi ia menuntut segenap kesungguhan kita. 

Benar kita mengalamatkan doa kita kepada seorang "Bapa", yang berkenan menjalin 
hubungan yang semesra-mesranya dengan kita. Benar, kita - mahluk-mahluk yang penuh 
luka dan cacat cela— boleh menghampiri-Nya dengan rindu, tanpa takut dan gentar. Dan 
benar, Ia juga adalah "Bapa" yang Maha Kasih dan Maha Pengampun. 

Berapa kali pun orang jatuh ke dalam dosa, dan seberapa dalam pun orang terbenam ke 
dalamnya, dengan cemas dan setia "Bapa" ini menunggu putra-Nya kembali. 

Benar! Tapi awas, jangan sampai terjebak! Sebab Allah yang kita sapa sebagai "Bapa" 
itu, sekaligus adalah Allah yang pantang kita permainkan dan pandang ringan. Ia adalah 
Allah yang bisa pedih, sakit hati, menyesal, dan murka, khususnya ketika cinta-Nya 
dikhianati anak-anak-Nya sendiri. Karenanya, jangan pernah Ia kita perlakukan 
sembarangan. Seperti kata orang Betawi, "deket sih boleh deket, tapi jangan ngelunjak". 

* * * 

FUNGSI kedua dari kalimat penutup kita adalah, menjadi semacam tolok ukur atau 
patokan untuk menilai, apakah doa kita telah memenuhi syarat. Saya tahu ini merupakan 
pertanyaan banyak orang.. "Apakah doa saya tadi sudah benar?" "Salahkah saya berdoa 
seperti itu?". Dan sebagainya. 



Di awal seri pembahasan ini, saya telah menekankan bahwa Doa Bapa Kami bukanlah 
mantra untuk diulang-ulangi. Ia lebih tepat kita pahami sebagai sebuah "pola" atau 
"patokan" dari doa yang benar. Juga standar dari sikap iman yang benar. 

Kini, dalam bentuk yang jauh lebih ringkas, kalimat penutup kita pun punya fungsi yang 
sama. Setelah kita hampir selesai dengan doa kita, dengan mengucapkan "Karena 
Engkau-lah yang empunya kerajaan, kekuasaan dan kemuliaan sampai selama-lamanya", 
kita sebenarnya diajak untuk bertanya tiga hal. 

Apakah doa dan sikap kita menyaksikan "kerajaan-Nya"? Mencerminkan kebaikan, 
kebenaran, keadilan, dan keselamatan— ciri-ciri paling mengemuka dari Kerajaan Allah? 
Atau sebaliknya, doa dan sikap kita menyembunyikan kedengkian, kepalsuan, kesemena- 
menaan, dan bersifat menghancurkan? 

Apakah doa dan sikap kita tunduk menaati "kuasa-Nya"? Senantiasa berusaha 
meletakkan Tuhan di latar depan, menempatkan kehendak-Nya di tempat paling utama, 
dan rencana-Nya di pusat kepedulian kita? Atau sebaliknya, doa dan sikap kita sekadar 
menyelubungi ambisi, egoisme dan egosentrisme kita? Tuhan kita perlakukan sebagai 
alat pemenuh dan pemuas kehendak kita belaka? 

Apakah doa dan sikap kita mencerminkan "kemuliaan-Nya"? Begitu rupa, sehingga 
perbuatan baik kita nyata di hadapan semua orang, dan mereka memuji nama Bapa yang 
di sorga? Atau sebaliknya, kita hanya mencemari kekudusan-Nya, membuat buram 
cahaya keagungan-Nya, dan membuat orang mencemooh Nama-Nya? 

Akhirnya, perkenankanlah saya mengakhiri seri pembahasan mengenai Doa Bapa Kami 
ini dengan mengatakan, bahwa melalui doa ini Tuhan tidak hanya menjawab pertanyaan 
kita, "Apa sih yang harus saya katakan?", tapi juga mengaruniakan pedoman mengenai 
"Lalu apa sih yang harus saya lakukan?". 

Bahkan sebuah alat penakar untuk mengukur, "Sudah benarkah yang saya katakan dan 
saya lakukan ini?" 

Soal apakah kemudian Anda benar-benar melaksanakannya atau tidak, ini tentu di luar 
kemampuan saya untuk bisa berbuat apa-apa. Tapi paling sedikit, Anda tidak bisa lagi 
mengatakan, "Saya tidak tahu tuh". Anda telah diberitahu. * 

TIATIRA, DI DALAM DUNIA, TAPI BUKAN MILIK DUNIA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Jemaat keempat yang disapa oleh Roh Kudus, menurut Wahyu Yohanes, adalah jemaat 
Tiatira. Di antara tujuh surat yang ada, inilah surat yang paling panjang bagi jemaat di 
kota yang paling "kurang penting." 



Mengapa ada keganjilan ini? Karena masalah yang dijamah adalah masalah abadi yang 
klasik dan universal, alias persoalan yang dihadapi oleh gereja Tuhan, kapan saja dan di 
mana saja. Persoalan apa? Persoalan bagaimana "gereja" harus menjalin relasi yang benar 
dengan "dunia." 

Tidak banyak yang kita ketahui mengenai Tiatira, kecuali antara lain ia adalah kota 
dagang yang lumayan penting, dan kota dengan tangsi militer yang cukup besar. Yang 
terakhir itu adalah sesuai dengan fungsinya sebagai "bumper" bagi Pergamus, sang ibu 
kota. 

Perannya dalam kehidupan agamaniah tidak terlalu berarti. Di kota ini, tidak ada pusat 
peribadahan yang besar, baik bagi kaisar Romawi maupun bagi dewa-dewi Yunani. 
Sebab itu, Tiatira bukanlah ancaman serius bagi jemaat Kristen. 

Kalau begitu, apa persoalan yang dihadapi oleh jemaat Tuhan di kota ini sehingga mesti 
ada surat yang begitu panjang? Para ahli menduga, persoalannya terkait dengan cirinya 
sebagai sentra industri kerajinan rumah. 

Tiatira memang terkenal karena itu. Lidia, misalnya, berasal dari kota ini. Dan menurut 
catatan Lukas, ia bergerak di bidang tekstil, sebagai "seorang penjual kain ungu." 

Sesuai dengan kebiasaan pada waktu itu, para perajin atau usahawan sejenis membentuk 
atau mengikatkan diri dalam serikat-serikat sekerja. Jadi, misalnya, ada serikat sekerja 
untuk para perajin kain wol, untuk para perajin kain linen, untuk para perajin tembaga, 
untuk para pembuat roti, dan sebagainya. 

Orang-orang kristen yang sehari-hari bekerja sebagai usahawan kacil atau perajin, tentu 
tergabung pula ke dalamnya. Sebab sejak awal, orang kristen tidak hidup eksklusif atau 
menyendiri. Mereka hidup memasyarakat. 

Persoalan muncul apabila serikat-serikat sekerja tersebut menyelenggarakan pertemuan- 
pertemuan mereka. Pertemuan-pertemuan ini bukan saja untuk membicarakan hal-hal 
yang menyangkut bisnis. 

Di samping itu, biasanya ada pula acara ibadah bersama di kuil-kuil, ada acara makan 
bersama dengan makanan yang telah dipersembahkan kepada para dewa, dan tak 
ketinggalan ada pula acara-acara yang seronok, namun tak terpuji secara moral. 

Bagaimana orang-orang Kristen harus menyikapinya? Apakah mereka harus ikut serta? 
Atau tidak? Ini ternyata bukanlah pilihan yang sederhana. 

Bila mereka ikut serta, mereka menghadapi persoalan hati nurani, persoalan iman, 
persoalan moral. Namun bila mereka menolak mengikutinya, mereka menghadapi 
persoalan sosial serta konsekuensi ekonomi. 



Mereka akan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat, dan diboikot dari kegiatan 
ekonomi. 

Itulah tantangan yang harus mereka hadapi dari luar. Tantangan eksternal. Cukup berat, 
namun agaknya tidak terlampau membawa pengaruh negatif bagi kehidupan iman 
mereka. 

Tuhan, di awal surat, memuji jemaat ini, kata-Nya, "Aku tahu segala pekerjaanmu: baik 
kasihmu maupun imanmu, baik pelayananmu maupun ketekunanmu. Aku tahu bahwa 
pekerjaanmu yang terakhir lebih banyak dari yang pertama." 

* * * 

Persoalan yang lebih serius justru datang dari dalam. Tantangan internal. Ini wajar-wajar 
saja, bukan? Musuh yang tersembunyi dalam selimut selalu lebih berbahaya ketimbang 
yang terang-terangan berdiri di hadapan. 

Kata Tuhan, "Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel 
yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hamba-Ku supaya 
berbuat zinah dan makan persembahan-persembahan berhala." 

Kita tidak tahu apakah "Izebel" adalah nama sebenarnya, atau nama simbolis untuk 
mengingatkan orang kepada istri raja Ahab, yaitu ratu yang berhasil membuat nabi 
sekaliber Elia keder dan nyaris putus asa menghadapinya. 

Yang jelas, "Izebel" dalam kitab Wahyu adalah seorang tokoh gereja. Seorang nabiah. 
Banyak mengajar umat. Luar biasa! 

Tentang ajarannya, kita juga tak tahu persis. Namun dapat diperkirakan, bahwa intinya 
kira-kira adalah: "Apa pun halal, apa saja boleh. Sebab Kristus telah memerdekakan 
kita!" 

Berzinah? "Ah, tak perlu risau! Ukuran zinah atau tidak itu kan buatan manusia. Lakukan 
saja apa yang Anda mau! Asal suka sama suka, tidak memaksa, dan sama-sama happy!" 

Soal makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala? "Kalau Anda menyukainya, 
why not? Pokoknya iman Anda tidak terganggu, kan? Lha soal orang lain terganggu, ini 
bukan tanggung jawab Anda. Masak orang lain yang terbelakang pertumbuhan imannya, 
kok kita yang mesti bertangung jawab." Begitu kira-kira. 

Ajaran ini, walau menarik, jelas bertentangan dengan ajaran yang benar. Menurut Paulus, 
walaupun benar segala sesuatu itu halal, namun tidak semuanya berfaedah. 

Orang Kristen tidak boleh mengejar kesenangannya sendiri saja, tetapi mengejar apa 
yang membangun dan yang mendatangkan damai sejahtera. Dan ... tidak menjadi batu 
sandungan bagi siapa pun juga! 



* * * 



Jadi jelaslah, di balik persoalan yang spesifik itu, tersembunyi suatu persoalan yang saya 
katakan "klasik" dan "universal," yaitu bagaimana "gereja" harus menjalin hubungan 
dengan "dunia." 

Apakah, seperti yang diajarkan "Izebel," kita menghanyutkan diri saja? Atau sebaliknya, 
mengasingkan diri sepenuhnya dari padanya? Yang satu hanya menekankan fakta bahwa 
"gereja ada di dunia," sedangkan yang lain cuma menekankan fatwa bahwa "gereja bukan 
milik dunia." 

Manakah yang benar di antara keduanya? Jawab saya, yang benar adalah kedua-duanya. 
"Gereja ada di dalam dunia, tetapi bukan milik dunia." In the world but not of the world. 
Antara "gereja" dan "dunia" ada hubungan dialektis, tapi tidak dualistis. 

Sebab itu, seperti kata H. Richard Niebuhr, pemahaman monistis bahwa gereja harus 
semata-mata terarah ke luar dunia (= other-worldly), atau, bahwa gereja wajib semata- 
mata terarah ke dunia (= inner-worldly), sama-sama salah. Yang benar adalah: gereja 
berada di dunia, namun hanya terarah kepada Allah! 

Gereja berada di dalam dunia. Artinya kita menolak dualisme, bahwa dunia di sini dan 
gereja di sana, tanpa ada kena-mengena. 

Kita menolak dikhotomi, bahwa gereja sebagai komunitas orang beriman di seberang 
sini, tidak mempunyai titik singgung apapun dengan dunia yang (dianggap) merupakan 
konspirasi orang-orang tak beriman di seberang sana. Tidak! Gereja ada di dalam dunia, 
dan diutus ke dalam dunia. 

Namun gereja bukanlah milik dunia. Artinya, dengan sama tegasnya kita juga menolak 
akomodasionisme. Kompromi, konsesi, konformisme dengan dunia, sampai batas 
tertentu, memang tak terhindarkan. 

Seperti kata Paulus, kita "menjadi segala sesuatu bagi semua orang." 

Kesalahan konsesi tidaklah terletak pada konsesi itu sendiri melainkan, seperti kata 
Niebuhr, "karena ia biasanya diberikan terlalu cepat, sebelum ada upaya perlawanan yang 
mati-matian sampai mencucurkan darah." 

Jadi bagaimana? Gereja harus ada di dalam dunia. Hadir di sana. Menjadi berkat sebesar- 
besarnya di sana. Seperti "kota di atas bukit," ia menjadi contoh. 

Tidak mengasingkan diri dari dunia, namun kritis terhadap dunia. Tidak ketinggalan 
zaman, tapi tidak pula cuma mengikuti roh-roh zaman. 



Percayakah Anda, bahwa krisis identitas dan kredibilitas yang banyak dihadapi oleh 
gereja-gereja Tuhan dewasa ini, tidak disebabkan karena "gereja berada dalam dunia," 
melainkan karena "dunia berada di dalam gereja"? Inilah saatnya kita memeriksa diri 
dengan jujur, roh-roh apa yang bersemayam di gereja-gereja kita. Jangan-jangan adalah 
roh-roh dunia, yang kita beri baju Roh Kudus! 

"Akulah," kata Tuhan, "yang menguji batin dan hati orang, dan Aku akan membalaskan 
kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya. Siapa bertelinga, hendaklah ia 
mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya." (SH-300302) 

SMIRNA, KETIKA IMAN MENAGIH UTANG 
Oleh: Eka Darmaputera 

Setelah Efesus, Smirna adalah yang kedua yang disapa oleh Roh Tuhan. Ini tidak 
mengherankan. Di dalam segala hal, keduanya bersaing ketat. Bila Efesus adalah yang 
"terbesar dan tersibuk," Smirna adalah yang "teranggun dan terelok." 

Orang menamainya "kembang Asia." Kadang-kadang, "mahkota Asia." Aristides, dalam 
lirik pujiannya tentang kota ini, menulis, "Keagungannya menjangkau setiap relung 
bagaikan lengkung pelangi, kemilaunya menggapai sorga, menelusupi setiap rongga, 
berbinar-binar bagaikan pedang tembaga di tangan Homer." 

Yang membuat Smirna lebih menarik lagi adalah karena ia merupakan kota yang paling 
terencana, tidak awut-awutan seperti kota-kota kita. Bisa begitu, karena Lychimus 
membangunnya dari puing-puing kota lama yang telah 400 tahun luluh lantak akibat 
diguncang gempa dahsyat. 

Jadi tidak kebetulanlah bila Tuhan memperkenalkan diri kepada jemaat di Smirna sebagai 
"Yang telah mati dan hidup kembali." Ini menjelaskan riwayat hidup Yesus, tapi juga 
pengalaman Smirna sendiri. 

Ada lagi—di samping yang lain-lain—yang membuat Smirna amat terkenal, yaitu 
kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada Roma. Cicero, sang pujangga, menyebutnya 
sebagai "sekutu kita yang paling lama dan paling setia." 

Suatu ketika, pasukan Roma menderita kelaparan dan kedinginan di medan tempur, 
penduduk Smirna serta-merta melepaskan jubah-jubah mereka lalu mengirimkannya ke 
sana. Kemudian, jauh sebelum Roma mencapai puncak kejayaannya, di Smirnalah untuk 
pertama kali dibangun sebuah kuil pemujaan Dewi Roma. Jadi, kota ini memang 
memiliki loyalitas sejati, jauh dari keinginan mencari muka atau menjilat kaki. 

Smirna tidak cuma unggul di sektor niaga, politik, dan pariwisata. Ia juga hebat sebagai 
kota budaya. Stadionnya megah. Perpustakannya lengkap. Gedung teater dan musiknya 
canggih, dan sebagainya. Sebagai informasi tambahan, Homer adalah "anak Smirna." 



* * * 



Membicarakan keistimewaan Smirna bisa tak ada habis-habisnya. Ini tentu tak akan kita 
lakukan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang memang harus dikatakan. 

Misalnya bahwa di kota ini hadir sebuah komunitas Yahudi yang cukup besar, kaya, dan 
berpengaruh. Kehadiran komunitas inilah yang menampilkan sosok Smirna yang 
samasekali lain, khususnya bagi orang-orang Kristen. "Mahkota Asia" yang elok ini tak 
lagi bagaikan kembang musim semi yang menyebar bau wangi ke mana-mana, tapi 
berubah menjadi raksasa bengis yang memuncratkan banyak darah ke segala arah. 
Darahnya para martir. Orang-orang Yahudi melihat "sekte Kristen" ini sebagai penyakit 
sampar yang amat berbahaya, yang mesti secepatnya dibasmi sampai tuntas-tas dan 
habis-bis. Supaya lebih efektif, mereka pun meminjam tangan penguasa Romawi. 

Di kota inilah, di Smirna, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen terjadi amat 
intensif, sangat kejam dan paling menumpahkan darah. Di kota inilah, di Smirna, kisah- 
kisah kepahlawanan para martir yang paling dramatis terjadi. Sebab itu saya sebut Smirna 
sebagai simbol keadaan, ketika iman menagih hutang, dan ketika mereka yang mengaku 
beriman mesti membayarnya—tunai. Smirna adalah representasi situasi tatkala kesetiaan 
diuji sampai ke batas, dan orang-orang percaya mesti membuktikannya—saat itu juga. 
Karena itu, Smirna adalah peringatan, betapa stiker-stiker seperti— We are a successful 
"family!"— tak selalu tepat kita lekatkan di kaca belakang mobil kita. Sebab kekristenan 
tidak cuma kisah sukses. Tidak cuma itu. Dan tak selamanya begitu. 

Ini nyata pada kisah Polikarpus, Uskup Smirna, yang mati sebagai syuhada, pada hari 
Sabtu 23 Februari, tahun 155. Hari itu adalah hari raya. Kota Smirna penuh sesak. Orang- 
orang yang berjejal di stadion sedang berada di puncak keriaan dan keliaran mereka. 
Tiba-tiba terdengar teriakan, "Para ateis mesti dibasmi! Cari Polikarpus, lalu bawa ke 
sini!" Teriakan yang bermula dari salah satu sudut, segera membahana menjadi teriakan 
histeris seluruh arena. 

Di mana Polikarpus? Sebenarnya dengan amat mudah ia dapat menyelinap ke luar kota 
dan menyelamatkan diri. Tapi ini tidak dilakukannya, sebab melalui mimpi ia 
memperoleh penglihatan tentang bantal yang terbakar. Ia yakin, "Aku akan dibakar 
hidup-hidup." Tempat persembunyiannya diketahui setelah seorang budak Kristen, 
karena tak tahan siksaan, terpaksa mengaku. Polikarpus segera digelandang ke penjara. 
Tapi di sini ia memperoleh perlakuan yang baik. Sebab sampai kapten yang menjaganya 
pun tak ingin melihat orang baik ini mati. 

Pada hari itu, dalam perjalanan pendek dari penjara ke stadion, kapten itu terus 
membujuknya, "Polikarpus, apa sih susahnya mengatakan 'Kaisar itu Tuhan,' 
mempersembahkan korban dan membakar dupa, tapi Anda selamat?" Toh Polikarpus 
bersikeras. Baginya hanya Yesus Kristus, dan tak ada yang lain, adalah Tuhan. 

Ketika memasuki arena, konon terdengar suara dari sorga, "Kuatkan hatimu, Polikarpus, 
bersikaplah sebagai lelaki sejati!" Penguasa kota memberi kesempatan terakhir untuk 



memilih: mengutuki Kristus serta membakar dupa untuk Kaisar, atau mati. Menanggapi 
ini, meluncurlah jawaban Polikarpus yang amat terkenal itu, "88 tahun aku melayani- 
Nya, tak sekalipun Ia mengecewakan aku. Bagaimana mungkin aku menghujat Rajaku 
yang telah menyelamatkan aku?" 

Penguasa Smirna balas mengancam dengan hukuman bakar, yang kembali ditanggapi 
oleh Polikarpus dengan gagah berani, "Anda mengancam aku dengan api yang menyala 
seketika lalu padam, karena Anda tidak mengenal api abadi yang tak pernah padam, yang 
menunggu orang-orang jahat di pengadilan yang akan datang. Anda tunggu apa lagi? 
Lakukanlah segera apa yang Anda mau." 

Mendengar itu, dibakar oleh rasa geram, berbondong-bondonglah mereka yang hadir, 
mengumpulkan kayu bakar dari mana-mana. Tarmasuk orang-orang Yahudi, walaupun 
mereka tahu hari itu adalah hari Sabat. Begitulah, saudara, bila kebencian telah 
menguasai akal sehat dan hati nurani. Walau mereka amat beragama. 

Sewaktu mereka ingin mengikatnya, Polikarpus menolak. "Tak perlu," begitu katanya, 
"Ia yang memberiku kekuatan untuk tahan terhadap api, pasti akan memberiku kekuatan 
untuk bertahan dalam nyalanya, sehingga pantang aku melarikan diri sekalipun kalian tak 
mengikatku." Lalu api pun mulai berkobar, dan suasana hening meliputi arena. Semua 
yang hadir terpana mendengar doanya— bukan doa ratapan melainkan doa pujian! 

"Ya Allah yang Maha Kuasa, Bapa dari Putra-Mu yang mulia dan tercinta, Yesus Kristus, 
yang melalui-Nya kami memperoleh pengetahuan yang penuh tentang Dikau; Allah 
semua malaikat dan kuasa; Allah segala ciptaan dan segenap keluarga orang-orang benar 
yang hidup di hadapan-Mu. Aku memuliakan-Mu karena telah Kaukaruniakan kepadaku 
hari ini dan saat ini, di mana aku diperkenan mengambil bagian, bersama-sama dengan 
para syuhada yang lain, minum dari cawan Kristus ... Saat ini aku mohon, berkenanlah 
Dikau menerimaku sebagai korban yang layak, sama seperti Dikau telah menerima 
mereka ... Maka aku akan memuliakanMu di dalam segala perkara. ... Amin." 

Sampai di sini adalah fakta. Sedangkan yang berikut ini adalah legenda. Api besar yang 
berkobar-kobar itu konon justru menjadi tenda pelindung bagi Polikarpus. Sehingga 
untuk membunuhnya, seorang algojo harus menikamnya dengan pedang. Dan, menurut 
yang empunya cerita, dari lubang luka bekas tikam itu, keluarlah burung merpati dan 
darah yang amat banyak. Begitu banyaknya, sehingga memadamkan api yang menyala- 
nyala. 

* * * 

Berbeda dengan Efesus, saya akui, jemaat Smirna tidak memberikan kesan sebagai 
jemaat yang "wah." Kesetiaan, saudara, biasanya memang tidak gilang-gemilang. Tapi 
kepada jemaat seperti inilah, dengan lembut Tuhan datang seraya menyapa, "Aku tahu 
kesusahanmu dan kemiskinanmu—namun engkau kaya. Jangan takut terhadap apa yang 
harus engkau derita. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan 
kepadamu mahkota kehidupan." 



Setia sampai mati. Alangkah manis selalu kisah-kisah tentang kesetiaan, bukan? Tapi 
sekaligus, alangkah langkanya! Saya sempat bertanya-tanya, apakah kata itu masih 
tercantum di Kamus Umum Bahasa Indonesia. Apakah kesetiaan masih berharga dalam 
kehidupan pribadi Anda, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bakan bergereja 
kita? 

Namun apa pun yang terjadi, anugerah Tuhan hanya bisa disambut dengan iman. Dan 
iman menuntut kesetiaan. Tak sedikit pun kurang dari itu. "Siapa bertelinga hendaklah ia 
mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya." (SH- 160302) 

25 TAHUN YANG LALU OM YO MENINGGALKAN KITA 
Oleh: Eka Darmaputera 

"Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada 
perak dan emas" (Amsal 22:1). 

Dua puluh lima tahun yang lalu ketika saya mendengar Om Yo meninggalkan dunia yang 
fana ini, dan kembali ke rumah Bapa di sorga, saya masuk ke kamar belajar saya, 
mengunci pintu, merenung dan berdoa. Mengapa itu yang menjadi reaksi spontan saya? 
Baru kemudianlah saya menyadarinya. Jauh di lubuk hati saya yang paling dalam, bagi 
saya, Pak Leimena atau Om Yo bukanlah orang untuk diiringi jenazahnya ke 
pemakaman, melainkan orang yang perlu kita renungi makna kehidupan serta 
kehadirannya di tengah-tengah kita. 

Setiap orang itu unik. Setiap pribadi itu berharga. Ini adalah Allah sendiri yang 
mengatakannya. Melalui nabi Yesaya, Ia bersabda, Aku telah memanggil engkau dengan 
namamu, engkau ini kepunyaanKu. Engkau berharga di mataKu dan mulia, dan Aku ini 
mengasihi engkau (Yesaya 43:1,4). Ya, karena itu jangan pernah kita perlakukan seorang 
pun terlampau tinggi, atau pandang seorang pun terlalu rendah. Setiap orang berharga di 
mata Allah, dan mulia, dikasihi Allah. 

Namun demikian, saya yakin toh tetap penting untuk bertanya: Apa sesungguhnya yang 
membuat Om Yo istimewa? Apakah karena beliau "langganan" jadi menteri, bahkan 
Pejabat Presiden, beberapa kali? Ini tentu saja istimewa. Amat istimewa. Sebab banyak 
yang sampai "merdukun" ke sana kemari, kepingin jadi menteri, toh tetap tidak 
kesampaian. Tapi jadi menteri berulang-ulang kali, walau istimewa, jelas tidak unik. 
Banyak orang punya pengalaman yang sama. 

Apa yang membuat Om Yo istimewa? Menurut saya, pasti juga bukan karena gaya 
bicaranya. Sebab bila ini, Roeslan Abdulgani atau Sabam Sirait, atau yang lain-lain, 
mungkin sekali lebih menarik. Bagaimana kalau kejelasan visinya, kejeniusan 
intelektualitasnya, kualitas kepemimpinannya? O ya tentu, Om Yo memang cukup punya 



kualitas dalam ketiga hal itu. Namun toh, saya kira kita sepakat, bukan terutama di situ 
Oom Yo istimewa. 

Jadi apa? Mungkin sekali jawaban saya ini akan terasa sebagai sanjungan yang berlebih- 
lebihan. Tapi sebenarnya tidak. Sebab salah satu dari banyak kelemahan saya yang paling 
besar adalah, saya tidak bisa dan tidak biasa menyanjung. Wah, kalau saja bisa, mungkin 
sekarang saya sudah bisa menikmati uang pensiun anggota DPR. Dan yang kedua, 
kalaupun benar apa yang akan saya katakan ini terasa sebagai sanjungan, ini tetap saja tak 
ada pengaruhnya apa-apa, sebab sanjungan yang bagaimana pun tingginya, menurut 
pendapat saya, tetap tidak cukup untuk mengungkapkan keistimewaan Om Yo. 

Memberi Rasa Tenang 

Keistimewaan Om Yo banyak sekali. Saya cuma akan menyebutkan beberapa, yang saya 
anggap harus saya katakan. Pertama, beliau memberi rasa tenang. Ayem. Rustig. Sebagai 
aktivis Kristen, saya merasa "tenang" selama Om Yo ada di "sana." Mengapa rasa tenang 
itu? Sebab sekali pun keberadaannya di sana tidak membawa keuntungan material apa- 
apa bagi keluarganya, bagi teman-temannya, atau bagi kelompoknya, tapi paling sedikit 
ia tidak akan mencemarkan nama baik orang Kristen. Ia menjadi "garam" di sana. 
Kadang-kadang memang tak terlalu terasa "asin"-nya. Tapi juga tak pernah "tawar" 
sehingga, seperti kata Yesus, "tidak ada gunanya, selain dibuang dan diinjak orang" 
(Matius 5:13b). 

Integritas moral serta semangat pengabdianya yang murni—dua hal yang paling sulit 
didapati pada pemimpin-pemimpin kita sekarang, baik di gereja maupun di luar gereja— 
memang tidak membuat ia menyuarakan kebenaran dengan terang dan dengan lantang. 
Juga tidak membuatnya melawan kebathilan dengan garang. Ini sebagian karena kondisi 
tak memungkinkan, sebagian lagi karena ini memang bukan tipe Om Yo. Ia jauh dari tipe 
seorang tokoh yang flamboyan. 

Sang domine— begitu Bung Karno biasa menyapanya— pasti tidak akan menjilat atau 
mengkhianati kebenaran, sekadar demi bisa bertahan satu-dua-tiga periode. Juga tidak 
akan korupsi, dengan alasan siapa tahu di kabinet yang akan datang tidak ditunjuk lagi. 
Sebagai kader-kader Kristen kami merasa tenang, karena kami yakin ia tidak akan 
membuat kami malu. Bahkan sebaliknya, pada tokoh seperti dia— di balik kesederhanaan 
dan keluguannya— ada sesuatu yang membuat kami bangga. Di situ, Om Yo istimewa. 

Saya masih ingat betul, bagaimana pada sebuah konferensi nasional Gereja dan 
Masyarakat, terjadi suatu perdebatan seru. Ini gara-gara ucapan Pak Leimena, yang 
mengatakan bahwa revolusi Indonesia sejajar atau paralel dengan iman kristiani. Walau 
tak terucapkan, mudah sekali teraba dan terasa protes keras beberapa tokoh. Om Yo 
mulai menjilat? Ia akan menggiring orang-orang Kristen Indonesia ke posisi seperti 
gereja-gereja Jerman di masa Hitler? Injil disatu-napaskan dengan perkara-perkara 
duniawi— dan, astaga, dengan 'politik' lagi?! 

Saya tidak menyalahkan, bahkan sangat menghormati orang-orang yang memberi reaksi 
keras itu. Gereja selalu memerlukan suara-suara seperti itu, supaya tidak mudah larut dan 



hanyut oleh roh-roh zaman. Tapi bagi orang yang mengenal Om Yo dari dekat pasti tahu, 
beliau tidak akan pernah berbuat seperti itu. Seperti kata kitab Amsal, bagi beliau, "Nama 
baik lebih berharga daripada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik daripada emas dan 
perak" (Amsal 22:1). 

Kalau begitu, bagaimana seharusnya memahami apa yang beliau ingin sampaikan? Bagi 
orang yang menyelami semangat serta cara berpikir Om Yo, menurut saya, tidak punya 
pilihan lain kecuali mengatakan bahwa dalam hal ini, alangkah benarnya ia! "Sejajar," 
bukankah ini berarti tidak saling mengatasi atau membawahi, dan tidak pula saling 
bersaing atau bersilang? Lha bukankah justru beginilah hubungan antara kehidupan 
beragama dan kehidupan bernegara itu semestinya ditata dalam negara Pancasila: sebagai 
mitra sejajar?! 

Sama Pentingnya 

Yang sama pentingnya adalah, bahwa di balik kalimat Om Yo itu, beliau ingin 
menegaskan, bahwa menjadi orang Kristen yang sejati tidaklah bertentangan dengan 
menjadi seorang patriot dan seorang revolusioner yang sejati pula. Sebaliknya menjadi 
seorang patriot dan seorang revolusioner yang sejati, juga tidak serta merta berarti 
mengkhianati iman kristianinya. 

Setiap kita harus menjadi kedua-duanya sekaligus. Serentak, sejajar, saling membatasi, 
namun sekaligus juga saling menghidupi. Karena saya Kristen, saya terpanggil untuk 
menjadi seorang patriot. Dan karena saya seorang patriot, saya membutuhkan iman 
supaya tidak terjerumus menjadi chauvinis. Saya seorang Kristen Indonesia dan sekaligus 
seorang Indonesia Kristen. Sejajar. Tak perlu dipilih-pilih atau dipilah-pilah. Tak sedetik 
pun saya berhenti jadi orang Kristen, dan tak sedetik pun saya bukan orang Indonesia. 
Bukankah ini cara yang paling tepat untuk memahami dan memberi isi kepada konsep 
Om Yo yang paling terkenal, yaitu "kewarganegaraan yang bertanggung jawab" itu? 

Banyak orang mengkritik Om Yo sebagai pemimpin yang tidak bertipe kenabian. 
Menurut mereka, rustig tidak cocok dengan sifat dan sikap seorang nabi. Saya tidak 
sependapat. Sebab di dalam Alkitab, kita tidak cuma mengenal satu tipe nabi. Yang 
pantas disebut "nabi" itu bukan hanya yang prophets of the doom, yang menuding-nuding 
seperti Natan, atau mengutuk seperti Yunus, atau meraung seperti Yohanes Pembaptis. 

Ada pula tipe nabi seperti Hosea, yang demi mengemban amanat kenabiannya, mesti 
mengalami langsung bagaimana sakitnya, hinanya, dan terkutuknya, mencintai, 
mengawini dan akhirnya dikhianati oleh seorang perempuan sundal. Atau tipe nabi 
seperti Yeremia, yang ikut menanggung risiko dibuang ke Mesir bersama-sama dengan 
bangsanya, bangsa yang telah diperingatkannya tapi selalu melecehkannya. Atau seperti 
Elia, nabi yang pernah melarikan diri karena tidak tahan didera rasa sendiri, sebab semua 
orang telah membelot dari Tuhan atau mati dimakan pedang. Maksud saya, kenabian 
seseorang itu tidak bisa diukur hanya dari ke-"galak"-annya. 

Ada nabi dengan gaya Yohanes Leimena, yang lemah lembut, tapi samasekali tidak 
lemah. Bagi saya, gaya kenabian seperti ini menawarkan sebuah model kenabian yang 



layak dipertimbangkan sebagai salah satu gaya kenabian yang kontekstual. Maksud saya, 
gaya kenabian yang tidak terutama mengandalkan kata-kata, atau diekspresikan melalui 
demonstrasi-demonstrasi serta petisi-petisi, melainkan melalui seluruh kehidupan kita, 
seluruh komitmen kita, seluruh kepedulian kita. Ringkas kata, melalui integritas moral 
kita! 



Integritas moral. Itulah, menurut saya, salah satu yang paling berharga yang ditinggalkan 
oleh Om Yo bagi bangsanya dan bagi kita. Bukan harta yang banyak. Bukan konsep- 
konsep abstrak. Tapi suatu teladan kehidupan dan pengabdian yang merefleksikan 
keyakinan, betapa "nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar; dikasihi orang 
lebih baik daripada perak dan emas." 

Banyak Berubah 

Hari ini, 25 tahun yang lalu, Om Yo meninggalkan kita. Selama 25 tahun itu, keadaan 
sudah begitu banyak berubah. Istana Merdeka maupun Istana Negara, Jalan Teuku Umar, 
PGI, RS PGI Cikini, STT Jakarta, ya seluruh Indonesia, telah amat berubah. Saya juga 
telah berubah. Sekiranya beliau saat ini melihat saya, saya yakin beliau tidak akan lagi 
dengan senyumnya yang khas dan telunjuk yang digoyang-goyangkannya di depan saya, 
akan menyapa, Hier komt de stoute jongen seperti dulu-dulu. Saya sudah tidak muda lagi. 
Dan juga sudah jauh lebih jinak. 

Saya coba membayangkan, bagaimana kira-kira reaksi beliau menyaksikan semua 
perubahan itu? O, saya yakin, beliau akan senang sekali malam ini. Senang melihat kita 
berkumpul begitu baur, seolah-olah tanpa batas. Tua muda. Tokoh, setengah tokoh. 
Kristen, bukan Kristen. Semua sebagai satu keluarga besar. Tapi beliau pasti akan lebih 
senang, kalau ada lebih banyak lagi orang-orang muda berada di depan. Lebih banyak 
orang muda yang berani duduk di depan. Saya tahu betul, itu salah satu obsesi beliau. 
Bahwa pada setiap kurun waktu, selalu lahir generasi pimpinan yang baru. Yang sama 
baiknya, bahkan semakin lama semakin baik. 

Inilah mengapa beliau tak pernah menderita post-power syndrome. Dari menteri, 
waperdam, lalu "cuma" jadi Direktur RS PGI Cikini, tetap sama saja tuh. Sebab baginya, 
"nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dikasihi orang lebih baik dari pada 
emas dan perak." Saya yakin kita pasti sepakat mengatakan, "Om Yo, bagi kami, 
namamu tetap harum! Katong tetap sayang Om Yo! We love you, always!" 

* Makalah ini disampaikan pada Peringatan 25 tahun Wafatnya Dr Johannes Leimena, 26 
Maret 2002. (SP 270302) 

EFESUS, KETIKA ORTODOKSI TERLALU MAHAL 
Oleh: Eka Darmaputera 

Kini yang tampak hanyalah puing yang terpuruk sepanjang enam mil. Tak ada lagi kapal 
yang bisa merapat ke pantainya. Padahal di abad-abad pertama, Efesus adalah pelabuhan 



tersibuk di kawasan Asia Kecil. Itu lumrah belaka, bila di antara tujuh jemaat yang 
disebut-sebut dalam kitab Wahyu, jemaat di kota inilah yang disapa pertama-tama. 

Efesus memang bukan ibu kota provinsi. Namun, pamornya jauh lebih berkilau 
ketimbang Pergamus, ibu kota yang sebenarnya. Ia terkenal dengan julukan "metropolis 
pertama dan terbesar di Asia." Bahkan saking kagumnya, seorang pujangga, 
menyebutnya "Lumen Asiae" atau "Cahaya Asia." 

Sebagai kota pelabuhan terbesar, dan sekaligus titik temu tiga jalur utama perdagangan 
darat, Efesus adalah salah satu kota niaga terpenting di seluruh kekaisaran Roma juga 
pintu gerbang antara Asia dan Eropa. Gubernur Roma yang baru akan mulai bertugas 
harus mendarat dulu di Efesus sebelum ke Pergamus. 

Sebaliknya, para saudagar yang akan ke Roma mesti bertolak dari sini. Ketika para martir 
Kristen diangkut ke Roma untuk dijadikan mangsa singa dan sebagainya, mereka juga 
diberangkatkan dari sini sehingga Ignatius menyebut Efesus sebagai "Jalan Raya Para 
Syuhada." 

* * * 

Dalam bayangan kita, kota sebesar, sesekular dan sekomersial Efesus pasti membuat 
kehidupan penduduknya jauh dari sifat religius dan norma-norma moral yang terpuji. 
Dalam hal moralitas, dugaan Anda benar. Tapi tentang religiositasnya, Anda salah. 

Kota ini adalah pusat pemujaan Dewi Artemis. Kuilnya dibangun begitu indah sehingga 
digolongkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Di samping itu, Efesus juga 
kesohor dengan kuil-kuil pemujaan kaisar serta dewa-dewi lainnya. Singkat kata, Efesus 
adalah lahan subur bagi agama-agama kafir. 

Tapi bagaimana religiositas bisa berdampingan dengan imoralitas? O, bisa saja! Ini amat 
biasa di mana-mana. Juga di masyarakat kita, bukan? 

Di Efesus, keduanya terpadu dan menyatu harmonis sekali, melalui kehadiran ratusan 
gadis cantik jelita yang berfungsi rangkap sebagai imam dan sebagai pelacur suci di kuil- 
kuil Artemis. Orang-orang Romawi menyatukan diri dengan pujaan mereka dengan cara 
menyetubuhi pelacur-pelacur "suci" itu. 

Di samping sebagai sentra kehidupan seks bebas, Efesus juga merupakan pusat 
berkumpulnya penjahat-penjahat buronan kelas kakap dari segala penjuru. Di sini konon 
berlaku aturan, penjahat apa pun yang berhasil mencapai Efesus akan memperoleh suaka, 
dan bebas dari kejaran hukum. 

Melihat peri kehidupan moral seperti ini, pantaslah Heraklitus, filsuf Yunani pra-Socrates 
yang paling terkemuka dikenal sebagai "The Weeping Philosopher." Filsuf yang 
menangis. Ia menangisi kebobrokan dan keborokan kotanya. 



* * * 



Saya tak akan berbicara lebih panjang lagi mengenai Kota Efesus. Informasi di atas 
sekadar dimaksudkan agar Anda memperoleh gambaran, bagaimana sulitnya hidup setia 
sebagai jemaat di tengah-tengah konteks seperti itu. Sulitnya menerapkan "filsafat ikan": 
di dalam air, tapi tidak tenggelam. Tapi justru dalam hal inilah, jemaat ini istimewa. 

Wahyu Yohanes menjelaskan, jemaat ini memperoleh pujian yang luar biasa. Jarang- 
jarang Tuhan memuji sebuah jemaat seperti itu. 

Pertama, karena jemaat ini hidup. Giat, aktif, dan kerja keras. Tuhan suka pada jemaat 
yang dinamis bukan jemaat yang beku atau suam-suam kuku atau yang mati enggan, 
hidup pun tak mau. 

Kedua, karena jemaat ini amat serius dengan imannya. "Committed" penuh terhadap 
kemurnian ajaran. Karena itu, mereka sangat mewaspadai pengajar-pengajar sesat dan 
nabi-nabi palsu. Yohanes menyebut mereka "tidak sabar terhadap orang-orang jahat" 

Bagi mereka, ajaran iman itu bukan "nasi rames," comot sana comot sini asal enak, tak 
peduli apakah perut akan sakit dibuatnya nanti. Pengetahuan mereka akan ajaran yang 
benar memampukan mereka menelanjangi para serigala yang berbulu domba, dan 
"mendapati mereka pendusta." 

Ketiga, jemaat ini dipuji karena keuletan, ketabahan, dan kerelaan mereka untuk 
menderita dan berkorban demi Kristus. "Engkau tetap sabar dan menderita oleh karena 
nama-Ku; dan engkau tidak mengenal lelah," kata Tuhan. 

Sedikit sekali, bukan, jemaat yang seideal ini? Aktif dalam kegiatan, serius dalam ajaran, 
dan berani dalam berkorban. Saya mengenal banyak jemaat yang aktif, sayang ajarannya 
amburadul penuh tahayul. Ada lagi yang ajarannya lempang, tapi lalu jadi dingin dan 
kaku. Sedang yang lain, ramai dengan kegiatan serta serius dalam ajaran, tapi kurang 
tahan berkorban. Jemaat Efesus tidak! 

* * * 

Toh dalam Alkitab, jarang-jarang kita membaca kecaman Tuhan yang sekeras seperti 
yang ditujukan-Nya kepada jemaat yang "ideal" ini. Jemaat Efesus diingatkan Tuhan, 
tentang "betapa dalamnya engkau telah jatuh." Diserukan, "Bertobatlah dan lakukanlah 
lagi apa yang semula engkau lakukan." 

Apa gerangan kesalahan fatal jemaat teladan ini? Menurut kitab Wahyu, "Aku mencela 
engkau karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula." 

"Meninggalkan kasih yang semula." Rupa-rupanya yang terjadi adalah begitu fanatiknya 
jemaat ini memegangi ortodoksi, mereka lalu melihat yang lain sebagai musuh yang 



harus ditumpas, bukan sebagai domba yang mesti dicari, atau sebagai sesama yang mesti 
dikasihi. 

Mereka juga terserang penyakit sombong rohani, merasa diri benar sendiri. Di dalam, 
saling menuding. Dan ke luar, eksklusif serta menutup diri. Itulah yang terjadi, ketika 
kasih ditinggalkan. 

Komitmen terhadap ortodoksi tentu saja penting. Tuhan memuji jemaat Efesus dalam hal 
ini. Jemaat yang "jorok" dalam hal ajaran, artinya apa saja ditelan asal enak, akan 
menjadi jemaat yang membiarkan diri dipimpin oleh spekulasi dan teori rekaan manusia, 
bukan lagi oleh kebenaran Firman Tuhan. Yang boleh jadi menarik dan menyenangkan, 
tapi pasti menyesatkan. Saya melihat gejala mengerikan ini kian mengharu-biru gereja- 
gereja kita di Indoensia. Waspadalah! 

Namun, toh jangan sekali-kali mempertahankan dan memper"tuhan"kan doktrin dengan 
mengorbankan kasih! Sebab kebenaran tanpa kasih, bukan lagi kebenaran. Lagipula 
ketika kasih ditinggalkan, apa yang tinggal? Sebagaimana halnya jiwa, walau memang 
bukan segala-galanya, tapi bila manusia kehilangan jiwa apa lagi yang tersisa? 

Kasih tidak berarti mentoleransi kesesatan, apa lagi kebejatan. Bila kebenaran bisa 
ditegakkan tanpa kasih, kasih tidak dapat diwujudkan tanpa kebenaran. Bedanya adalah 
kasih berusaha mengoreksi, bukan memvonis mati. Kasih mengampuni, bukan 
mengutuki. Kasih membawa kembali, bukan mengusir pergi. 

Kepedulian utama ortodoksi adalah seperangkat prinsip kebenaran pasti, sedangkan 
kasih, kepedulian utamanya adalah manusia. Dan tak syak lagi, bagi Tuhan, manusia 
adalah yang terpenting. 

Paling sedikit, manusia lebih penting dari prinsip. Bila tidak demikian, itu berarti kita 
telah membayar terlalu mahal. "Siapa bertelinga hendaklah ia mendengarkan apa yang 
dikatakan roh kepadanya." (SH-090302) 

ALLAH BISA! 

Oleh: Eka Darmaputera 

Pusat iman Kristen adalah kepecayaan bahwa Allah adalah Allah yang Maha Kuasa (= 
omnipotent), Maha Hadir (= omnipresent ), dan Maha Tahu (= omniscient). Artinya, 
tidak ada satu pekerjaan pun yang Allah tidak bisa lakukan. Tidak ada satu tempat pun di 
mana Allah tidak ada di situ. Dan, tidak ada satu rahasia pun yang Allah tidak tahu. Ia 
adalah Allah yang kompeten. Bukan Allah yang impoten. 

Sampai kini, kepercayaan ini— paling sedikit secara formal—tetap sentral. Tidak bisa 
ditawar-tawar. Namun bila yang formal dapat dikatakan tidak berubah, yang kontekstual, 
yaitu konteks di mana orang Kristen sekarang hidup, telah mengalami banyak perubahan 
yang drastis lagi radikal. 



Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan daya ragawi manusia beribu kali 
ganda. Teleskop dan televisi telah meningkatkan daya penglihatannya. Telepon, radio, 
dan mikrofon telah melipatgandakan daya bicara maupun pendengarannya. Mobil dan 
pesawat terbang telah memperpanjang daya jangkau langkah kakinya. Obat-obatan 
penemuan baru telah memperpanjang usia harapan hidupnya. Dan seterusnya. 

Adalah wajar semata, bila pencapaian-pencapaian yang mengagumkan ini sedikit demi 
sedikit menggerus keyakinan sentral bahwa Allah adalah Allah yang Maha Bisa. "Bukan 
Allah (saja) yang maha bisa, tapi manusia!" begitu ia sesumbar. Perlahan tapi pasti, 
teosentrisme bergeser menjadi antroposentrisme. 

Namun belum terlalu lama manusia menikmati kenyamanan berada di tahta tertinggi dan 
di titik-api seluruh semesta itu, banyak hal terjadi yang telah mengguncangkan dan 
merontokkan kepongahannya. Penemuan-penemuan teknologi yang baru saja dipuja-puja 
sebagai tumpuan harapan seluruh masa depan umat manusia ternyata mengandung 
potensi merusak dan membinasakan yang luar biasa pula. 

Celakanya, bagaikan pusaran pasir yang tak tertahankan—dengan perlahan tapi pasti— 
kekuatan perusak itu sedang menyeret seluruh umat manusia menuju kemusnahan total. 
Dengan terkejut manusia menyadari, betapa ia tidak mampu menyelamatkan diri sendiri— 
apalagi dunia ini. 

Toh kesadaran baru ini tidak serta-merta menggiring manusia kembali mengorientasikan 
diri kepada Allah. Realitas kejahatan yang begitu kolosal dan spektakuler, baik secara 
kualitatif maupun kuantitatif; kedahsyatan bencana-bencana alam yang dalam sekejap 
menyapu bersih ribuan nyawa, virus, dan kuman penyakit-penyakit baru maupun lama 
yang muncul dengan daya resistensi tinggi terhadap obat-obatan yang ada; peperangan 
antarbangsa dan pertikaian antarkelompok yang telah mencapai tingkat kegilaan yang tak 
lagi mampu dipahami dengan akal sehat; kesenjangan memilukan antara minoritas 
kelompok kaya dan mayoritas kaum miskin yang kian tak terjembatani; kekosongan, 
kesepian serta ketiadaan makna yang menindih perasaan manusia; semua ini— dan yang 
lain-lain— justru membuat sebagian besar manusia modern kian skeptis terhadap 
kemahabisaan Allah. Mengapa semua ini sampai terjadi, bila Allah memang ada dan 
mampu mencegah serta mengatasinya? Apakah kepercayaan bahwa Allah Maha Bisa 
sebenarnya telah jauh kadaluwarsa? 

* * * 

Dari awal saya hendak mengatakan, kendala terbesar untuk memperoleh pencerahan 
dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah praduga yang keblinger bahwa Aliahlah 
sutradara di balik semua kejahatan yang menimpa manusia. Padahal semua yang terjadi 
itu, sebagian terbesar disebabkan oleh karena kebebalan dan keculasan manusia sendiri. 

Sungguh tidak adil, menuntut Allah untuk kejahatan yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, 
Idi Amin, atau Osama. Atau menghukum-Nya untuk korupsi yang dilakukan oleh rezim 



Orde Baru (maupun oleh rezim yang lebih "baru" lagi). Iblis yang sebenarnya jauh lebih 
lantas menghadapi tuduhan ini, eee ... malah perkaranya kita deponir dan kita bebaskan ia 
dari segala tuntutan. 

Allah tidak pernah berada di balik, di tengah, ataupun di depan kejahatan. Sebab yang 
kita sebut sebagai kejahatan, per definisi, adalah segala sesuatu yang melawan dan 
menentang Allah. Dus, bagaimana mungkin, membayangkan Allah berada di pihak 
kejahatan—baik aktif maupun pasif? 

Tidak ada kebenaran yang lebih benar daripada pernyataan serta kenyataan bahwa Allah 
selalu berada di balik, di dalam, dan di depan kebaikan. Yang selalu dilakukan oleh Allah 
adalah mendayagunakan kemahakuasaan-Nya untuk mengubah apa yang semula 
dirancang sebagai kejahatan agar berakhir menjadi kebaikan. Dan apa yang semula kita 
caci sebagai kemalangan, bila kita retrospeksi ke belakang, eee ... sering justru 
merupakan awal dari keberuntungan. 

Yang ingin saya katakan adalah betapa pun spektakuler dan kolosalnya realitas kejahatan 
di sekitar kita; betapa pun pedihnya luka batin kita; betapa pun dalamnya keterpurukan 
kita; dan betapa pun suramnya cahaya pengharapan dalam hidup kita; semua ini secara 
objektif belum cukup sahih untuk kita jadikan alasan untuk menyerah, dan tidak mau 
mempercayakan diri lagi kepada Allah. Sekaranglah saatnya kita memetik pelajaran dari 
pengalaman—bukan dari kepercayaan yang membabi-buta!— untuk menanggalkan 
kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kepada kemampuan manusia, dan kembali 
melabuhkan sauh pengharapan kita kepada yang Maha Bisa. 

* * * 

Marilah kita menyadari kembali betapa kecilnya manusia dan betapa dahsyatnya Allah! 
Dengan ini saya tidak bermaksud sedikit pun untuk menafikan kemampuan manusia. 
Namun, kemampuannya itu semestinya justru membuat ia menyadari betapa tidak 
mampunya ia! 

Anda meragukan kemampuan Allah mengendalikan kejahatan yang ada di dunia ini? 
Astaga, pakailah nalar Anda sebaik-baiknya! Bila pergerakan seluruh alam semesta saja 
berada di bawah kendali-Nya, betapa lagi yang ada di bumi ini! Ia pasti bermiliar-miliar 
atau bertriliun-triliun kali lebih mampu! Seorang Ade Ray yang punya kekuatan 
mengangkat beban ratusan kilo masih Anda ragukan kemampuannya mengangkat beras 
10 kilo? Oh, come on! 

Kita tahu bahwa secara proporsional, bumi kita ini tak ubahnya bagaikan debu di 
lingkungan galaksinya sendiri. Begitu pula dengan kemampuan manusia yang kita agul- 
agulkan itu! Agar kita tidak bagaikan katak yang merasa diri lembu, demi objektivitas 
kita harus menanggalkan ilusi tentang kehebatan diri sendiri yang berlebih-lebihan. 

Banyak yang mengagumkan dari prestasi manusia. Tapi sebelum kita keburu terjerat 
tanpa sadar oleh arogansi antroposentrisme yang menyesatkan, marilah kita melihat alam 



semesta yang lebih luas. Kita akan mendapati, betapa semua penemuan dan capaian 
manusia yang tertinggi, tetap tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang telah ditata 
oleh Allah. 

Saya tidak tahu apakah data-data berikut ini masih akurat atau tidak. Tapi, saya pernah 
membaca tentang bagaimana bumi kita ini mengelilingi matahari dengan kecepatan 
begitu rupa sehingga bila dilakukan adu balap, dalam satu jam pertama saja pesawat jet 
manusia yang tercanggih akan sudah ketinggalan 66.000 mil di belakang. 

Para ahli juga mengatakan, bagaimana dalam perjalanan mengelilingi matahari itu, bumi 
ini menempuh jarak 584 juta mil per tahun, dengan kecepatan rata-rata 66. 700 mil per 
jam atau 1,600. 000 mil per hari. Itu berarti, pada saat yang sama keesokan harinya kita 
telah berada 1.600.000 mil jauhnya dari tempat di mana kita berada sekarang. Dan toh 
kita tidak merasakan apa-apa! 

Dapatkah Anda bayangkan semua ini? Sungguh fantastis, bukan? Pertanyaan saya: bila 
Allah mampu mengendalikan semua yang begitu fantastis, masihkah Anda ragukan 
kemampuan-Nya mengendalikan hidup Anda dan perjalanan arah sejarah dunia ini? Jadi, 
manakah yang sebenarnya telah kadaluarsa: kepercayaan tentang ke-Maha-Bisa-an Allah, 
atau ketidakpercayaan manusia? (SH-020302) 

PERGAMUS, TEMPAT DI MANA IBLIS BERTAKHTA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Pergamus tidak sekaya Efesus. Tidak pula seindah Smirna. Namun begitu, toh ada yang 
menyebutnya, longe clarissimum Asiae, artinya, "kota paling kesohor di (provinsi) Asia." 

Betapa tidak. Penguasa datang dan pergi silih berganti, mulai dari Aleksander Agung dari 
Makedonia sampai Attalus III dari Roma, tapi selama hampir 400 tahun lamanya, ia 
mampu bertahan sebagai ibu kota. 

Kota ini memang tak sesukses Efesus atau Smirna, dalam hal menjadi pusat niaga. 
Namun dalam hal budaya, o, jangan tanya. Pergamus mengungguli keduanya. 

Perpustakaannya menyimpan tak kurang dari 200.000 gulungan naskah atau perkamon 
(berasal dari kata 'pergamus'!). Cuma Aleksandria, yang memiliki perpustakaan terbesar 
di dunia, yang mampu mengalahkannya. 

Di samping kota budaya, Pergamus adalah juga pusat agama. Paling sedikit ada dua 
tempat keramat yang paling terkenal, kondang sampai ke mancanegara. 

Yang pertama, adalah kuil pemujaan bagi Zeus, dewa tertinggi serta termulia orang 
Gerika. Dan yang kedua adalah kuil pemujaan untuk Asklepios, sang dewa penyembuh 
nan sakti mandraguna. Karena ramainya orang dari segala penjuru dunia berkunjung serta 



berziarah ke kuil yang kedua, seorang penulis wisata menjuluki Pergamus sebagai 
"Lourdes-nya dunia masa lampau." 

Yang menarik adalah Wahyu Yohanes mencatat bagaimana Tuhan justru menyebut 
Pergamus sebagai "takhta Iblis." Apakah ini disebabkan karena adanya kuil-kuil 
pemujaan itu? 

Mungkin saja. Tapi agaknya bukan itulah alasan utamanya. Sebab bagaimana pun 
sesatnya dan bagaimana pun bejatnya yang dilakukan orang di dua kuil tersebut, 
pengaruh buruknya terhadap orang-orang Kristen nyaris tiada. 

Yang lebih mungkin menurut saya adalah, terkait dengan kenyataan bahwa Pergamus 
adalah ibu kota provinsi. Sebagai pusat pemerintahan, tak terhindarkanlah Pergamus 
menjadi pusat kultus pemujaan kaisar. Apa dan bagaimana kultus ini sebenarnya? 

Sepintas kilas, kultus ini memberi kesan sebagai praktik ritual yang cukup beradab dan 
tidak terlalu "jahat." Namun dalam kenyataan, akibat robekan taringnya dan cakar 
mautnyalah, berjatuhan ribuan martir sebagai korban. 

Bukan cuma dalam jumlah yang luar biasa banyak, tapi juga dengan cara yang luar biasa 
biadab. Masuk akallah, bila karena ini, Tuhan menyebutnya sebagai tempat kota di mana 
Iblis bertakhta. 

* * * 

Di atas telah saya katakan, bahwa sepintas lalu kultus pemujaan kaisar tidak memberi 
kesan jahat, atau sebagai sesuatu yang sangat mengganggu iman. Ditinjau dari sudut 
pandang tertentu, kultus ini lebih merupakan sebuah "ritus politik," ketimbang sebuah 
"ritus keagamaan." 

Mirip-mirip upacara penghormatan bendera setiap tanggal 17 di negeri kita, atau sumpah 
setia kepada tanah-air seperti yang lazim di Amerika. Upacara "sekuler" yang, kecuali 
bagi sekelompok kecil orang-orang "ekstrem," biasanya dianggap sebagai "tidak ada apa- 
apanya." Artinya, boleh-boleh saja dilakukan, sebab tidak ada kaitannya dengan—dan 
karena itu tidak bakal mengganggu—integritas iman seseorang. 

Awal mula kelahiran kultus ini adalah juga karena urgensi politis, yaitu bagaimana 
menjaga integrasi wilayah kekaisaran Roma yang luasnya meliputi tiga benua? Apakah 
yang dapat dijadikan pemersatu atau perekat batin yang efektif, bagi suatu masyarakat 
yang pasti luar biasa keaneka-ragaman agama, bahasa, dan budayanya? 

Satu-satunya pilihan yang paling masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak adalah 
kaisar sebagai lambang pemersatu. Kesetiaan kepada kaisar dimanfaatkan sebagai 
pengikat solidaritas seluruh warga pax romana, yang diharapkan bisa mengatasi— tanpa 
menghilangkan— perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka. 



Tuntutan pelaksanaan kultus ini ringan, fan caranya pun, sederhana, beradab, tidak 
berlebih-lebihan. Sengaja dibuat begitu agar tidak justru memancing keberatan dan 
perlawanan banyak pihak. 

Setahun sekali, pada tanggal yang telah ditetapkan, setiap warga negara Roma diwajibkan 
datang ke kuil terdekat. Di situ, di depan patung sang Kaisar, ia diminta mengambil sikap 
hormat, membakar dupa, sambil mengucapkan "Caesar adalah Kurios." 

Setelah itu, mereka pun memperoleh kartu bukti yang menyatakan bahwa mereka telah 
melakukan kewajiban mereka. Beres. Mereka boleh pulang ke rumah mereka, atau ke 
mana saja. Sekeluar dari tempat itu, mereka bebas sebebas-bebasnya memuja dewa apa 
pun yang mereka percayai, dan dengan cara apa pun yang mereka yakini. Sama sekali 
tidak rumit, bukan? 

Soal keharusan mengucapkan kalimat "Caesar adalah Kurios," sebenarnya juga tak perlu 
dipermasalahkan benar. Sebab istilah "kurios," walaupun bisa berarti "Tuhan," juga bisa 
sekadar berarti "tuan." 

Seperti kata "lord" dalam bahasa Inggris, atau "heer" dalam bahasa Belanda, atau "gusti" 
dalam bahasa Jawa. Bisa dipakai untuk manusia, bisa pula untuk Tuhan. Tidak salah, 
bukan, menyebut kaisar itu "tuan"? 

* * * 

Tidak sedikit orang Kristen pada waktu itu yang memilih untuk bersikap "luwes" lagi 
"bijaksana." Tak ada soal menyebutkan "tiga kata" itu. 

"Bukankah orang Kristen mesti taat kepada negara dan hormat kepada raja?" begitu kilah 
mereka membenarkan diri. Saya membayangkan, dalih yang paling banyak mereka pakai 
adalah juga dalih yang paling sering kita pakai, yaitu "Yang penting kan apa yang ada di 
dalam hati kita. Tuhan pasti melihat hati kita, bukan cuma tangan kita atau mulut kita. 
Biar pun tangan kita membakar dupa, Ia tahu hati kita tidak meyangkali-Nya." 

Orang-orang yang "luwes" dan "bijaksana" ini umumnya bisa "survive" dan selamat di 
segala zaman. Walaupun tak bisa dipastikan, apakah hati mereka tenteram sejahtera. 

Namun, sebagian orang Kristen lainnya memilih mengambil sikap yang mungkin kita 
sebut "radikal," "ekstrem," atau "kaku." Orang-orang "kaku" ini, sungguh mati, 
menghormati kaisar mereka. 

Menghormatinya dengan sepenuh serta setulus hati. Tidak sekadar menjilat kaki. Namun, 
mereka menolak menyebut kaisar sebagai "kurios." Bukan karena mereka tidak tahu 
bahwa "kurios" juga bisa sekadar berarti "tuan." 



Mereka tahu itu, tapi mereka tidak mau menipu diri dan mencari-cari pembenaran. Bagi 
mereka, hanya Yesuslah satu-satunya yang layak mereka sebut "Kurios." Tak ada yang 
lain. Dan tak bisa lain. 

Tentu saja mereka juga tahu persis apa konsekuensi terburuk yang harus mereka pikul 
akibat sikap "kaku" mereka. Mereka tak menginginkan itu, tapi mereka tak punya pilihan 
lain. 

Mereka tahu bagaimana dunia mencurigai orang yang "berbeda." Tidak menyukai orang 
yang menantang arus. Mereka disebut "eksentrik" atau "fanatik." 

Dunia juga membenci orang-orang yang berusaha teguh pada pendirian dan prinsip, tanpa 
mau berkompromi. Orang-orang seperti ini dinamai "mbalelo" atau "keras kepala." 

Dunia menuntut konformitas atau penyesuaian diri, lebih menyukai "orang baik-baik," 
ketimbang "orang baik." "Orang baik-baik" itu penurut, sedangkan "orang baik" biasanya 
pembangkang. 

Salahkah berkompromi atau menyesuaikan diri? Tentu tidak. Keduanya tak terhindarkan, 
selama kita mesti hidup bersma-sama dengan orang lain. 

"Take and give," saling memberi dan saling menerima. Tapi persoalannya bukanlah 
kompromi boleh atau tidak, melainkan seberapa jauh. 

Yesus bukan orang yang "eksentrik," yang ingin asal tampil beda. Tidak. Ia dikecam 
karena Ia hidup normal, makan-minum, dan bergaul seperti orang biasa. 

Namun, Ia menolak bersikap munafik. Ia menolak menipu orang lain dan membohongi 
diri sendiri. Ia akan mengatakan "ya" untuk yang "ya," dan "tidak" bila harus "tidak." Ia 
mau kita juga begitu. 

Kepada gereja di Pergamus, Tuhan berkata, "Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di 
sana, di tempat takhta Ibils." Dia tahu di mana kita berada, yaitu di tempat yang jauh dari 
ideal bagi keamanan dan kenyamanan iman kita. 

Akan tetapi, Ia mau kita tetap di situ dengan kedua belah kaki kita, dengan sepenuh hati 
kita. Dan dengan syarat, "engkau berpegang kepada nama-Ku, dan tidak menyangkal 
imanmu kepada-Ku." 

Orang Kristen tidak perlu harus kaku seperti kayu. Baik juga bila Anda bisa lentur seperti 
bambu, tapi selalu setia pada prinsip. 

Pantang membohongi hati nurani. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa 
yang dikatakan Roh kepadanya." (SH-230302) 



SARDIS, HIDUP PADAHAL MATI 
Oleh: Eka Darmaputera 



Bila Anda ingin memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana gilang- 
gemilangnya masa silam yang bisa begitu kontras bagaikan siang dan malam bila 
dibandingkan dengan suramnya kenyataan sekarang, tak bisa lain, Sardis adalah contoh 
yang paling mencolok. Bila banyak kota lain, semakin tua usianya justru semakin tampak 
muda sebab terus-menerus diperbarui dan dibangun kembali, Sardis sebaliknya. Sardis 
adalah kota yang mengalami degenerasi. "Engkau dikatakan hidup," kata Tuhan, 
"padahal engkau mati." 

Kurang lebih tujuh abad sebelum surat dalam kitab Wahyu ini ditulis, Sardis adalah salah 
satu kota terbesar di muka bumi. Sebuah metropolis. Di situlah raja-raja Sardian 
memerintah dengan kemewahan yang tak terbayangkan, apalagi terkatakan. 

Legenda tentang kemakmuran dan kekayaannya membuat Sardis bagaikan sebuah negeri 
yang cuma eksis dalam dunia dongeng. Sungai Pactolus yang membelahnya, konon, 
mengalirkan emas. Lama setelah Sardis lenyap dari muka bumi, orang yang terlalu amat 
sangat kayanya masih disebut sebagai "sekaya Croesus." Croesus adalah raja Sardis yang 
paling kaya. 

Di masa pemerintahan raja diraja Croesus inilah, Sardis berhasil mencapai titik puncak 
kejayaannya, tapi sekaligus juga meluncur cepat bagaikan terjun bebas ke titik nadir. 
Hancur lebur. Kehancuran biasanya tidak terjadi tiba-tiba, maka wajarlah untuk bertanya: 
apa sih yang telah terjadi? 

Sebenarnya mengenai kemungkinan akan hancurnya Sardis ini—walaupun waktu itu 
dianggap sebagai kemustahilan— Croesus telah diberi peringatan sebelumnya. Sayangnya, 
orang seperti dia, yang sedang mabuk kepayang oleh kesuksesannya sendiri, sedang 
tenggelam dalam "kejumawaan," lazimnya sulit luar biasa untuk bisa menerima kabar 
buruk. 

Pada suatu ketika, karena haus kuasa yang tak kunjung terpuaskan serta rasa yakin diri 
yang meluap-luap, Croesus memutuskan untuk menyeberangi Sungai Halys, dan 
memerangi raja diraja Cyrus dari Persia. Sebelum itu, ia terlebih dahulu meminta 
pertimbangan serta petunjuk dari seorang cenayang terkenal di kuil Delphi. Sang dukun, 
konon, menjawab, "Sekali Anda menyeberangi Sungai Halys, Anda akan membawa 
sebuah kerajaan besar ke kehancuran." 

Mendengar petunjuk itu, hati Croesus semakin mantap. Ia yakin, kali ini ia pasti akan 
berhasil memaksa negeri adikuasa itu bertekuk-lutut untuk selama-lamanya. Tak pernah 
sedikit pun terlintas di benaknya, bahwa ramalan itu sesungguhnya ditujukan kepadanya, 
bahwa kerajaan yang dibawa ke kehancuran itu tak lain adalah Sardis; bahwa yang akan 
membawa Sardis ke kehancuran tak bukan adalah Croesus sendiri; dan bahwa 
keputusannya untuk menyeberangi sungai Halys adalah awal dari proses keruntuhan 
tersebut. Ah, mana mungkin?! 



Konon setelah menyeberangi sungai, Croesus segera dipukul mundur oleh Cyrus yang 
memang telah bersiap diri. Namun ini toh tak sedikit pun membuat Croesus berkecil hati. 

Kegagalan kali ini, begitu pikirnya, hanyalah suatu sukses yang tertunda. Ia telah 
memperhitungkan semuanya. Ia akan membawa pasukannya kembali ke kota, mengurung 
diri rapat-rapat, dan dari situ menunggu saat yang tepat untuk menyerang balik. 

Croesus telah menyiapkan stok logistik yang cukup, siap menunggu sampai bala tentara 
Cyrus kehabisan ransum. Pada saat itulah, ia akan melumat habis pasukan yang pasti 
lemas kelaparan itu. Taktik yang lumayan brilian, bukan? 

Namun, Cyrus yang kenyang makan asam garam peperangan, bukan tak tahu akan siasat 
semacam itu. Ia segera mengadakan sayembara: barang siapa berhasil memberitahukan 
jalan masuk ke benteng Croesus yang terkenal tak bisa ditembus itu, akan diberi hadiah 
yang besar. 

Hal yang tak terduga, yaitu yang diperkirakan tak mungkin terjadi, ternyata terjadi. 
Faktor "X" seperti inilah yang biasanya tak pernah diperhitungkan oleh orang-orang 
sesukses Croesus. Mereka hanya mengandalkan kalkulasi otaknya. Padahal tak semua 
peristiwa dalam sejarah ini berjalan sesuai dengan skenario otak manusia, bukan? 

Seorang prajurit Persia secara tak sengaja melihat seorang prajurit Sardis keluar melalui 
sebuah celah sempit yang terdapat di tembok benteng yang tebal itu, guna mengambil 
kembali topi besinya yang terjatuh ke luar. "Bila orang bisa keluar dari situ," demikian 
pikir prajurit Persia itu, "orang pun pasti akan bisa masuk dari situ." 

Hal ini ia sampaikan kepada Cyrus. Dan, benar, melalui celah sempit itulah, Cyrus 
kemudian memasuki kota, merangsek dan menghancurkan pasukan Sardis dalam waktu 
singkat. Kehancuran Sardis menjadi kian lengkap setelah Cyrus, untuk mencegah 
kemungkinan pemberontakan, melarang orang Sardis membawa atau memiliki senjata 
apapun. 

Anak-anak Sardis hanya boleh dididik menyanyi dan menari, tidak boleh diajar berkelahi 
atau ilmu bela diri. Demikianlah, dengan perlahan tapi pasti, Sardis kian melapuk, 
mengalami degenerasi. Kelihatannya hidup, padahal mati. 

Tragedi yang menimpa Sardis mengandung pelajaran yang amat berharga bagi kita 
semua, yaitu betapa kehancuran bisa tiba begitu mendadak, juga ketika orang sedang 
berada di puncak rasa keberhasilan dan kejayaannya. Solon, si orang paling bijak di 
Yunani, pernah datang berkunjung dan dipameri kehebatan serta kegemilangan Sardis. 
Akan tetapi, mata orang bijak tak pernah silau oleh penampakan luar semata. 

Dengan peka Solon melihat bagaimana di balik rasa yakin diri yang berlebih-lebihan itu, 
Sardis sebenarnya sedang mengalami proses pembusukan yang tak tertahankan. 
Perjumpaannya dengan Croesus inilah yang kemudian memeteraikan ucapan Solon yang 



abadi, "Jangan katakan seorang pun sukses atau berbahagia, sebelum ia mati." Yang 
penting bukanlah siapa yang bisa tertawa sekarang, melainkan siapa yang akan tertawa 
terakhir nanti. 

Menurut pengalaman saya, tak ada kearifan hidup yang lebih penting untuk diingat 
daripada yang berikut ini. Satu, "Jangan cepat patah semangat tatkala gagal, dan jangan 
gampang tekebur menepuk dada tatkala sukses." Dua, "Berharaplah akan yang terbaik, 
tapi bersiaplah untuk yang terburuk." Karenanya, tiga, waspada, waspada, dan waspada! 
Setebal-tebalnya tembok dan benteng Sardis, ternyata mempunyai celah juga! 

Dalam konteks keadaan seperti itulah, jemaat Tuhan di Sardis berada. Banyak enaknya. 
Sebab sepintas lalu, bila diamati dari luar, Sardis yang sedang repot memikirkan nasibnya 
sendiri tak punya minat untuk mengganggu kehidupan jemaat. 

Sebab itu, berbeda dengan beberapa jemaat lain, jemaat Sardis tidak mengalami 
tantangan berarti baik dari dalam maupun dari luar. Aman terkendali. Namun, saudara, 
justru dalam keadaan "aman-aman saja" inilah, bahaya yang jauh lebih besar 
sesungguhnya sedang mengintai. Bahaya apa? "Engkau dikatakan hidup, padahal engkau 
mati." 

"Aku tahu segala pekerjaanmu," kata Tuhan. Berarti jemaat ini penuh dengan kegiatan 
dan kesibukan. Yang rutin maupun yang istimewa. Namun, ingatlah, kualitas kehidupan 
sebuah gereja tak pernah bisa diukur hanya dari jumlah kegiatan serta kesibukannya. 
Kalau sibuk, yang harus segera dipertanyakan adalah sibuk apa? 

Heran bin ajaib, jemaat Sardis relatif bebas baik dari gangguan bida'ah dan ajaran-ajaran 
sesat dari dalam, maupun dari tekanan penganiayaan dari luar. Namun bila kita pikirkan 
lebih mendalam, keadaan ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan. 

Di balik segala keburukannya, bida'ah dapat lahir karena hati yang mencari, dan otak 
yang berfikir. Memang cara mencarinya salah, dan apa yang mereka temukan 
menyesatkan. Ini amat kita sayangkan. Namun, otak yang berpikir dan hati yang terus 
mencari~for better or for worse— adalah tanda adanya kehidupan. 

Jemaat Sardis bebas dari gangguan bida'ah, bukan karena kesadarannya yang murni 
tentang ortodoksi, tetapi semata-mata karena ia "hidup, padahal mati." Karena otaknya 
berhenti berpikir. Karena hatinya malas mencari. 

Jemaat ini juga relatif aman dari tekanan eksternal. Tapi kembali di sini, tak ada yang 
patut disyukuri ataupun dibanggakan dari kenyataan ini. Karena penyebabnya tak lain 
adalah, jemaat ini hanya kelihatannya saja hidup, padahal mati. Karena itu tidak dianggap 
sebagai bahaya atau ancaman. Tak perlu diperhitungkan. Kalaupun macan, macan kertas 
atau macan ompong. 

Pengalaman jemaat Sardis dan peringatan Tuhan sebaiknya mendorong gereja-gereja 
Tuhan di Indonesia segera memeriksa diri. Kita sering dengan bangga mengatakan bahwa 



gereja Tuhan sedang mengalami kebangkitan yang luar biasa sekarang ini. Mudah- 
mudahan saja. Tapi benarkah? 

Jangan-jangan kita cuma kelihatannya saja hidup, padahal mati. Isi kesibukan kita 
hanyalah bagaimana memperbesar, memperkaya, memperkuat dan memuaskan diri 
sendiri. Ibadah beruibah menjadi entertainment. Injil menjadi komoditas bisnis. Atas 
keadaan ini, saya katakan "Awas!" Orang yang kelewat gemuk amat rentan terhadap 
penyakit yang bisa menyerang tiba-tiba, dan fatal akibatnya. 

Padahal Tuhan sudah mengingatkan, "Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu, 
karena secara demikian juga nenek-moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi 
palsu" (Lukas 6:26) Gereja yang hidup dan penuh vitalitas, selalu berada di bawah 
serangan. Tidak aman-aman saja. Karena itu, biasanya tidak terlalu gemuk. Awas! "Siapa 
bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya." (SH- 
060402) 



FILADELFIA, KEKUATANMU TAK SEBERAPA, NAMUN ... 
Oleh: Eka Darmaputera 

Dari antara tujuh kota yang disebut dalam kitab Wahyu, Filadelfia adalah yang termuda. 
Kota ini baru dibangun kurang lebih 150 tahun sebelum Kristus oleh raja Attalus II untuk 
menyatakan cintanya yang luar biasa kepada saudara laki-lakinya, Eumenes. 

Karena itulah, ia diberi nama "Filadelfia". Berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani 
"philadelphos", yang artinya: orang yang mencintai saudara (laki-laki)-nya. Sungguh 
romantis dan amat menyentuh hati, bukan? 

Namun bukan cuma itu, tujuan Attalus II membangun kota. Sang raja bukan sekadar 
ingin ber"sentimentil-ria", melainkan mempunyai tujuan yang lebih jauh dan lebih 
substansial. 

Apa tujuan yang lebih substansial itu? Ini erat hubungannya dengan letak atau lokasi 
yang dipilih. Filadelfia tidak dibangun, misalnya, di daerah perbukitan yang berhawa 
sejuk dan berpemandangan indah. Tidak pula di wilayah pesisir, agar berpotensi untuk 
bertumbuh menjadi kota niaga yang ramai, di kelak kemudian hari. 

Tidak! Dengan sengaja, Filadelfia dibangun tepat di titik-silang perbatasan tiga wilayah 
sekitar— Misia, Lidia, dan Frigia— yang walaupun masih tergolong satu negeri, namun 
sangat berbeda dalam latar-belakang budayanya. Attalus II mempunyai ambisi atau rasa 
keterpanggilan yang khusus: ingin menjadikan kota yang dibangunnya itu sebagai sebuah 
"kota misioner". 

Misioner? Ya, dan saya harap Anda tidak terlalu terkejut dengan istilah tersebut. Sebab 
yang saya maksudkan dengan "kota misioner" adalah sebuah kota yang mengemban 
sebuah misi atau tugas-panggilan tertentu. 



Filadelfia, oleh raja Attalus II, hendak dijadikan ujung tombak sebuah misi yang besar 
dan mulia, yaitu menebar kebudayaan Yunani ke wilayah-wilayah sekitar. Ke wilayah- 
wilayah yang "belum-yunani" (baca: belum beradab), teristimewa daerah-daerah Lidia 
dan Frigia. 

Dan dalam hal ini, Filadelfia boleh berbangga hati karena "misi yunanisasi" yang 
diembankan ke bahunya berhasil ia laksanakan dengan sukses. "Mission impossible" 
menjadi "mission accomplished". 

Dalam jangka waktu tidak lebih dari 100 tahun— ini berarti, tidak sampai dua generasi— 
,orang-orang Lidia telah berhasil di"yunani"kan. Dibuat sama sekali lupa akan tradisi 
serta bahasanya sendiri. Berubah menjadi 100 persen Yunani, malah mungkin lebih, 
sebagaimana lazimnya para petobat baru. Mereka kini bukan hanya berbahasa, tapi juga 
berfikir, merasa, bahkan bermimpi, seperti orang-orang Yunani! 

Apakah hasil seperti ini kita nilai sebagai terpuji atau justru sebagai tragedi, tentu amat 
tergantung kepada siapa, bagaimana dan dari mana orang menilainya. Tapi apa pun 
penilaian kita, yang jelas adalah Filadelfia telah sukses dengan misi yang diembannya. 

Dan yang lebih hebat lagi, ialah bahwa semua ini dilakukannya melalui jalan damai, 
tanpa darah yang tertumpah, tanpa benci yang tersemai. 

"Filadelfia", tulis Ramsay, adalah "pusat peresapan serta penyerapan bahasa dan budaya 
Yunani di tanah yang damai dan dengan jalan damai pula". Benar sekali. 

* * * 

Sekali lagi, supaya tidak disalah-mengerti, saya menyatakan, bahwa tak ada sedikit pun 
niat saya di sini untuk mendiskusikan apalagi mempromosikan, apakah "yunanisasi" 
(seperti halnya "kristenisasi" atau "islamisasi" atau "sekularisasi" atau "kuningisasi", serta 
"- isasi-isasi" lainnya) itu sebagai tindakan yang benar atau salah, baik atau jahat, dan 
sebagainya. 

Ini tentu tidak berarti bahwa penilaian itu tidak penting. Dengan tegas saya nyatakan, 
bahwa pada satu waktu Anda dan saya, tak dapat tidak, harus membuat penilaian dan 
mengambil sikap yang jelas dan tegas terhadapnya. 

Pilihan untuk tidak mengambil sikap, adalah sebuah sikap pula— sikap pengecut yang jauh 
dari terpuji! Yang saya maksudkan hanyalah, penilaian itu tidak kita lakukan pada saat 
ini, di sini, melalui tulisan ini. Anda dan saya dapat melakukannya di tempat lain, di 
forum lain, atau pada kesempatan lain. 

Jadi tanpa bermaksud memberikan penilaian etis terhadap "yunanisasi" itu sendiri, saya 
cuma ingin menambahkan beberapa catatan yang ringkas, sederhana, tetapi saya anggap 
penting. Catatan saya yang pertama adalah, bahwa semua "-isasi" itu— betapa pun 



berbeda-beda tujuan dan isinya— pada hakikatnya satu saja esensi atau intinya, yaitu suatu 
upaya penaklukan. 

Artinya, upaya untuk menarik pihak lain ke pihak si penakluk. Upaya agar yang 
ditaklukkan itu bersikap dan berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki si penakluknya. 

Kata "penaklukan" barangkali memang kedengaran terlalu tajam, terlalu kasar, dan 
terlalu "tembak langsung", teristimewa bagi telinga-telinga kita yang telah terbiasa 
dengan eufemisme. Namun, itulah yang sebenarnya terjadi. 

Terlepas dari apakah ini baik atau buruk, semua bentuk interaksi antarmanusia dan 
antarkelompok—tanpa bisa kita hindari— sedikit atau banyak sebenarnya selalu 
mengandung unsur "penaklukan" tersebut! Apakah itu relasi suami-istri, orangtua-anak, 
atasan-bawahan, antaragama, antarkelompok,— semuanya mengandung unsur usaha 
takluk-menaklukkan. Hanya bentuk dan caranya saja yang berbeda-beda. 

* * * 

Catatan kedua saya adalah sukses Filadelfia memberi peringatan kepada kita bahwa 
upaya penaklukan yang paling efektif ternyata bukanlah melalui jalan militer, melainkan 
melalui jalan budaya; jalan tanpa kekerasan. Bukan dengan mengacungkan ujung sangkur 
atau menghunus kelewang. Bukan dengan jalan membayar massa berwajah sangar. 
Bukan pula dengan jalan adu banyak dalam membeli suara. Tapi dengan persuasi dan adu 
argumentasi. Dengan bajik menawarkan pilihan yang lebih baik, seraya memberi 
kebebasan kepada yang bersangkutan untuk dengan sebebas-bebasnya menentukan 
pilihan— tanpa tekanan. 

Sebab itu, kita mengecam sekeras-kerasnya upaya "penaklukan" melalui jalan suap atau 
janji-janji yang menyesatkan. Baik ini terjadi di bidang politik, bisnis, maupun agama. 
Orang yang menganggap diri sukses karena menghasilkan banyak orang "Kristen 
supermi", sebenarnya tidak memenangkan apa-apa untuk Tuhan. 

Di sisi lain, kita juga menolak dengan sama tegasnya semua upaya penaklukan melalui 
pemaksaan kehendak; dengan membangun rasa takut, atau melalui cara-cara pamer 
kekuatan, apalagi cara-cara teror dan kekerasan. Ini bukanlah cara yang beradab dan 
berbudaya. 

Seekor macan tidak dapat kita persalahkan karena melakukan kekerasan terhadap hewan 
lainnya. Akan tetapi mudah-mudahan Anda setuju, cara tersebut hanya pantas untuk 
hewan, tidak pantas dan tidak layak dilakukan oleh manusia yang berbudaya, apalagi 
beragama. 

ADA hal lain yang menarik untuk diceriterakan mengenai Filadelfia. Pada tahun 17 di 
jazirah itu terjadi gempa bumi hebat yang menghancurluluhkan Sardis serta sepuluh kota 
lainnya. 



Namun Filadelfia selamat, tidak ikut-ikutan hancur luluh. Toh ini tidak serta-merta 
berarti ia tidak menderita karenanya. 

Luput dari gempa besar, selama bertahun-tahun lamanya, Filadelfia menderita akibat 
gempa-gempa susulan yang datang dan pergi. Selama itu pula, rasa waswas dan cemas 
menjadi pengalaman hidup mereka sehari-hari. 

Hari ini bagian ini yang runtuh, esok hari bagian lain yang roboh. Banyak penduduk kota 
tidak berani kembali ke rumah mereka. Begitu, bertahun-tahun lamanya. 

Bukankah ini juga menggambarkan warna kehidupan kita kadang-kadang? Tidak hancur 
luluh seketika, namun untuk jangka waktu yang cukup lama kita mengalami goncangan 
yang bertubi-tubi dan terus-menerus, akibat gempa-gempa susulan? 

Menghadapi keadaan seperti ini, dua kemungkinan bisa terjadi. Kemungkinan pertama 
adalah pengalaman traumatis tersebut berhasil mematahkan semangat kita, membunuh 
rasa percaya diri kita, dan memadamkan api pengharapan kita. Saya teringat akan mereka 
yang akibat banjir besar tempo hari, lalu menjadi gugup dan gagap, setiap kali hujan 
mulai turun, apalagi bila terjadinya di malam hari. 

Namun ada kemungkinan yang kedua. Orang justru keluar dari situasi kemelut itu, lebih 
perkasa, lebih tegar, lebih teruji. Seperti Bambang Tetuko keluar dari gemblengan maha 
berat di kawah Candradimuka, menjadi Gatutkaca yang terkenal berurat kawat serta 
bertulang baja. 

* * * 

FILADELFIA agaknya berhasil menempuh jalur yang kedua. Ia berhasil lulus dari ujian, 
dan berkembang menjadi sebuah kota yang amat besar. 

Sejarah mencatat bahwa ketika bala tentara Kerajaan Turki (yang Islam) menggilas habis 
seluruh Asia Kecil, Filadelfia berhasil bertahan sebagai sebuah kota Yunani Kristen. 
Sampai abad 14, ia berfungsi sebagai benteng kekristenan yang terakhir di Asia kecil. 

Di mana letak kekuatan ekstra Filadelfia? Tuhan bersabda, "Aku tahu bahwa kekuatanmu 
tidak seberapa, namun engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama- 
Ku". 

Secara objektif dan kuantitatif, kekuatan fisik jemaat Filadelfia memang tak seberapa. 
Usia mereka tidak seberapa. Bagaikan anak balita, mereka lemah dan rentan. Jumlah 
mereka pun tidak seberapa. Kecil sekali. Minoritas dari minoritas. 

Pengaruh politik dan ekonomi mereka pun tak seberapa. Mereka pasti tidak mempunyai 
wakil di parlemen atau di kabinet. Tidak memiliki partai sendiri. 



Namun, alangkah benar yang disabdakan Tuhan: kekuatan anak-anak Tuhan tidak 
terletak pada semua itu. Karena itu alangkah bodohnya, alangkah sia-sianya, dan 
alangkah mubazirnya, bila semua daya dan dana dikerahkan dan dicurahkan hanya untuk 
menambah jumlah penganut atau meningkatkan pengaruh sosial, politik atau ekonomi! 

Kunci kekuatan orang Kristen tidak terletak di situ. Daya tahannya tidak bergantung dari 
faktor-faktor itu, tapi terletak di mana dan bergantung pada apa? Jawab Tuhan: pada 
ketaatan dan kesetiaan orang kepadaNya! "Namun engkau menuruti firmanKu dan 
engkau tidak menyangkal nama-Ku." 

Alangkah tragisnya, sebab bukankah justru dua hal inilah yang paling sering kita 
abaikan? Demi menambah kekuatan, kita tega melanggar perintah-perintah-Nya, serta 
bertubi-tubi melukai hati-Nya. 

Demi memperkuat diri, kita sampai hati menyangkali Dia dan mengorbankan integritas 
keimanan kita. Dan yang paling mencelakakan adalah, ketika kita berusaha mencari 
kekuatan dengan menyandarkan diri kepada "yang kuat"; menaklukkan diri kepada 
kehendak "yang banyak"; serta melacurkan iman serta keyakinan kita untuk menyenang- 
nyenangkan hati mereka "yang berkuasa". Pada saat kita berpikir karena itulah kita kuat, 
sebenarnya kita hancur. 

"Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepadanya." 

LAODIKIA, "NO TO STATUS QUO" 
Oleh: Eka Darmaputera 

Akhirnya, tibalah kita ke jemaat ketujuh, jemaat terakhir, yang disapa Tuhan dalam kitab 
Wahyu. Jemaat Laodikia. Jemaat yang istimewa karena inilah satu-satunya jemaat—di 
antara tujuh yang disebut—yang tentangnya Kristus cuma mencela. Tak satu kalimat pun 
Ia memuji. 

Ia padahal kita kenal begitu objektif dan selalu berpikir positif. Yang dianggap sampah 
oleh masyarakat, tanpa malu-malu Ia hargai. Musuh "bebuyutan"nya— orang-orang 
Farisi— walau habis-habisan Ia kecam kalau salah, toh tak segan-segan Ia puji bila 
memang pantas. 

Akan tetapi, mengapa kali ini Ia berbeda? Seberapa "hitam"-kah jemaat Laodikia 
sebenarnya, sampai ia terpilih menjadi contoh buruk? Artinya, jemaat yang tak punya 
apa-apa untuk ditiru? 

Kota Laodikia, di mana jemaat Tuhan yang "unik" ini terletak, didirikan oleh Antiokhus 
dari Siria untuk istrinya, Laodike. Sebagai kado untuk sang tersayang, wajarlah bila 
segala sesuatu diperhitungkan dan dipersiapkan sebaik-baiknya. Dan memang terbukti! 
Laodikia segera berkembang menjadi kota yang besar, ramai, dan terkenal. Ada tiga ciri 
khas kota ini yang membuatnya terkenal ke mana-mana. 



Pertama, Laodikia terkenal sebagai salah satu pusat kegiatan perbankan dan keuangan 
terbesar. Karenanya, ia juga merupakan sebuah kota yang termakmur dan terkaya di 
dunia. Pada tahun 61, ketika terjadi gempa bumi hebat dan sebagian kota ini hancur, ia 
menolak bantuan dari luar karena merasa cukup kaya untuk membangun kembali dirinya 
sendiri. Itulah yang saya namakan "mentalitas Laodikia": merasa tidak butuh siapa-siapa, 
kecuali dirinya sendiri. 

Kedua, Laodikia termasyhur karena kerajinan pakaian jadinya, khususnya yang terbuat 
dari wol. Bulu domba eks Laodikia terkenal lembut, mengkilap, serta berwarna hitam 
keungu-unguan. Bulu domba itu amat indah dan anggun, terutama bila dikenakan sebagai 
jubah kebesaran. Inilah "mentalitas Laodikia" yang lain: begitu bangga dan yakin diri 
akan kecantikan dan ketampanannya. Obsesinya adalah dikagumi orang. 

Ketiga, Laodikia juga kesohor karena mutu sekolah kedokterannya. Dua dokter alumni 
sekolah ini, Zeuxis dan Aleksander Filalethes, begitu menjulang reputasinya sehingga 
wajah dan nama mereka diabadikan di atas uang logam mereka. Namun, yang membuat 
prestasi medis kota ini lebih melambung lagi adalah salep mata dan salep telinga yang 
mereka produksi. Tidak heran, orang-orang Laodikia merasa diri sehat selalu. 
Pendengaran dan penglihatan mereka istimewa. 

Kelebihan-kelebihan yang membanggakan ini membuat mereka lupa akan sisi kenyataan 
mereka yang lain, sisinya yang buram, yaitu betapa rentan dan rawan keadaan mereka 
sebenarnya. Misalnya, bagaimana untuk kebutuhan air mereka saja, mereka sepenuhnya 
harus tergantung dan dipasok dari luar. Berarti, sekali musuh berhasil menguasai sumber 
air, tamatlah riwayat mereka dalam sekejap. 

Bukankah ini adalah pelajaran yang indah serta peringatan yang penting, agar kita tak 
pernah terlena, terbuai, atau terhanyut oleh rasa bangga, rasa bisa, dan rasa tak perlu 
siapa-siapa? Agar kita selalu menyadari bahwa setiap orang memiliki titik lemahnya 
masing-masing, sebab itu selalu waspada? Bahwa tak ada orang yang serba cukup pada 
dirinya sehingga tidak perlu siapa-siapa atau apa-apa lagi dari orang lain? 

* * * 

Tragis sekali, mentalitas Laodikia agaknya juga merambah masuk ke jemaat. Sesuatu 
yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Anda salah sangka dan akan kecewa berat 
bila Anda menyangka bahwa cuma gerejalah yang meng-"garam"-i dunia. Di dalam 
kenyataan- -for better or for worse— tak terhindarkan, dunia pun meng-"garam"-i gereja. 
Mengapa tak terhindarkan? Selama gereja berada di dalam dunia, interaksi antara 
keduanya adalah suatu keniscayaan. 

Perjumpaan ini bisa mencelakakan, tapi juga bisa memperkaya dan mendewasakan. 
Gereja lalu dipaksa untuk terus-menerus merumuskan penghayatan imannya kembali, 
supaya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan dunia, dan tidak digulung habis oleh 



dunia. Hanya bila perumusan imannya dapat dipahami oleh dunia, gereja bisa 
meng-"garam"-i dunia. 

Tapi pada saat yang sama harus pula saya tekankan, bahwa gereja hanya dapat 
meng'garam'i dunia ini, kalau ia mampu menawarkan sesuatu yang lain dan yang lebih 
baik kepada dunia. Gereja yang sama saja dengan dunia, tidak berguna apa-apa bagi 
dunia. Dalam pengertian inilah, pertobatan tak boleh ditandai dengan sekadar berganti 
agama. Pertobatan menuntut perubahan yang radikal dan menyeluruh, termasuk 
perubahan mentalitas. Mentalitasnya mesti lain daripada mentalitas dunia. 

* * * 

Yang saya sebut terakhir inilah yang tidak terjadi di jemaat Laodikia. Mereka memang 
berhasil membangun sebuah jemaat yang relatif besar, kaya, dan indah. Namun pada 
dasarnya, mentalitas mereka masih mentalitas lama; "mentalitas Laodikia". Merasa diri 
serbacukup, serbabisa, dan tak memerlukan apa pun dari siapa pun, termasuk dari Tuhan 
sekali pun. Tidak menyadari kerapuhan mereka sendiri. 

Karena itulah, Kristus datang dengan kecaman yang sangat tajam, "Engkau berkata: Aku 
kaya dan aku tidak kekurangan apa-apa. Engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, dan 
malang, miskin, buta dan telanjang 

Kelihatannya kaya, tapi seungguhnya melarat. Bangga dan bahagia, tapi malang. Begitu 
yakin akan kemujaraban "salep mata" mereka, tapi seungguhnya buta. Begitu genitnya 
mereka berlenggak-lenggok dengan jubah wol kebesaran mereka yang lembut berwarna 
hitam keungu-unguan, mereka tidak merasakan ketelanjangan mereka. Bahwa untuk "air" 
yang mereka konsumsi sehari-hari saja, mereka begitu tergantung dari luar! 

Belum pernah terjadi, Kristus begitu murka sampai Ia berkata, "Aku akan memuntahkan 
engkau dari mulutKu". Orang yang mengenal jemaat Laodikia barangkali akan bertanya- 
tanya, "Yesus merasa muak dan mual terhadap jemaat yang sekaya, sebesar, secantik, 
setenteram itu? Mengapa?" 

Yesus pun menjawab, "Karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas. 
Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas". 

Astaganaga, apakah kita tidak keliru dengar? Bukankah bagi banyak orang, jemaat yang 
"suam-suam kuku" seperti Laodikia, justru adalah jemaat yang ideal? Istilah yang dipakai 
adalah jemaat yang moderat; yang tenang; yang tidak terseret ke ekstrem kiri atau pun 
kanan. Yang betul-betul "gereja"; bukan cuma "sekte". Yang betul-betul dewasa, tidak 
meledak-ledak lalu melempem bagaikan anak puber. 

Salah besar! Saya seratus persen sepakat dengan William Barclay yang mengatakan 
bahwa kecaman Kristus terhadap jemaat di Laodikia mengingatkan dan memperingatkan 
gereja-gereja Tuhan masa kini akan tiga hal yang mahapenting. 



Pertama, tidak ada sikap yang lebih dibenci Yesus—di samping kemunafikan— daripada 
"ketidakpedulian". Seorang penulis dapat menulis sebuah biografi yang bagus, apabila ia 
benar-benar mencintai atau membenci subjeknya. Orang yang acuh tak acuh adalah orang 
yang paling sulit untuk diajak berurusan. Karena itu, persoalan terbesar bagi pemberitaan 
Injil di seluruh dunia, khususnya di Barat, dewasa ini, bukanlah karena orang menolak 
atau tidak percaya kepada Allah, tapi karena orang tidak peduli terhadap keberadaan- 
Nya. Sikap ada atau tidak ada Allah, sebodo amat. 

Dan akhirnya, tidak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi masa depan gereja daripada 
kecenderungan formalisme serta kecondongannya untuk mempertahankan status quo. 
Artinya, sikap "tidak mau repot" dan "tidak mau ribut". 

Gereja seperti ini begitu mencintai dirinya sendiri, dan hanya peduli akan rasa amannya 
sendiri. Berhenti menjadi gereja yang misioner. Karenanya, tak pantas lagi disebut 
sebagai gereja. Ia akan dimuntahkan dari mulut Yesus. 

Kedua, bagi Yesus, tidak ada sikap yang lebih tidak kristiani daripada sikap netral, alias 
tidak mau bersikap atau enggan berpihak. Orang Kristen yang netral adalah orang Kristen 
yang tidak mau mengambil keputusan pribadi, tidak mau memikul risiko dan tidak 
bersedia membayar harga yang menjadi kewajibannya. Kekristenan yang hambar. Garam 
yang tawar hanya pantas untuk dibuang dan diinjak-injak orang. 

Ketiga, tidak ada kecenderungan yang lebih berbahaya ketimbang kecenderungan untuk 
menjadi kekristenan yang konvensional yang kehilangan makna fungsionalnya baik ke 
dalam bagi orang-orang Kristen sendiri, apalagi ke luar bagi dunia. Jumlah orang Kristen 
di Indonesia memang cukup banyak, tapi apakah kekristenan punya dampak dan makna 
langsung dan nyata dalam hidup mereka? 

Kekristenan yang kehilangan makna adalah kekristenan yang apinya telah padam, dan 
hanya menyisakan abu. Kekristenan yang telah kehabisan sarinya, dan tinggal 
menyisihkan sepah. Konon ada kata-kata Yesus yang tak terekam dalam Injil, "Siapa 
yang berada di dekat-Ku, berada di dekat api". Tidak mungkin suam-suam kuku. 

Kecenderungan menyukai status quo— tidak repot-repot dan tidak ribut-ribut— adalah 
kecendeungan universal. Orang merasa lebih aman dan juga lebih bisa diterima oleh 
sekitar. 

Namun, sekali lagi, kekristenan status quo adalah kerkristenan abu; kekristenan sepah. 
Karena itu, kekristenan sampah. Makanan yang tidak panas dan tidak dingin mudah jadi 
busuk. 

Berbeda dengan makanan yang sungguh-sungguh panas atau sungguh-sungguh dingin. 
Tidak heran Paulus mengingatkan, "Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah 
rohmu menyala-nyala". "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang 
dikatakan Roh kepadanya". 



YANG PAPA, YANG JELATA, YANG BAHAGIA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Apakah Anda, seperti saya, mengalami kesulitan memahami KHOTBAH DI BUKIT? 
Maksud saya, bukan memahami kata-katanya. Kalau menyangkut kata-katanya, o, no 
problem-lah. 

Yesus, seperti biasa, menggunakan kata-kata yang sangat sederhana, malah cenderung 
lugu dan apa adanya, gaya khas petani Yahudi kelas bawah masa itu. Provokatif, singkat, 
tanpa basa-basi. Tanpa bedak, tanpa gincu. 

Jadi, apanya yang sulit? Kesulitan agaknya bukan terletak pada apa makna kata-katanya, 
melainkan pada bagaimana memaknainya. Artinya, bagaimana orang harus memahami, 
menafsirkan, dan (terutama) menerapkan KHOTBAH DI BUKIT? Sekali pun kata demi 
kata kita pahami tanpa kesulitan, tetap saja tak terhindarkan KHOTBAH tersebut 
kedengaran begitu absurd, begitu asing, begitu imposibel. 

Ini, apa gerangan sebabnya? Richard Rohr berpendapat semua ini berawal pada tahun 
313, ketika gereja mengalami titik-balik yang sangat radikal di dalam perjalanan 
sejarahnya. Setelah melalui masa penganiayaan yang panjang dan berdarah-darah, 
akhirnya dengan "Edict of Milan"-nya yang terkenal itu, Konstantinus Agung 
membalikkan "nasib" gereja. 

Berawal dan berasal sebagai gerejanya kaum jelata, papa, dan tertindas, bagaikan tiba- 
tiba ia kini masuk ke struktur kemapanan serta kekuasaan. Atau, lebih tepat, struktur 
kekuasaan-lah yang memasuki gereja. 

Konsekuensinya, gereja tidak cuma berpindah tempat, tapi juga bertukar sahabat. Tidak 
lagi berada di pihak mereka yang miskin dan tertindas, tapi—walau tidak terang- 
terangan—berada di pihak yang berpunya dan berkuasa. 

Gereja menjadi tuan tanah paling kaya di Eropa. Ini sungguh mengubah citra. Mengubah 
seluruh mentalitas, cara berpikir dan pola sikapnya. 

Ketika gereja masih berpihak kepada yang lemah, miskin, dan tertindas, ia adalah gereja 
yang revolusioner. Gereja yang berjuang bagi perubahan. 

Namun begitu gereja menjadi bagian dari kemapanan itu sendiri, apa yang terjadi? Ia 
menjadi gereja yang konservatif. Artinya, kecenderungannya adalah meng-"conserve" 
atau mengawetkan status-quo. Setiap perubahan dipandang sebagai ancaman terhadap 
posisi nyaman dan rasa aman yang dimilikinya. 

Gereja menjadi kian jauh dari jati dirinya yang asli, yaitu jati diri Yohanes Pembaptis, 
seperti yang dilukiskan Yesus. "Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat 



buluh yang digoyangkan angin kian ke mari? Melihat orang yang berpakaian halus? 
Orang yang berpakaian halus itu tempatnya di istana raja." 

Dari mentalitas orang yang berpakaian kulit unta, yang makanannya madu hutan, dan 
yang tinggalnya di padang gurun, gereja kini kian gemar berpakaian halus dan berada di 
istana raja. Gereja menjadi bagian dari revolusi Konstantinus, bukan revolusi Yesus. 
Orientasinya ke istana raja. Tidak ke rakyat jelata. 

* * * 

SETELAH mengatakan semua itu, tibalah saatnya menjawab pertanyaan awal kita. 
Mengapa sulit sekali memaknai KHOTBAH DI BUKIT? Mengapa KHOTBAH itu terasa 
begitu absurd, asing, dan mustahil? 

Jawabnya: karena kita tidak lagi berada di tempat dan di pihak di mana Yesus berada, 
yaitu di pihak yang papa, yang lemah, dan yang jelata. Seorang Teresa atau seorang 
Solagratia Lumy pasti tidak terlalu sulit menghayatinya. 

Sayang sekali, kita keburu tersangkut di ketinggian—di "istana raja". Semua yang 
dikatakan Yesus lalu jadi terdengar begitu nonsens dan mustahil. 

"Orang gedongan" dan "orang gedean" memang tak akan pernah mampu mencerna etika 
KHOTBAH DI BUKIT. Tata Dunia Baru versi Yesus terasa mengancam sebab 
kemapanan, keamanan serta kenyamanan kita terletak pada tata yang lama. 

Ketika Anda membaca Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan 
Allah karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga." Apa reaksi Anda? Anak saya, 
Arya, serta-merta memprotesnya. 

"Saya tahu," demikian ia berkata, "orang kaya belum tentu bahagia. Tapi jelas, orang 
miskin pasti tidak bahagia." Padahal, waktu itu baru tujuh tahun usianya. Di usia sebelia 
itu, semacam selaput telah melekat di matanya, serta menghalangi pandangannya. 

Sebagian terbesar yang lain, memilih tidak bereaksi apa-apa. Menurut mereka, tesis 
Yesus ini begitu tidak realistisnya sehingga tak perlu dikomentari apa-apa. 

Tak perlu diperhatikan. Buang-buang tenaga saja. Sama sia-sianya seperti berdebat 
dengan orang yang ngotot bahwa bumi kita berbentuk kubus. Untuk apa diladenin?! 

* * * 

ORANG tentu saja bebas berpendapat apa saja. Namun kalau kekristenan—untuk 
menebus kredibilitas dan kewibawaannya yang kian aus—mau kembali kepada jati- 
dirinya yang asli, ia harus mau dan mampu memaknai kembali isi KHOTBAH DI 
BUKIT. Jiwanya dipertahankan setekstual mungkin, namun penghayatannya diusahakan 
sekontekstual mungkin. 



Tatkala Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah," apakah Ia 
sedang meng-idealisisasi-kan atau me-romantisasi-kan kemiskinan, seperti kaum hippie 
Amerika di tahun 60-an yang mengidolakan kesederhanaan, tapi berhenti pada 
membenarkan kejorokan serta kemalasan? 

Sudah pasti tidak. Walaupun Ia memang amat peduli terhadap, bahkan 
mengidentifikasikan diri-Nya dengan, orang miskin, Ia tidak memuja kemiskinan. 

Walaupun benar Ia pernah mengatakan orang kaya sulit masuk Kerajaan Sorga, Ia tak 
pernah mengatakan bahwa orang miskin otomatis akan masuk ke sana. 

Di antara murid-murid-Nya, ada yang miskin dan ada yang kaya. Tapi begitu pula di 
antara orang-orang yang menyalibkan dan membunuh-Nya. Yang Ia kehendaki ialah 
orang-orang kaya yang hatinya rindu berbagi, dan orang-orang miskin yang tak pernah 
kehilangan harga diri. 

Mereka disebut berbahagia, bukan karena mereka miskin! Anak saya benar, kekayaan 
maupun kemiskinan an sich tidak serta-merta membawa kebahagiaan maupun 
penderitaan. 

Jadi mengapa Yesus mengatakan mereka berbahagia? Kata Yesus, "Merekalah yang 
empunya Kerajaan Sorga." Inilah kunci kebahagiaan menurut Yesus: memiliki Kerajaan 
Sorga. 

Bukankah ini juga salah satu kritik Yesus terhadap kecenderungan manusia, baik di 
zaman-Nya tapi terlebih-lebih lagi di zaman kita? Di mana racun materialisme, 
hedonisme dan konsumerisme telah mengalir bersama darah kita, dan dengan kadar yang 
telah melewati ambang batas toleransi? 

Mengapa saya katakan demikian? Sebab, seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia 
memang terus mencari dan mengejar kebahagiaan dari dulu sampai sekarang. Mereka 
berpikir, bila mereka memiliki ini atau memiliki itu, mereka akan berbahagia. 

Misalnya, dengan memiliki kepandaian atau teknologi; kuasa atau hartabenda; 
kehormatan atau kenikmatan hidup. Jadilah seluruh hidup mereka mereka pakai untuk 
mengejar-ngejar semua itu. Seringkah berhasil. Tapi yang tak pernah berhasil adalah 
menjadi "yang empunya" kebahagiaan itu sendiri. 

Di mana salahnya? Di sini: karena mereka berusaha memiliki begitu banyak hal, tapi 
tidak berupaya cukup keras untuk memiliki yang satu ini: Kerajaan Sorga. Suatu 
kebodohan yang paralel dengan kedunguan seorang tokoh dalam sebuah parodi yang 
pernah saya baca. 



Tokoh ini sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk hari pernikahannya. Tepat pada 
waktunya, ia akhirnya berhasil mempersiapkan semuanya. Kecuali yang satu ini: ia 
belum memiliki orang yang akan dinikahinya. 

Orang modern, saya akui, memang bertambah pandai dalam banyak hal, tapi seringkah 
bertambah bebal dalam hal yang paling esensial. Itu sebabnya, mereka tidak berbahagia. 

Pertanyaan kedua ialah, mengapa "orang yang miskin di hadapan Allah" itulah yang 
disebut Yesus sebagai "yang empunya Kerajaan Sorga"? Siapa mereka itu? Apakah kita 
termasuk di dalamnya? 

Pertama, "orang yang miskin di hadapan Allah" tentu saja mencakup mereka yang 
"miskin" secara ekonomis. Ini adalah penegasan yang luar biasa melegakan. 

Dalam Tata Dunia Lama, ada banyak tempat, posisi, fasilitas yang tersedia. Namun tidak 
bagi yang miskin. Fasilitas untuk diperlakukan secara adil, terhormat dan manusiawi, 
misalnya, adalah hak eksklusif orang yang kaya dan berkuasa. 

Tidak untuk yang papa, tapi Yesus menyatakan, fasilitas paling prima dalam Kerajaan 
Sorga tersedia bagi siapa saja, khususnya bagi si jelata. 

Toh yang "miskin di hadapan Allah"~"ptokhoi", dalam bahasa Yunani—tidak hanya 
mencakup mereka yang miskin secara ekonomis, melainkan semua yang "miskin" di 
segala bidang kehidupan, termasuk orang-orang yang barangkali tidak miskin secara 
ekonomis, tapi tertindas secara politis atau kultural. 

Mereka adalah "ptokhoi". "Miskin" berarti tidak memiliki apa-apa yang dapat 
dibanggakan. "Miskin" berarti mereka yang hak-haknya tidak dipedulikan. 

Yang karena kemiskinannya justru menjadi obyek untuk diperah dan diperas. Kerajaan 
dunia tidak menyediakan tempat untuk mereka. Namun, kata Yesus, dalam Kerajaan 
Allah, bukan hanya ada tempat untuk mereka, tapi Kerajaan Allah adalah milik mereka. 

Sebab itu, wahai kaum papa dan tertindas di seluruh dunia, bangunlah dan berbahagialah. 
Berhentilah tiarap atau tengkurap saja! Tunjukkan harga dirimu! Yesus mencintai dan 
menghormati kalian! Dan wahai, kalian yang kaya dan berkuasa, mulailah menghargai 
dan mengasihi mereka—si jelata, si papa, si miskin— sebagai sesama kalian! 

Kata Yesus, merekalah yang empunya Keraajaan Sorga. Ini adalah satu-satunya harapan 
kalian untuk memilikinya juga, yaitu bila kalian— seperti Yesus— dengan tulus bersedia 
memperlakukan mereka dengan respek dan dengan adil, sebagai kekasih-kekasih Allah 
sendiri! 



SEBERAPA LAPAR DAN HAUSKAH ANDA AKAN KEBENARAN? 
Oleh: Eka Darmaputera 



Menurut Yesus, siapakah orang yang berbahagia? Siapakah warga teladan Kerajaan 
Allah? Ia menjawab, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena 
mereka akan dipuaskan." Lalu kita pun mengangguk-anggukkan kepala kita, tanda setuju. 
Pikir kita, "Tentu saja! Siapa lagi, kalau bukan para pencinta kebenaran, yang pantas 
disebut warga teladan Kerajaan Allah?!" 

Kita menyangka, bahwa kita paham betul akan apa yang dikatakan oleh Yesus. 

Padahal tidak. Sebagian terbesar dari kita, tidak memahaminya. Orang-orang yang masih 
bisa membaca koran setiap hari, atau memiliki lemari es di rumahnya, atau makan di 
restoran sekali-sekali, tidak mungkin memahami perkataan Yesus. Mengertinya, 
barangkali ya. Tapi menghayatinya, kemungkinan besar tidak. 

Mustahil kita memahami apalagi menghayati perkataan Yesus, sebelum kita memahami 
benar apa artinya "lapar" dan apa artinya "haus" yang sebenarnya. Kita menyangka lapar 
dan haus adalah pengalaman kita sehari-hari. "Kemarin saya rapat nonstop dari pagi 
sampai sore, tanpa lunch break. Wah, lapar benar rasanya! Sebab itu begitu rapat selesai, 
segera kami menyerbu warung makan di seberang jalan." 

Bila ini yang Anda maksudkan dengan lapar dan haus, maka Anda belum memahami apa 
yang Yesus maksudkan. Kita memang sering merasa lapar dan haus. Tapi ada warung 
makan di seberang jalan. Ada dispenser dan lemari es di rumah kita. Atau masak mi 
instan— 3 menit selesai. 

Sebenarnya amat sedikit orang tahu, apa artinya lapar dan haus yang sebenarnya. 
Menyadari kenyataan inilah, beberapa lembaga kemanusiaan mentradisikan gerakan 
berpuasa secara teratur setiap tahun. Misalnya selama 30 jam berturut-turut tidak 
diperkenankan menelan makanan apapun, kecuali minum air putih. Tujuannya? Supaya 
yang bersangkutan secara pribadi dapat merasakan, bagaimana sih rasanya lapar dan haus 
itu. Dan karena itu, lebih bersungguh-sungguh pula dalam menolong sesama yang berada 
dalam keadaan tersebut. 

Ide yang jempol, memang! Namun demikian, cara tersebut toh tidak menjamin apa-apa. 
Sengaja membuat diri lapar selama 30 jam, sungguh tak dapat dibandingkan dengan 
orang-orang yang tanpa mereka mau harus hidup kurang makan dan kurang minum 
bertahun-tahun lamanya, bahkan mungkin sepanjang usia mereka, seperti misalnya yang 
terjadi di Korea Utara, Sudan dan Etiopia. 

* * * 

TATKALA Yesus mengucapkan kata-kata itu, maka yang ada di benak-Nya adalah 
situasi nyata di sekitar-Nya waktu itu. Situasi di mana para buruh dan petani kecil 
memperoleh penghasilan yang amat minim. Begitu minimnya, hingga sekadar cukup 
untuk membuat mereka tidak mati. Namun dari waktu ke waktu menempatkan mereka 
berada di perbatasan antara "lapar" dan "mati kelaparan". 



Begitu pula ketika Yesus mengucapkan kata "haus". Yang terbayang di dalam pikiranNya 
adalah, sebagian besar masyarakat Palestina yang hidup amat jauh dari sumber air besih. 
Seperti saudara-saudara kita di Gunung Kidul, mereka pun harus berjalan berkilo- 
kilometer jauhnya, untuk memperoleh air satu dua buyung. Apa lagi di musim kering. 

Dengan demikian yang ingin saya tegaskan adalah, bahwa ketika Yesus berbicara tentang 
"lapar" dan "haus", Ia tidak berbicara tentang rasa lapar yang cukup di-"ganjal" dengan 
beberapa potong pisang goreng atau croissant keju. Ia juga tidak berbicara tentang rasa 
haus yang cukup terpuaskan dengan meneguk secawan kopi panas atau sekaleng soda 
dingin. 

Yang Ia bicarakan adalah orang-orang yang berada dalam keadaan, di mana survival atau 
kelangsungan hidup mereka tergantung sepenuhnya pada ada tidaknya makanan dan 
minuman. Orang-orang yang mesti makan dan minum, bukan sekadar mencicipi 
kudapan. Atau mereka akan mati. adaan ketika makan dan minum tidak merupakan 
bagian dari kenikmatan, tapi telah menjadi soal hidup atau mati. Sesuatu yang tidak dapat 
tidak. 

* * * 

OLEH karena itu, di dalam realitas, kata-kata Yesus itu memperhadapkan kepada kita 
sebuah "pertanyaan" sekaligus sebuah "tantangan". Maksud saya, seberapa bersungguh- 
sungguhkah Anda menginginkan kebenaran? Apakah Anda mendambakannya laksana 
orang yang nyaris mati kelaparan atau hampir mati kehausan? Seberapa "lapar" dan 
"haus"-kah Anda akan kebenaran? Begitu tergantung kepadanya? Dan tak mungkin hidup 
tanpa itu? 

Kalau hanya masalah menginginkan kebenaran saja, wah, siapa yang tidak?! Setiap orang 
punya naluri untuk menginginkan kebenaran. Tapi, ya begitulah, keinginan tersebut 
seringkah adalah keinginan yang "biasa-biasa" saja. Artinya, bila dapat, ya puji syukur. 
Tapi kalau tidak, ya apa hendak dikata ?! Tidak ada kekosongan ataupun keresahan 
mengikutinya. 

Padahal yang Yesus kehendaki adalah, kedambaan akan kebenaran yang begitu tajam dan 
intens-nya, yang mendesak-desak terus dari dalam tanpa henti, membuat orang bersedia 
mengerahkan seluruh tenaga, bahkan bila perlu membayar harga yang amat tinggi. 

Orang bisa mempunyai komitmen yang begitu hebat, bersedia melakukan apa saja, guna 
mendapatkan kekasih yang telah lama diincarnya. Orang juga bersedia mengerahkan 
seluruh daya, dana, dan tenaga untuk meraih sukses yang sebesar-besarnya Bahkan bisa 
begitu ngotot dalam perdebatan dengan tetangga, mengenai mana kesebelasan sepak-bola 
yang terbaik di dunia saat ini. 



Tetapi seberapa besarkah komitmennya kepada kebenaran? Bersedia berkorban baginya? 
Mau ngotot mempertahankannya? Ringkas kata, seberapa "lapar" dan "haus"-kah yang 
bersangkutan akan kebenaran? 

* * * 

DI SAMPING sebuah tantangan, perkataan Yesus ternyata juga adalah sebuah 
penghiburan yang luar biasa besar bagi kita semua. Memang, pada sisinya yang satu, di 
situ ada tuntutan yang sangat tinggi, sangat dahsyat, dan karenanya sangat mengerikan. 
Namun di sisi yang lain, kita juga dapat bernafas amat lega. 

Sebab, bila dipelajari dengan cermat, yang dituntut oleh Yesus, ternyata bukanlah bahwa 
kita harus berhasil mencapai tingkat kebenaran yang tertinggi. Bila keberhasilan-lah yang 
dijadikan patokan, wah, habislah kita semua. Sebab siapa dapat mengatakan di dapan 
Yesus, bahwa ia telah memiliki semua kebenaran?! 

Tapi yang berbahagia, menurut Yesus, sekali lagi, bukanlah orang yang telah berhasil 
merangkul dan merangkum semua kebenaran. Melainkan ia yang—terlepas dari segala 
kegagalan dan keterbatasannya— merindukan kebenaran dengan sepenuh hati, segenap 
jiwa, dan seluruh akal budinya. 

Kemuliaan manusia yang sejati tidaklah terletak pada kesempurnaannya. Keluhurannya 
adalah bilamana di jurang dosa sedalam apa pun di mana ia berkubang, ia masih 
mendengar kebenaran tak pernah berhenti mengetuk pintu hatinya, dan memanggilnya 
kembali. Atau, menurut William Barclay, bila di lumpur kejatuhannya yang pekat dan 
dalam, ia toh tak seluruhnya lupa akan syahdunya cahaya bintang-bintang. 

Raja Daud berobsesi serta berambisi untuk membangun sebuah rumah ibadah bagi Allah. 
Tapi karena masa silamnya yang kelam, Tuhan menolak. Daud tak pernah mampu 
mewujudkan kerinduannya. Namun demikian, kata Alkitab, Allah toh bersedia mengakui, 
"Maksudmu itu memanglah baik." 

Allah tidak menghakimi manusia, hanya berdasarkan prestasi-prestasinya, tapi juga 
berdasarkan mimpi-mimpinya, kedambaannya, dan apa yang diperjuangkannya. 
Karenanya, kita tak perlu terlalu risau, bila kita tetap tak mampu mencapai tingkat 
kebaikan yang sempurna, sampai ke akhir hayat kita. Sebab yang jauh lebih penting bagi 
Allah adalah, apakah sepanjang umur hidup kita itu, kita "lapar" dan "haus" akan 
kebenaran. 

* * * 

ADA hal lain yang perlu kita catat dari kata-kata Yesus. Bila kita memeriksa lebih teliti 
teks bahasa aslinya, ternyata apa yang dikatakan oleh Yesus, mengambil bentuk yang 
amat khas, yang tidak biasa dijumpai dalam pemakaian sehari-hari. Yang biasa adalah, 
bila orang mengatakan "Saya lapar akan roti", maka yang dimaksudkannya adalah "Saya 



lapar akan sepotong roti". Begitu pula bila orang mengatakan "Saya haus akan air". Yang 
ia maksudkan ialah, "Saya haus akan seteguk air atau secawan air". 

Tapi bentuk tata-bahasa yang dipakai oleh Yesus, sungguh berbeda. Ketika Yesus 
mengatakan, "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran", maka yang 
artinya adalah "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan seluruh kebenaran". Yang 
lapar dan haus akan kebenaran yang lengkap, yang paripurna, yang menyeluruh. Bukan 
kebenaran yang sepenggal-sepenggal. 

Namun bukankah dengan sedih hati harus kita akui, bahwa justru itulah yang acapkali 
terjadi? Saya kenal seseorang, yang benar-benar lapar dan haus untuk merumuskan apa 
itu kebenaran. Seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk itu. Tapi, sayang seribu sayang, 
cuma kebenaran dalam teori doang. Sedang dalam praktik hidupnya? O, jauh! Yang ini 
bukanlah segenap kebenaran. 

Ada pula orang yang dalam kehidupan pribadinya, amat terpuji integritas moralnya. 
Kejujurannya, keteguhannya memegang prinsip, kesalehannya, membuat banyak orang 
terkagum-kagum, mengangkat topi dan mengacungkan jempol. Kendati demikian, jangan 
Anda harap orang ini menjadi alamat yang tepat, bagi orang yang sedang berdukacita 
mencari penghiburan, atau bagi orang yang sedang bimbang mencari keteguhan, atau 
bagi orang yang membutuhkan dan mencari pertolongan. Terhadap orang-orang ini, ia 
tidak menaruh kepedulian. Yang ini, juga bukan segenap kebenaran. 

Kebenaran, saudaraku, tidak mengenal kualifikasi "lumayan". Terhadap apa yang disebut 
sebagai "kebenaran", kita tidak bisa mengatakan "Ya, lumayanlah!" atau "Not too had- 
lah". Orang harus benar seluruhnya dan selengkap-lengkapnya, atau tidak sama sekali. 
Karena itu, Yesus tidak memberi tempat berlindung bagi seorang pemimpin yang hebat 
prestasinya, tapi hebat pula korupsinya. Ia tidak memberi suaka bagi orang-orang yang— 
seperti Hitler—bisa sangat sayang kepada kucing dan anak-anak, tapi hatinya dibakar 
benci kepada orang-orang Yahudi. Seluruh kebenaran atau tidak sama sekali. 

Tuntutan Yesus ini jelas tak mungkin bisa kita penuhi. Manusia yang tidak pernah 
sempurna, mustahil bisa memiliki kebenaran yang paripurna. Tapi, puji Tuhan, Anda toh 
masih bisa berbahagia. Sebab, sekali lagi, yang berbahagia, bukanlah orang yang berhasil 
mencapainya. Melainkan orang yang sungguh-sungguh "lapar" dan "haus" untuk 
menggapainya. (SH-8602) 

SI HANCUR HATI YANG BERBAHAGIA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Di dalam Alkitab kita, kalimat kedua dalam KHOTBAH DI BUKIT, berbunyi: 
"Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur". Terjemahan ini 
tidak salah, memang. Namun, sebenarnya belum mampu mengungkapkan seluruh nuansa 
rasa yang ada, sepenuh-penuhnya. 



Ini agaknya adalah masalah abadi yang menjadi kelemahan utama bahasa Indonesia, 
dibandingkan dengan bahasa-bahasa mapan lainnya, juga bila dibandingkan dengan 
bahasa-bahasa "asli" Nusantara kita. "Ganyang", misalnya, kita tahu, tidak cuma berarti 
"makan". Atau "kremus", itu jauh lebih kuat daripada sekadar "kunyah". Seperti halnya 
"ngebet", juga punya nuansa lebih mendesak-desak, yang tak tersirat melalui kata 
"ingin". 

Kata Yunani yang dipakai untuk "berdukacita" di sini adalah sebuah kata khusus. Yang 
jauh lebih kuat dan jauh lebih dalam, misalnya, ketimbang "berdukacita" -nya Pak I Gede 
Ambisi yang uring-uringan, sebab kena giliran mesti turun setengah jalan sebagai 
anggota DPR. Atau bila dibandingkan dengan "berdukacita" -nya Pak Saleh Munafik, 
yang merugi sebab salah perhitungan di pasar saham. 

Atau dengan "berdukacita" -nya Pak Satrio Tanposusilo, yang ludes uangnya 3,5 milyar 
rupiah di meja judi. 

Istilah yang dipakai, hoi penthountes, memang berarti orang-orang yang sedang berduka 
dan bersedih hati. Namun, sekali lagi, lebih dari itu. 

Ada nuansa "berkabung" di situ. Kita membayangkan orang-orang yang telah kehabisan 
air mata untuk menangis dan kehabisan kata-kata untuk meratap. 

Orang-orang yang nestapanya telah melampaui batas daya tahan sehingga yang tersisa 
hanyalah perasaan yang kosong, hati yang beku, dan mata yang nanar. Jiwa yang hancur. 
Duka yang dalam. Kesedihan yang berpadu dengan kepedihan, menyayat dalam ke pusat 
syaraf. 

Inilah suasana hati Yakub, ketika mendengar dan yakin bahwa putra paling tersayangnya, 
Yusuf, telah mati. Suasana hati Maria, ketika sebagai ibu tak tahu bisa berbuat apa, 
menyaksikan sang Putra tergantung di atas kayu salib—begitu kesakitan, begitu 
menderita. Suasana hati Yesus, ketika dari ketinggian tempat Ia dtambat, Ia menatap 
wajah ibunya, dan menyelami suasana hatinya— pasti hancur luluh serta remuk redam. 
Itulah mereka, hoi penthountes. Orang-orang yang menyandang dukacita di atas segala 
dukacita. 



Mereka inilah yang disebut Yesus "orang-orang yang berbahagia". Berbahagia, bukan 
karena memiliki semua yang mereka inginkan, tapi karena mengalami kepenuhan serta 
kepuasan batin yang paripurna. 

Begitu paripurnanya, sehingga yang bersangkutan merasa seolah-olah tak kekurangan 
apa-apa lagi. Ya, walaupun barangkali ia tidak memiliki apa-apa Kecuali satu, yaitu yang 
paling berharga. 



Apakah yang "paling berharga" itu? Kita ingat saja kata-kata Yesus. "Apakah gunanya 
bila orang memiliki seluruh dunia ini, tetapi jiwanya binasa?" "Sebab hidup ini lebih 
penting dari pada makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian." 

Namun begitu, kata-Nya, "Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawa, 
tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk 
hidup yang kekal." Jadi, tariklah kesimpulan Anda sendiri! 

* * * 

Paling sedikit, kita dapat menarik tiga makna dari ajaran Yesus kali ini. Yang pertama 
ialah, bahwa yang disebut berbahagia oleh Yesus, adalah orang-orang yang secara kasad 
mata, adalah orang-orang yang remuk dan hancur hati. Bagaimana "orang-orang celaka" 
ini bisa disebut "berbahagia"? 

Jawabnya adalah ketika orang telah tiba ke dasar duka yang paling dalam, serta 
penderitaan yang paling sempurna; ketika tak ada lagi kata-kata manusia yang mampu 
menghibur, dan tak ada apa-apa lagi di dunia yang bisa sedikit melipur; maka yang 
bersangkutan cuma punya dua pilihan. Pilihan pertamanya adalah ia memilih 
membenamkan diri dalam kedukaan, dan tak keluar-keluar lagi dari situ. 

Pilihan ini seperti pilihan Yakub yang memutuskan terus berkabung seumur hidup, 
setelah kematian Yusuf, atau Yudas Iskariot yang memilih menggantung diri, sebab tak 
kuat menanggung sesal. Seperti mereka yang berkata, "Untuk apa lagi saya hidup tanpa 
dia atau dalam keadaan seperti ini?!" 

Tapi memilih mati sebelum ajal, bukanlah satu-satunya pilihan yang tersedia. Ada rute 
lain. Sebab ketika orang tak dapat mengharapkan apa-apa dari siapa pun dan dari apa 
pun, maka satu-satunya harapan yang masih mungkin hanyalah pada Allah! 

Bila orang memilih rute ini, kata Yesus, ia sungguh berbahagia, sebab ia akan dihiburkan. 
Dihibur oleh Allah sendiri dengan sukacita yang, kata Yesus, "Tidak ada seorang pun 
yang dapat merampas(nya) dari padamu." Sukacita yang sejati. Sukacita yang lestari. 

Walaupun bagi si Lemah Hati, penderitaan menghancurkan, namun bagi si Tahan Uji, 
penderitaan adalah "kawah Candradimuka"-nya satria-satria pilihan, agar keluar dari sana 
lebih tegar, lebih kuat, serta lebih perkasa. Siap menghadapi medan laga yang lebih berat 
dan lebih menantang. 

William Barclay, dalam "Seri PA Sehari-hari" tentang Injil Matius, mengutip sebuah 
sajak yang, menurut pengamatan dan pengalaman saya, sungguh terbukti kebenarannya. 
Bunyinya: 

"Satu mil aku jalan bersama si Nona Kesenangan Sepanjang perjalanan, ia terus 
berceloteh tanpa titik tanpa koma Namun tak sedikit pun aku menjadi lebih bijaksana 
oleh semua yang dikatakannya. 



Satu mil aku jalan bersama si Nona Kepedihan Sepanjang perjalanan, tak satu kata pun 
keluar dari mulutnya Tapi, wow, betapa banyak hikmah yang kutimba ketika aku dan si 
Nona Kesedihan jalan bersama." 

* * * 

Yang kedua yang disebut "berbahagia" oleh Yesus adalah orang yang bersedia ikut 
menanggung dukacita sesama. Yang bersedia menangis bersama mereka yang menangis. 

Anda benar, bila Anda berusaha memelihara jarak dengan benda-benda di sekitar Anda, 
supaya Anda tidak dikuasainya. Tapi salahlah, bila Anda sengaja memelihara jarak dari 
sesama. Sebab, astaga, betapa lengangnya, betapa menekannya, dan betapa 
menyedihkannya dunia, bila didiami oleh orang-orang yang saling tidak peduli! 

Inti kekristenan adalah kepedulian. Injil memberitakan tentang Allah yang peduli. Dan 
Allah yang peduli ini menghendaki agar anak-anak-Nya menjadi orang-orang yang 
peduli. 

Lawan kata dari "kasih", bukanlah "benci", melainkan "cuek". Apatis. Indifferent. Karena 
itu, kata-kata Yesus dapat dikalimatkan-ulang menjadi, "Berbahagialah orang yang peduli 
kepada penderitaan, dukacita, serta kebutuhan sesama, karena mereka sendiri akan 
dihiburkan." 

Dan akhirnya, yang ketiga. Kita juga dapat mengalimatkan ulang kalimat Yesus, dengan 
"Berbahagialah orang yang berdukacita atas dosa-dosa serta ketidaklayakannya sendiri, 
karena ia akan dihiburkan." 

Inti pemberitaan Yesus ada dua. Yang pertama adalah sebuah "pernyataan": "Kerajaan 
Allah sudah dekat!" Dan yang kedua adalah sebuah imbauan: "Bertobatlah". 
"Bertobatlah, karena Kerajaan Allah sudah dekat!" 

"Bertobat", tidak cuma berarti berubah, seperti secarik kain yang lambat laun berubah 
warna; atau seperti manusia pasti berubah menjadi tua. "Bertobat" juga bukan sekadar 
berarti berbelok, ibarat orang yang semula bermaksud berjalan lurus, tapi eeeit salah, lalu 
berbelok ke kanan. 

Bertobat, atau metanioa, artinya adalah berbalik 180 derajat. Dari yang semula 
berorientasi hanya kepada diri sendiri, kini berubah total menjadi sepenuhnya melayani 
kehendak Allah. Atau, seperti pengalaman Paulus, yang sebelumnya dikejar-kejar sebagai 
"kemuliaan", kini dicampakkan sebagai "sampah". 

Tapi bagaimana perubahan sedrastis dan seradikal itu bisa terjadi? Memang tidak 
mungkin, kecuali bila orang sungguh-sungguh meratapi kedosaannya, serta menginsyafi 
kemalangannya. 



Dengan perkataan lain, hanya bila orang "berdukacita" atas dosa-dosanya, ia 
berkemungkinan untuk bertobat. 

Celakanya, selama yang bersangkutan dikuasai oleh Iblis, jiwanya buta. Terus-menerus 
didorong untuk berbuat dosa, tanpa menginsyafi bahwa yang dilakukannya itu dosa. 

Dan alangkah fatalnya orang yang berada dalam keadaan seperti ini! Sebab bila orang 
tidak menyadari kedosaannya, bagaimana mungkin ia menyesalinya? Dan tanpa 
menyesalinya, bagaimana mungkin ia bertobat? Dan akhirnya, tanpa bertobat, bagaimana 
ia akan diselamatkan? Yang bersangkutan berada di sebuah jalan satu arah, jalan 
Kebinasaan Kekal. 

Sebab itu, kata Yesus, berbahagialah bila Anda mempersilakan Roh Kudus bekerja. Roh 
akan menginsyafkan Anda akan kedosaan serta kemalangan Anda. 

Benar, ini akan melahirkan dukacita yang sangat, sakit yang menyayat, serta 
pemberontakan rasa bangga diri Anda yang amat kuat. Tapi juga membahagiakan! 
Dengan itu, Anda telah diselamatkan dari suatu keadaan, yang sebelumnya hanya akan 
membawa Anda ke kebinasaan. 

Berbahagialah mereka yang hancur hati, sebab keadaan yang tidak dipilihnya! 
Berbahagialah mereka yang hancur hati, karena peduli terhadap kehancuran sesama! 

Dan berbahagialah mereka yang hancur hati, karena menginsyafi kedosaan serta ketidak- 
berdayaan mereka; lalu mencari Allah. Mereka akan mendapatkan sukacita yang sejati, 
yang murni, yang lestari. Sukacita ilahi! 

MELIHAT MELALUI MATA SESAMA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Kata Yesus, "Berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan beroleh 
kemurahan". Siapakah si "murah hati" itu? 

Ternyata, tidak seperti sangka kita semula, mereka bukanlah orang yang mudah merogoh 
kocek, meneken cek, dan royal memberi derma—para filantropis. Mereka bukan pula 
orang yang mudah jatuh iba, lalu spontan berbagi sesuatu dengan sesama. 

Dermawan-dermawan seperti itu tentu kita hormati seputih hati. Namun, sayang sekali, 
bukan merekalah yang Yesus maksudkan. 

Orang yang "murah hati", menurut Tuhan, adalah mereka yang bersedia "masuk" ke 
situasi kehidupan orang lain. Sedemikian rupa, sehingga ia mampu melihat dengan mata 
orang itu, berpikir dari perspektif orang itu, dan merasakan apa yang sesamanya itu 
rasakan. 



Inilah makna "simpati" yang sebenar-benarnya! Simpati berasal dari kata "syn" (= 
bersama-sama) dan kata "paschein" (= menderita) berarti "ikut menanggung atau 
merasakan penderitaan orang lain". 

Jadi para sponsor yang rela mengeluarkan uang bermiliar-miliar rupiah untuk membeli 
hak siar Piala Dunia 2002, atau pejabat-pejabat yang mengobral dana nonbuj eter—untuk 
bagi-bagi sembako atau untuk biaya makan siang—tidak serta-merta layak disebut sebagai 
si "murah hati". 

Anda pun belum lolos kualifikasi bila Anda membuka sedikit pintu jendela mobil Anda 
guna menyusupkan ke luar uang 100-200 rupiah, bagi seorang pengamen cilik bermata 
sayu di perempatan jalan. Di perempatan jalan berikut, Anda pasti sudah tak ingat lagi 
tatapan tanpa ekspresi dari si pengamen cilik bermata sayu itu. 

* * * 

Penginjil Lukas mengisahkan peristiwa tatkala Yesus singgah di rumah sahabat-sahabat 
baik-Nya, Marta dan Maria, di Betania. Oleh Yesus, ini dimaksudkan sebagai kunjungan 
terakhir sebelum ke Yerusalem dan mati di sana. 

Marta, yang sangat mencintai serta menghormati Yesus sibuk mempersiapkan segala 
sesuatu untuk-Nya. Belanja, menata meja, memasak, mempersiapkan kamar tidur. Apa 
saja, pokoknya ia ingin memberikan yang terbaik bagi tamu kehormatannya. 

Sayang sekali, Marta cuma berpikir dari sudut pandangnya sendiri. Ia tidak berusaha 
untuk "masuk", dan coba ikut merasakan apa yang Yesus rasakan saat itu. 

Andai kata ia mau melakukannya, ia akan menyadari bahwa yang Yesus butuhkan amat 
sederhana. Ia cuma menginginkan kehadiran para sahabat di sekelilingnya, dan— dalam 
diam— saling mengangkat beban bersama-sama. 

Yang Ia inginkan adalah tidak lebih dari suasana tenang, agar Ia dapat sedikit 
mengendorkan perasaan tegang. Yang pasti, pada waktu itu, bukan makan atau tidur yang 
ada di hati-Nya. 

Saya tidak mengatakan bahwa Marta melakukan sesuatu yang tercela atau kurang 
berharga. Namun, ia gagal menyelami jiwa Yesus. Karena itu, ia gagal mengekspresikan 
"simpati"-nya. 

Sebaliknya dengan Maria, yang seolah-olah tidak berbuat apa-apa. Ia justru dipuji oleh 
Yesus karena melakukan yang terpenting, yaitu menjadi sahabat yang "murah hati". 

* * * 

Di tanah AIR kita dewasa ini, khususnya setelah dilanda krisis, wah, entah ada berapa 
banyak lembaga, badan, atau organisasi berdiri. Semuanya menyatakan terpanggil untuk 



berjuang bagi kepentingan rakyat. Jumlah tersebut, akhir-akhir ini, masih harus ditambah 
lagi dengan ratusan partai politik baru. 

Ada yang dengan garang mengklaim memperjuangkan hak-hak rakyat. Ada yang dengan 
giat membagi-bagi barang, konon, untuk meringankan penderitaan rakyat. Ada yang 
berkunjung ke sana kemari, termasuk ke mancanegara, katanya, untuk menyuarakan 
aspirasi rakyat. 

Siapa yang sekarang ini tidak berbicara atas nama rakyat? Pejabat yang perutnya gendut 
karena terlalu banyak menghisap uang hak rakyat pun, tanpa rasa jengah berbicara 
mewakili rakyat. 

Sebuah organisasi paramiliter yang walau pun kehadirannya jelas-jelas ditentang keras 
oleh penduduk setempat, eee toh tidak malu-malunya ngotot mengklaim bahwa 
keberadaannya di situ adalah demi masyarakat setempat. 

Tetapi apakah, seperti klaim mereka, mereka adalah orang-orang yang "murah hati"? 
Menurut Yesus, sudah pasti tidak! 

Orang-orang itu mengaku bergiat untuk rakyat, berjuang demi rakyat, dan merasa diri 
terpanggil untuk membela rakyat. Namun tak satu kali pun mereka merasa perlu bertanya 
kepada rakyat, apa sebenarnya kehendak, keinginan serta aspirasi mereka. 

Saya jadi teringat kepada Santoso, teman saya, yang dari pagi buta sampai larut malam, 
tujuh hari seminggu, terus bekerja memupuk karier dan menumpuk harta, membuat 
rumah- tangganya nyaris berantakan. Setiap kali ditegur, jawaban klise yang meluncur 
dari mulutnya adalah, "Tapi ini kan untuk kepentingan keluarga juga!". 

Barangkali ia jujur, tapi jelas ia salah. Ia tak pernah bertanya kepada istri dan anak- 
anaknya, apakah memang itu yang mereka inginkan. Mungkin sekali bila ia 
menanyakannya, maka jawaban mereka sederhana, "Kami ingin jalan-jalan bersama 
papa, seminggu sekali saja!". 

Banyak pejabat tidak pernah mengenal rakyatnya. Mereka tidak pernah berusaha "masuk" 
ke hati sanubari mereka. Bekerja keras untuk rakyat, tapi tidak bersama-sama dengan 
rakyat. For the people, without the people. Hati mereka tidak tertuju kepada rakyat. 

Jadi, hati mereka sebenarnya tertuju kepada siapa? Tertuju kepada diri mereka sendiri! 
Ada yang memakai nama rakyat sekadar untuk menutupi kejahatan mereka terhadap 
rakyat. Ada yang kelihatannya bekerja keras untuk rakyat, tapi sebenarnya hanya agar 
mereka bisa berkata bahwa telah berbuat sesuatu bagi rakyat. Dengan perkataan lain, 
mereka sebenarnya cuma melayani kepentingan mereka sendiri. 



* * * 



Inti semua yang dilakukan oleh Allah bagi manusia adalah "kemurahan hati". Tatkala Ia, 
di dalam Yesus Kristus, bukan cuma memperhatikan manusia, atau berprihatin atas nasib 
buruk manusia, atau berupaya dapatnya meringankan beban serta penderitaan manusia 
sedapat-dapatnya, tapi mengungkapkan kasih yang sepenuh-penuhnya kepada manusia! 

Dengan cara bagaimana? Nah, ini dia! Dengan cara "masuk" ke dalam situasi manusia. 
Mengidentifikasikan diri secara total dengan manusia, sepenuhnya. Ia tidak hanya 
"Imanuel", atau "Allah beserta kita". Tapi, lebih dari itu, Ia adalah "Firman (yang) telah 
menjadi manusia, dan diam bersama kita". 

Saya tahu bahwa inti kepercayaan Kristen yang paling mendasar ini, adalah yang paling 
kontroversial pula. Entah berapa kali saya mendengar orang berkata, "Ajaran agama 
sampeyan itu sebenarnya praktis sama dengan ajaran agama saya. Kecuali satu, kami 
tidak dapat mengerti dan percaya bahwa Yesus itu Tuhan dan sekaligus manusia." 

Wah, bila itu cuma tergantung dari kemampuan saya, saya pun, terus terang, tidak dapat 
mempercayainya. Toh pada saat yang sama saya harus bersaksi, bahwa betapa pun saya 
tidak mengerti dan memahaminya, saya mempercayainya. Saya mempercayainya, bukan 
karena logika saya menyetujuinya, melainkan karena Tuhan sendiri yang menyatakannya. 

Apakah bukan itu inti "iman" dan "kepercayaan" agamaniah itu? Bukan "saya mengerti, 
karena itu saya percaya", melainkan "saya percaya, karena itu saya mengerti". 

Karena percaya, saya mengerti betapa saya sungguh bersyukur karena saya 
mempercayainya. Saya tidak dapat membayangkan betapa celakanya manusia, sekiranya 
bukan itu yang terjadi. Sekiranya Tuhan membatasi diri, hanya mau melakukan apa-apa 
yang sesuai dengan logika dan daya nalar manusia. 

Terpujilah Dia karena Tuhan bersedia melakukan hal-hal yang melampaui nalar sehat 
manusia. Dengan risiko, manusia tidak mempercayainya. 

Allah menjadi manusia. Mengasihi mereka yang tidak pantas dikasihi. Berkorban diri 
bagi mereka yang tidak layak menerima pengorbanan. 

Saya tidak dapat membayangkan bagaimana nasib saya, sekiranya— seperti logika-Nya— 
saya diharuskan membayar semua utang dosa saya. 

Bersama-sama dengan juru mazmur, saya cuma akan dapat berkata dengan gemetar, 
"Sekiranya Engkau memperlakukan aku sesuai dengan dosa-dosaku, ya Allah, siapakah 
yang mampu bertahan?" 

Saya bersyukur, karena bukan yang masuk akal itulah yang terjadi, tetapi yang 
melampaui akal. Allah masuk ke situasi saya, mengindentifikasikan diri sepenuhnya 
dengan kemanusiaan saya. 



Bila saya terjatuh tanpa daya di dasar jurang, Ia turun ke sana untuk meraih saya, 
menggendong saya dan mengangkat saya di bahu-Nya, untuk membawa saya ke luar. 
Tidak cuma memberi instruksi dari bibir jurang. 

* * * 

Begitu banyak yang dapat terjadi, bila orang bersedia masuk ke situasi kehidupan 
sesamanya. Misalnya, kita akan jauh lebih mudah mengampuni. 

Kita tahu, mengampuni itu betapa sulitnya! Luka di kulit, lambat atau cepat, akan 
mengering. Tapi luka di hati? 

Banyak orang salah menyangka, seolah-olah ia harus melupakan sakit hatinya terlebih 
dahulu, baru bisa mengampuni. Tidak! Tuhan tidak pernah melupakan dosa-dosa kita, 
sekecil apa pun. Tapi Ia bersedia menghapusnya. Ia mau mengampuni. 

Pengampunan sulit terwujud, bila kita menghakimi orang berdasarkan kepedihan- 
kepedihan kita. Tapi cobalah kita masuk ke dalam situasinya. Mungkin kita tetap tidak 
dapat membenarkan tindakannya. Tapi kita bisa lebih memahami mengapa ia 
melakukannya. 

Ketika saya menulis renungan ini, empat bom baru saja mengguncang kembali kota 
Jakarta. Mengapa kekerasan ini? Kebencian. Mengapa kebencian ini? Kecurigaan. 
Mengapa curiga ini? Sebab kita banyak menduga-duga. 

Jadi, bagaimana menghilangkan rasa curiga? Dengan mengubah dugaan menjadi fakta. 
Caranya? Masuklah ke situasi yang bersangkutan. Melihatlah melalui mata mereka. 
Berfikirlah dari sudut pandang mereka. Ikut merasa apa yang mereka rasakan. 

Dan, sungguh, kita akan berbahagia, bila kita mampu mengampuni. Karena kita tidak 
akan dikejar-kejar rasa curiga lagi. Atau perasaan terancam. Atau dendam. 

DICARI: MURNIAWAN DAN MURNIATI 
Oleh: Eka Darmaputera 

Bila Juru Mazmur berkidung bahwa hanya "orang yang bersih tangannya dan murni 
hatinya, yang boleh naik ke atas gunung Tuhan", Tuhan kita pun bersabda, 
"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah". 

Memang benar, para ahli psikologi agama mengatakan bahwa pengalaman "perjumpaan" 
atau "persinggungan" antara manusia dan "Sang Maha Lain" (= The Wholly Other) atau 
"Sang Maha Kudus" (= The Sacred), merupakan "mysterium fascinans et tremendum". 
Atau, bila diterjemahkan, suatu pengalaman "misterius yang menggairahkan sekaligus 
menggentarkan". Namun, toh "melihat" Allah (= visio dei)~seperti yang dikatakan 



Yesus—merupakan tujuan terjauh, kepuasan tertinggi, sekaligus kebahagiaan terdalam, 
yang didambakan orang. 

"Sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar," begitu tulis 
Paulus melukiskan kedambaan itu, "tetapi (aha!) nanti kita akan melihat muka dengan 
muka". Dengan perkataan lain, sekarang hidup kita masih sarat dengan rahasia yang tak 
terungkap, dengan pertanyaan yang tak terjawab, dan dengan kerinduan yang tak 
terpuaskan. 

Sungguh tidak nyaman! Namun, tak akan selama-lamanya begitu. 

Seorang anak lahir cacat. Orangtuanya menjerit, meratap, memberontak, bertanya 
"Mengapa?" 

Rabbi Kushner, mendengar jawaban yang klise dan klasik, bahwa—bila kita tawakal— 
malapetaka pasti akan berujung pada kebaikan; o, ia meradang bukan main, tak dapat 
menerima. Membayangkan putrinya sendiri yang seperti seonggok kol busuk sejak lahir 
terkulai tanpa daya, ia berteriak, "Katakanlah, kebaikan macam apa yang dapat dihasilkan 
oleh tragedi seperti ini? Dari seorang bayi yang mengangkat kepalanya pun ia tak 
mampu? Tuhan macam apa yang sampai hati bermain-main dengan penderitaan seorang 
bayi, karena mau menunjukkan kebaikan-Nya?" Tapi tak ada jawaban. Yang ada cuma 
sepi. Cuma rumput yang bergoyang. Atau paling-paling sebaris jargon, seperangkat teori 
dan spekulasi. Dan misteri. 

* * * 

Ketidakpastian adalah sisi yang paling tidak menyenangkan dalam kehidupan manusia. 
Misalnya, akhir-akhir ini banyak orang menyambut dengan gembira nilai tukar rupiah 
yang menguat dengan cepat. Tapi yang benar-benar mengerti bisnis akan berkata, "Yang 
penting bukanlah penguatannya, melainkan kemantapan dan kepastian nilai tukarnya. 
Sebab cuma bila ada kepastian, orang dapat membuat kalkulasi dan perencanaan". 

Beberapa teman saya, dengan sangat berat hati, memutuskan untuk pindah ke luar negeri, 
bukan karena mereka tidak cinta Indonesia, bukan pula karena hidup di luar negeri itu 
enak. Kata mereka, "Untuk hidup dan berusaha, tidak ada yang lebih enak daripada 
Indonesia. Tapi di sini kami selalu waswas. Tak ada kepastian". 

"Melihat Allah" menjadi puncak kepuasan tertinggi serta dasar kebahagiaan terdalam 
yang didambakan semua orang, sebab ketika itulah semua rahasia akan terungkap, semua 
selubung akan tersingkap, dan semua pertanyaan akan terjawab. Hidup tak perlu lagi 
menabrak-nabrak dan menebak-nebak. Ada kepastian. 

Tapi, menurut Yesus, siapakah yang akan memperoleh karunia yang amat istimewa itu? 
Jelas, tidak semua orang. Jawab-Nya, "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena 
mereka akan melihat Allah". 



Pada satu pihak, ini berarti setiap orang—dari yang berkuasa sampai yang jelata, dari yang 
pandai sampai yang pandir, dari yang berpunya sampai yang papa—semua punya 
kesempatan dan kemungkinan yang sama untuk memperolehnya. Sebab persyaratan yang 
dituntut oleh Tuhan bukanlah ijazah S-3 atau pengalaman kerja atau jaminan bank atau 
SBKRI atau batas usia. Tidak! Persyaratannya cuma satu: "Berbahagialah yang suci 
hatinya". Semua orang punya potensi untuk "berhati suci". 

Namun, pada lain pihak, kita segera diusik sebuah tanda tanya serta keraguan yang amat 
besar, yaitu bila itulah persyaratannya, apakah akan ada yang bisa memenuhinya? 
Apakah dalam kenyataan, ada orang yang benar-benar "suci hati"-nya? 

Kalau yang "suci tampang"-nya, o, banyak. Yang "suci lagak"-nya, pasti tidak sedikit. 
Begitu pula yang "sok suci" tingkah-polahnya, o, segudang. Tapi orang-orang yang "suci 
hati"-nya? 

* * * 

Bagian Khotbah di Bukit yang satu ini, benar-benar memaksa kita untuk berhenti. Bukan 
untuk melihat ke luar, ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Lalu dengan 
mata menyelidik mulai menginspeksi dan menilai orang-orang di sekitar kita, siapa kira- 
kira yang akan lulus. 

Pasti bukan empok Minah yang suka iri pada tetangga. Juga bukan si Badu yang 
mendadak sontak bisa membeli pesawat televisi baru berkaca datar dan berlayar lebar. 
Apa lagi si Polan yang kabarnya memelihara "tuyul". 

Bukan itu. Yang diminta dari kita adalah berhenti sejenak, lalu dengan jujur membedah 
diri, menengok ke diri sendiri. Melakukan introspeksi. Menguji diri. 

Apakah dengan jujur aku dapat mengatakan, bahwa aku adalah orang yang "suci hati"? 
Bukan cuma suci "topeng-topeng"-ku? Bukan cuma suci penampakan serta 
penampilanku? 

Seperti yang dikidungkan pemazmur, "suci hati" artinya adalah "murni hati". "Murni", 
artinya adalah "asli". Tanpa campuran. Bila "kopi", tanpa diberi bubuk jagung. Kalau 
"abon sapi" tanpa ditambahi nangka muda. 

Kalau "bensin" tanpa dicampuri minyak tanah. Dan kalau "Kristen", tanpa ditambah- 
tambahi tahayul, klenik, magic, baik yang berbaju Kristen maupun tidak. 

Kalau pilih Allah, ya Allah thok— titik. Tanpa "mammon". Kalau berjalan, punya tujuan 
yang pasti— tidak melenceng ke sini atau melancong ke sana, hingga kian jauh dari 
sasaran. Hidup dengan prinsip dan keyakinan yang satu, tidak mendua. 

Tapi, apakah ada orang yang benar-benar "suci hati"-nya? Dengan jujur, Paulus 
mengaku, dirinya pun belum— atau malah tak akan pernah— mampu mencapai tingkat 



"kemurnian" yang sempurna. Ia bersaksi, bahwa di dalam dirinya ada dua tarikan yang 
saling berkutat berusaha menarik dirinya. Yang satu adalah tarikan kuasa Roh Kudus, 
sedang yang lain adalah tarikan kuasa kedagingannya. 

Lalu, apa yang terjadi? Kuasa Roh Kudus dari hidupnya yang baru, membuat Paulus tahu 
apa yang baik, ingin apa yang baik, dan berusaha melakukan apa yang baik. Tragisnya— 
di luar daya kontrolnya—tarikan nafsu kedagingan dari hidupnya yang lama, membuat 
apa pun yang dilakukannya justru adalah yang jahat, yang tidak diinginkannya. 

Sebuah situasi yang oleh Martin Luther dirumuskan sebagai "simul iustus et peccator". 
Artinya, "telah dibenarkan, tapi sekaligus tetap pendosa". Tidak "murni". 

Siapa dapat menyangkal kebenaran pernyataan Paulus dan Luther tersebut? Hampir 
mustahil ada orang tidak mempunyai motif ganda, ketika melakukan sesuatu. 

Rekan saya gemar sekali memakai istilah "pelayanan" bila sedang "tugas luar". Toh saya 
berani mengatakan bahwa di situ hampir pasti bercampur pula motif mencari 
"penghasilan tambahan". Seorang dermawan begitu "takut"-nya disangka bahwa 
pemberiannya mempunyai pamrih, selalu menolak diketahui namanya. Tapi dapatkah 
dijamin bahwa motifnya benar-benar "murni"? Kemungkinan besar, itu dilakukannya 
demi kepuasan batin yang dicari-carinya. 

Bahkan seorang pendeta yang paling tulus hati, tidak sepenuhnya bebas dari bahaya 
mencari kepuasan diri setelah mengucapkan kotbah yang indah. John Bunyan menjawab 
seseorang yang memuji kotbahnya yang menyentuh di suatu pagi dengan wajah sedih 
berkata, "Iblis juga memberi komentar yang sama, ketika saya turun dari mimbar tadi". 
Maksudnya, kebanggaan serta kepuasan diri dapat dipakai oleh Iblis sebagai senjata yang 
ampuh untuk membuat motif perbuatan kita tidak "murni" lagi. 

Khotbah Yesus mengajak kita untuk membedah diri serta bertanya, apakah yang 
mendorong kita melakukan sesuatu? Kemuliaan Kristus atau prestise diri sendiri? 

Keinginan yang murni untuk mempersembahkan sesuatu, atau justru agar menerima 
sesuatu? Demi kepentingan dan kesejahteraan sesama, atau supaya merasa diri berjasa? 

MENCABUT ILALANG, MENANAM KEMBANG 
Oleh: Eka Darmaputera 

Di tahun-tahun belakangan ini, bukan cuma konflik dan permusuhan yang merebak di 
mana-mana dengan hebatnya, tapi juga alangkah banyaknya organisasi, lembaga, serta 
kelompok, bagai laron setelah hujan semalaman, yang bermunculan tiba-tiba. Anehnya, 
walaupun nama mereka berbeda-beda, semuanya sama saja "missi"-nya, yaitu 
perdamaian. Rekonsiliasi. "Baku bae". Atau sejenisnya. Saya punya lima teman yang 
bergabung pada lima wadah yang berlainan, namun bertujuan sama itu — perdamaian. 



Menurut pendapat Anda, baguskah gejala seperti ini? Tentu saja! Paling sedikit, tidak ada 
alasan untuk berpraduga mengatakan "tidak". Kenyataan bahwa organisasi-organisasi 
tersebut mampu menarik minat banyak orang muda, beberapa di antaranya saya kenal 
beridealisme tinggi dan punya integritas terpuji, ini saja sudah menunjukkan bahwa ada 
kebutuhan yang sah yang perlu diisi. 

Lagi pula, Tuhan sendiri bersabda, "Berbahagialah orang yang membawa damai karena 
mereka akan disebut anak-anak Allah". Jadi klop. Di satu sisi, cocok dengan kebutuhan 
manusia dan, di sisi yang lain, sejalan dengan kehendak Tuhan. 

Ya. Namun, saya anjurkan bahwa sekali pun di kulit luarnya gejala tersebut kelihatan 
bagus semata, kita toh perlu menaruh reserve di benak kita. Maksud saya, tetap kritis dan 
awas, untuk membedakan yang mana beras yang mana gabah. 

Tanpa bermaksud menuduh, pengalaman menunjukkan betapa di antara "pahlawan- 
pahlawan" kemanusiaan itu, tidak mustahil ada "calo-calo" yang mata pencahariannya 
dari masa ke masa adalah menjual isu-isu sosial ke manca negara. Di zaman ini 
"berdagang" isu kemiskinan, di zaman anu, berjualan isu HAM dan demokrasi. Lalu 
sekarang, isu rekonsiliasi. Dalam perspektif Yesus, mereka bukanlah para "pembawa 
damai". 

Di samping "calo-calo", yang mesti kita waspadai adalah kenyataan, bahwa "kata" atau 
"istilah" boleh sama, tapi pemaknaannya bisa begitu berbeda, bagaikan Kutub Selatan 
dan Kutub Utara. Karena itu, bila ada yang mengajak Anda ikut serta dalam gerakan 
perdamaian mereka, bertanyalah: "Apa yang Anda maksudkan dengan 'perdamaian'? 
'Damai' macam apa yang Anda ingin realisasikan? Dan bagaimana caranya?" 

* * * 

Bahwa terdapat konsep pemahaman mengenai "perdamaian" yang berbeda-beda — tidak 
jarang malah saling bertentangan — ini perlu benar kita sadari. Yang jelas-jelas 
provokator atau teroris pun tanpa resah dan tanpa risih mengklaim diri sebagai pencinta 
dan pejuang perdamaian. Tanya saja George Bush maupun Saddam Husein, Ariel Sharon 
maupunYaser Arafat, Vejpayee maupun Musharraf, bahkan Abu Sayyaf atau Abu 
Sabaya. 

Walaupun kini kita membacanya dalam bahasa Yunani, namun ketika Yesus 
mengucapkan, "Berbahagialah orang yang membawa damai", Ia melakukannya dalam 
bahasa Aram. Dan karena Ia mengucapkannya dalam salah satu derivat bahasa Ibrani 
tersebut, Ia pasti punya pemahaman tertentu mengenai kata "shalom" (bahasa Ibrani), 
yang berbeda dengan "eirene" (bahasa Yunani). Apa perbedaan antara keduanya? 

Secara sederhana, "eirene" adalah "damai" dalam arti tidak ada konflik yang kelihatan. 
Ibarat sebuah pertandingan tinju 12 ronde. Selama 12 ronde itu dua pihak saling 
memukul serta berusaha saling merubuhkan. Tapi di antara dua ronde, ada beberapa 
menit masa jedah. Dalam masa-masa j edah ini, tak ada pukul-memukul. 



Tapi apakah itu berarti konflik telah tiada? O, tidak! Sebab jedah yang singkat itu justru 
dimanfaatkan oleh kedua pihak untuk mempersiapkan diri memasuki perkelahian 
berikutnya. "Eirene" adalah masa jedah itu. Beberapa "intermezo" singkat dalam 
kehidupan, yang pada hakikatnya dipahami sebagai sebuah konflik abadi dari ujung ke 
ujung. 

"Shalom" lain. Seperti "salam" (bahasa Arab), kata itu tidak berarti sekadar absennya 
untuk sementara konflik yang meletup-letup. "Shalom" punya makna yang positif. 
Mengucapkan "shalom" atau "salam", tidak cuma berarti Anda mengharapkan agar tidak 
terjadi apa-apa yang buruk terhadap yang bersangkutan. Tapi, lebih positif, 
mengharapkan hadirnya yang baik pada sahabat (atau musuh) Anda itu. 

Orang yang mengalami "shalom" bukan cuma bebas dari kesulitan, melainkan me- 
ngalami semua kebaikan! Karena itu, alangkah indahnya bila di antara sesama warga 
bangsa, dengan tulus dan sadar kita bisa saling bertukar "salam"! Tapi dengan syarat 
tidak seperti yang terjadi sekarang. Di mana kata itu cuma jadi penghias bibir dan 
pemanis mulut. Formalitas yang hampa makna dan tanpa konsekuensi apa-apa. 

Bahkan, yang lebih tragis lagi adalah, bahwa "shalom" dan "salam" justru dipakai sebagai 
pemisah. Saya kelompok "shalom" di sisi sini, Anda kelompok "salam" di seberang sana. 
Yang begini, jelas tidak dimaksudkan oleh Yesus, ketika Ia berkata, "Berbahagialah 
orang yang membawa shalom". 

* * * 

Shalom tidak cuma memiliki makna yang positif, tapi juga aktif. Perhatikanlah baik-baik 
apa yang Yesus katakan, "Berbahagialah orang yang membawa damai". Ia tidak 
mengatakan, misalnya, "Berbahagialah orang yang cinta damai". Yang Ia kehendaki 
adalah orang-orang yang bersedia mengucurkan peluh, memeras tenaga, mengotori 
tangan, dan memikul segenap risiko, demi "membawa damai". 

Walau tidak semestinya begitu, namun bisa ada perbedaan yang amat besar antara 
"pembawa damai" dan "pencinta damai". Kalau yang Anda cari adalah orang-orang yang 
"cinta damai", o jangan khawatir, bejubel banyaknya! Pesan sepuluh, dapat selusin. 

Saya kira, cuma penderita psikosis berat yang tidak suka damai. Mengapa orang sampai 
saling berbunuh-bunuhan dan berusaha saling melenyapkan? Karena kehadiran pihak lain 
itu dianggap amat mengganggu "rasa damai"-nya. Dengan perkataan lain, karena "cinta 
damai". 

Ini, sekali lagi, bila yang Anda cari adalah "pencinta damai". "No sweat", kata orang 
Inggris. Tapi situasinya sangat berbeda, bila yang Anda cari adalah orang-orang yang 
memenuhi harapan Yesus — para "pembawa damai". Orang-orang tipe begini sangat 
sedikit, sebab risikonya amat besar. 



Seorang bekas mahasiswa saya yang giat berusaha memelihara komunikasi antara dua 
kelompok yang bertikai di Ambon, setiap saat terancam nyawanya. Ia selalu dalam posisi 
terjepit dan tergencet. Tidak mengherankan, bila pada umumnya orang lalu bersikap, 
"Cinta sih cinta, tapi ya sori saja kalau sampai menyabung nyawa segala". 

Tidak salah! Untuk mewujudkan rekonsiliasi sejati, Yesus mesti berjalan sampai ke ujung 
mati. Indonesia dan dunia masih harus terus mencari orang-orang, yang bersedia — bukan 
dalam arti harafiah! — menjalankan "misi bunuh diri", bukan bukan untuk meledakkan 
lawan, melainkan untuk membawa perdamaian! 

* * * 

Namun salahlah saya, bila saya sampai menimbulkan kesan bahwa membawa damai 
haruslah berdarah-darah. Saya tidak menyangkal bahwa, dalam situasi ekstrem, kadang- 
kadang keadaannya memang demikian. Peristiwa salib, adalah contohnya. Tapi tidak 
selalu mesti begitu! Anda dan saya dapat menjadi "pembawa damai" dengan melakukan 
tindakan-tindakan yang sangat sederhana, namun bermakna. 

Di atas telah saya kemukakan, bahwa "shalom" berarti kebaikan yang paling tinggi, 
paling penuh, dan paling paripurna, yang dapat dialami sebagai anugerah Tuhan kepada 
manusia. Itu berarti, "membawa damai" adalah melakukan segala sesuatu — dan ini 
berarti, apa saja — yang memberikan serta membawa kebaikan bagi manusia. Apa pun 
yang membuat dunia ini suatu tempat yang lebih baik untuk didiami. 

Abraham Lincoln adalah "pembawa damai", melalui prinsip hidup sederhana yang 
dianutnya serta tindakan yang dilakukannya, "Walaupun mesti mati," begitu ia pernah 
berkata, "saya rela, asalkan mengenai saya orang berkata, bahwa di sepanjang hidup saya 
saya selalu mencabut ilalang walau sebatang, dan menanam kembang walau sekuntum, di 
mana pun bunga dapat bertumbuh di situ". 

Kedua, "membawa damai" tidak selalu harus berarti melakukan tindakan heroik, terbang 
seperti Superman atau merayap seperti Spiderman. Bahkan semuanya itu tak ada 
gunanya, apabila di dalam hati Anda damai tidak bertumbuh. Hanya hati yang damai 
dapat memancarkan kedamaian. 

Dan kita tahu, betapa kedamaian hati itu begitu sulit dicari. William Barclay benar ketika 
ia mengatakan bahwa, paling sedikit sampai batas tertentu, setiap orang mengalami 
"perang saudara" di dalam dirinya. 

Perang antara kekuatan kebaikan dan bisikan kejahatan. Ini membuat hidup manusia 
sangat tidak tentram. 

Betapa tidak. Ketika ia sejenak merasa tenang sebab beranggapan telah melakukan yang 
benar, eee, kekuatan lain menggodanya dengan iming-iming keinginan-keinginan yang 
salah. Namun sebaliknya, ketika ia mulai menikmati yang salah itu, kini giliran hati 
nuraninya-lah yang mengusik mengingatkannya akan yang benar. 



Sebab itu sungguh benar, alangkah berbahagianya manusia, yang mengalami damai di 
dalam jiwa! Dan lebih berbahagia lagi, bila ia mampu menularkan damai itu ke sesama 
dan mengalirkannya ke sekitarnya! Orang ini, kata Yesus, berhak memperoleh gelar 
"anak Allah". 



Sebuah Homili Bagi yang Teraniaya 
Oleh: Eka Darmaputera 

Anak-anakku, 

Aku rasa jauh lebih baik bila aku bicara jujur saja. Terbuka. Apa adanya. "Ya" kalau 
memang "ya". "Tidak" kalau memang "tidak". Walau berbicara seperti itu, aku tahu, 
ketika mendengarnya, tidak menyenangkan. Tapi akhirnya, percayalah, pasti tidak akan 
menyakitkan. Sebaliknya, menyembunyikan kenyataan hanya akan menunda 
kekecewaan. Bahkan kian tinggi harapan dibawa terbang, bila terhempas, ngilunya 
sampai ke tulang. 

Ya, walaupun aku tahu pula, bahwa selalu ada saja "orang-orang aneh", yang agaknya 
lebih suka dibodohi, dibuai, dan dibelai, oleh iming-iming hampa, ketimbang melihat 
realitas yang sebenarnya. Karena itu, di zaman apa pun selalu ada nabi-nabi palsu, yang 
profesinya berdagang pengharapan semu, dan ... laku! Orang menyukainya, karena berita 
mereka memang enak di telinga, walau menyesatkan dan mempedaya. 

Terus terang saja aku khawatir, jangan-jangan mimbar-mimbar gereja kalian sekarang, 
juga penuh dengan hal-hal beginian. Sebab di zaman susah seperti sekarang, banyak 
orang pergi ke gereja untuk mencari hiburan. Katakanlah, untuk ber-"window-shopping" 
serta menikmati rekreasi rohani. Kotbah yang laku adalah yang entertaining (= 
menghibur), bukan yang challenging (= menantang). Karena orang sudah capek dan 
jenuh dengan kenyataan, mereka mencari "dunia fantasi" dan "taman impian". Dan di 
pusatnya, harapan semu itu. 

Semua ini, sudah barang tentu, menyedihkan hatiku. Tapi aku tidak terkejut. Tak ada 
yang aneh di situ. Sebab di bidang kerohanian pun, berlaku hukum pasar: di mana ada 
permintaan, di situ ada penawaran. 

Tapi hendak aku tegaskan, pantang bagiku menawarkan harapan palsu, cuma supaya 
"dagangan" -ku laku. Malah sebaliknya. Kepada mereka yang mau mengikutku cuma 
bermodalkan semangat sesaat, aku sarankan agar menghitung-hitung dulu biayanya. 
Sanggupkah mereka membayar risikonya nanti? 

Aku mau semua jelas dan transparan sejak awal. Yaitu, bahwa kedatanganku ke dunia 
bukanlah membuat hidup manusia menjadi mudah. Aku diutus Bapa, untuk membuat 
hidup manusia menjadi mulia. Karena itu, bukan "Injil Sukses" atau "Injil Kemakmuran" 
yang kutawarkan, tapi "Injil Pertobatan"! Tidak cuma kedamaian, tetapi juga pedang. 



Tidak hanya pintu sorga, tapi juga pintu penjara. Walau tentu aku akui, aku menawarkan 
kebahagiaan juga. Tapi dengar baik-baik, siapa yang aku sebut "berbahagia". 

Anak-anakku, 

"Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang 
empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan 
dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, 
karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi sebelum 
kamu." 

Apakah teraniaya itu mes? Tentu saja tidak dalam bentuk yang sama seperti yang dialami 
oleh para martir di abad-abad silam. Namun di lain pihak, bila kalian benar-benar setia, 
persahabatan yang mesra dengan dunia agaknya juga tak mungkin pula. Di seluruh 
tataran dan tatanan kehidupan, tak terhindarkan, kalian akan mengalami banyak konflik 
kesetiaan—dengan segala risikonya. Ini, anak-anaku, adalah aniaya tersendiri. 

Kalian yang mencari nafkah di bidang bisnis (atau politik, atau hukum, atau ketentaraan, 
atau profesi apa pun), tidak dapat tidak, mesti menghadapi saat-saat sulit yang serba 
dilematis itu. Misalnya, apakah kalian menjalankan bisnis kalian sama persis seperti 
orang-orang dunia menjalankan bisnis mereka? Di satu sisi, orang mengatakan bahwa 
"uang adalah buta warna" dan "bisnis adalah bisnis"— tidak membeda-bedakan mana yang 
Kristen dan mana yang bukan. Tapi di sisi yang lain, kalian tahu bahwa ada begitu 
banyak praktik bisnis yang tidak dapat kita tolerir begitu saja. Atau toh bila kalian 
terpaksa melakukannya juga, ini pasti akan membuat kalian teraniaya secara batin. 

Jangan kalian sangka, bahwa ini cuma persoalan orang moderen. Beberapa ribu tahun 
yang lalu, seorang saudagar Kristen datang kepada Tertullianus guna menyampaikan 
pergumulan batinnya. Yaitu, bagaimana sulitnya memadukan antara hukum Kristus dan 
hukum dagang. Merelasikan antara apa yang ia maui dengan kenyataan yang ia hadapi. 

Di akhir kata-kata curahan hatinya, saudagar itu— dengan nada putus asa— berkata, "Apa 
yang bisa aku lakukan, ya bapa? Aku toh mesti hidup?!" Konon, Tertullianus menjawab 
sangat singkat dan sangat telak, "Oya?! Mestikah?!" 

Betapa pun berat aniaya, anak-anaku, ketika kalian mesti memilih antara "setia" atau 
"hidup", antara "integritas" atau "realitas", ia sebenarnya tak perlu berfikir apa-apa lagi. 
Ia cuma boleh memilih satu saja: kesetiaan. 

Anak-anakku, 

Aniaya— baik batin maupun fisik— tidak terbatas cuma terjadi dalam kehidupan profesi. 
Tapi terjadi juga dalam kehidupan sosial dan keluarga. Bukan hanya pada masa-masa 
lalu, tapi sampai sekarang. Misalnya ketika, demi iman kalian, kalian dicampakkan ke 
luar dari lingkungan kalian, mesti hidup dalam kesendirian dan kesepian, sebab 
dikucilkan oleh lingkungan sosial maupun keluarga. 



Bila ini terjadi, alangkah pedihnya! Entah berapa kali dan berapa orang, yang jiwanya 
meraung kesakitan, nyaris tak kuat menanggung kesepian. "Tuhanku, tidak mungkinkah 
aku mengikut Engkau, tanpa perlu harus tercerabut dari lingkunganku?" 

Tentu saja tidak selalu terjadi begitu. Tapi kalian mesti siap. Sebab mengenai ini, aku 
telah memberi peringatan yang sangat jelas, "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku 
datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, 
melainkan pedang. Sebab aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak 
perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah 
orang-orang seisi rumahnya". 

Ayat ini, aku tahu, banyak disalah-tafsirkan dan disalah-gunakan, ironisnya, justru 
khususnya oleh pendeta-pendeta tertentu. Jangan kalian sangka bahwa aku tidak tahu, 
bagaimana mereka menyalah-gunakan kata-kataku itu, untuk memisahkan anak dari 
orangtua mereka, atau istri dari suami mereka, dengan tujuan agar menunjukkan loyalitas 
mutlak mereka hanya kepada si pendeta! Alangkah bejatnya! 

Pendeta-pendeta itu jelas-jelas telah memperkosa makna kata-kataku. Sebab itu. jangan 
kalian ikuti kata-kata mereka! Sebab kalau kalian benar-benar Kristen sejati, bukan kalian 
yang harus meninggalkan siapa pun—apa lagi keluarga sendiri! Tapi sebaliknya, kalian 
lah yang akan ditinggalkan oleh mereka— karena aku! Kalian tak perlu memusuhi siapa 
pun. Sebab kalian-lah yang akan dimusuhi! 

Anak-anakku, 

tentu pertanyaanmu adalah, mengapa sudah teraniaya, toh aku katakan kalian 
"berbahagia"? Berikut ini adalah beberapa alasanku. Pertama, bagi seorang kekasih, tak 
ada kebahagiaan yang lebih besar, dari pada kesempatan untuk menyatakan serta 
membuktikan kasihnya itu. Nah, bila kasih itu benar-benar memang kasih sejati, maka 
tak ada cara yang lebih otentik untuk membuktikannya ketimbang melalui pengorbanan. 
Dan tak ada pengorbanan yang lebih besar dan lebih berharga, dari pada berkorban diri. 

Jadi, kalian yang teraniaya, dan dinista, dan difitnah karena aku, aku sebut "berbahagia", 
mengapa? Karena melalui itulah, kalian memperoleh kesempatan menyatakan kasih dan 
kesetiaan kalian. Jangan kalian contoh ungkapan "kasih" seorang aktifis gereja berikut 
ini. "Ya, Gusti sembahanku serta tambatan sukmaku! Betapa aku mengasihimu dengan 
sepenuh hatiku, dengan segenap jiwaku, dan dengan sepenuh akal budiku— plus seribu 
rupiah dari kantongku. Tidak lebih! Gombal! 

Kedua, aku menyebut kalian yang teraniaya "berbahagia", karena melalui itu kalian 
mengalami apa yang sebelumnya dialami oleh para nabi. Menapak-tilasi jalan berdarah 
yang pernah mereka lintasi. Ikut serta dalam prosesi besar orang-orang suci yang telah 
"mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba". Lalu 
bersama dengan para syuhada, pada akhir zaman nanti, kalian duduk di tribun 
kehormatan. Membahagiakan, bukan, kehormatan ini? 



Ketiga, aku sebut kalian yang teraniaya "berbahagia", karena melalui pengalaman ini, 
kalian menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Tidak pernah di kesempatan lain, Tuhan begitu 
dekat seperti di saat-saat aniaya! Seperti pengalaman Sadrakh, Mesakh dan Abednego, 
yang dicampakkan ke tanur api karena kesetiaan mereka kepada Allah. 

Ketika tak seorang mampu mendekat ke tanur tersebut karena panasnya, apa yang dilihat 
oleh Nebukadnezar dengan terheran-heran? "Bukankah tiga orang yang telah kita 
campakkan dengan terikat ke dalam api itu? Tetapi (mengapa) ada empat orang kulihat 
berjalan-jalan dengan bebas di tengah-tengah api itu; mereka tidak terluka, dan yang 
keempat itu rupanya seperti anak dewa!?" Bagi Sadrakh, Mesakh dan Abednego, tidak 
ada peristiwa yang lebih membahagiakan, dari pada ketika Tuhan begitu dekat dengan 
mereka. Ketika itulah, aniaya yang paling hebat pun menjadi tidak bermakna. 

Orang yang sepanjang hidupnya dikejar-kejar oleh rasa takut akan aniaya, dan karenanya 
mempergunakan segala daya hanya untuk menghindarinya, adalah orang yang paling 
tidak berbahagia. Sebaliknya yang paling berbahagia adalah mereka yang bisa hidup 
dengan tenang, melangkah dengan pasti, dan memandang ke depan tanpa keraguan di 
hati. sebab rintangan dan aniaya apa pun tak lagi mampu menakut-nakuti. Tubuh mereka 
penuh parut luka, tapi jiwa mereka bebas merdeka! Berbahagia. *** 

Bersyukurlah dalam Segala Keadaan 
Oleh: Eka Darmaputera 

Judul tulisan ini bagi telinga orang Kristen amat biasa, tapi sebenarnya kalau dipikir-pikir 
isinya sangat tidak lazim. Sebab, ayo kita jujur, apa yang paling mudah, paling logis, dan 
paling manusiawi, - dan oleh karena itu juga paling cepat serta paling spontan - meluncur 
dari mulut kita dan tergambar dalam sikap kita, ketika kenyataan yang ada berbeda jauh 
dari harapan kita; dan ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita - seperti 
keadaan kita sekarang ini? 

Masa iya, bersyukur? Kena PHK, "O terima kasih, Tuhan!" Rumah atau sanak keluarga 
hancur kena bom, "Waduh, matur nuwun, Gusti!". Indonesia carut-marut dan compang- 
camping. "O, haleluya! Puji Tuhan!". Apa begitu, saudara-saudara? 

Menurut semua orang, reaksi atau respons yang jauh lebih masuk akal, adalah keluhan, 
gerutu, kritik, protes, umpat, cerca, caci, ... atau, shock, panik, histeris ... atau jengkel, 
marah, geram. Tapi yang namanya "bersyukur", saya jamin, pasti tidak masuk daftar. 
Respons seperti itu, bukan, yang kita baca di koran; yang kita dengar di seminar-seminar; 
yang kita tonton di layar kaca? Roh yang ada di balik komentar para pengamat maupun 
pejabat, bila ditanya pendapat mereka mengenai keadaan masyarakat kita. 

Daftar Keluhan 

Apa itu? Tidak bersyukur. Melainkan, daftar keluhan yang panjang, daftar persoalan yang 
panjang, dan, yang pasti tidak ketinggalan, adalah: daftar dosa yang panjang - dosa 
orang-orang lain. Cuma itu. "Ini semestinya begini," atau "Itu semestinya begitu". Tapi 



kalau ditanya bagaimana caranya, ... diam. Seolah berkata, tanya saja pada "rumput yang 
bergoyang". "And the answer, my friend, is blowing in the wind. The answer is blowing 
the wind". 

Situasi yang persis sama juga terjadi di sidang-sidang resmi, atau pun di pertemuan- 
pertemuan tidak resmi, dari orang-orang Kristen. Waduh, pintarnya dan fasihnya, bila 
sedang menganalisis keadaan, khususnya bila diminta menyebutkan borok-borok orang 
lain, pihak lain dan di tempat lain. Lancarnya dan cepatnya, kalau diminta memberi 
laporan tentang persoalan, kesulitan, tekanan dan tantangan yang sedang dihadapi. 1001 
macam! Tapi, sekali lagi, ya tidak lebih dari sekadar daftar keluhan yang panjang, daftar 
kesalahan yang panjang, dan daftar persoalan yang panjang. Tanpa solusi, tanpa konklusi: 
harus apa, bisa apa, dan lalu bagaimana. 

Salahkah yang terjadi itu? Dari satu sisi, bila yang kita pertimbangkan adalah betapa 
buruknya keadaan, maka kalau orang sampai begitu mengeluh, mengumpat, mengamuk, 
ya kita maklumilah. Kita sudah sampai pada tahap, di mana orang tidak takut terhadap 
apa pun, dan tidak takut melakukan apa pun. Tuhan, hukum, aturan, hati nurani. Label 
"halal" dan "haram" cuma wajib untuk "mi instan" atau bumbu masak - bukan untuk 
tindakan. 

Jadi logis kalau orang Indonesia jadi uring-uringan. Masuk akal kalau yang berperan 
paling dominan dalam hati manusia sekarang ini adalah roh keluh kesah, roh caci maki, 
roh putus asa, roh "pokoknya saya selamat, orang lain peduli amat". 

Logis, tapi juga sangat berbahaya! Karena bila roh inilah yang membelenggu kita, kita 
hanya akan bisa melihat ke permukaan, tidak ke kedalaman. Hanya bisa berkeluh-kesah, 
tanpa berkiprah. Kita hanya akan tercengang oleh realitas sekarang, tidak melihat 
kemungkinan-kemungkinan lain di masa depan. Kita hanya sibuk mengutuk kesalahan 
dan dosa-dosa orang lain, tidak bertanya: apa tanggung jawabku? Dalam perkembangan 
kejiwaan, ini namanya embisil. Tidak secara individual, tapi secara sosial. 

Kenyataan Buruk 

Yohanes 12:20-28 berceritera tentang Yesus yang sedang menghadapi kenyataan yang 
paling buruk di dalam hidup-Nya. Paling buruk secara fisik, tapi juga secara mental. 
Tidak ada yang bisa lebih buruk lagi daripada ini. 

"Telah Tiba Saatnya Anak Manusia Dimuliakan". Artinya, Yesus tahu, ajal-Nya sudah 
tiba. Ini saja, sudah cukup buruk dan cukup berat. "Umur Bapak tinggal 2 minggu, paling 
lama 1 bulan! Jadi, siap-siaplah!" 

Toh dalam kasus Yesus, itu belum cukup buruk. Ia tidak hanya akan mati, tapi mati 
dengan cara yang paling hina, paling tidak adil, dan sangat menyakitkan. Dan Anda tahu 
apa yang sebenarnya paling menyakitkan? Yaitu, bahwa sebenarnya Ia tidak sepantasnya 
mengalami semua itu. He did not deserve itu. Dari sudut manusia, Dia dijadikan 
"kambing hitam". Dari sudut Allah, Dia dijadikan "tumbal". Anda bisa merasakan 
sakitnya diperlakukan seperti itu? 



Tapi bagaimana Ia menghadapinya? Ini, saudara-saudaraku, yang sangat menarik. Yang 
pertama, sama persis seperti kita semua. Ia berkata, "Sekarang Jiwa-Ku Terharu" (ayat 

27) . Yesus, Tuhan kita, saudara-saudaraku, sangat berduka. Yesus, Tuhan kita, amat 
terluka. Yang akan Ia alami itu terlalu sakit, dan terlalu berat. "Sekarang jiwa-Ku 
terharu". 

Namun demikian, dan ini yang amat berbeda, Ia tidak memilih untuk bersikap yang 
paling logis dan paling manusiawi. Ia tidak menggerutu. Ia tidak mencaci. Ia tidak 
mengeluh. Ia tidak protes. "Sekarang Jiwaku Terharu, dan Apakah yang Akan 
Kukatakan? Bapa, Selamatkanlah Aku dari Saat Ini?" 

Apa itu? O, kalau saya, jelas sekali. Ya memang "itu"! "Selamatkanlah aku dari saat ini!" 
Tolonglah aku! Nyatakan mukjizat-Mu! Kalau boleh, Tuhan, jangan sekarang! 10 atau 15 
tahun saja lagi! Menurut saya, doa atau reaksi seperti ini wajar-wajar saja. Tidak salah, 
juga tidak benar. 

Tapi Yesus memberi contoh bagaimana kita, sebagai orang Kristen, harus bisa "lebih" 
atau melampaui yang "wajar-wajar" saja itu. Dia akan bertanya, "Eka, kalau cuma 
sebegitu - ya lalu apa lebihnya kamu daripada orang lain?" 

Terus terang, Saudara-saudara, tidak ada perkataan Yesus yang lain yang se-"menusuk" 
seperti pertanyaan tersebut. Maksud saya, sekarang ini, untuk orang Kristen, mengejar 
agar tidak terlalu ketinggalan dibandingkan dengan yang lain-lain saja, sudah sangat 
terengah-engah. Bahasa Jawanya, sangat kepontal-pontal. 

Menjadi Berkat 

Menangis hati saya membayangkan sekolah-sekolah Kristen kita, rumah-rumah sakit 
Kristen kita, jemaat-jemaat kita, SDM kita - khususnya di daerah-daerah, lebih khusus 
lagi di daerah-daerah yang pernah disebut sebagai "daerah-daerah Kristen". Apakah PGI 
masih memikirkan ini? Ini, saudara-saudara, baru untuk mengejar ketinggalan. Belum 
bila kita harus menjawab pertanyaan Yesus tadi: "Di mana lebihnya kamu?" 

"Sekarang jiwa-Ku terharu, dan apakah yang akan Ku katakan? Bapa, selamatkanlah Aku 
dari saat ini?" Apa yang Yesus katakan, menjawab pertanyaan-Nya sendiri? "Tidak, 
sebab untuk itulah Aku datang ke dalam Saat Ini. Bapa, Muliakanlah Nama-Mu!" (27- 

28) . 

"Tidak! Sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini". Bagi Yesus, hidup itu bukan 
sekadar eksis. Seperti laron, yang malam ini ada dan besok tiada. Survival, penting, tapi 
bukan segala-galanya. Apa yang segala-galanya? Hidup menjadi berkat, dan mati dengan 
bermartabat. 

Karena itu, panjang umur tidak pernah menjadi persoalan bagi Yesus. Apakah Ia hidup 
sampai 90 tahun, atau apakah Ia mati dalam usia 33 tahun, yang penting: Ia tahu "Untuk 
apa Ia datang ke dalam dunia ini, saat ini" Istilah kerennya, Ia tahu persis apa yang 



menjadi "Visi" dan "Misi"-Nya. Dan Ia memegangi, menghayati, dan menjalani visi dan 
misi-Nya itu dengan konsisten dan konsekuen. 

"Sekarang jiwa-Ku terharu!" - tapi Ia tidak membiarkan kegundahan hati-Nya 
mengaburkan, apa lagi menguburkan, visi dan misi-Nya. Ia melihat ada begitu banyak 
kepincangan, ketidakadilan, kekejian, di sepanjang perjalanan hidup-Nya - tapi Ia tidak 
membiarkan perhatian dan konsentrasi-Nya terbelokkan dan terbengkokkan oleh hal-hal 
yang relatif periferal, yang bisa membuat Ia tidak akan pernah sampai ke tujuan yang 
sebenarnya! 

Dan apa visi-Nya itu? ayat 28 mengatakan, "Bapa, muliakanlah nama-Mu". Bukan 
sebuah mission statement yang luar biasa, memang. Hampir semua orang Kristen tanpa 
canggung bisa mengucapkan, Soli Deo Gloria. Atau: kemuliaan hanya ada pada Allah 
dan bagi Allah! 

Toh ketika ini Yesus yang mengucapkannya, ia menjadi sangat istimewa dan luar biasa! 
Yohanes menulis, sampai sorga pun menganga; Tuhan pun menyambut; dan "orang 
banyak yang berdiri di situ dan mendengarkannya berkata, bahwa itu bunyi guntur" (29). 

Mengapa, saudara-saudara, yang tidak istimewa menjadi istimewa ketika Yesus 
mengucapkannya? Karena Ia tidak cuma mengucapkannya! "Bapa, muliakanlah nama- 
Mu!" Untuk itu, dan cuma untuk itu, Yesus hidup. Dan untuk itu pula, Ia bersedia mati. 

Kita diberkati dengan banyak hal. Kita diberkati dengan firman Tuhan, yang 
mengingatkan kepada kita banyak hal. Khususnya mengenai bagaimana seharusnya hidup 
sebagai orang percaya di tengah-tengah masa yang sulit dan buruk ini. Seharusnya, lebih 
dari sekadar menggerutu. 

Kita juga diingatkan bahwa diberkati dengan anak-anak Tuhan yang bisa kita jadikan 
contoh dan sumber inspirasi - khususnya seorang Yonathan Parapak. Kita bersyukur 
karena sebagian besar dari 60 tahun hidupnya, dapat ia mempersembahkannya menjadi 
kemuliaan Bapa dan manfaat bagi sesama. Prinsip hidupnya juga adalah: "jangan cuma 
mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lilin". 

Dan akhirnya, malam ini kita juga diberkati dengan suatu kesempatan untuk melakukan 
sesuatu, untuk memberikan sesuatu, untuk mengekspresikan syukur kita kepada Tuhan di 
dalam segala hal. Kesempatan untuk menjadi berkat. 

Tidak semua bisa menjadi seperti Yonathan Parapak. Tidak semua bisa melakukan hal- 
hal yang spektakuler dan mengagumkan. Tapi semua kita, dan itu Anda harus yakini 
sepenuh hati, setiap kita bisa berbuat sesuatu. Lebih dari sekadar mengeluh. Dalam Nama 
Yesus, lakukan apa yang Anda bisa lakukan! Muliakan Tuhan dengan itu! Amin. 

*) Refleksi ini disampaikan Eka Darmaputera pada Malam Budaya, Nada dan Refleksi, 
yang dikaitkan peluncuran tiga buku Jonathan Parapak di Jakarta, 13 Juli. 



Setengah Kebenaran Mesti Ditelanjangi 
Oleh: Eka Darmaputera 

"Terus teraang ... terang teruus Ingatkah Anda siapa yang "menyanyikan" kalimat 
tersebut dengan suara serak, tiga perempat sumbang, menyakitkan telinga? 

Benar! Pak Bendot. Tokoh tua Srimulat yang punya wajah memelas dan mudah membuat 
orang iba, tapi selalu jadi objek perlakuan "sewenang-wenang" rekan-rekannya. Ia kini 
telah almarhum. 

Bagaimana dengan kalimat "Habis gelap, terbitlah terang"? Kalimat ini mengingatkan 
Anda kepada siapa? 

Ya, Anda benar lagi! Ia adalah judul tulisan RA Kartini. Lha, kalau yang berikut ini: 
"Kamu adalah terang dunia"? Sungguh keterlaluan, bila Anda sampai salah. Itu adalah 
kata-kata Yesus, tentu saja. 

Ucapan Yesus ini adalah kata-kata pujian. Anda dan saya seharusnya merasa sangat 
tersanjung. Berbunga-bunga. Mengapa? Sebab secara tidak langsung, melalui kalimat itu, 
Yesus mempersamakan kita dengan diri-Nya! Di Injil Yohanes, Ia bersabda, "Selama 
Aku di dalam dunia, Aku-lah terang dunia". 

Sekarang Ia berkata, "Kamu adalah terang dunia". Jelas kan, saudara, kesimpulannya? Ia 
dan kita sama-sama "terang dunia". 

Namun, jangan buru-buru membusungkan dada! Ini baru merupakan separo dari seluruh 
kenyataan. Maksud saya, baru mengemukakan aspek indikatif-nya. Baru menjelaskan 
siapa kita. Bahwa kita adalah "terang dunia". 

Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kita kok bisa sama Dia? Sebabnya adalah karena 
Yesus bersedia menyamakan diri-Nya dengan kita. Dengan menjadi sama dengan kita, 
konsekuensi-nya adalah kita pun menjadi "sama" dengan Dia. Iya, kan? 

Bila Anda ingin berjalan seiring selangkah dengan anak Anda, yang panjang langkahnya 
jauh berbeda, apa yang harus dilakukan? Mudah sekali! Anda— yang berlangkah lebih 
panjang—mesti menyesuaikan diri. Memperlambat dan memperpendek langkah. Bukan 
sebaliknya, anak Anda yang kecil itu yang mesti lari terbirit-birit mengejar Anda. 

Ini juga merupakan metode pemerataan yang efektif. Maksud saya adalah bahwa yang 
kecil, yang lemah, yang papa. dan yang di bawah, tak mungkin kita paksa untuk 
melompat atau mengejar, agar menjadi sama dengan yang di atas. Tenaga mereka 
terlampau kecil. Kemauan serta semangat mereka pun, biasanya telah amat surut. 

Yang harus terjadi adalah yang sebaliknya. Yang di atas dan yang lebih berpunyalah yang 
mesti bersedia turun, menyatakan solidaritas ke bawah, untuk meraih dan 



memberdayakan mereka! "Kamu adalah terang dunia". Kita dimungkinkan dan 
dimampukan menjadi "terang dunia" (walau dengan huruf kecil), karena Sang "Terang 
Dunia" (yang huruf besar), berkenan "mengecilkan diri", menjadi sama dengan kita. 

Orang-orang miskin jangan dipersalahkan karena kekurangan mereka, dan orang-orang 
kecil jangan disesali karena ketidakberdayaan mereka. Keterkurungan mereka ke dalam 
belenggu "budaya kemiskinan" (Peter Berger), selalu pertama-tama adalah kesalahan dan 
tanggung jawab yang kuat dan yang kaya. 

Karena yang berlebih enggan "turun" untuk berbagi kelebihan mereka! Dan lebih 
terkutuk lagi, bila yang kuat memanfaatkan kekuatan mereka, dan yang kaya 
memanfaatkan kekayaan mereka, justru untuk mengeksploitasi si lemah dan si papa! 

* * * 

Yang kita bicarakan ini, baru satu sisi saja dari pernyataan Yesus. Sisi yang indikatif. Sisi 
yang memberi penjelasan, siapa kita yang sebenarnya. Namun, masih ada sisi yang lain. 

Seperti pedang, pernyataan Yesus selalu mempunyai dua "mata". Kalau yang satu adalah 
sisi yang indikatif atau yang mesti diketahui, maka sisi yang lain adalah yang imperatif 
atau yang mesti dilakukan. 

Antara keduanya— yang indikatif dan yang imperatif—itu ada hubungan yang erat. Yang 
indikatif merupakan konsekuensi dari yang imperatif. 

Sebaliknya, yang imperatif merupakan persyaratan untuk yang indikatif. Hanya apabila 
"perintah" terpenuh, maka "upah" akan dilunasi. Hanya kalau yang imperatif ditaati, 
maka yang indikatif terealisasi. "Kamu adalah Terang Dunia" mengimplikasikan bahwa 
untuk menjadi "terang dunia", kita mesti berkutat sekuat tenaga, berjuang sepenuh hati, 
untuk menjadi imitasi Sang Terang Dunia. 

"Kamu adalah terang dunia". Apa saja implikasi praktisnya? 

Yang paling pertama ditekankan oleh Yesus ternyata adalah, bahwa: "terang dunia" 
berarti transparan. Tembus pandang. Visible. Kata-Nya, "kota yang di atas gunung, tidak 
mungkin tersembunyi". Di dunia ini, orang Kristen tidak main "petak umpet", ia bukan 
spion melayu yang tengah menyaru. 

Penekanan pada transparansi ini membuat kita mesti mempertanyakan keabsahan teologis 
dari cara-cara pekabaran Injil yang terselubung dan "sembunyi-sembunyi". Sebagian 
memuji cara ini sebagai tindakan kreatif dan cerdik, tapi saya mengecamnya sebagai 
manipulatif dan licik. 

Maksud sebenarnya memberitakan Injil, tapi mengakunya dan lagaknya seperti "tukang 
mindring". Dengan tujuan bisa bebas keluar masuk kampung, tanpa takut dikejar 
kelewang. Menurut Anda, patutkah ini? 



Yesus mempertanyakannya, "Mengapa menyalakan pelita, lalu meletakkannya di bawah 
gantang?" Apakah mungkin suatu tipu muslihat yang terencana dibenarkan oleh 
motivasinya yang "luhur"? Padahal, kata Yesus, bila orang memilih untuk menolak Injil, 
biarkanlah dengan bebas mereka menolaknya. Ucapkan selamat tinggal, kebaskan debu 
dari kakimu, lalu tinggalkan kota dengan baik-baik. 

Petrus dan Yohanes juga begitu. Pada satu pihak, mereka menolak diam ketika dibujuk 
untuk bungkam. Di lain pihak, mereka lebih memilih dipenjarakan, sebagai konsekuensi 
atas pembangkangan mereka kepada manusia, dan sekaligus ketaatan mereka kepada 
Allah, dari pada mencari-cari jalan yang cerdik. 

Mereka memilih untuk berjalan di jalan yang lurus dan terang. Pelita harus diletakkan di 
atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah. 

* * * 

Transparan juga berarti kekristenan yang sejati tidak pernah tersembunyi. Iman kristiani 
bukanlah KTP, yang dibawa-bawa di dalam saku. Tapi bukan pula seperti papan 
billboard untuk dipamer-pamerkan. Iman adalah untuk disaksikan. Iman adalah untuk 
dimanifestasikan melalui seluruh kehidupan. 

Tuhan tidak hanya berkata, "Kamu adalah terang, titik". Tapi: "Kamu adalah terang 
dunia". Terang itu mesti memancar ke luar, ke dunia. 

Sebab itu, sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, orang Kristen mesti 
ekstrovert. Maksud saya, harus menaruh kepedulian yang sangat terhadap dunia. 

Saya mengatakan ini sebab saya menyaksikan gejala yang amat memrihatinkan. Saya 
menyaksikan, semakin banyak saja orang Kristen yang bersikap seperti "orang kaya" 
dalam perumpamaan Yesus. Yang kepeduliannya dan kesibukannya adalah berpesta pora, 
makan enak, memuaskan nafsu hedonisme rohani mereka. 

Kegemarannya adalah mengejar "makanan rohani" yang "enak" — di "restoran" mana 
saja. Apakah "sehat" itu nomor dua. Yang penting, "nikmat". Kelihatannya yang mereka 
lakukan itu sungguh terpuji. Berupaya memuaskan lapar dan dahaga mereka akan 
kebenaran. Tapi sayang seribu sayang, "benar" mereka identikkan dengan "lezat". 

Mereka tak menaruh kepedulian sedikit pun pada "lazarus-lazarus" yang duduk di depan 
pintu gerbang rumah mereka, sedang menanti remah-remah makanan yang jatuh dari 
meja si kaya. Orang-orang "kaya" ini adalah "terang" — mungkin — tapi pasti bukan 
"terang dunia" ! 

"Kamu adalah terang dunia". Ini juga berarti, pada prinsipnya tidak ada kekristenan yang 
tersembunyi. Seseorang pernah dengan tepatnya mengatakan, "Menjadi murid Kristus 
secara rahasia itu mustahil. Mengapa? Kemungkinan pertama, ke'rahasia'an itu akan 



menghancurkan ke'murid'an-nya. Atau, kemungkinan kedua, yang sebaliknya. 
Ke'murid'an itulah yang akan mendobrak tembok-tembok ke'rahasia'an-nya." 

Ini adalah peringatan Tuhan bagi mereka, yang dengan "enteng" menyembunyikan 
imannya ke bawah karpet, demi jabatan, atau promosi, atau jodoh, atau laba, atau 
"selamat". Anda tidak bisa berlindung di belakang dalih, "Pokoknya dalam hati saya kan 
tetap percaya kepadaNya!" 

Komentar saya: iman memang mesti berakar di hati. Tapi bagaimana mungkin, sesuatu 
yang ada di dalam hati, tidak termanifestasi? Bagaimana mungkin membungkus "terang" 
ke dalam kain? 

Mungkin Anda bertanya, bagaimana dengan mereka — yang karena situasi ekstrem 
mereka — tidak mungkin secara terang-terangan mengekspresikan iman mereka? Jawab 
saya: Benar, kita lebih baik jangan mengadili mereka. 

Situasi ekstrem menuntut perlakuan khusus. Namun, saya toh mempunyai keyakinan 
bahwa seperti halnya dengan Nikodemus, ke"rahasia"an itu selalu bersifat sementara. 

Ada satu saat, di mana Nikodemus mesti menyatakan, di mana ia berdiri dan apa yang ia 
yakini. Saat ini datangnya bisa cepat, bisa lambat. Caranya, bisa amat terbuka, bisa pula 
sangat terbatas. 

* * * 

"Kamu adalah terang dunia". Implikasi yang lain adalah terang selalu bersifat 
menelanjangi kepalsuan. Tidak heran, perbuatan jahat cenderung dilakukan di dalam 
keremangan. 

Tugas kita sebagai "terang dunia" adalah menyalakan terang peringatan — warning light 
— menunjukkan mana yang "benar" dan mana yang "salah". Juga menjadi terang 
pembimbing — guiding light — menuntun orang menuju kepada kebenaran. 

Ini merupakan tugas yang sangat mendesak dan relevan. Sebab demi rasa aman, betapa 
banyak orang cenderung bersikap ambigu. Mereka memang tidak memuja kesalahan. 
Tapi tidak pula kebenaran. Yang mereka pegangi adalah "setengah kebenaran". Benar 
tidak, salah pun tidak. 

Otak manusia moderen dijejali bukan terutama dengan "dis-informasi", atau informasi 
yang salah, melainkan oleh "mis-informasi". atau informasi yang setengah benar. Oleh 
kebenaran yang telah dibengkokkan atau disajikan tidak sepenuhnya. 

Iklan-iklan dan setiap propaganda (termasuk propaganda agama!) pada hakikatnya berisi 
kebenaran jenis itu. Anggota-anggota parlemen kita juga sering memilih sikap cari aman 
itu: menerima tidak, menolak pun tidak — lalu membolos atau abstain. 



Tugas kita adalah menelanjanginya. Memperlihatkan apa yang sebenarnya ada di balik 
jargon-jargon politik yang manis-manis itu. 

Bangsa ini telah terlalu lama dan terlalu banyak diracuni oleh setengah kebenaran 
semacam itu. Membuat kita sekarang kehilangan orientasi dan kepekaan terhadap 
kebenaran yang sejati! 

Karena itu, bangsa ini memerlukan bangkitnya seorang "yohanes" yang berani 
menelanjangi kepalsuan "herodes". Selama dunia ini masih menunggu, itu berarti orang 
Kristen belum melaksanakan tugasnya sebagai "terang dunia". 

BERLARI KEPADA TUJUAN 

Kalau orang sudah memasuki umur seperti saya, artinya orang sudah memasuki tahap- 
tahap akhir dari hidupnya. Saya membayangkan bahwa tidak ada yang membahagiakan 
daripada dapat melihat tahun-tahun hidup yang telah berlalu dan dapat dengan tersenyum 
berkata kepada diri sendiri, "Ah, alangkah banyaknya yang telah kulakukan! Alangkah 
banyaknya yang telah saya hasilkan dan kerjakan. 

Sekarang saya dapat hidup lebih santai, dapat pensiun, istirahat alangkah nikmatnya!" 
Terus terang saja jalan pikiran saya sering demikian. Sekarang ini saya bekerja sekeras- 
kerasnya sampai istri saya sering khawatir, kalau saya terlalu bekerja keras. Tetapi saya 
selalu berkata, "ini adalah tahun-tahun terakhir di mana saya masih harus bekerja sekeras- 
kerasnya. Tidak lama lagi akan datang waktunya saya pensiun, istirahat dan dengan 
santai melakukan apa yang saya kerjakan." 

Tetapi ketika saya membaca Filipi 3:12-16, rasul Paulus dengan tegas mengatakan, "Eka, 
engkau salah besar." Dan saya kaget, saya terperangah dan bertanya, "saya salah apa? 
Apakah karena saya bekerja terlalu keras, karena saya menerima tanggungjawab terlalu 
banyak?" Kata rasul Paulus, "Oh, tidak! Yang salah ialah kamu berpikir bahwa tidak 
lama lagi kamu bisa santai dan beristirahat. Hidup orang percaya, hai anakku, tidak 
mengenal istirahat, tapi harus terus berlari-lari kepada tujuan sampai akhir dan tidak 
mengenal pensiun." 

Di antara surat-surat Paulus, surat Filipi adalah surat yang paling saya gemari dan paling 
mempunyai arti yang sentimental. Sebab surat ini ditulis rasul Paulus dari dalam penjara 
dan ketika dia sudah sangat mendekati ajalnya. Hal ini tidak mengherankan! Kalau kita 
menerima surat dari seseorang yang ditulis beberapa lama sebelum ia meninggal dunia, 
pesan-pesannya terasa lebih mujarab, kata-katanya lebih berkhasiat. 

Coba kita bayangkan: apakah orang seperti Paulus yang sudah banyak menderita dan 
sebentar lagi akan dihukum mati, tetapi toh ia masih mengirimkan pesan dalam suratnya, 
"Bersukacitalah senantiasa di dalam Tuhan, sekali lagi kukatakan bersukacitalah, dan 
janganlah kamu khawatir tentang apa pun juga. Damai sejahtera Allah yang melampui 
segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus." (Flp. 4:4-7) 



Kalau pesan itu dikirim oleh seorang yang hidup sehat, makmur dan senang, rasanya 
pesan itu biasa-biasa saja. Tetapi sungguh sangat mengharukan kalau pesan itu dikirim 
oleh orang yang kita tahu hampir mati di dalam penjara. Dia mengatakan, "Bukan seolah- 
olah aku telah memperoleh hal ini atau aku telah sempurna melainkan aku mengejarnya 
kalau-kalau aku juga dapat menangkapnya." Paulus mengejar dan menangkap apa yang 
menjadi tujuan akhir dari perjalanan hidup seorang Kristen sehingga ia dapat 
mengatakan, "akhirnya aku sampai ke tujuan, sekarang aku dapat santai, istirahat, oleh 
karena mahkota kehidupan itu sudah di tangan." 

Kalau kita berpikir siapa yang lebih pantas dari Paulus untuk mengatakan hal seperti itu? 
Paulus telah bekerja begitu keras untuk Tuhan, telah menghasilkan banyak untuk Tuhan, 
telah mengorbankan dan memberikan begitu banyak untuk Tuhan, dia sudah 
mengorbankan segala yang ada pada dirinya untuk Tuhan. Apa yang masih kurang dan 
apa yang masih dituntut dari Paulus? Bahkan sampai pada akhir hidupnya Paulus tetap 
mengatakan "Tidak, aku belum tiba tujuan." Oleh karena itu tidak ada waktu untuk 
bertenang-tenang. Sebelum hidup ini berakhir, sebenarnya tidak ada waktu untuk berhenti 
bagi seorang Kristen. 

Paulus berkata, "Aku telah melupakan apa yang di belakang dan mengarahkan diri 
kepada apa yang dihadapanku." Artinya bahwa seluruh hidup orang percaya sebenarnya 
adalah perjuangan, perlombaan, terus berjalan dan berlari, tidak merasa puas menjadi 
seorang Kristen. Tetapi orang Kristen harus mengakui, "Tuhan, saya mau menjadi lebih 
Kristen lagi!" Untuk itu arahkan hidup hanya ke depan seperti Paulus. 

Saya sering mendengar kata orang, "Tuhan, kurang apa lagi saya ini? Berapa puluh tahun 
saya telah bekerja untuk-Mu? Cukup itu, sekarang saya mau istirahat." Tuhan berkata, 
"Tidak! Berapa banyak dan berapa lama engkau bekerja bagi-Ku, anak-Ku, itu semua 
sudah ada di belakang. Lupakanlah apa yang telah di belakang dan arahkan dirimu 
kepada yang di hadapanmu." Ada yang mengatakan "Tuhan, sudahlah , saya berhenti di 
sini saja. Saya sudah tidak kuat lagi, hidup saya terlalu berat, pengalaman saya terlalu 
pahit." Tetapi Tuhan berkata, "Tidak, anak-Ku. Betapa gelapnya pun jalan-jalanmu 
selama ini, betapa pun beratnya beban yang harus kau tanggung di dalam hidupmu, itu 
juga sudah ada di belakangmu dan lupakanlah apa yang di belakang dan arahkanlah diri 
pada kesempatan dan kemungkinan yang masih dibukakan oleh Tuhan di depanmu." 

Tetapi bagaimana kita harus berlari? Dalam Ibr. 12:1,2 dikatakan, "Marilah kita 
menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita dan berlomba dengan 
tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan 
mata yang tertuju kepada Yesus...." Ada tiga hal yang dikatakan di sini. 

Pertama, Kita perlu berlari dengan benar, berlomba dengan tekun, serius, gigih, ulet, 
semangat yang tinggi dan dengan tekad yang bulat. Kalau kita jujur justru di sinilah letak 
kelemahan dan kekurangan kita. Dalam banyak hal kita amat serius dengan pekerjaan dan 
karier kita, dengan keluarga, tetapi apakah kita amat serius dengan iman dan dengan 



Tuhan kita? Kita dengan tekun melakukan tugas-tugas kita di kantor dan di rumah, tetapi 
apakah kita sama tekunnya dalam melakukan tugas-tugas di gereja? 

Kedua, tanggalkan dan tinggalkan semua beban dan dosa. Ini sangat penting. Orang tidak 
akan berlari dengan cepat kalau ia masih harus memikul dan membawa terlalu banyak 
beban persoalan, kekhawatiran dan beban dosa. Memang tidak ada hidup yang tanpa 
persoalan, tanpa kekhawatiran dan kecemasan, bahkan tanpa dosa. Yesus tidak melarang 
orang khawatir. Tetapi Yesus mengatakan, "Jangan hidup di dalam kekhawatiran." (Mat. 
6:34) Kita boleh khawatir, tetapi jangan khawatir tentang hari kemarin sebab itu sudah di 
belakang kita. Jangan khawatir tentang hari esok sebab hari esok mempunyai 
kekhawatirannya sendiri. Karena itu kalau ada persoalan, ya selesaikan dengan segera 
dan dengan tuntas hari ini juga. Kalau ada dosa dan kesalahan yang harus diperbaiki, 
perbaikilah dengan segera dan dengan tuntas hari ini. Jangan ditunda-tunda, karena itu 
hanya akan menumpuk beban yang membuat kita sulit berlari. 

Ketiga, berlari dengan mata tertuju kepada Yesus. Tidak seperti istri Lot, yang kakinya 
memang menuju ke depan, tetapi kepala dan hatinya terarah ke belakang. Akhirnya ia 
memang tidak terbakar api tetapi ia tidak pernah sampai ke tujuan. Ini adalah orang-orang 
Kristen yang mendua hati. Mereka mau mengikuti Kristus, tetapi meninggalkan hidup, 
sifat dan keinginan yang lama, masih sayang. Tuhan berkata, "Tidak bisa seorang itu 
mengabdi kepada dua tuan." Karena itu mau pilih Tuhan atau pilih mamon?! Tidak bisa 
mau pilih Tuhan, tetapi dukun juga. Kalau kita mau menang dalam perlombaan iman, 
maka kita harus membiarkan Tuhan menguasai hidup kita seratus persen. Jangan cuma 
kepala, tetapi juga hati. Jangan cuma hati tetapi juga tangan dan kaki. Jangan cuma 
dompet, tetapi juga waktu dan tenaga. 

Rasul Paulus berkata, "Kristus telah mati untuk semua orang supaya mereka yang hidup 
tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah 
dibangkitkan untuk mereka." Amin! (Bahana) 

Naskah Khotbah (1) 

KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN KRISTEN YANG PAS (Lukas 7:18-28) 

Kita akan membicarakan karakteristik kepemimpinan Kristen yang pas, yaitu pas untuk 
memenuhi kebutuhan di tengah-tengah bangsa kita sekarang yang memiliki terlalu 
banyak pemimpin tetapi tidak ada kepemimpinan—many leaders, too many leaders, but 
there is no leadership. Kita juga akan membicarakan karakter dan karakteristik yang pas 
sehingga dapat mengisi kebutuhan gereja di masa depan, agar gereja tidak menjadi pupuk 
bawang melulu atau hanya menjadi kambing congek saja dan supaya orang Kristen tidak 
hanya menjadi pelengkap penderita atau selalu menjadi gerbong yang paling belakang 
yang terus digoncang dan lebih sering ditinggalkan dari rangkaiannya di stasiun. 

Kesempatan itu sebenarnya ada, bahkan kesempatan yang luar biasa—kesempatan emas, 
karena di tengah-tengah krisis yang sangat dahsyat sekarang ini bangsa kita 
membutuhkan~desperately~dua hal yang tidak ia miliki tetapi yang sebenarnya justru 



merupakan dua kekuatan, two added values, dua nilai tambah dari kekristenan. Bukankah 
bangsa kita saat ini, pada satu pihak membutuhkan integritas moral yang kuat, khususnya 
dari para pemimpinnya, dan di pihak lain, solidaritas integritas nasional serta solidaritas 
sosial di kalangan warga dan rakyatnya. 

Pada awal sejarahnya kita tahu bahwa di situlah daya tarik dan kekuatan kekristenan itu, 
yaitu di dalam reputasi akademis, di dalam hal kecanggihan konsep pemikiran ajaran. 
Bagaimana kita dapat membandingkan Petrus, Yohanes, juga Paulus, dengan Plato, 
Socrates, dan Aristoteles. Kita tahu bahwa orang-orang tertarik masuk Kristen bukan 
karena status sosial orang-orang Kristen yang wah. Paulus sendiri mengakui hal itu di 1 
Korintus 1:26: "Ingat saja Saudara-saudara keadaanmu waktu kamu dipanggil. Menurut 
ukuran manusia tidak banyak orang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak 
banyak orang yang terpandang." Jadi mengapa? Kekristenan yang sebenarnya pada waktu 
itu compang-camping karena tekanan yang berat dari bangsa Yahudi dan pemerintah 
Romawi, mengapa tetap saja dapat menarik, bertahan, bahkan berkembang? Jawabnya 
adalah karena keteguhan moralitas dan solidaritasnya, persekutuannya. Kalau kita 
bertanya, lalu di mana letak persoalan kita? 

Saya katakan, dua hal itu sebenarnya ada pada kita hanya sayangnya kedua hal itu masih 
terkubur di dalam tanah, masih berupa potensi bukan energi yang siap pakai. Oleh karena 
itu, kalau mau, kita bisa menolong bangsa ini namun kita harus mengubah visi kita agar 
menjadi lebih luas, tidak hanya introver, tetapi juga ekstrover. Kalau kita meneliti 
Alkitab, akan kita temukan bahwa perintah "Pergilah!" jauh lebih banyak daripada 
perintah "Masuklah!" Itu berarti kita harus keluar, harus ekstrover. Kita harus mengubah 
kebiasaan buruk kita yang suka berdebat, suka ngotot, suka ngeyel, menghabiskan energi 
dan konsentrasi kita untuk hal-hal yang remeh, sepele, sementara api telah hampir 
membakar rumah. Kita juga harus menjadi orang yang berani bekerja keras. Menjadi 
pekerja yang berani berpeluh, berani berjuang, atau kalau memakai istilah Paulus, bahkan 
berani menumpahkan darah. Bukan menumpahkan darah orang lain, tetapi darah kita 
sendiri kalau perlu. Tidak melempem seperti kerupuk. Tidak lembek seperti bubur. Tetapi 
teguh tegar seperti paku, yang semakin dipukul, dihantam, ia semakin menghujam. Itulah 
yang dibutuhkan oleh bangsa dan gereja kita sekarang ini. 

Mengenai yang terakhir ini, saya sangat prihatin. Saya katakan yang dibutuhkan saat ini 
adalah orang Kristen yang tegar, berani berpeluh, berani berdarah, berani berjuang, 
berani lelah. Tetapi yang saya lihat malah sebaliknya. Ada gejala atau trend di mana 
orang-orang Kristen justru semakin manja, semakin cengeng dan semakin rapuh. Maunya 
yang gampang, yang cepat, yang enak. Kalau pun Injil, maunya Injil yang gampang. 
Kalau pun menjadi murid, maunya jadi murid yang enak. Kecenderungan adalah 
konsumtif, mendapatkan berkat sebanyak-banyaknya, tetapi yang menyenangkan, yang 
menghibur, seperti yang ditulis oleh Paulus dalam 2 Timotius 4:3,4: "Karena akan datang 
waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan 
mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. 
Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng." 
Itulah yang sedang terjadi sekarang. Kecenderungan hedonistik manusia ini lebih 
menyedihkan lagi karena seolah-olah sengaja dirangsang, dieksploitir oleh puluhan, 



mungkin ratusan, aliran yang tidak jelas juntrungannya kecuali keuntungan dan ego. 
Bukan hanya dalam hal teologi, tetapi juga dalam etika, moral. Orang-orang Kristen di 
Indonesia telah diporakporandakan oleh gejala yang parah ini. 

Setelah melihat semua ini, mari kita mempertimbangkan satu model kepemimpinan yang 
ada di dalam Alkitab, bukan untuk dijiplak atau difotokopi mentah-mentah, karena kita 
tahu bahwa Alkitab bukan buku manual kepemimpinan dan bukan buku manual untuk 
apa pun. Memang Alkitab berbicara mengenai kepemimpinan karena masalah 
kepemimpinan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, dan ini adalah 
masalah yang tidak dapat terhindarkan dari kehidupan orang per orang. Pilihan kita cuma 
dua: Kita dipimpin, atau kita memimpin. Yang lebih sering kita alami adalah kedua- 
duanya yaitu kita dipimpin dan juga kita memimpin. Apa yang penting bagi manusia 
adalah penting bagi Alkitab. Tetapi harus kita ingat bahwa Firman Tuhan itu selalu lebih, 
selalu melampui, selalu beyond, transenden terhadap kebutuhan dan kehidupan empiris 
manusia. Oleh karena itu Alkitab tidak hanya menyajikan satu model kepemimpinan 
yang ideal. Di dalam Alkitab model itu selalu berubah dan bervariasi sesuai dengan 
situasi dan kebutuhan yang ada. Itu sebabnya model kepemimpinan Musa berbeda 
dengan model kepemimpinan Yosua; bentuk kepemimpinan hakim-hakim berbeda 
dengan bentuk kepemimpinan raja-raja. Samuel pernah merangkap tiga fungsi sekaligus 
yaitu imam, nabi, dan raja, tetapi kemudian ketiganya terpisah ketika Israel menjadi 
Monarkhi. 

Di Perjanjian Baru kita juga melihat hal yang sama. Pada awalnya gereja purba sudah 
merasa cukup dipimpin oleh para rasul dengan semua kharisma mereka. Tetapi Kisah 
Rasul 6 segera mencatat, memberi kesaksian bahwa kebutuhan dan situasi baru menuntut 
suatu bentuk kepemimpinan yang lain, suatu bentuk struktur organisasi yang lain. 
Mulailah apa yang disebut diaken, syamas diakonoi. Kisah Rasul 11 kemudian 
memperkenalkan jabatan lain yaitu presbuteros, jabatan penatua atau tua-tua. Kisah Rasul 
13 berbicara mengenai nabi-nabi yang memimpin jemaat di Antiokhia. Kemudian entah 
bagaimana dan dari mana, episkopos hadir dan ada variasi baru di dalam Kisah Rasul. 
Kalau kita mempelajari surat-surat Paulus, variasi itu jauh lebih kaya lagi. 

Apa sebenarnya yang hendak dikatakan melalui semua ini? Semuanya hendak 
mengatakan bahwa prinsip kepemimpinan Kristen yang pertama adalah keanekaragaman 
atau pluriformitas bentuknya, fleksibilitasnya, kelenturannya, keluwesannya. Dan 
bukankah memang benar bahwa Tuhan itu seringkah jauh lebih luwes, jauh lebih 
fleksibel daripada kita, manusia dan pemimpin-pemimpin gereja. Inilah asas pokok 
kepemimpinan Kristen, yaitu keanekaragaman atau pluriformitas kepemimpinan. Tetapi 
saya juga harus segera menambahkan satu prinsip lain yang membentuk dwitunggal 
dengan prinsip pertama tadi, yakni, kepemimpinan Kristen itu hanya mengenal satu 
pemimpin. 

Dwitunggal prinsip kepemimpinan Kristen itu adalah beranekanya bentuk 
kepemimpinan, dan adanya satu pemimpin. Di dalam beranekaragamnya situasi yang 
terus-menerus fluktuatif dan berubah, boleh dan harus ada beraneka ragam bentuk, tipe, 
model, struktur kepemimpinan supaya kepemimpinan dapat dijalankan dengan efektif, 



tepat guna, dan daya guna. Tetapi di dalam keadaan apa pun dan di dalam model 
kepemimpinan yang bagaimanapun, hanya boleh ada satu Pemimpin. Pemimpin dengan 
huruf besar yaitu Tuhan Allah. Tidak bisa lain, karena ini sebenarnya mengekspresikan 
iman yang monoteistis, yang konsekuen dengan Alkitab yang mengatakan: "Jangan ada 
allah lain di hadapan-Ku." Tetapi ini juga mengekspresikan salah satu godaan terbesar. 
Salah satu kelemahan terbesar manusia—dan yang paling fatal adalah kecenderungannya 
untuk menjadi seperti Allah. Sejak manusia yang pertama sampai sekarang, bukankah itu 
yang kita jumpai di kantor manapun, baik pemerintah, swasta, maupun di gereja. Orang- 
orang yang berlagak dan mengklaim dirinya seolah-olah ia adalah tuhan-tuhan kecil dan 
allah-allah kecil. 

bersambung... 

KE MANA RASA DUKA ITU? 
(Refleksi Setelah Serangan ke Afghanistan) 

MINGGU malam, 7 Oktober 2001, Amerika Serikat akhirnya jadi juga menyerang 
Afghanistan. Sepanjang hari setelah itu, media massa pun penuh dengan laporan pro dan 
kontra tindakan tersebut, serta antisipasi terhadap apa saja yang bisa terjadi setelah itu. 

Saya saja yang sangat lamban dan jauh ketinggalan. Sebab pikiran dan hati saya masih 
tertambat di tanggal 11 September 2001. Saya sedang berada di Perth, Australia Barat, 
waktu itu. Kurang lebih pukul 22.00 waktu setempat. 

Sedikit pun saya tak menyadari, bahwa sebuah peristiwa teror yang amat mengerikan 
baru saja terjadi. Sebuah pukulan dahsyat terhadap kemanusiaan yang amat sulit dicari 
tandingannya, baik bila ditinjau dari kecermatan perencanaan serta eksekusinya, maupun 
bila dilihat kehebatan akibatnya. 

Di layar kaca saya menyaksikan sebuah gedung pencakar langit yang dilalap api hampir 
di puncaknya, lalu runtuh rebah ke tanah tak lama kemudian. 

Saya memelototinya dan, ya Tuhan, WTC hancur luluh! Gedung bertingkat 110 itu! 
Tempat saya pernah berjalan, bercanda, dan bercengkerama, sambil menikmati bagel, 
hamburger atau hot dog, bertahun-tahun yang lalu. 

Karena saya lumayan akrab dengan wilayah dan gedung itu, saya tahu apa artinya yang 
baru saja terjadi. Artinya ialah, dalam tempo nyaris sekejap, ribuan orang tiba-tiba 
menemui ajal. 

Ribuan, itu pasti. Sebab pada jam-jam tertentu, bisa 9.000 sampai 10.000 orang berada di 
gedung kembar itu. Tapi apalah arti jumlah bila kita bicara soal nyawa. 

Apakah ada batas minimun atau maksimum di mana menangisi sebuah musibah yang 
merenggut nyawa bisa disebut patut atau tidak patut? Apakah satu nyawa terlalu sedikit 



dan seribu nyawa terlalu banyak? Atau yang mesti kita katakan adalah, bahwa hidup 
adalah hidup, berapa pun jumlahnya dan siapa pun 'pemilik'-nya? 

Sebab cuma dari Dia, Allah yang Satu, tak ada yang lain, setiap dan segenap kehidupan 
berasal. Dan karenanya tak ada satu nyawa pun yang boleh dicabut paksa, tanpa membuat 
Ia murka dan berduka. 

Tidak peduli apakah itu nyawa orang Amerika atau nyawa orang Afghanistan. Apakah itu 
nyawa orang Madura atau nyawa orang Dayak. Demi merekalah saya menulis. 
Mengingatkan kita akan apa yang nyaris dilupakan. Para korban. 

Menyaksikan peristiwa itu, saya sungguh terguncang dan amat berduka. Sampai sekarang 
pun. Antara Perth dan New York terbentang jarak entah berapa ribu mil. 

Beda waktu antara kedua tempat itu kurang lebih 12 jam. Di sana pagi, di sini malam. 
Toh saya merasa ada di sana. Berbaur bersama mereka, para korban, baik yang masih ada 
maupun yang telah tiada. 

Menyatu dalam 1001 macam rasa yang saling bertumpang tindih. Ada rasa duka, ada rasa 
tak percaya, dan terutama rasa tak berdaya. Saya tentu tak tahu siapa mereka: berapa usia 
serta apa warna kulit, kebangsaan, kelamin atau agama mereka. Sedikit pun saya tak 
peduli. Yang saya tahu adaslah, bahwa di bawah reruntuhan itu, mereka satu. Begitu 
menyatu. 

Manusia memang cenderung membeda-bedakan. Tapi Tuhan tidak. Bahkan setan pun 
tidak. Pesawat terbang bajakan penyebar maut itu saya yakni tidak diperlengkapi dengan 
radar yang mampu membedakan, mana yang Yahudi, Kristen atau Islam; mana yang 
Amerika dan mana yang Arab. Alat semacam itu tak akan pernah ada. Sampai kiamat. 

Itu berarti perbedaan-perbedaan antar manusia yang sering kita anggap begitu penting, 
ternyata tidak berarti apa-apa ketika berhadap-hadapan dengan realitas kehidupan yang 
paling esensial. 

Yaitu, ketika manusia dilahirkan, ketika manusia saling mencintai, dan ketika manusia 
mati. Walaupun tidak boleh dipandang remeh, perbedaan itu pada hakikatnya periferal 
belaka. Tidak esensial. 

Ini membuat saya bertanya-tanya, apakah tragedi ini adalah cara Tuhan yang keras untuk 
memaksa manusia menyadari kembali kesatuannya? Cara Tuhan mengajak manusia 
mengakui, betapa kesatuan jauh lebih hakiki ketimbang perbedaan? 

Paling tidak, begitu saya berpikir, karena peristiwa trageis ini, manusia mau menyatu 
dalam duka yang sama. Berduka bagi mereka yang entah siapa, bangsa apa atau agama 
apa, tetapi adalah sesama. Harapan yang amat sederhana itu, ternyata tak kesampaian 
juga. 



Peristiwa yang mengguncangkan dunia itu tetap tak sanggup membuat manusia satu. 
Kian bersatu pun tidak. Sebaliknya, seperti yang kita lihat, manusia kian terbelah-belah. 
Semalam, Afghanistan diserang. Dan sebagai akibatnya, entah apa. 

Kemanakah rasa duka itu pergi? Mungkin informasi yang dijejalkan terus menerus ke 
benak kita, sampai "mblenek", justru itulah yang membuat perasaan kita menjadi tumpul. 
Seperti makanan enak tak akan lagi terasa enak, bila terlalu banyak. Atau penyebabnya 
terletak pada asumsi yang ada di balik informasi-informasi itu? 

Di Australia, selama 2 X 24 jam, seluruh informasi itu disajikan di bawah tema dan 
perspektif, America Under Attack. Mungkin saja ada maksud baik di belakang itu. Yaitu, 
solidaritas kemanusiaan hendak digalang bersama-sama dengan Amerika yang baru saja 
diserang. Menurut hemat saya, betapa pun baiknya maksud yang terkandung, asumsi itu 
naif dan picik. 

Amerika adalah bangsa yang amat saya kagumi dan sangat saya hormati. Saya punya 
hubungan batin yang dalam dengannya. Amerika, amat jelas, bukan setan. Tapi Amerika 
juga bukan Tuhan. Malaikat pun tidak. Dengan jujur saya menyatakan, bahwa saya ikut 
terluka dan berduka bersama-sama dengan bangsa yang besar ini. 

Namun demikian, toh saya tidak dapat membenarkan kepongahan dan sekaligus 
kepicikannya. Saya dapat memahami keberangan dan kesakitannya. Kita pun pasti 
merasakan keberangan dan kesakitan yang sama - mungkin lebih — bila kita berada di 
tempat mereka. 

Ini sebaiknya, jangan pernah kita lupakan. Sebab itu, tindakan yang paling manusiawi 
dan paling masuk akal adalah, dengan penuh simpati dan empati kita berusaha 
menyadarkan dan menyabarkan raksasa yang sedang meraung kesakitan ini, agar jangan 
sampai ia tambah melukai dirinya sendiri. Bukan membakar-bakar benderanya. Bukan 
memusuhi warga negaranya. . . 

Sebenarnya ini adalah momentum yang baik untuk kita mengobar-ngobarkan kembali 
solidaritas kemanusiaan kita, dan mendemonstrasikan kesatupaduan kita melawan semua 
musuh kemanusiaan... Kita melakukan blunder besar yang sulit termaafkan, bila kita 
sampai terperangkap oleh jebakan pro dan kontra Amerika. Kemanusiaan kita terlalu 
besar dan terlalu berharga untuk dipertaruhkan dalam permainan berbahaya ini. 

Betapa besarnya pun Amerika, ia tetap terlalu kecil untuk kita jadikan alasan bagi 
terbelahnya solidaritas kemanusiaan kita. Kita sungguh berdosa terhadap ribuan korban 
yang telah jauh, dan ribuan lain yang akan jatuh, bila kita biarkan mereka mati cuma 
demi Bush atau demi Usamah atau demi agama sekali pun. Isu utama kita bukanlah 
America Under Attack. Melainkan Our Whole Humanity is Under Attack. 

Seluruh kemanusiaan kita sedang diserang. Selayaknyalah seluruh tubuh akan akan 
menderita meriang panas dingin, walau cuma sebagian kecil saja dari padanya yang 
terserang radang. 



Tapi sisi paling tragis dari tragedi ini adalah itu. Bahwa reaksi spontan orang 
beranekaragam - dari yang amat geram sampai yang menari-nari kegirangan--, bagi saya, 
wajar-wajar saja. Tapi yang seharusnya membuat kita trenyuh adalah, bahwa di antara 
1001 macam reaksi yang berbeda-beda itu, yang paling senyap adalah rasa duka. Kita 
melihat betapa peristiwa tersebut ditinjau, dianalisis, dikuliti dan dikupas sampai habis- 
bis. Seolah tak satu faset pun dibiarkan luput dari sorotan. Kecuali satu, dan inilah yang 
paling menyedihkan. Kita melupakan para korban. Kita melupakan korban yang telah 
jatuh, dan juga mengabaikan korban-korban lain yang masih akan berjatuhan. Dan 
berani-beraninya kita mengatakan, bahwa itu kita lakukan "demi solidaritas"! 

Bila orang tak lagi bisa berduka atas tragedi yang menimpa sesamanya, dan ketika hidup- 
mati manusia tak lagi sentral dalam pertimbangan kita, itu berarti ada sesuatu yang amat 
salah dengan peradaban kita. Ada sesuatu yang amat salah dengan kemanusiaan kita. Ada 
sesuatu yang amat salah dengan keyakinan agamaniah kita. Bagi saya prioritas utama 
agenda bersama kita bukanlah menangkap atau melindungi Osama. Tapi mengembalikan 
kemanusiaan bersama kita itu. 

Orang bilang bahwa peradaban modern telah memampukan manusia memiliki hampir 
segala sesuatu. Tapi bila yang hilang adalah kemanusiaan, apakah gunanya semua yang ia 
miliki itu? Orang juga bilang bahwa agama sedang bangkit dan naik daun. Tapi kalau 
agama yang bangkit itu tak mampu menolong manusia menemukan kembali 
kemanusiaannya, apakah gunanya agama? (Sinar Harapan) 

BELAJAR DARI SI BODOH 

Orang berkata, kita harus bersedia belajar seumur hidup kita. "From womb to tomb," kata 
orang Inggris. Maksudnya, terus belajar tanpa henti, sampai ke mana saja. "Bahkan 
sampai ke negeri Cina," kata sebuah ayat suci. 

Dan sekarang saya mau menambahi lagi. Yaitu, betapa kita harus bersedia belajar dari 
siapa saja. Bersedia belajar dari yang pintar, tapi juga bersedia belajar dari yang pandir. 
Melalui sapaan Sabda kali ini, saya ingin mengajak kita semua belajar dari si Bodoh. 

Tapi jangan salah sangka. Yang saya sebut si Bodoh ini, samasekali tidak "bodoh" 
menurut ukuran kita. Menurut penuturan Lukas, tokoh kita ini amat sukses dan kaya luar 
biasa. Juga cepat, tepat, dan sigap memecahkan masalah. 

Satu-satunya yang membuat ia pening tujuh keliling adalah, "Apakah yang harus aku 
perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil 
tanahku" (12:17). 

Toh tidak berarti ia cuma bisa bingung tak keruan. "Inilah yang akan aku perbuat; aku 
akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar, dan aku 



akan menyimpan segala gandum dan barang-barangku" (12:18). Persoalan pun selesai. 
Tuntas tas. 

Jadi, siapa yang telah begitu bodoh mengatakan "si Hebat" ini "bodoh"? Ternyata tidak 
lain adalah Tuhan sendiri! Tulis Lukas selanjutnya, "Tetapi firman Allah kepadanya: Hai 
engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa 
yang telah kau sediakan, untuk siapakah itu nanti?" (12:20). Pertanyaannya, mengapa 
Tuhan menyebut orang itu bodoh? 

Pasti bukan karena ia kaya. Kekayaan an sich, paling sedikit, adalah sesuatu yang netral. 
Tidak baik dan tidak jahat pada dirinya. Bahkan bisa amat positif. Kekayaan itu baik atau 
jahat, ditentukan oleh tiga hal yakni bagaimana cara ia peroleh: halal atau haram; apa 
dampaknya bagi si pemilik: menjadi pelayan atau menjadi tuan; dan untuk apa ia 
dimanfaatkan: untuk kebaikan dan untuk kejahatan. 

Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan Tuhan menyebut "si pintar" itu "bodoh." 
Tiga hal penting di mana kita perlu belajar dari si Bodoh. 

Pertama, orang itu disebut bodoh, karena telah mencampur-adukkan "alat" dan "tujuan." 
Yang semestinya "cuma" alat, eee, ia jadikan sebagai tujuan. Gerbong dijadikan 
lokomotif. Gerobak disuruh menarik kuda. Ya kacau balau, tentu saja. 

Hidup jadi tanpa pegangan dan orientasi yang pasti. Aturan main tak ada lagi, sebab yang 
ada Cuma aturan yang dipermainkan. Dan tolong Anda sadari, itulah salah satu ciri khas 
kehidupan manusia modern masa kini. Saya tidak mengatakan alat itu tidak penting. 
Siapa berani mengatakan bahwa sandang, pangan, papan, kedudukan itu tidak penting? 
O, penting sekali! 

Tapi, ingat, semua itu penting sebagai alat. Makan, adalah "alat" agar kita hidup sehat. 
Pakaian, adalah "alat" supaya tubuh kita terlindung dari sengatan cuaca. Dan kekayaan, 
adalah "alat" agar kita bisa mencukupi kebutuhan hidup kita. 

Tokoh kita disebut bodoh, sebab ia begitu yakin bahwa dengan panen yang sukses dan 
dengan memperbesar lumbung, seluruh tujuan hidupnya telah tercapai. 

Ia sudah boleh menepuk dada sambil berkata, "Jiwaku, ada padamu banyak barang, 
tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan 
bersenang-senanglah!" (12:29). Itu BODOH!, kata Yesus. 

Kedua, orang itu disebut bodoh, karena dalam serba rasa berpuas diri, ia telah 
mengabaikan realitas saling ketergantungannya dengan sesama. Ia merasa "self- 
sufficient." Artinya, merasa cukup dengan dirinya sendiri. 

Dalam monolognya, saya hitung, ia mengucapkan 62 kata. Di antara 62 kata itu, tidak 
kurang dari 14 —20 persen!-- adalah kata "aku" atau "ku." 



Begitu asyik ia dengan si "aku"nya, mana sempat dan mana ada tempat lagi baginya 
untuk mempedulikan orang lain. Yang merisaukan hatinya adalah karena ia punya 
terlampau banyak. Bagaimana mungkin ia menyatukan hati dengan mereka yang tak 
punya apa-apa. 

Martin Luther King Jr, dalam bukunya Strenght to Love, mengilustrasikan betapa seluruh 
umat manusia telah terjerat satu sama lain dalam satu jaringan saling ketergantungan. 
Setiap pagi sebelum melangkahkan kaki ke kantor, tulisnya, masyarakat Amerika telah 
berutang kepada separo bumi ini. 

Spons yang ia pakai untuk menggosok tubuhnya, berasal dari Pasifik. Sabun mandinya 
buatan Prancis. Kopi yang ia hirup didatangkan dari Brasil, teh dari Srilanka, coklat dari 
Afrika. Handuknya eks impor dari Taiwan atau Korea. Dan seterusnya. 

Benar sekali, bukan, bahwa setiap butir nasi yang masuk ke mulut kita adalah wujud 
ketergantungan kita kepada suatu mata rantai saling membutuhkan antar manusia yang 
amat panjang? 

Sebab itu, jadi manusia "jangan sombong." Ojo du-meh. Seolah-olah kita bisa mencukupi 
diri sendiri tanpa peduli kepada orang lain. Tapi juga "jangan minder," merasa diri tak 
bisa menyumbang apa-apa dan tak punya makna apa-apa. Orang yang berpikir begitu, 
kata Yesus, ia bodoh! 

Ketiga mengapa tokoh kita disebut "bodoh," adalah karena ia mengabaikan Tuhan. Dari 
62 kata yang ia ucapkan, tak sekali pun ia menyebut kata "Allah" atau kata "Tuhan." 
Yang saya permasalahkan, tentu saja, bukanlah berapa kali orang mengucapkan kata-kata 
itu. Saya juga tidak mengatakan, bahwa orang tersebut tidak percaya kepada Tuhan. 

Malah, kemungkinan besar, karena kekayaannya itu, ia juga merangkap sebagai tokoh 
agama. Yang perlu kita permasalahkan ialah, ketika dalam hidup seseorang Tuhan tidak 
lagi punya makna apa-apa dalam kehidupan nyata. Bila orang, walau mungkin tak 
mengucapkannya, bersikap bahwa Tuhan ada atau tidak ada itu tidak penting. Sebab yang 
akhirnya penting dan menentukan, menurutnya, bukanlah Tuhan, melainkan otak dan 
tangan manusia sendiri. 

Artinya, merumuskan masalah dengan tepat, dan melakukan tindakan antisipatif secara 
cepat. Memperbesar lumbung-lumbung kita. Dan setelah itu, kata orang itu, yakinlah, 
Anda akan bisa berkata, "Hai jiwaku, beristirahatlah, makanlah, minumlah, dan 
bersenang-senanglah." 

Sungguh gagah dan meyakinkan, bukan? Ya. Tapi bodoh! Karena apa yang bisa 
dilakukan manusia, bila Allah datang kepadanya dan berkata, "Hai engkau orang bodoh, 
pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Dan apa yang telah kau sediakan, 
untuk siapakah itu nanti?" 



Ini benar-benar merupakan peringatan telak bagi kita semua. Khususnya bagi mereka 
yang merasa aman, walau buron, lantaran di gudangnya bertumpuk-tumpuk emas 
lantakan, di bank, bertriliun-triliun uang hasil rampokannya, dan di rumah-rumah 
kontrakan berpeti-peti senjata api otomatis. 

Mereka mungkin kuat, tapi bodoh! Begitu pula semua yang memperlakukan alat seolah- 
olah tujuan, yang mengabaikan kebutuhan dan hak-hak sesama, dan yang tidak 
mempedulikan penghakiman Tuhan. Mahkamah Agung bisa meloloskan Anda. 

Hati nurani Anda yang telah mati barangkali tak lagi menuduh Anda. Tapi, percayalah, 
kebenaran Tuhan akan terus mengejar Anda sampai ke akhirat pun. Jangan Bodoh! (SH- 
131001) 

BUKAN ASAL TAMPIL BEDA 

Orang yang teguh bagai batu karang atau tegar laksana burung elang, pasti lebih 
mengundang rasa hormat dan decak kagum, ketimbang sabut kelapa yang terus 
dipontang-pantingkan gelombang, atau bebek yang beraninya cuma menyelinap di tengah 
kerumunan banyak orang. Karena itu, jayalah para nonkonformis! Dan matilah kaum 
oportunis serta kompromis! 

Tapi tidak asal nonkonformis! Sebab yang terhormat bukanlah orang yang pokoknya 
mengatakan 'tidak,' atau yang kebanggaannya asal tampil beda! Tidak. Orang yang cuma 
bermodal 'ngeyel' atau 'ngotot,' tidak mengundang decak kagum atau rasa hormat. 

Itu sebabnya, Paulus tidak cukup hanya mengatakan, "Janganlah kamu menjadi serupa 
dengan dunia ini" titik. Agaknya ia menyadari benar, betapa nonkonformisme yang keren 
itu mudah sekali dijadikan kedok sikap pamer diri dan merasa benar sendiri. Menjadi 
pembalut kepongahan, kemunafikan, serta kegenitan yang memuakkan. 

"Tetapi," tulis Paulus lebih lanjut, "berubahlah oleh pembaharuan budimu." 
Nonkonormisme hanya akan membawa berkat, bila didahului pertobatan. Hanya 
membangun, bila diletakkan dalam bingkai sikap mental baru. Dengan perkataan lain, 
hanya bisa mengubah, setelah si nonkonformis sendiri mengalami transformasi diri. 
Budinya, kata Paulus, harus dibaharui. 

Hanya bila ini terjadi, seorang nonkonformis akan berjuang lebih seimbang. Di satu 
pihak, melawan kejahatan dengan konsisten, sepenuh hati, dan tanpa kompromi. Di lain 
pihak, melakukannya dalam kasih dan dengan penuh rendah hati. Di satu pihak, tidak 
terjebak oleh kesabaran pasif yang memberinya dalih untuk tidak berbuat apa-apa. Di lain 
pihak, tidak sembrono hantam kromo akibat ketidaksabaran yang tanpa perhitungan. 

Seorang nonkonformis yang telah mengalami transformasi diri, menyadari betapa 
perjuangan melawan kejahatan adalah peperangan tanpa ujung, yang menuntut kesabaran 



dan keuletan yang nyaris tanpa batas. Sekaligus, suatu rangkaian pertempuran tanpa henti 
dari tempat ke tempat, yang menuntut seluruh energi dan konsentrasi dari saat ke saat. 

* * * 

Betapa dunia membutuhkan non-konformis tipe itu! Non-konformis sejati, yang tetap 
runduk karena berisi. Yang berani berbeda, tidak sekadar petantang-petenteng sarat 
dengan snobisme serta nafsu pamer diri. Yang tak mengenal rasa jeri, tapi bukan cuma 
karena ingin disebut pemberani. 

Kita amat membutuhkan pejuang-pejuang seperti itu karena, betapa rentannya masa 
depan umat manusia. Kita membutuhkan orang-orang yang bermental baja dan berhati 
kaca, untuk memperlambat proses pembusukannya. Sebab sadarkah Anda betapa planet 
kita bisa luluh lantak dalam sekejap, lumer bagaikan lemak terpanggang bara, oleh 
misalnya satu saja ledakan nuklir? Dan bahwa umat manusia bisa lenyap musnah dalam 
sesaat, akibat senjata kimia dalam suatu perang biologi, seperti kuman antraks misalnya? 

Rentannya kehidupan ini oleh banyak pakar disimpulkan, sebagai dampak samping 
teknologi ciptaan manusia yang lepas kendali. Yang sebabnya tak mampu diprediksi, dan 
yang akibatnya tak sanggup diatasi. 

Karenanya racun paling berbisa bagi masa depan umat manusia, sebenarnya terletak pada 
diri manusia sendiri. Pada kecenderungan hatinya: kesombongannya, kepalsuannya, 
kedengkiannya, serta pementingan diri sendiri. Dari waktu ke waktu kita menyaksikan, 
bagaimana kebenaran dipasung oleh kebohongan dan kemunafikan. Bagaimana manusia 
menyembah ilah-ilah palsu, yang kini tak lagi bernama Baal atau berbentuk anak lembu 
mas, tapi bernama etno-nasionalisme, etno-religionisme, materialisme, hedonisme serta 
egosentrisme. 

Isme-isme yang saya sebutkan itu, wah, daya pikatnya luar biasa. Tapi sekaligus, daya 
hancurnya juga amat mengerikan. Untuk melawannya, tidak cuma dibutuhkan seorang 
pemberani, tapi orang yang telah "dibaharui budinya." Maksud saya, orang yang tak lagi 
terpilin oleh pusaran roh-roh zaman yang saya sebutkan di atas. Anggur baru, kata Yesus, 
membutuhkan kerbat baru. 

Itulah sebabnya mengapa cita-cita reformasi kian lirih saja suaranya dan luruh 
kekuatannya, sebab pejabat dan penyelenggara negeri yang mestinya mereformasi, 
ternyata masih perlu direformasi. Mereka adalah kerbat-kerbat lama. Mereka adalah stok 
lama dengan bungkus baru. Sebenarnya sudah tak layak pakai, dan seharusnya sudah 
dibuang sejak dulu-dulu. Mengikuti petuah Yesus: lebih baik masuk surga dengan satu 
mata, ketimbang tubuh utuh tapi masuk neraka. 

* * * 

Yakinlah, bahwa keselamatan dunia serta kelangsungan masa depan umat manusia, 
termasuk di dalamnya nasib bangsa kita, tidak akan terwujud melalui pintu penyesuaian 



diri kepada kecenderungan mayoritas. Tapi melalui lorong-lorong sempit, lorong-lorong 
perlawanan kaum minoritas non-konformis. Ini hendaknya kita ingat benar. Khususnya 
oleh mereka yang mengidentikkan kearifan dengan mengikuti kemauan mereka yang 
lebih banyak atau yang lebih kuat. 

Dalam batas-batas tertentu, menyesuaikan diri tentu perlu. Tapi Anda mesti menetapkan 
rambu batas yang tegas dan jelas, di mana dan kapan harus mengatakan 'tidak'. Seperti 
Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang menolak berlutut di depan patung raja. "Jika Allah 
kami yang kami puja (berkenan) melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami — 
tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan — 
menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu." 

Seperti Thomas Jefferson, yang walaupun hidup di tengah zaman yang membenarkan 
perbudakan, menyatakan: "Kami memegangi ini sebagai kebenaran yang tak perlu 
dibuktikan lagi, yaitu bahwa semua orang diciptakan setara, dan bahwa semua orang 
dikaruniai oleh Sang Khalik hak-hak yang tak dapat tanggal, antara lain hak untuk hidup, 
hak untuk bebas, dan hak untuk mengejar kebahagiaan." Tidak dapat tidak. Sebab, seperti 
kata Abraham Lincoln, tak ada satu bangsa pun di muka bumi ini mampu bertahan, 
setengah budak dan setengah merdeka. 

Saya tidak dapat menutup-nutupi kenyataan, bahwa sikap seperti itu mengandung 
konsekuensi. Seorang non-konformis sejati, tidak mustahil mesti berjalan dalam bayang- 
bayang penderitaan, berisiko kehilangan pekerjaan atau kedudukan, dan setiap kali 
mungkin mesti menjawab pertanyaan anak-anaknya yang masih belia, "Mengapa sih 
Papa begitu sering masuk penjara? Apakah Papa orang jahat?" 

Apa boleh buat. Bagi pengabdi kebenaran, betapa acap, salib datang mendahului 
mahkota. Namun begitu, tak ada alasan untuk mundur. Sebab sisi kebenaran yang lainnya 
adalah, bahwa hidup seorang nonkonformis sejati — betapapun pendeknya — tidaklah 
menuju senja, melainkan fajar. Bagi mereka, kematian bukan tujuan akhir, cuma sasaran 
antara. Tak perlu diacuhkan benar. 

BERKEMAUAN BAJA, BERHATI KACA 

Di masa gonjang-ganjing sekarang ini, apakah Anda—seperti saya— mendambakan 
seseorang yang dapat kita jadikan idaman, andalan, serta panutan? Menurut para cerdik 
cendekia, orang yang pantas dijadikan idaman adalah orang yang paripurna. Maksudnya, 
ia memiliki serta merangkum semua karakter luhur di dalam dirinya. Termasuk karakter- 
karakter yang sendiri-sendiri sebenarnya saling berlawanan. Jadi, misalnya, yang 
bersangkutan mestilah seorang idealis sekaligus realis; berpikir jauh ke depan atau 
melambung tinggi ke awan-awan, tapi tetap menginjak bumi; seorang pemikir yang 
dalam dan pelaksana yang andal; amat disegani namun serentak juga disayang orang 
setulus hati. 



Tidaklah mengherankan, manusia sempurna itu tidak ada. Yang mendekati sempurna pun 
amat langka. Sebab siapa orangnya yang mampu begitu paripurna? Tuntutan Tuhan atas 
kita, tak satu miligram atau setengah inci pun kurang dari itu. "Haruslah kamu sempurna 
sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." Itu berarti, Anda dan saya mesti 
berjuang sangat keras agar menjadi kian paripurna. Tidak terjerat oleh fanatisme sempit 
yang membabi buta, atau oleh kepicikan yang timpang dan berat sebelah. 

Hidup dalam kualitasnya yang paling prima, adalah hidup yang merupakan ajang 
perpaduan yang dinamis dan harmonis antara semua unsur-unsurnya. Termasuk unsur- 
unsur yang sekilas tampak saling bertentangan. Seperti tutur George Wilhelm Friedrich 
Hegel, kebenaran tidaklah terletak pada tesis dan tidak pula pada antitesis, melainkan 
pada sintesis yang adalah perpaduan antara keduanya. 

Sebab itu bisa dipahami peliknya hidup yang cuma mengandalkan kebenaran semata- 
mata! Yang bersangkutan akan menghadapi tantangan baik dari luar maupun dari dalam. 
Tantangan eksternal maupun tantangan internal. 

Mengenai tantangan yang berasal dari luar, Yesus menampilkannya sebagai "domba di 
tengah-tengah serigala." Orang yang setia kepada kebenaran akan senantiasa hidup di 
bawah ancaman dan tekanan. 

Di satu pihak, ada orang-orang, yang karena rela menjual kebenaran dan harga diri, 
mampu terus mengapung bahkan melambung di zaman atau rezim apa pun. 

Namun sebaliknya, ada pula yang karena tak pernah rela melawan kebenaran serta 
mengkhianati hati nurani, maka walau zaman telah berganti zaman, terus saja mereka 
hidup merana bagaikan domba di tengah-tengah serigala. 

Toh, kata Yesus, mereka harus terus bertahan. Pantang menyerah. Domba tidak boleh 
berubah jadi serigala. Tapi juga jangan sampai cuma jadi mangsa tanpa daya serigala- 
serigala jahanam itu. 

Untuk itu, mereka harus berusaha memadu dan meramu dua karakter sekaligus. Dan 
inilah yang saya sebut sebagai tantangan yang bersifat internal, atau berasal dari dalam. 
Yaitu sulitnya menjadi "cerdik seperti ular" sekaligus "tulus seperti merpati," seperti yang 
dikehendaki Yesus. Di satu pihak, ada kemauan keras, semangat rawe-rawe rantas, 
malang-malang putung, bahkan Werkudara. Di lain pihak, ada hati yang lembut, putih, 
tanpa pretensi, bagaikan Puntadewa. 

Hampir-hampir mustahil, bukan, membayangkan seseorang yang memiliki dua sifat 
sekaligus, 'ular' maupun 'merpati'? Tidak sulit membayangkan Pak Polan yang culas dan 
keji tanpa hati nurani. Juga tidak rumit membayangkan si Monang, yang jujur dan lugu. 

Di dunia ini ada Adolf Hitler yang berhati iblis. Ada pula Ibu Teresa yang berhati 
malaikat. Tapi bagaimana membayangkan malaikat berhati iblis? Atau iblis berhati 
malaikat? 



Memang sulit. Sangat sulit. Tapi kesulitan ini wajar semata. Sebab tidak ada jalan yang 
mudah dan sederhana untuk mencapai tujuan yang mulia. 

Tidak ada pula harga murah untuk mendapatkan benda yang sungguh-sungguh berharga. 
Kesulitan, Saudara, adalah sesuatu yang melekat pada kebenaran. Sesuatu yang tak 
mungkin terhindarkan. Karena itu, betapapun sulit, kita tak punya pilihan lain. Kita harus 
bersedia menebus "resep" yang mahal itu. Atau terpaksa mengucapkan, "Selamat tinggal, 
kebenaran!" 

Para pencinta kebenaran harus berjuang keras untuk menjadi manusia-manusia dengan 
kemauan baja tapi sekaligus berhati kaca. Berkemauan baja, artinya: kokoh dan teguh 
dalam tekad dan kemauan. Bisa dipatahkan, namun mustahil dibengkokkan atau 
dibelokkan. Komitmennya kepada kebenaran adalah harga pas. Tanpa diskon. 

Namun di samping berkemauan baja, seorang pencinta kebenaran mesti pula berhati 
kaca. Artinya, tidak cuma berkobar-kobar memperjuangkan kebenaran, tapi 
memperjuangkan kebenaran itu dengan motif dan cara yang benar. 

Sebab itu ia mesti bersih dari maksud-maksud serta kepentingan-kepentingan 
tersembunyi, la mesti jernih dan bening bagai kaca. Transparan. Dan, seperti kaca pula, ia 
juga lembut serta mudah terluka. 

Namun ini sama sekali bukanlah tanda kelemahan, melainkan justru tanda kekuatan. Hati 
seorang pencinta kebenaran adalah hati yang mudah sekali tergetar, tergores, bahkan 
retak oleh hadirnya ketidakbenaran serta kepalsuan di sekitarnya. 

Karenanya, ia tidak bisa tinggal diam. Amat mungkin, dalam keadaan itu, ia tidak tahu 
harus bicara apa atau mesti bertindak bagaimana. Tapi hatinya tak bisa diam. Tak pernah 
bisa diam, penuh perlawanan. (SH) 

BERKEMAUAN BAJA, BERHATI KACA (2) 

Orang dengan kemampuan baja adalah orang dengan penglihatan yang jelas, tekad yang 
keras, dan pilihan-pilihan yang tegas. Matanya menyorot tajam. Kakinya melangkah 
tegap. Mantap, penuh kepastian. Tahu ke mana ia mesti pergi. Itu adalah langkah-langkah 
seorang panglima; gagah, menebar aroma kemenangan. 

Yang saya ingin katakan, saudara-saudaraku, begitulah seharusnya kita merangkul 
kebenaran. Memeluknya dengan sepenuh kemauan serta komitmen sekokoh baja. 

Siapa bisa menyangkal, bahwa salah satu kebutuhan serta kedambaan terdalam umat 
manusia zaman ini, adalah orang-orang dengan kemauan baja seperti itu? Orang-orang 
yang tak mudah dibolak-balikkan atau dibelok-bengkokkan oleh gertakan maupun 



rayuan. Orang-orang yang di tengah musim atau iklim apapun, cuma punya satu 
komitmen: kepada kebenaran. 

Tapi alangkah mengecewakan! Semakin renta usia umat manusia, ternyata semakin 
rentanlah ia terhadap kemudahan, kenikmatan, serta kegemerlapan. Alhasil, bumi kita 
justru pengap dan penuh sesak dengan orang-orang yang berkemauan selembek bubur 
dan serapuh krupuk! Terlalu banyak bebek, terlalu sedikit burung garuda. 

Manusia cenderung menjadi kian manja. Enggan bersusah-susah. Malas berfikir lama 
serta mendalam. Sebab itu sekarang ini di Indonesia ada segudang persoalan mendasar, 
tapi yang tersedia cumalah jawaban-jawaban instan serta jalan keluar setengah matang. 
Persoalan cenderung menumpuk, disembunyikan, tidak diselesaikan. 

Ketidakpedulian manusia terhadap apa yang benar dan apa yang palsu inilah, yang 
dieksploitir perusahaan-perusahaan iklan untuk merangsang selera dangkal manusia. 
Kemalasan manusia memilah antara informasi dan provokasi; kerakusannya melahap 
rumor serta sensasi; serta keengganannya menapis antara yang fakta dan yang 
propaganda; inilah yang dimanfaatkan oleh media-media massa yang tak 
bertanggung)' awab . 

Lalu money politics'? Ah, apa lagi bila bukan karena budaya di mana untuk segala 
sesuatu ada "tarifnya? Sebab itu siapa mengatakan Indonesia serba terpecah belah? O, 
samasekali tidak! Sebab kita sebenarnya begitu teguh bersatu dan begitu erat bersinergi. 
Tapi sayangnya, cuma dalam menghancur-luluhkan masa depannya sendiri. 

Itu sebabnya, harapan kita satu-satunya—dan ini pun kian meredup pula—adalah kemauan 
baja. Hanya dengan kemauan baja, kita dapat menahan gelombang zaman yang begitu 
kuat menerpa. Hanya dengan kemauan baja, kita dapat melawan kemanjaan dan 
kemalasan yang menghancurkan diri kita sendiri. Memulihkan perlawanan serta 
semangat juang kita. 

Sumber kemauan baja adalah hati yang lembut. Tanpa hati yang lembut, kemauan keras 
akan berhenti pada kebekuan dan kekakuan, di mana tidak ada kehangatan maupun 
keceriaan. Sebab yang ada cumalah musim dingin yang abadi. Tanpa matahari musim 
semi. 

Dan tidak ada yang lebih tragis daripada orang yang dengan ketekunan dan disiplin yang 
tinggi berhasil memiliki kemauan baja, namun segera terhempas kembali sebab kemauan 
baja itu tidak pernah lebih daripada sekadar keras hati. Maksud saya, ada kemauan, tapi 
tanpa kepedulian. Ada semangat yang tinggi, tapi tanpa hati nurani. 

Si orang muda yang kaya, atau si bodoh yang menepuk-nepuk dada karena panen rayanya 
yang sukses, atau si kaya dalam kisah Lazarus yang miskin, mereka tidak dikecam oleh 
Yesus karena mereka bermauan baja atau berkemauan lembek. 



Mereka dikecam karena ketidakpedulian mereka kepada sesama. Karena mereka 
memandang kehidupan sebagai sebuah cermin, hanya untuk melihat diri mereka sendiri. 
Bukan sebagai jendela, melalui mana mereka bisa melihat keluar dan menyatakan 
kepedulian terhadap sesama. 

Sebab itu mesti kedua-duanya. Kemauan yang keras saja tanpa hati yang lembut, akan 
melahirkan pemaksaan bahkan penindasan. Sebaliknya hati yang lembut saja tanpa 
kemauan yang keras, hanya akan melahirkan iba dan kasihan, tidak membuahkan 
tindakan. Keduanya kurang paripurna. Karena itu kurang berdaya guna. (SH) 

MENGASIHI MUSUH: URGENSI ATAU FANTASI? 

"Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. 
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang 
menganiaya kamu." Dari semua titah Yesus, tak ayal lagi, inilah perintah yang paling 
sulit dipraktikkan. Namanya saja musuh, lha kok mesti dikasihi. Aneh bin ajaib, bukan? 

Banyak orang dengan serius, tulus dan jujur mengatakan, "Saya akui, perintah tersebut 
memang luhur dan mulia. Tapi bagaimana melaksanakannya?" Bagaimana mungkin 
mengasihi orang yang dengan sadar, sengaja, serta terencana, bermaksud mencelakakan 
kita? 

Atau orang lalu bersikap seperti Nietzsche. Filsuf Jerman ini mengatakan, bahwa perintah 
"mengasihi musuh" adalah salah satu bukti nyata, betapa etika Kristen—seperti yang ingin 
ditekankannya— adalah etikanya orang yang berkepribadian lembek bagai bubur dan yang 
punya nyali melempem seperti kerupuk. Bukan etikanya orang yang tegar, tegap, dan 
perkasa. Etikanya para pecundang, bukan filsafat hidupnya para pemenang. 

Orang-orang itu, kata Nietzsche, bila jujur, sebenarnya juga ingin membalas musuh- 
musuhnya. Siapa yang tidak?! Tapi sayang sekali, mereka tak punya keberanian. Hatinya 
kecil. Maka jadilah pengecut-pengecut itu, melalui perintah ini, menghibur diri sambil 
mencari pembenaran. 

Walaupun alasannya berwarna-warni, suara terbanyak akan menyimpulkan, bahwa Yesus 
adalah pemimpi. Idealis yang tak peduli pada yang praktis. Sebab itu, begitu nasihat 
mereka, boleh saja ajaran-Nya Anda amini dan simpan baik-baik di dalam hati. Tapi 
Anda tak perlu repot-repot mencoba melaksanakannya. Karena ini hanya akan membuat 
Anda frustrasi. 

Itu kata orang banyak. Namun saya mau berkata lain. Saya ingin mengatakan bahwa, 
teristimewa untuk dunia kita masa kini, perintah Yesus yang satu itu secara khusus justru 
menantang kita dengan urgensi dan relevansi baru. Kekerasan demi kekerasan nan tak 
kunjung henti di segenap belahan bumi, seharusnya mengingatkan kita betapa jalan 
kebencian yang kita lalui selama ini, akhirnya hanya punya satu ujung saja. Yakni 
kebinasaan dan kehancuran total bagi semua. 



Karenanya bila, seperti Nietzsche, kita mau menyelamatkan masa depan peradaban 
manusia, maka harus kita sadari, bahwa perintah "mengasihi musuh" adalah sebuah 
keharusan yang tak dapat tidak. Bukan sekadar fantasi indah seorang idealis atau etikanya 
para pecundang. Bahwa kasih, termasuk di sini mengasihi musuh, adalah satu-satunya 
kunci solusi bagi masalah-masalah besar yang membelit seluruh umat manusia dewasa 
ini. Dan bahwa Yesus bukanlah seorang idealis tanpa nilai praktis, melainkan justru 
seorang realis yang amat sangat praktis. 

Ini tidak berarti bahwa Yesus menafikan kesulitan-kesulitan serius yang inheren 
terkandung di dalam perintah tersebut. O, jangan Anda samakan Yesus dengan pendeta- 
pendeta atau penginjil-penginjil yang dari belakang mimbar menggambarkan betapa 
perjalanan iman itu seolah-olah tanpa pergumulan, bahwa kehidupan itu tanpa beban, dan 
bahwa kekudusan itu begitu gampang. Tidak! 

Yesus mengenal betul keterbatasan manusiawi serta dilema-dilemanya. Ia sendiri 
mengalaminya. Namun demikian, tanpa meremehkan kenyataan itu, Yesus benar-benar 
sangat serius dengan titah-Nya itu, kata demi kata. Dan Ia mau agar kita juga sama 
seriusnya dengan apa yang diperintahkan-Nya itu. Tugas kita, saudara, bukanlah 
melakukan studi kelayakan apakah perintah itu bisa dilaksanakan atau tidak. Tugas kita 
cuma ini memahami perintah itu dengan benar, lalu membulatkan tekad 
melaksanakannya. Titik. 

* * * 

Tapi, dalam praktik, bagaimana sih caranya mengasihi musuh? Apa sih yang mesti dan 
dapat kita lakukan? 

Untuk mampu melaksanakan perintah ini, Anda pertama-tama perlu mengembangkan 
terus kemampuan dan terutama kemauan Anda dalam hal mengampuni. Orang tak 
mungkin mengasihi tanpa mau mengampuni. Dan selanjutnya yang mesti Anda sadari 
adalah, pengampunan selalu berarti mengampuni orang yang bersalah, khususnya orang 
yang telah melukai dan menyakiti Anda. Orang baik-baik tidak memerlukan 
pengampunan Anda. Begitu pula orang yang senantiasa menyenangkan hati Anda. 

Astaga, mengampuni begitu saja orang yang telah melukai dan menyakiti kita?! Ini 
mungkin mengagetkan. Tapi memang tak ada pilihan lain. Pengampunan selalu 
merupakan bagian dari kewajiban si korban, bukan si pelaku. Yang berkewajiban 
mengampuni adalah pihak yang telah menjadi korban ketidakadilan, korban penindasan, 
korban penghisapan, korban kebencian, korban pengkhianatan, dan sebagainya. 

Sedangkan para pelaku kejahatan berada di kutub yang satu lagi, yaitu dalam posisi perlu 
diampuni. Bukan mengampuni. Ini jelas dalam perumpamaan "Si Anak Hilang." Ketika 
si anak durhaka itu akhirnya tiba juga pada akal sehatnya, lalu dengan langkah tak pasti 
mengatasi rasa malu dan rasa takut ia menyusuri jalan kembali untuk mencari 
pengampunan, apa yang terjadi? Adalah orang yang paling ia salahi dan sakiti—sang 



Ayah!— merupakan satu-satunya orang yang dapat menyiramkan air sejuk pengampunan. 
Tak ada yang lain. 

Pengampunan tidak berarti melupakan, apalagi mengabaikan, kejahatan yang pernah 
dilakukan. Samasekali tidak! Kejahatan tidak boleh dilupakan, dan memang tidak bisa. 
Pengampunan sejati justru hanya bisa hadir dan lahir dari tengah rasa pedih yang masih 
amat terasa. Tapi meskipun begitu, di tengah kepedihan dan sakit hati itu, yang 
bersangkutan dengan sadar dan sengaja, tidak membiarkan kepedihan itu memadamkan 
api kasihnya, serta meruntuhkan jembatan penghubung antarkeduanya. 

Kepedihannya yang sangat juga tidak ia biarkan membunuh pengharapan dan peluang, 
bahwa pada satu saat—entah kapan— mereka akan dapat menjalin lagi sebuah awal baru 
dalam kebersamaan mereka. Jadi bukan "to forget and to forgive" atau "lupakan dan 
ampuni," tetapi justru "to remember and to forgive" atau "mengingat dan mengampuni"! 
Aku tidak melupakan kesakitan serta kepedihanku akibat perbuatanmu, itu tak mungkin, 
tapi aku dengan tulus bersedia mengampunimu. Aku tidak dapat membenarkan 
kejahatanmu, ini juga mustahil, tetapi justru karena itu aku mengampunimu. 

* * * 

Bagaimana ini bisa terjadi? Tentu saja karena adanya kemauan yang kuat serta tekad 
yang bulat. Mengampuni seungguhnya bukanlah soal mampu atau tidak mampu, tetapi 
soal mau atau tidak mau. Kemauan yang kuat untuk mengampuni ini, pada gilirannya, 
akan amat terbantu bila ada kesadaran yang penuh, bahwa pada setiap orang selalu 
terdapat kejahatan maupun kebaikan. 

Maksud saya, tak ada orang sepenuhnya baik dan seluruhnya jahat. Sejahat-jahatnya si 
musuh, ia pasti menyimpan kebaikan. Dan sebaik-baiknya diri kita, pasti ada kekurangan 
dan kesalahan di dalamnya. Setiap orang karenanya membutuhkan baik penerimaaan 
maupun pengampunan. Kita ataupun siapa saja. Implikasinya, bila Anda membutuhkan 
pengampunan dari orang lain, apakah Anda punya alasan yang sah bagi keengganan 
Anda mengampuni orang lain? 

Mengampuni maupun mengasihi bukanlah soal getar rasa atau gejolak emosi. Bukan soal 
suka atau tidak suka. Tapi, sekali lagi, soal mau atau tidak mau. Sebab itu beruntunglah 
kita, karena Tuhan tidak memerintahkan kita untuk menyukai musuh kita. 

Walaupun Tuhan sendiri, kita tahu, Ia tidak akan bisa memaksa siapa pun untuk 
menyukai orang yang tidak ia sukai. Tapi orang memang tidak harus terlebih dahulu 
menyukai seseorang, baru dapat menerima dan mengampuninya. 

Ada satu lagi. Di atas saya katakan, bahwa tak seorang pun dapat memaksa Anda untuk 
mengampuni. Pengampunan itu mesti tulus, tanpa terpaksa. Namun demikian, Anda 
dapat "memaksa" diri Anda sendiri untuk mengampuni. Maksud saya, kemauan itu harus 
Anda kendalikan, bukan sebaliknya mengendalikan Anda. 



Terlebih-lebih bila kita ingat, betapa negeri ini sudah tak punya banyak pilihan lagi, 
kecuali "rekonsiliasi sekarang" atau "hancur berkeping-keping kemudian." Secara 
individual kita tentu tak akan mampu mendamaikan seluruh negeri. Namun kita dapat 
mulai dengan mengusir kebencian, memadamkan dendam, dan menghadirkan damai di 
hati kita masing-masing. Ini arti dan dampaknya pasti besar sekali. (SH-031201) 

KITA MESTI BERHENTI SALING MEMBENCI 

Sungguh ngeri mengikuti apa yang terjadi di Poso dan Ngawi. Segera terbersit di dalam 
hati, betapa malang nasib minoritas nanti, bila sampai mereka menguasai negeri ini. 
Betapa semena-mena, betapa pongah, pernyataan-pernyataan mereka. Mereka 
menganiaya, tapi merasa teraniaya. Dan perasaan teraniaya ini mereka jadikan 
pembenaran untuk terus menganiaya. 

Tapi, begitulah memang logika benci itu! Selalu buta. Selalu memaksa. Selalu semena- 
mena. Karena itu mesti kita hentikan! Ini bukan karena kita tidak antimaksiat. Justru 
karena menolak maksiatlah, kita wajib menolak kekerasan. Sebab di dalam kekerasan, 
terkandung kemaksiatan yang jauh lebih besar lagi. 

Menurut Martin Luther King Jr, nabi modern antikekerasan, paling sedikit ada tiga alasan 
kenapa kita mesti berhenti saling membenci. Pertama, karena membalas kebencian 
dengan kebencian adalah melipatgandakan kebencian. Menambah kelamnya malam yang 
telah hitam karena tanpa bintang. 

Gelap tak mampu mengusir gelap. Cuma terang yang bisa. Benci tak berdaya 
melenyapkan benci. Cuma cinta yang sanggup. Benci melahirkan benci; kekerasan 
berbuahkan kekerasan; menyeret semua ke dalam pusaran kehancuran yang kian dalam. 
Alasan inilah yang menyebabkan mengapa SABDA minggu lalu berbicara tentang 
"mengasihi musuh," sebagai satu-satunya solusi menembus impasse peradaban modern 
yang diancam oleh reaksi berantai kebencian, kekerasan, dan peperangan. 

Alasan kedua, mengapa benci mesti berhenti adalah, karena benci menoreh jiwa serta 
merusak kepribadian. Berbicara mengenai kebencian, betapa acap pikiran kita serta-merta 
tertuju kepada mereka yang menjadi objeknya. Ini tidak salah, sebab kebencian tidak 
jarang meninggalkan bekas kerusakan abadi yang tak mungkin lagi terdandani. 
Bayangkan trauma apa dan dendam bagaimana yang menyelinap di batin anak-anak 
korban kekerasan di daerah-daerah konflik di Nusantara kita! 

Tapi masih ada sisi lain yang tidak boleh kita abaikan. Yaitu kenyataan bahwa kebencian 
tidak cuma meninggalkan bekas luka pada si objek, tapi tak kurang juga merusak sang 
subjek, yaitu si pelaku kebencian itu sendiri. Kebencian mengeroposkan dan menggerus 
kepribadian, serta menghancurkan semua kelembutan serta kepekaan manusiawi. 
Membantun hati nurani dan merancukan seluruh kesadaran nilai. Yang benar jadi salah, 
yang salah jadi benar. Tanpa kepekaan, objektivitas serta kesadaran nilai, lalu apakah 
bedanya manusia dengan hewan, tumbuhan atau batu? 



Perkembangan mutakhir memperlihatkan, semakin banyak psikiater yang menyadari 
bahwa begitu banyak masalah kepribadian pada manusia berakar pada kebencian yang 
menahun. Sebab itu semboyan "Cinta atau Hancur" atau "Love or Perish" semakin 
lantang diperdengarkan. Langsung maupun tidak, mereka mengakui kebenaran ajaran 
Yesus, bahwa kebencian mencabik-cabik jiwa, sementara kasih mengutuhkannya. 

* * * 

Alasan ketiga mengapa kita mesti berhenti membenci, sekali lagi, adalah karena kasih 
merupakan satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seteru menjadi sahabat. Sebab 
kasih memiliki kekuatan atau daya yang tak terkalahkan, yaitu kekuatan pengampunan. 
Sekali Anda biarkan kasih dan pengampunan menguasai An-da, provokasi apa pun tak 
akan mempan membakar hati Anda. 

Ada sebuah kisah klasik tentang Abe Lincoln yang dengan jelas membuktikan, bahwa 
kasih itu praktis, bahwa rekonsiliasi itu mungkin, dan bahwa pengampunan adalah obat 
penawar luka kemanusiaan yang paling mujarab. 

Kisahnya adalah ketika Abe melakukan kampanye kepresidenan. Saingannya yang paling 
utama adalah seorang yang bernama Stanton. Stanton ini sangat membenci Lincoln. Ia 
memakai setiap kesempatan sekecil apa pun untuk menjatuhkan musuhnya, kalau perlu 
dengan fitnah. Tapi akhirnya Abe yang terpilih. 

Ketika tiba saatnya persiden terpilih tersebut menentukan susunan kabinetnya, ia 
membuat pembantu-pembantu terdekatnya terhenyak, terutama tatkala ia memilih 
Stanton sebagai menteri yang memegang posisi terpenting waktu itu, yaitu menteri 
peperangan. Penasihat demi penasihat bergantian mengingatkan Lincoln, memprotes 
pilihan sang presiden. Tapi Lincoln tetap pada pendiriannya. 

Sikap kenegarawanannya nampak sekali ketika ia berkata, "Ya, saya tentu mengenal 
Tuan Stanton, serta menyadari semua hal buruk yang pernah ia katakan mengenai saya. 
Tapi setelah mempertimbangkan kebaikan seluruh negara, saya tiba pada kesimpulan 
bahwa ialah orang yang paling baik untuk jabatan tersebut." 

Pilihan Lincoln terbukti tidak meleset. Stanton menjadi menteri yang paling baik, dan 
pembantu Lincoln yang paling setia. Ketika beberapa tahun kemudian, Abe mati 
terbunuh, dari semua komentar terbaik tentang Lincoln, komentar Stanton adalah yang 
terbaik. Ia berkata, "Lincoln akan tetap hidup dari masa ke masa," "He now belongs to 
the ages." 

Kehebatan kuasa kasih juga diperlihatkan oleh Lincoln, dengan kata-katanya yang tetap 
lembut kepada lawan-lawannya, juga sewaktu permusuhan antara Utara dan Selatan 
sedang keras-kerasnya. Ketika seorang wanita bertanya, bagaimana ia dapat 
melakukanya, Abe menjawab, "Nyonya, bukankah aku justru menghancurkan musuh- 
musuhku, ketika aku mampu mengubah mereka menjadi teman?" 



* * * 



Saya dapat menduga apa komentar Anda terhadap semua yang telah saya katakan. Saya 
mendengar Anda berkata, "Alangkah tidak praktis dan tidak realistisnya! Bung Eka, 
ketahuilah, realitas telanjang hidup ini, Anda suka atau tidak suka, adalah menuntut balas, 
mencari impas, homo homini lupus. Mungkin yang Anda katakan itu bisa dipraktikkan 
nanti, entah kapan. Tapi pasti tidak sekarang, di tengah dunia yang keras, kejam dan 
tanpa perasaan sekarang ini." 

Saudaraku, apa yang Anda katakan itu banyak benarnya. Saya akui itulah memang 
realitas dunia kita sekarang ini. Keras. Kejam. Tanpa perasaan. Saya tak ingin 
membantahnya. Yang ingin saya katakan cuma ini: selama ini bukankah kita telah 
menempuh jalan dan cara yang Anda sebut "praktis" dan "realistis" itu? Dari generasi ke 
generasi. Dari abad ke abad. Bukankah begitu? 

Lalu, kalau saya boleh bertanya, apakah hasilnya? Ke mana "jalan praktis" itu sedang 
membawa kita semua sekarang ini? Mudah-mudahan kali ini Anda sepakat dengan saya, 
bahwa jalan itu sedang membawa kita melalui kehancuran demi kehancuran, untuk 
akhirnya berujung pada kehancuran yang lebih total dan lebih fatal. 

Kini pertanyaan saya yang paling mendasar adalah, akan kita biarkankah semua ini? 
Atau, mengapa kita tidak memberi kesempatan kepada jalan yang lain? Memberi kasih 
suatu kesempatan? 

Kita, misalnya, akan belajar mengatakan kepada musuh kita, "Aku akan mengimbangi 
kemampuanmu membuat orang menderita, dengan kemampuanku untuk menahan 
penderitaan. Aku akan mengimbangi kekuatan otot dan kekuatan senjatamu, dengan 
kekuatan jiwa dan rohaniku. Lakukanlah apa pun yang kau mau, aku akan tetap berusaha 
mengasihimu. Aku tak bersedia mengikuti jalan kekerasan dan melayani nafsu 
kebencianmu. Bila itu kau anggap kesalahan, silakan kau lakukan apa saja. Tapi aku akan 
mempu bertahan, sebab aku yakin kasih tak terkalahkan. Dan kasih itu memerdekakan 
jiwa kami. Bukan kekerasan. Bukan kebencian." 

KETUKAN DI TENGAH MALAM 

"Lalu kata-Nya kepada mereka: 'Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke 
rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga 
roti'" (Lukas 1 1:5). Ah, tak perlu saya mengutip lengkap perumpamaan Yesus ini, bukan? 
Selain karena kemungkinan besar Anda telah mengenalnya, kelanjutan ayat tersebut toh 
juga tak terlalu relevan benar dengan pokok yang akan kita bicarakan. 

Yang jelas, perumpamaan tentang pentingnya doa yang tak berkeputusan itu, ternyata 
berbicara pula mengenai situasi terkini kita— dengan aktual, tajam, terpercaya. Waktu 
itu—maksud saya, dalam perumpamaan Yesus— waktunya adalah tengah malam. Waktu 



ini—maksud saya, dalam realitas hidup sekarang—waktunya juga adalah tengah malam. 
"Tengah malam" artinya, ketika kegelapan mencekam dan kepekatan menekan. "Tengah 
malam" artinya juga sebuah pertanyaan: masih adakah harapan di ujung jalan? Sebab 
rasa-rasanya tanda-tanda fajar kok sedikit pun belum kelihatan. 

Kehidupan bersama umat manusia, khususnya masyarakat kita, sedang berada di "tengah 
malam." Kemelut yang berkepanjangan. Konflik yang tak berkeputusan. Baik vertikal 
maupun horisontal. Antargolongan, antaretnik, antarras, antarkelompok agama, 
antarsekolah, antarkampung, dan entah antar-apa lagi. Sekian bom dan senjata api 
diketemukan lalu disita. Tapi yang berhasil dirakit dan tak terdeteksi masih lebih lanyak 
lagi. Sekian konflik berhasil diatasi dan dilokalisasi, sehingga situasi relatif terkendali. 
Tapi konflik-konflik lama maupun baru yang meletus masih lebih banyak lagi. Tatkala di 
sini orang merundingkan perdamaian, di sana orang menyulut pertikaian. Karena itu, saya 
menyebutnya, kita berada di "tengah malam." 

Dulu, menghadapi situasi begini, orang segera berpaling kepada ilmu pengetahuan dan 
teknologi. Bertanya, apa penyebab semua itu, bagaimana mengatasinya, dan langkah- 
langkah apa yang perlu guna mencegahnya. Tindakan begini, sungguh amat dapat 
difahami. Sebab dalam banyak hal, iptek memang sering bisa membantu. 

Ketika kemampuan serta kenyamanan ragawi kita berada di "tengah malam," iptek 
menawarkan alat-alat yang mampu memberi banyak kemudahan. Ketika manusia 
terbenam di "tengah malam" ketidaktahuan serta ketahayulan, iptek memecah kekelaman, 
menguak kepicikan, serta mengaruniakan pencerahan. Ketika manusia terhimpit di 
"tengah malam" mewabahnya pelbagai jenis penyakit mematikan, temuan-temuan baru 
yang revolusioner, baik dalam teknologi diagnostik maupun terapeutik, amat berjasa 
menuntun kita memasuki fajar kebugaran yang lebih prima, usia yang lebih panjang, dan 
kondisi tubuh yang relatif lebih sejahtera. Dan macam-macam lagi. 

Sebab itu, sekali lagi, alangkah masuk akalnya, tatkala kehidupan kebersamaan manusia 
berada di "tengah malam" kekalutan, kebalauan dan anarkisme, yang belum pernah ada 
presedennya dalam sejarah, orang pun serta merta berpaling kepada iptek dengan penuh 
harap! 

Tetapi kali ini, iptek pun tak mampu memenuhi harapan memilin kembali tali-tali 
silaturahmi antarmanusia yang telah rantas! Adapun sebab musababnya adalah, karena 
para ilmuwan dan para teknolog sendiri telah ikut tersedot tanpa daya ke dalam pelukan 
kepekatan "tengah malam" zaman, zeitgeist, bagaikan bintang-bintang mati yang terisap 
ke kuburan raksasa "lubang hitam" jagad raya. Sisi lain dari iptek adalah, bahwa ia telah 
berubah karakter menjadi "monster" yang berdaya rusak tinggi, serta tak terkendali. 

* * * 

Tapi tidak cuma dalam hidup kebersamaannya saja, manusia berada di "tengah malam." 
Seiring dengan itu, kehidupan internal individualnya pun tak kurang terkurungnya oleh 



kekelaman yang sungguh dalam. Malah mungkin lebih! Jarum jam "orde sosiologis" 
maupun "orde psikologis" manusia menunjuk angka 12 tengah malam. 

Bukan cuma di barak-barak pengungsian, melainkan di mana-mana, ketakutan serta rasa 
tidak aman yang melumpuhkan mengharu-biru orang di waktu siang dan mengejar- 
ngejarnya di waktu malam. Di mega-mega kehidupan mental manusia, menggelantung 
mendung hitam keresahan serta depresi jiwa yang luar biasa. 

Belum pernah di dalam sejarah, jumlah orang yang terganggu emosinya sebanyak yang 
ada sekarang ini. Tengoklah judul buku-buku terlaris atau ceramah-ceramah paling 
populer atau jenis penyakit yang mendera orang banyak! Hampir semuanya berhubungan 
dengan "stres" atau tekanan batin. Dengan "kreatif seorang bahkan telah mengalimatkan 
kembali perintah Yesus, menjadi: "Pergilah ke seluruh bumi, jadilah turis-turis 
mancanegara, serta tunaikanlah tekanan darahmu, dan lihatlah, aku akan memulihkan 
kesejahteraan jiwamu." Semua ini mengindikasikan betapa kondisi kehidupan internal 
manusia berada di "tengah malam." 

* * * 

Suasana tengah malam juga meliputi sisi kehidupan moral manusia. Bila malam tiba, 
yang terjadi adalah, semua warna akan kehilangan kediriannya. Yang semula beraneka- 
rupa—merah, kuning, hijau—berubah hanya jadi satu warna. Semua warna jadi kelabu, 
lalu hitam. Itulah pula gambaran situasi mutakhir keadaan moral manusia. Ketika prinsip- 
prinsip moral kian buram, lalu terus semakin mengabur, dan akhirnya hilang lenyap 
ditelan malam. 

Di zaman sekarang, benar atau salah itu tergantung. Terutama tergantung dari jumlah 
suara yang diperolehnya. Apa-apa yang disukai mayoritas adalah terpuji, sedangkan apa- 
apa yang melawan arus diangap keji. Apa saja bisa benar dan sekaligus bisa salah, 
tergantung dari apakah sukses Anda menerapkan "Hukum yang ke 11." Yang bunyinya 
"Jangan Sampai Ketahuan." Apa pun oke, selama tidak ketahuan. Sekiranya Rahadi 
Ramelan memilih untuk tutup mulut dan tidak berterusterang, mungkinkah Pansus 
"Bulog-gate II" akan dibentuk? Dan kemudian, percayalah perkataan saya, taruh kata 
secara moral Akbar Tanjung kita tahu pasti bersalah, apakah ia akan dipersalahkan itu 
akan sangat tergantung kepada suara mayoritas. Dengan perkataan lain, kebenaran tidak 
tidak lagi merupakan soal hati nurani, melainkan hasil lobi. Menurut "Etika Tengah 
Malam," dosa adalah "bila Anda tertangkap tangan," sedangkan piawai adalah "kelicinan 
Anda meloloskan diri dari kejaran hukum, walau bersalah." 

Berbohong tidak apa-apa, asal tidak mencolok-colok amat. Mencuri pun wajar-wajar 
saja— siapa sih yang tidak pernah melakukannya?— asal saja Anda adalah seorang yang 
punya pengaruh. Sebab buat "orang gede," merampok tak akan disebut sebagai 
"merampok." Tapi kekhilafan, penyalahgunaan wewenang, atau "saya lupa." Membenci 
juga bukan cacat moral, dengan syarat Anda pandai-pandai membungkusnya dengan 
muka blo'on, kata-kata manis, dan sikap yakin diri. 



Charles Darwin pernah memperkenalkan hukum "Survival of the Fittest." Maksudnya, 
siapa yang paling "fit" atau paling cocok untuk satu tantangan situasi tertentu, ialah yang 
akan mampu bertahan hidup. Moralitas Tengah Malam memperkenalkan hukum survival 
yang lain. Yaitu, "Survival of the Slickest." Artinya, yang akan bertahan, adalah yang 
paling "licin," bagai belut. 

Yang kemudian terjadi sebagaimana dikisahkan dalam perumpamaan Yesus adalah, 
memecah rutinitas kepekatan tengah malam yang telah berlangsung begitu lama tanpa 
gangguan, terdengarlah suara ketukan. Ketukan minta tolong. Ketukan di tengah malam. 
Dari orang-orang yang nyaris tak tahan lagi. Orang-orang yang telah berhenti berharap 
kepada dirinya sendiri maupun iptek. 

Ketukan paling nyaring, terdengar di pintu agama-agama. Termasuk di dalamnya, di 
pintu gereja. Beribu-ribu orang, mungkin berjuta-juta, menengadahkan kepala serta 
merentangkan tangan mereka mengharapkan pertolongan dari agama, sebagai solusi atas 
persoalan-persoalan terdalam mereka. "Saudaraku, pinjamkanlah kepadaku tiga roti 

Sekarang ini, di mana-mana, agama-agama—dan gereja—yang telah lama diramalkan 
segera ajal digilias oleh sekularisme, mendadak menggeliat bangun. Bagaikan beruang 
yang bangun dari tidur lama musim dinginnya. Amat segar, tapi juga amat ganas dan 
berbahaya, karena lapar. 

Agama-agama— termasuk agama Kristen— bertumbuh pesat menyambut ketukan manusia 
di tengah malam. Tapi apakah agama-agama mampu menolong? Mampu memberikan 
roti, seperti yang diharapkan? Atau "ular"? Atau "kalajengking"? Kita akan membahas 
pertanyaan ini minggu depan. (SH- 15 1201) 

PINJAMKANLAH KEPADAKU TIGA ROTI 

Kata Yesus, "Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang 
sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti ... masakan 
ia yang di dalam rumah akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup 

Di dalam perumpamaan ini, begitu pula di dalam dunia kita sekarang, kesenyapan dan 
kegelapan tengah malam sedang terusik oleh bunyi ketukan. Ketukan minta tolong jutaan 
orang yang berdiri di depan pintu agama-agama minta masuk. Tidak heran, agama- 
agama— apa pun dan di mana pun— berkembang dengan pesatnya. 

Tapi, kita jangan cepat-cepat terkesima oleh pertambahan angka. Jangan merancukan 
kekuatan spiritual dengan jumlah besar. "Jumboisme" adalah tolok ukur yang 
menyesatkan. Tidak bisa diandalkan untuk menakar kekuatan yang sebenarnya. 
Pertambahan kuantitatif, kita tahu, tidak serta-merta membawa pertumbuhan kualitatif. 
Juga tak punya kaitan langsung dengan peningkatan komitmen moral. Dan akhirnya, 



tidak pula otomatis berarti bahwa orang-orang yang mengetuk pintu dan membutuhkan 
roti pasti mendapatkannya. 

Memang benar Yesus mengatakan, "Masakan ia yang di dalam rumah akan menjawab: 
Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup Namun dalam realitas, itulah yang 
sering terjadi. Ada bunyi ketukan di tengah malam, ada seruan minta tolong, ada pintu 
dibukakan, kemudian orang masuk, tapi hanya untuk kecewa. 

Sebenarnya, tidak banyak yang dibutuhkan oleh manusia. Cuma tiga roti. Namun ketiga- 
tiganya vital dan mendesak. Pertama-tama, manusia sekarang membutuhkan "roti iman." 
Maksud saya, kemampuan untuk kembali bisa mempercayai sesuatu. 

Pengalaman demi pengalaman yang hampir selalu mengecewakan membuat banyak 
orang patah arang. Orang tak lagi bisa mempercayai apa pun atau siapa pun. Orang 
cenderung jadi sinis dan skeptis; apatis dan sarkastis. Itu kan isi lelucon komedian 
terkenal, khususnya di negara-negara maju? Sarkastisnya, minta ampun! Segala sesuatu— 
terutama yang dianggap suci, mapan dan terhormat—mereka jadikan bahan tertawaan. 
Hadirin yang mendengarnya pun senang, tertawa terbahak-bahak. Senang, sebab 
komedian itu mengungkapkan apa yang tersimpan di hati mereka. 

Mengapa di kala kehidupan semakin hari semakin susah, dan kekusutan demi kekusutan 
terpampang terang-terangan di depan mata, tapi mayoritas orang memilih diam? Anda 
salah, bila Anda menyangka bahwa ini disebabkan karena orang-orang Indonesia itu 
penyabar. Mungkin saja mereka memang penyabar. Tapi, mereka memilih diam, karena 
telah kehilangan kepercayaan. "Untuk apa susah-susah ngomong. Percuma, kan?!" "Saya 
cuma orang kecil. Bisa apa?!" 

* * * 

Di samping "roti iman," manusia juga membutuhkan "roti pengharapan." Padahal, hanya 
selang beberapa dasawarsa silam, manusia samasekali tidak membutuhkannya. 
Sebaliknyalah, manusia justru amat yakin bahwa ia telah memilikinya dengan limpahnya. 
Penemuan-penemuan baru khususnya di bidang ilmu dan teknologi di awal abad 20, 
membuat manusia begitu optimis akan masa depan. Ganti Allah, manusia dengan 
antusiasme tinggi memuja "dewa kemajuan." 

Tapi, optimisme manusia itu ternyata tak panjang usianya. Pengharapan yang sempat 
membubung tinggi ke langit baru, tiba-tiba terempas keras ke dasar bumi, digantikan rasa 
kecewa yang luar biasa, yaitu ketika ternyata mereka tidak memperoleh "roti" yang 
mereka butuhkan. Modernitas membuat mereka mempunyai lebih banyak, tapi tidak 
membuat hidup lebih baik dan hati lebih bahagia. 

Apalagi dengan "shock" yang luar biasa, manusia menyaksikan bagaimana orang-orang 
seperti Hitler atau Stalin, Pol Pot atau Idi Amin, bisa menjadi begitu demonis. Kembali 
manusia patah hati terhadap "kemajuan." Ini mengingatkan mereka ke filsuf- filsuf lama. 



Schopenhauer, misalnya. Filsuf Jerman ini melukiskan kehidupan sebagai rangkaian 
kesakitan yang tak berkeputusan, dan akan berakhir dengan kesakitan pula. Karenanya, 
hidup menurut Schopenhauer, adalah sebuah komedi tragis yang dipentaskan terus 
menerus, cuma sekali-sekali saja berganti kostum atau dekor. 

Orang juga teringat kepada "Macbeth"-nya William Shakespeare yang melukiskan hidup 
sebagai "sebuah dongeng yang diceritakan oleh orang idiot, bisingnya tak keruan, namun 
tanpa makna." Toh sekalipun putus harapan, manusia sadar bahwa tanpa pengharapan, ia 
tak dapat hidup. Karenanya, di tengah malam, ia mengetuk pintu, minta "roti 
pengharapan." 

* * * 

Yang ketiga adalah "roti cinta kasih." Siapakah di antara kita yang tidak ingin mencintai 
dan dicintai? Hidup tanpa cinta adalah sama saja dengan ada, tapi dianggap tidak ada. 
Perasaan ini ada pada orang-orang modern. Merasa adalah segala sesuatu, kecuali 
sesosok pribadi; seseorang. Ralph Borsodi dengan telak melukiskan bagaimana manusia 
tak lagi manusia, tapi sekadar angka. Ia, misalnya, menulis tentang seorang ibu nomor 
8434, yang baru saja melahirkan seorang bayi nomor 8003, di kamar kelas IB, nomor 
1402, dan memerlukan perhatian medis khusus karena menderita simptom A789. 

Barangkali Anda belum mengalami keadaan seekstrem itu. Tapi di Jakarta telah mulai 
terasa, betapa kartu visa lebih dihargai dan dipercayai ketimbang "saya." Tidak heran, di 
tengah malam orang mengetuk pintu, merindukan "roti cinta kasih." 

* * * 

Tapi apa ia memperolehnya? Yang saya lihat adalah orang berpaling sambil menengadah 
mengetuk pintu agama, namun kembali mesti kecewa. Agama-agama memang berusaha 
memberikan sesuatu, tapi bukan yang mereka perlu. Di dalam kenyataan, orang lebih 
banyak direpotkan oleh agama ketimbang terbantu. Agama—tumpuan harapan begitu 
banyak orang—lebih merupakan bagian dari persoalan ketimbang bagian dari 
penyelesaian! Orang membutuhkan damai— baik di bumi maupun di hati— tapi apakah 
agama-agama memberikan damai? Yang terjadi adalah: sambil berteriak membesarkan 
nama Allah, orang menghunus pedang, melempar bom, dan membunuh sesama. Lalu 
menyebutnya demi membela agama. 

Dengan jitu Martin Luther King Jr menjelaskan, bagaimana gereja-gereja hitam di 
Amerika Serikat telah gagal memberikan roti bagi mereka yang mengetuk pintunya di 
tengah malam. Sebabnya adalah karena, di satu pihak, ada gereja-gereja yang dibakar 
oleh "emosionalisme"; sementara di pihak lain, ada gereja-gereja yang dibuat beku oleh 
"elitisme." 

Yang pertama, "emosionalisme," menjadikan ibadah sebuah hiburan. Orang pergi ke 
gereja, seperti orang pergi ke Ancol atau Taman Mini, untuk berekreasi. Lebih 
menekankan bungkus ketimbang isi, dan gerak dan irama ketimbang makna. Bahayanya 



ialah religiositas orang-orang Kristen ini berada di tangan dan di kaki, lebih daripada di 
hati dan di jiwa. Dan di tengah malam, ketika orang mengetuk pintu minta roti, gereja- 
gereja ini cuma punya emosi yang meledak-ledak untuk sesaat, tapi tidak cukup vitalitas 
maupun relevansi untuk ditawarkan. Seketika orang merasa dipuaskan, tapi sebenarnya 
tetap kelaparan. 

Tipe yang lain, "elitisme," adalah gereja-gereja yang (tanpa mereka akui) membanggakan 
status sosial mereka yang tingi karena anggota-anggota mereka terdiri dari para 
profesional, pejabat, dan semi-konglomerat. 

Mereka bangga akan eksklusivisme mereka. Di gereja-gereja ini, suasana ibadah mereka 
kering, dingin, dan kaku. Sebab pada umumnya orang datang bukan untuk mendengar, 
tapi untuk dilihat. Musik mereka indah dan nyanyian-nyanyian mereka kelas tinggi, tapi 
tidak menggerakkan hati. Khotbah-khotbahnya amat ilmiah, lebih tepat disebut kuliah 
atau ceramah, tapi tak mampu menggugah jiwa. Gereja-gereja ini gagal memanfaatkan 
ibadah, di samping sebagai pengalaman rohani, juga—seperti kata Durkheim— juga 
sebagai penggalang solidaritas dan kesejiwaan sosial yang efektif dari suatu komunitas 
yang beraneka ragam latar belakang. Di tengah malam, ketika orang mengetuk pintu 
minta roti, orang itu tidak terlayani, dan malah terusir pergi. Ia tidak memenuhi standar 
kualifikasi sosial-ekonomi maupun tingkat pendidikan gereja bersangkutan. 

Yesus berkata, "Carilah, maka kamu akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan 
dibukakan bagimu. Karena setiap oarng yang mencari mendapat, dan setiap orang yang 
mengetuk baginya pintu dibukakan. Bapak manakah di antara kamu, jika anaknya minta 
ikan akan memberikan ular? Atau jika ia minta telur akan memberikan kepadanya 
kalajengking?" 

Pengharapan manusia yang berlebih-lebihan kepada agama-agama telah hampir sampai 
ke tingkat "overdosis." Tidak menolong, bahkan membahayakan. Sebagai penawarnya 
bukan cuma dosisnya saja yang harus dikurangi, tapi lebih dari itu kita sudah 
membutuhkan semacam proses "detoksifikasi." Proses menghilangkan racun dari tubuh 
kita, akibat "overdosis" itu. 

"Try Me!" Cobalah ketuk pintu Tuhan! Jangan cuma berhenti di depan pintu agama- 
agama! Tuhan memberi roti, ketika agama memberi kalajengking. (SP-221201) 

MIMPI YANG RUNTUH 

Salah satu kepahitan yang mesti kita telan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan 
adalah kenyataan bahwa tidak semua mimpi kita yang paling indah, serta cita-cita kita 
yang paling luhur, akan menjadi kenyataan. Getirnya menyaksikan dengan mata kepala 
sendiri, harapan demi harapan luruh, rubuh, dan runtuh, satu demi satu! Padahal, sering 
kali itu adalah harapan-harapan mulia. Sama sekali tidak mengada-ada. 



George Frederic Watts, dalam salah satu lukisannya yang paling kesohor, melukiskan 
"Pengharapan" sebagai sosok sendu. Duduk di puncak bola dunia, menundukkan kepala, 
sementara jemarinya memetik harpa—pada satu-satunya senar yang belum putus. 

Siapa yang belum pernah mengalami kegetiran itu? Senar harpa yang putus satu-satu. 
Lalu lagu kehidupan yang sumbang dan menyayat muncul dari situ. Bahkan Paulus pun, 
tak terkecuali, mengalaminya. Nyaris di akhir suratnya ke Roma, ia menulis, "Aku harap 
dalam perjalananku ke Spanyol, aku dapat singgah di tempatmu (= Roma) dan bertemu 
dengan kamu, sehingga kamu dapat mengantarkan aku ke sana (= Spanyol), setelah 
seketika aku menikmati pertemuan dengan kamu." 

Harapan ini tak pernah menjadi kenyataan. Paulus tak pernah sampai ke Spanyol. Dan 
menginjakkan kakinya di kota Roma pun bukan untuk "singgah di tempatmu," melainkan 
sebagai tawanan dengan tangan dan kaki terbelenggu. Padahal, Roma dan Spanyol adalah 
dua kota paling penting dalam strategi pemberitaan Injil Paulus. Bisa dibandingkan 
dengan Kabul dan Kandahar bagi pasukan Taliban. Spanyol adalah batas "paling jauh" 
atau "ujung bumi" yang dapat dicapai oleh Injil pada waktu itu, sedang Roma adalah 
"pintu gerbang" menuju ke situ. 

Bukankah pengalaman Paulus ini adalah tipikal pengalaman manusia? Setiap orang pasti 
punya "Spanyol"-nya masing-masing. Tempat ia melabuhkan sauh pengharapannya yang 
paling jauh; dan mengukir idealismenya yang paling mulia. Tapi boro-boro "Spanyol," 
sampai di "Roma" pun melenceng jauh dari skenario. 

Pada awalnya, seperti Abraham atau seperti Musa, oh, para idealis dengan semangat 
menggebu-gebu, ikhlas meninggalkan segala sesuatu, demi "tanah perjanjian" yang 
limpah dengan susu dan madu. Demi "Spanyol"! Namun akhirnya? Sampai ke batas usia 
mereka, seperti tutur penulis surat Ibrani, mereka cuma bisa "melambai-lambaikan tangan 
dari kejauhan." Tak pernah masuk ke "negeri perjanjian." 

Apa yang tidak rela dikorbankan oleh Mohandas Mahatma Gandhi demi India yang 
bersatu dan merdeka? Namun semua pengorbanannya seolah-olah hanyalah pembayar 
tiket masuk guna menyaksikan perang antarkelompok agama yang secara tragis 
membelah anak benua itu menjadi India dan Pakistan, lalu kemudian Pakistan dan 
Bangladesh (dan mungkin kemudian lagi, India dan Kashmir?). 

Contoh ini masih dapat kita perpanjang lagi tanpa batas. Woodrow Wilson dengan 
impian "Liga Bangsa-Bangsa"-nya. Gorbachev dengan gagasan "Glasnost" dan 
"Perestroika"-nya. Sun Yat Sen dengan prinsip "San Min Chu I"-nya. Gamal Abdel 
Nasser dengan ambisi "Pan Arabika" -nya. Soekarno dengan obsesi "Pancasila" dan 
"Gotong Royong"-nya. Lalu mungkin pula kita nanti dengan kedambaan akan "Indonesia 
Baru" dengan "Reformasi" dan "masyarakat sipil"-nya. Semua itu adalah harapan- 
harapan yang mungkin tak akan pernah terwujud. Mimpi-mimpi yang runtuh agaknya 
adalah bagian tak terelakkan dari kefanaan manusia. 



* * * 



Bila memang tak terhindarkan, bagaimana kita mesti menyikapinya? Ada beberapa 
kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah, saking kecewanya, orang lalu 
membenamkan diri ke dalam pusaran frustrasi yang melingkar-lingkar tanpa jalan keluar, 
ditindih rasa penasaran, serta dibakar oleh api perlawanan dan pemberontakan kepada 
kenyataan. 

Orang-orang dari tipe ini biasanya berkembang menjadi orang-orang yang berhati beku, 
yang menyimpan kebencian dan menyandang dendam, bukan cuma terhadap Tuhan, 
melainkan juga terhadap orang-orang lain, bahkan terhadap dirinya sendiri. Karena tak 
mungkin berhadap-hadapan langsung dengan Tuhan, mereka akan melampiaskan amarah 
kepada orang-orang di sekitar mereka, khususnya kepada pihak yang lebih "lemah." 
Dalam hal ini, mereka bisa menjadi amat kejam dan tak berperikemanusiaan. Beberapa 
analis sosial menengarai kemungkinan, kebencian sementara pihak kepada "minoritas" 
Kristen, antara lain adalah karena faktor tersebut. Maksud saya, orang-orang Kristen itu 
sebenarnya cuma "sasaran antara" saja dari keberangan mereka, bukan tujuan akhir. 
Benar tidaknya analisis ini, tidak relevan saya permasalahkan di sini. 

Ke-"judes"-an, keberangan, kepekaan yang berlebih-lebihan, bahkan kekerasan dan 
kekejaman adalah karakteristik yang dominan dari tipe reaksi yang pertama ini. 
Kekecewaannya yang amat mendalam membuat ia tak mampu mengasihi apa pun. Dan 
sebaliknya, mereka juga tidak mengharapkan kasih siapa pun. Duka yang panjang, 
kekekecewaan yang berulang-ulang, dan perasaan tertindas yang telah menorehkan luka 
yang amat dalam, adalah kombinasi ampuh untuk melahirkan kepribadian yang saya 
sebutkan itu. 

Konon, banyak teroris yang memilih jalan kekerasan bukanlah orang-orang yang kejam 
sejak awalnya. Semula, mereka barangkali hanyalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang 
mau menagih hak mereka. Tapi sayang sekali, mereka tidak cukup memiliki kesabaran 
dan kesadaran bahwa untuk mewujudkan yang baik diperlukan proses perjuangan dan 
pengorbanan yang panjang, serta cara yang baik pula. Klaim mereka bahwa mereka 
berjuang untuk yang baik dan yang benar tidak jarang harus mereka buktikan dengan 
kesediaan untuk berlapang dada menerima kenyataan, ketika cita-cita yang paling luhur 
serta upaya yang paling maksimal, tidak serta-merta menjamin keberhasilan. 

* * * 

Reaksi yang lain, yang kedua, mengambil bentuk yang sebaliknya. Bukannya menjadi 
agresif, melainkan justru menarik diri dari dunia sekitar, memilih berasyik-asyik dengan 
diri sendiri, lalu berkembang menjadi introver, rapat-rapat menutup diri. Hanya dengan 
begitu, mereka merasa aman dari sekelilingnya yang terasa serba mengancam. 
Karenanya, tak seorang pun mereka izinkan masuk ke dalam privasinya. Sebaliknya, tak 
sekelumit pun mereka berminat dan berniat masuk ke kehidupan orang lain. 

Orang-orang ini telah berhenti bergumul, kehilangan daya, serta kehabisan gairah 
berjuang. Satu-satunya yang mereka inginkan adalah mengasingkan diri, kemudian 



tenggelam dalam alam kepasifan total. Mereka selalu menjaga jarak terhadap sekitarnya. 
Tidak mau terlibat apa-apa. Tidak pula peduli pada siapa-siapa. 

Tak punya cukup kepedulian untuk mengasihi, ataupun nafsu untuk membenci. Terlalu 
menjauh bahkan untuk memikirkan diri sendiri, dan terlalu beku untuk memikirkan orang 
lain. Terlalu tertutup untuk merasakan sukacita, terlalu apatis untuk merasakan dukacita. 
Matanya tak mampu lagi menangkap keindahan alam. Telinganya kehilangan kepekaan 
untuk mendengar keagungan karya-karya musik abadi. Orang-orang seperti ini tidak 
mati, tapi juga tidak hidup. Mereka cuma sekadar eksis. Ada, tapi tidak berada. 

Harapan yang terus-menerus dikecewakan telah menggiring mereka kepada sinisme yang 
melumpuhkan, seperti yang dilukiskan oleh Omar Khayyam, sang pujangga. 
"Pengharapan tempat sauh hati manusia melabuh / lebur jadi abu / atau bertaburan bagai 
salju / di wajah gurun berdebu / berkilau sejam dua / lalu sirna." 

Tapi salah dugalah mereka yang menyangka, bahwa mereka bisa melarikan diri dari 
kenyataan. No way! Filsafat "burung onta" yang merasa aman asal saja tidak melihat 
bahaya akan menjerumuskan mereka ke bahaya yang lebih fatal. Pada satu pihak, 
bodohlah orang yang membenturkan kepalanya ke tembok dengan maksud 
merubuhkannya. Pada lain pihak, yang tidak kalah sia-sianya, adalah berpikir bahwa 
hanya dengan menunggu tanpa berbuat apa-apa, pada suatu ketika, tembok itu akan rubuh 
dengan sendirinya. 

Jadi jelaslah, dua reaksi yang telah kita perbincangkan ini bukanlah cara merespons 
kekecewaan yang semestinya. Lalu bagaimana seharusnya? Masih ada dua pilihan sikap 
lagi yang harus kita bahas. Namun untuk ini, mohon Anda bersabar sampai minggu 
depan. Yang jelas pokok bahasan kita ini sangat relevan, khususnya karena kita akan 
segera memasuki tahun yang baru. (SH-020102) 

MENGURAI DURI JADI MAHKOTA 
Oleh: Eka Darmaputera 

"Aku harap dalam perjalananku ke Spanyol, aku dapat singgah di tempatmu dan bertemu 
dengan kamu, sehinga kamu dapat mengantarkan aku ke sana, setelah aku seketika 
menikmati pertemuan dengan kamu." Itulah kedambaan serta rencana Paulus. Destinasi 
Spanyol, via Roma. Rencana itu ternyata gagal total. Ke Spanyol, ia tak pernah sampai. 
Ke Roma pun, ia cuma singgah sebagai terpidana. 

"Spanyol" dan "Roma" adalah gambaran hidup manusia. Harapan yang luruh. Mimpi 
yang runtuh. Dawai harpa yang putus satu satu. Penegasan betapa kegagalan 
mewujudnyatakan harapan adalah bagian tak terpisahkan dari realitas kehidupan. 

Kita telah membahas dua macam reaksi manusia terhadap kenyataan pahit ini (red: baca 
"Pinjamkan Kepadaku Tiga Roti). Keduanya saling berbeda, tapi sama-sama tak 
membuahkan apa-apa. Reaksi yang satu, adalah menolak dan melawan. Hasilnya? Bagai 



menahan banjir dengan kedua belah tangan. Sia-sia. Reaksi yang lain, memilih sikap 
tiarap sambil menjauh dan bersembunyi. Hasilnya? Bagaikan burung unta. Menyangka 
telah bebas dari bahaya, hanya karena tidak melihatnya. Bodoh. 

Bila melawan salah, tapi menghindar pun percuma, lalu bagaimana semestinya? Sebelum 
menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita bahas dulu alternatif ketiga. Yang 
melawan tidak, menghindar pun tidak. Melainkan mencemplungkan diri ke dalamnya, 
mengikut arus. 

Di balik sikap yang sering disebut orang "pragmatis" tersebut, tersembunyilah sebuah 
filsafat hidup yang tak banyak disadari— apalagi diakui—bahkan oleh para penganutnya 
sendiri. Filsafat hidup yang saya maksudkan adalah fatalisme. Yang dalam praktik, salah 
satu derivatnya adalah oportunisme. 

* * * 

Esensi fatalisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada atau terjadi 
sesungguhnya telah ditetapkan dan ditentukan dari "sono"-nya. Ditentukan oleh apa atau 
siapa? Oleh apa pun namanya, yang kekuatannya jauh melampaui kekuatan kita. Karena 
itu, ketetapannya tidak bisa berubah dan tidak boleh diubah. 

Kalau Shakespeare mengiaskan kehidupan sebagai sebuah pentas drama, dengan lakon 
yang sudah pasti pakemnya, dan dengan pembagian peran yang telah ditentukan 
sebelumnya, maka sang "Ia" itulah sutradaranya. Penentu segala sesuatu. 

Terhadap keyakinan bahwa segala sesuatu punya penggerak atau penyebab perdana (= 
prima causa), saya tidak punya keberatan apa-apa. Yang ingin saya persoalkan adalah, 
karena fatalisme telah menarik konsekuensi yang terlampau jauh dari situ. Misalnya, 
aliran ini meyakini bahwa karena segala sesuatu telah ditentukan terlebih dahulu (= 
predestined) oleh Sang Maha Kuasa, maka konsekuensinya adalah Anda dan saya— si 
mahluk fana dan hina dina ini— tidak diberi pilihan lain, kecuali menerimanya. 
Sebenarnya sampai di sini pun, keberatan saya masih belum terlalu prinsipal. 

Namun ketika mereka mengatakan bahwa menerima ketetapan Allah itu berarti menyerah 
dan takluk secara pasif ; ketika mereka mengatakan bahwa karenanya kebebasan atau 
kehendak bebas adalah nonsens dan mitos semata; dan mengajarkan bahwa jalan 
kehidupan manusia adalah bagaikan sabut kelapa yang dipermainkan gelombang, yang 
bernama "nasib"; wah, no way. 

Gambaran manusia di situ adalah gambaran manusia yang sangat malang. Ibarat bola 
yang disepak ke sana kemari sekehendak hati . Sangat berlawanan dengan gambaran di 
dalam Alkitab bahwa manusia— walaupun fana— adalah makhluk mulia. Dan bahwa 
kehendak bebas— sebab itu, tanggung jawab— bukanlah isapan jempol belaka. 



* * * 



Oportunisme adalah anak sulung fatalisme. Mengapa? Sebab jika sesuatu cuma mesti 
diterima, lha ya buat apa susah-susah melawannya? Bila korupsi jelas-jelas mustahil 
dihapus, mengapa tidak justru menangguk untung dari padanya? Ketimbang basah karena 
kecipratan lumpur orang lain, mengapa tidak mencemplungkan diri saja sekalian? 
Menjilat penguasa lalim yang tak mungkin ditumbangkan, bukanlah soal benar atau 
salah. Tapi soal cerdik atau bodoh. Soal realistis atau berkhayal. 

Beberapa fatalis adalah orang-orang yang amat religius. Maksud saya, religisoitas mereka 
adalah religiositas yang fatalistis. 

Mereka mengatakan, bila tak sehelai rambut pun akan gugur dari kepala tanpa ditentukan 
oleh Allah, maka apa yang "ada"— apa lagi bila "sukses"— pastilah dikehendaki Allah. 
Tidak bisa tidak. Dan bila dikehendaki Allah, bagaimana mungkin melawannya? 

Anda lihatkah bahaya moral yang luar biasa besar di sini? Yaitu ketika orang 
menganggap bahwa semua yang "dibiarkan" Allah adalah "dikehendaki" Allah! 
Logikanya: bila Tuhan tidak mengizinkan, pasti saya tak akan berhasil mengeluarkan 
barang-barang selundupan itu. Tapi buktinya saya berhasil 'kan? Jadi? Bila logika 
semacam ini kita tarik lebih jauh, maka mereka percaya bahwa karena Iblis dibiarkan 
Tuhan, maka perbuatan Iblis juga disetujui Tuhan. Wah! 

* * * 

Memang benar, kebebasan yang tak terbatas itu tidak ada. Ada banyak hal di dalam hidup 
kita, di mana kita tinggal menerimanya. Bahkan kelahiran dan kehadiran kita di dunia ini 
sekalipun! Ini bukan pilihan Anda, bukan? 

Tapi antara "menerima" dan "menerima," bisa berbeda-beda kualitas serta dampaknya. 
Ada yang menerima, tapi dengan penasaran. Ada yang menerima, sekadar karena apa 
boleh buat. Tapi ada pula yang menerima dengan ketaatan, dan tanpa kegetiran. Yang 
justru memanfaatkan kegagalan sebagai awal keberhasilan baru, tanpa mengkhianati 
prinsip serta hati nurani. Orang yang berkata, kegagalan adalah keberhasilan yang 
tertunda. 

* * * 

Pertanyaan yang paling kreatif ketika kita, seperti Paulus, menyadari kenyataan bahwa 
kita tidak bisa ke "Spanyol," adalah: bagaimana mengubah kegagalan menjadi kekayaan, 
dan tantangan menjadi peluang. Serdadu-serdadu Romawi telah mengubah mahkota 
menjadi duri. Dengan itu mereka menyangka, mereka berhasil mematahkan semangat dan 
keyakinan diri Yesus. Ternyata mereka gagal. Mereka gagal, karena Yesus mengubah 
duri di kepalaNya menjadi mahkota! 

Orang-orang berpengaruh yang berhasil mengukir sejarah adalah orang-orang dengan 
perangai seperti itu. Orang-orang yang mengubah "duri" menjadi "mahkota." Begitulah 
kita baca dari riwayat hidup Charles Darwin, Robert Louis Stevenson, Helen Keller, Gus 



Dur, dan sebagainya. Mereka mengubah kondisi yang merugikan, menjadi aset yang 
menguntungkan. 

Penulis biografi George Frederick Handel menulis, "Kesehatannya dan nasibnya telah 
membawa Handel ke titik paling rendah. Tubuhnya sebelah kanan lumpuh total. Uangnya 
habis tandas tanpa sisa. Orang-orang yang menagih utang mengancam akan 
membawanya ke penjara. Untuk beberapa saat, ia tergoda untuk menyerah. Tapi 
kemudian semangatnya membubung lagi, dan itu dipakainya untuk menulis karya 
terbesarnya: 'MESSIAH'" 

Koor HALELUYA yang megah tidak digubah di sebuah villa musim panas di "Spanyol" 
atau "Roma." Melainkan lahir di sebuah "bilik bui" yang sempit, gelap, dan pengap. 
Karenya, saudaraku, wajah Indonesia yang bopeng dan keriput bukanlah alasan yang sah 
untuk kita berhenti mencintainya. Luka-luka bernanah di sekujur tubuhnya jangan kita 
jadikan dalih, untuk menjauhi dan cuma mengutukinya tanpa berbuat apa-apa. (SH- 
060102) 

APAKAH ANDA MELIHAT BINTANG ITU? 
Oleh: Eka Darmaputera 

Di kalangan saudara-saudari kita dari gereja Ortodoks, minggu pertama dari tahun yang 
baru dirayakan secara khidmat sebagai "Minggu Epifania." Artinya: "minggu 
penampakan atau penjelmaan Tuhan." Maknanya setara dengan Hari Natal kita. Lebih 
khusus lagi, minggu ini juga biasa dipakai untuk merenungkan lebih mendalam makna 
kedatangan para cendekia dari "Timur." Orang-orang majus. Sekalipun sedikit terlambat, 
tulisan kali ini mengajak kita melakukan yang serupa. Belajar dari orang-orang majus. 

Siapa orang-orang majus itu, kita tidak tahu persis. Menurut legenda yang beredar, 
jumlah mereka tiga orang, dan nama-nama mereka Kaspar, Melkhior, dan Balthazar. Di 
samping itu, ada yang mengatakan, mereka adalah para raja dari Timur. Sedang versi 
lain, mereka adalah ahli ilmu falak. Apakah benar begitu, saya tidak tahu. Alkitab tidak 
berkata apa-apa. Bungkam seribu bahasa. 

Yang agak jelas dikatakan adalah, pertama, jumlah mereka lebih dari satu. Matius selalu 
memakai bentuk jamak. Kemudian, kedua, mereka datang dari "jauh"; dari "Timur." 
Sebab seandainya tidak, pasti Matius akan menyertakan namanya. Lalu ketiga, mereka 
pasti bukan orang sembarangan. Ini bisa kita ketahui dari jenis persembahan mereka. 
Mas, kemenyan, dan mur. Semuanya benda berharga. Dan juga, mereka tidak memberi 
kesan canggung atau kikuk di tengah lingkungan istana. Tapi yang paling jelas dari 
semua adalah mengapa mereka ada di Yerusalem: mereka mau mencari dan ingin 
menyembah bayi Yesus. 

Fakta-fakta ini, bila kita dalami benar, pantas membuat kita terkagum-kagum akan 
kesungguhan komitmen "iman" mereka. Paling sedikit dalam tiga hal berikut ini. 
Pertama, Matius mencatat pertanyaan mereka, "Di manakah Dia, Raja orang Yahudi yang 



baru dilahirkan itu?" Pertanyaan kita yang segera adalah untuk apa mereka— yang bukan 
orang Yahudi—mencari-cari, bahkan sampai rela menempuh perjalanan yang amat jauh, 
hanya untuk mencari "raja orang Yahudi yang baru dilahirkan"? 

Pasti karena mereka mencari raja yang bukan sembarang raja. Di negeri mereka tentu ada 
raja. Tidak mustahil, mereka sendiri adalah raja itu. Yang tidak ada— baik waktu itu 
maupun sekarang ini— adalah, seorang raja yang benar-benar dapat mereka hormati 
sepenuh hati, yang dapat mereka percayai setulus hati, dan yang dapat mereka andalkan 
segenap hati. Mereka mencari pemimpin yang benar-benar memimpin. 

Lho, apakah ada pemimpin yang tidak memimpin? O, banyak! Mereka adalah pemimpin, 
tapi tanpa kepemimpinan. Only leaders, but no leadership. Atau, lebih banyak lagi, 
"pemimpin penyamun," bukan "pemimpin penyantun." Leader who loots, not leads. 

* * * 

Bila kita pikirkan lebih mendalam, orang-orang majus ini sebenarnya kan telah memiliki 
semua yang— menurut ukuran kita— adalah paling utama. Harta, mereka punya. Ilmu, tidak 
kurang. Kehormatan, ada. Jadi, mau cari apa lagi?! Di sini kita mesti belajar dari mereka. 
Bahwa mereka masih mencari, itu bukan karena loba, tapi karena peka. Peka mengenai 
apa yang paling utama, yang mereka belum punya. Peka, mengenai mana yang lebih 
utama, dan mana yang kurang utama. 

Bukankah pengalaman banyak orang modern sekarang, yang punya banyak tapi merana 
dalam jiwa adalah, karena mereka belum punya "yang paling utama." Ibarat mau 
memasak sate. Semua bahan dan bumbu telah siap sedia dengan limpah, kecuali 
dagingnya. Orang Jakarta bilang, sama aja bo'ong, bukan? 

Ada seorang pensiunan bankir sukses dan amat kaya dari Amerika. Ia memutuskan untuk 
menghabiskan masa pensiunnya di rumah pantainya yang mewah di Florida, di mana 
matahari bersinar sepanjang tahun. Kita membayangkan, wow, alangkah nikmatnya! 
Kurang apa lagi?! Tapi bagaimana bagi yang bersangkutan? 

Dalam sebuah surat kepada sahabat karibnya, pensiunan bankir itu menulis, antara lain, "I 
have plenty to live on, but not enough to live for." Saya punya berlimpah-limpah "untuk 
hidup," tapi tidak tahu saya "hidup untuk" apa. Sayang sekali, banyak orang cuma 
bertanya dan mencari "apa untuk hidup," bukan bergumul mengenai "hidup untuk apa." 
Orang-orang majus tidak. Mereka mencari yang utama, yang bisa memberi makna bagi 
hidup mereka. Sebab itu, mereka bertanya-tanya, "Di manakah raja orang Yahudi yang 
baru dilahirkan itu?" 

Kedua, mereka berkata, "Karena kami telah melihat bintangnya." Melihat bintang— ah, 
apa istimewanya?! Bukankah kita juga melihat bintang? Bintang-bintang yang banyak 
sekali. Tapi ada perbedaan yang amat besar. Kita melihat bintang, banyak sekali. Namun 
tak satupun berarti. Sebaliknya, orang-orang majus itu melihat "satu bintang," tapi amat 
bermakna. Sebab bintang ini akan membawa mereka kepada yang mereka cari. 



Mengapa mereka melihat, sedang kita tidak? Ini bukan cuma karena mereka pandai, tapi 
terutama karena mereka peka. Dan mereka peka, karena ada kerinduan di hati, dan ada 
kesungguhan mencari. Sebaliknya, kita sering kurang serius mencari. 

Kita melihat dan mengingat banyak sekali. Kita melihat dan mengingat sampai di mana 
cerita sinetron prima kecintaan kita minggu ini. Kita juga melihat dan mengingat 
kesebelasan mana akan bertanding dalam Liga Italia pekan ini. Tapi apakah Anda melihat 
pesan dan petunjuk Allah melalui apa yang Anda lihat itu ... "bintang" itu? 

Bila Anda melihat orang-orang terkapar dalam kemelaratan dan anak-anak yang tanpa 
masa depan, apa yang Anda lihat? "Sampah" yang menjijikkan? Bahaya yang 
mengancam? Atau utang yang mesti Anda bayar? Tugas yang belum Anda selesaikan? 
Luka tubuh yang mesti segera Anda obati? 

* * * 

Ketiga, kata orang-orang majus itu selanjutnya, "Dan kami datang untuk menyembah 
Dia." Menurut saya inilah kulminasi dan klimaks yang menentukan. Betapa pun 
mengagumkan dua hal yang telah saya kemukakan di atas, semua itu tak ada artinya 
tanpa yang satu ini. Merasakan kebutuhan akan yang utama, apa istimewanya? 
Mengetahui di mana kebutuhan utama itu bisa terpenuhi, apanya yang terlalu luar biasa? 

Yang paling menentukan adalah, apakah Anda mau "datang untuk menyembah Dia." 
Action. Niat baik, pengetahuan luas, tapi tanpa komitmen dan aksi—ya mubazir dan sia- 
sia. Orang-orang majus itu menerjemahkan komitmen mereka dengan kerelaan 
melakukan perjalanan yang memeras tenaga, memakan waktu, menuntut biaya, bahkan 
membahayakan jiwa mereka. 

Di sini, bukan, biasanya persoalan kita? Masalah integritas. Masalah komitmen. Kita 
mengatakan kita peduli pada sesama. Tapi benarkah? Saya tahu orang-orang yang rela 
"membuang" ratusan juta rupiah di meja judi atau untuk bertamasya; berjuta-juta rupiah 
untuk sekali makan buffet bersama teman-teman di hotel berbintang; sekian juta lagi 
untuk ke salon; tapi untuk saudara-saudara kita yang kelaparan, kedinginan dan ketakutan 
di hutan-hutan atau gunung-gunung? 

Ini baru masalah merogoh saku lebih dalam. Belum lagi bila kita bicara pengorbanan 
yang menyangkut jabatan, karier, masa depan, apa lagi jiwa. Tapi semua tokoh teladan 
dalam Alkitab, kita kenal sebagai orang-orang yang berjalan sampai ke batas, yang 
membayar utang sampai lunas, dan yang melakukan tugas hingga tuntas. Di puncak 
semua itu, adalah Yesus! Dan seharusnya, para pengikut-Nya. Sayang sekali, ini kurang 
sekali. 



SKEPTIS PERLU, ASAL TIDAK TERLALU 
Oleh: Eka Darmaputera 



Menurut dugaan saya, sedikit saja orang-orang Kristen yang tidak mengetahui bahwa di 
antara 66 kitab di dalam Alkitabnya ada satu yang bernama "Pengkhotbah." Namun, saya 
berani memastikan, di antara yang tahu itu hanya sedikit saja yang menjadikan kitab ini 
favoritnya. Malah saya tidak terkejut, sekiranya ada yang mengatakan bahwa ia tidak 
menyukainya. Kitab ini memang lain daripada yang lain. Ia unik. Nyentrik. Melawan 
arus. 

Bila semua agama di dunia ini menekankan, kesalehan itu baik dan hikmat kebijaksanaan 
itu mulia, apa kata Pengkhotbah? "Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan ... segala 
sesuatu sama bagi sekalian: nasib orang sama baik orang yang benar maupun orang yang 
fasik; orang yang baik maupun orang yang jahat; orang yang tahir maupun orang yang 
najis" (9:1-2). 

Bila Anda bertanya, "Nasib orang sama, bagaimana maksud Anda?" maka Pengkhotbah 
pun menjawab, "kedua-duanya menuju ke satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu 
dan kedua-duanya kembali kepada debu" (3:19-20). 

Oleh karenanya, kata Pengkhotbah pula, jadi orang itu yang wajar-wajar serta normal- 
normal sajalah. Yang moderat. Tidak ekstrem. Tidak perlu berlebih-lebihan. Jangan 
kelewatan. Kalau saleh jangan terlalu saleh, sampai tidak bisa menikmati hidup. Kalau 
jahat jangan terlalu jahat, sehingga memasang jerat bagi diri sendiri. "Dalam hidupku 
yang sia-sia, aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang binasa dalam 
kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatannya. Janganlah terlalu 
saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan 
dirimu sendiri? Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati 
sebelum waktumu? Sesungguhnya di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik 
dan tidak pernah berbuat dosa!" (7: 15-20) 

* * * 

Ada lagi yang "mengganggu." Bilamana hampir di seluruh Alkitab ditekankan, 
bagaimana orang beriman diamanatkan untuk bertekun serta bertahan dalam iman dan 
pelayanan karena, seperti kata Paulus, "dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu 
tidak sia-sia" (1 Korintus 15:58), eee, apa kata Koheleth? "Segala sesuatu adalah sia-sia. 
Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?" (1:2-3). 

Saya cukupkan sekian saja contoh-contoh tentang betapa "kontroversial" serta 
membingungkannya kitab ini. Di mana-mana di seluruh kitab ini, kita mencium bau 
sangit dari sinisme yang menyengat; dan melihat skeptisisme yang mencolok. Maksud 
saya: sikap Pengkhotbah yang tidak bisa mempercayai apa pun atau menghargai siapa 
pun. 



* * * 



NAMUN karena ini pulalah, kitab ini amat disukai dan banyak dirujuk oleh sekelompok 
orang. Anehnya, justru oleh para radikalis. Mengapa? Karena kitab ini— seperti ciri khas 
mereka—berani menggugat serta mempertanyakan apa-apa yang dianggap suci, mapan, 
dan benar. 

Cocok sekali dengan situasi terkini kita, bukan? Apa sih yang sekarang tidak digugat dan 
didebat orang? Semua yang semula dianggap "final" dan "sakral," kini diragukan: 
Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan. Sebaliknya, yang semula dianggap tabu, justru 
ramai dijadikan wacana terbuka: Piagam Jakarta, Negara Islam, Syari'ah Islam. 

Dalam Alkitab, ada tiga kitab yang menurut tradisi dianggap sebagai warisan Salomo, 
yaitu, Amsal, Kidung Agung, dan Pengkhotbah. Tiga kitab yang punya sifat serta 
karakter yang amat berbeda. Namun orang toh melihat saling keterhubungan menarik di 
antara ketiganya. 

Seorang rabi Yahudi mengatakan, yang pertama-tama ditulis Salomo, pastilah Kidung 
Agung. Inilah karya si Salomo muda. Yang sedang hebat-hebatnya dibakar api asmara, 
ketika seluruh sisi kehidupan bagaikan puisi. Setelah Kidung Agung, karya selanjutnya 
adalah Amsal. Ketika Salomo muda telah bertumbuh matang dan dewasa. Ketika hidup 
tak lagi dilihat puisi yang romantis, tapi sebagai tantangan-tantangan praktis yang 
menuntut sikap realistis. 

Lalu yang terakhir, Pengkhotbah,. Kitab ini ditulis setelah Salomo semakin renta. Ketika 
ia coba menengok ke belakang. Menelusuri liku-liku jalan kehidupan yang telah 
dilaluinya. Merefleksi semua energi dan jerih lelah yang telah dicurahkannya. Dan 
kesimpulannya? "Kesia-siaan belaka, kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, segala 
sesuatu adalah sia-sia" (1:3) Bagi Salomo yang telah memasuki senja, segala sesuatu jadi 
tampak lebih redup. 

* * * 

Pesimiskah ini? Boleh Anda katakan begitu. Tapi bagi saya, realis lebih tepat. Hanya 
saja, realitas yang dilihat dari sisi yang lain. Bila kitab-kitab lain, melihat realitas dari 
sudut pandang Tuhan, Pengkhotbah melihat realitas secara lebih "obyektif." Ia 
melukiskan realitas kehidupan, sekiranya Tuhan tidak ada di situ. Realitas tanpa Tuhan. 
Kesimpulannya: "kesia-siaan." 

Sikap skeptis dan sinis Pengkhotbah, saya harap, jangan dijadikan satu-satunya sikap. 
Bagaimana pun, Pengkhotbah hanyalah satu di antara 66 kitab yang ada. Namun, di lain 
pihak, jangan pula menyepelekannya. Perspektif, bahkan skeptisisme, Pengkhotbah kita 
perlukan juga. Sebab, ia mengingatkan agar kita jangan kelewat optimistis. Maksud saya, 
jangan mempertaruhkan seluruh harapan kepada capaian manusia. Ini pasti 
mengecewakan. Anda hanya akan memungut kesia-siaan belaka pada akhirnya. 

Semua yang pernah jadi tumpuan utama harapan manusia, disebutkan oleh Pengkhotbah. 
Pertama, hikmat dan pengetahuan (baca: "iptek"). Kedua, kesalehan dan agama (baca: 



"iman" dan "takwa"). Dan ketiga, upaya-upaya pembaharuan (baca: "revolusi" atau 
"reformasi"). 

Dalam tiga bidang ini, sebenarnya manusia berhasil mencapai kemajuan-kemajuan yang 
spektakuler. Tapi persoalannya adalah apakah secara esensial ada yang berubah? Apakah 
manusia jadi lebih bahagia? Kepentingan rakyat kecil lebih terlindungi? Kehidupan orang 
miskin lebih terpelihara? Orang dibebaskan dari ketakutan? Atau, seperti kata 
Pengkhotbah, semuanya berakhir dengan "Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia- 
sia"? 

Kata Pengkhotbah, "Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari" (l:9b). Peringatan 
Pengkhotbah ini perlu. Kita dikembalikan ke realisme yang sehat, dan proporsionalisme 
yang benar. Banyak yang kelihatannya saja "baru," tapi palsu. 

Tapi toh memang ada yang baru, dalam arti benar-benar baru! Tanpa sinambung dengan 
apa pun yang pernah ada. Yang baru yang datang dari Allah. Yang intinya adalah 
"shalom." Damai sejahtera dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Bila Anda ingin 
membedakan antara mana yang dari Allah dan mana yang tidak, tolok ukurnya adalah ini: 
segala sesuatu, sementereng apa pun bungkusnya, bila tidak mendatangkan damai dan 
tidak membawa sejahtera, ia pasti tidak berasal dari Allah. Sia-sia! (SH- 190 102) 






0 komentar:

Posting Komentar

 
;