Kamis, 19 April 2018

masihkah Allah bermakna

JUJURLAH, MASIHKAH ALLAH BERMAKNA? 
Oleh Eka Darmaputera 

Pikir-pikir, malang benar "nasib" Allah seringkah kita buat. "Hina"-nya serta 
"rendah"-nya Dia, kita perlakukan. Kita memang menyebut-nyebut kata itu setiap saat. 
Dengan takzim, dengan khidmat, dengan hormat sewaktu kita menyanyikan himne-himne 
pujian, tatkala kita mengucapkan doa-doa permohonan. Namun, benar-benarkah kita 
mengingatNya? Ataukah, kita sekadar ber"bla-bla-bla"? Dengan latah mulut kita 
menyebut Dia "Maha Kuasa." Namun, dalam kenyataan, benar-benarkah Dia yang 
menguasai hidup kita? Ataukah ada yang lain? 

Akuilah, betapa kita sebenarnya cuma mengingat Dia dan mempedulikan-Nya, sekali 
waktu. Artinya, sekali-sekali dan sewaktu-waktu. Kapan, misalnya? Teristimewa di kala 
musibah atau kemalangan singgah di hidup kita. Ketika bah melanda, penyakit mewabah, 
gunung muntah-muntah, gedung-gedung pencakar langit tumbang tiba-tiba, dan 
sebagainya. Pada saat itulah, biasanya kita dibuat terhenyak menyadari kekecilan, 
keterbatasan, serta ketidakberdayaan kita seraya menyesali semua yang salah, semua 
yang jahat, dan semua yang tak semestinya kita lakukan. Tak heran, setelah 1 1 September 
2001, konon, lebih banyak orang Amerika mulai kembali berdoa. 

Lalu di manakah Allah di tengah semua itu? Apakah makna keberadaan dan 
kehadiranNya — bila ada? Bagi kebanyakan orang,, musibah, bencana, dan penderitaan 
mengingatkan betapa dahsyatnya dan betapa mengerikannya, bila Ia sampai murka lalu 
mulai menggerakkan tangan pembalasan-Nya! O, kita mesti segera mengambil tindakan 



guna meredakan dan memadamkan api amarah itu! Fungsi agama, khususnya ritual- 
ritualnya—baik dengan atau tanpa sesajen—adalah membuat Allah tenang dan senang 
sehingga tidak "mengganggu" kita; atau, bila telah keburu murka, ya memadamkannya. 

Syukurlah, situasi gawat-darurat seperti itu tidak terus-menerus terjadi, setiap kali dan 
sepanjang waktu. Seperti telah saya kemukakan di atas, terjadinya cuma sekali-sekali dan 
sewaktu-waktu. Sedangkan sebagian terbesar kehidupan manusia berada dalam situasi 
"normal." 

Normal, artinya, perjalanan kehidupan berada sepenuhnya di dalam penguasaan dan 
pengendalian kita. Kitalah, manusia, yang menentukan hitam putihnya kehidupan. Apa 
yang benar dan apa yang salah. Juga kita yang menentukan arah kehidupan, ke kiri atau 
ke kanan. Cuma kita, tiada yang lain. Begitulah pikiran banyak orang. 

Secara verbal dan secara formal, kata "Allah" kita sebut-sebut dalam nyanyian-nyanyian 
yang kita lantunkan, dalam doa-doa yang kita naikkan, dalam khotbah-khotbah yang kita 
siarkan. Namun secara fungsional dan eksistensial, dalam praktek kehidupan nyata dari 
hari ke hari, Allah sebenarnya tidak kita perlukan lagi. Selama manusia mampu 
sepenuhnya memegang kendali kehidupan, untuk apa Allah? 

* * * 

Jadi, imaji atau gambaran Allah seperti apa yang sebenarnya kita bangun ini? Jawab saya: 
imaji Allah sebagai "si Tukang Tambal." Lord of the Gap. Ketika ada lubang 
"melompong" yang mengganggu, dan itu belum mampu kita tambal sendiri, kita 
memerlukan seorang tukang tambal. Apabila dalam kehidupan, kita diancam oleh 
kekuatan-kekuatan yang jauh melampaui baik daya otak maupun daya otot kita; 
berhadapan muka dengan misteri-misteri yang tak mungkin terpecahkan baik oleh 
keluhuran budi maupun oleh kecemerlangan prestasi ilmu pengetahuan kita; ketika ada 
kesenjangan (gap) antara keterbatasan insaniah kita dan kebesaran (magnitude) tantangan 
di luar kita; di situ Allah berfungsi. Untuk menambal lubang. 

Bila jalan yang kita lalui bagaikan kubangan, membuat perjalanan kita jauh dari nyaman, 
kita pasti segera teringat dan bertanya sambil mengumpat, "Di mana sih kuli-kuli 
peambal jalan itu? Bah, apa gunanya membayar pajak, bila jalan tetap bopeng seperti 
ini?!" Namun bila semua jalan yang kita lalui serba halus dan mulus semata, dan mobil 
kita dapat melaju 120 kilometer/jam lebih tanpa hambatan, siapa sih yang begitu kurang 
kerjaan, bertanya-tanya dan mengingat-ingat di mana kuli-kuli penambal ja-lan itu? 
Itulah sebabnya, saudaraku, mengapa di awal renungan ini saya mengatakan, betapa 
malang "nasib" Allah seringkah kita buat. Allah, secara fungsional, adalah "si kuli 
penambal jalan" itu. 

Ketika sukses demi sukses dengan setia mengikuti kita, maka yang paling banter akan 
kita katakan adalah, "Matur nuwun, Gusti, Engkau telah merestui usahaku." Plus, 
mungkin, kita beri Dia tips atau persen sekadarnya. Tapi jangan lupa, sukses itu adalah 
usaha"KU"! Selama proses berlangsung, Tuhan sepenuhnya berada di balik awan. Pasif 



total. Ia sudah cukup puas, bila nanti setelah pekerjaan selesai, kita hampiri Dia dengan 
membawa ucapan terima kasih. Di sisi lain, kita pun sudah cukup puas, bila Ia tidak 
mengganggu usaha"KU" itu. Itulah yang biasanya terjadi, bila situasi berada dalam 
keadaan normal, aman, dan terkendali. 

Namun bila sebaliknyalah yang terjadi, yaitu tatkala kegagalan dan kekecewaanlah yang 
seperti anjing dengan setia mengikuti kita sambil mengibas-ngibaskan ekornya, o, Allah 
tidak lagi kita biarkan cuma duduk-duduk di balik awan. Kita akan menarik-Nya turun, 
dan menuntut pertanggungjawaban-Nya. Pernahkah Anda perhatikan, betapa Iblis jauh 
lebih beruntung dalam hal ini? Sepanjang hidup saya yang telah cukup lanjut, belum 
pernah satu kalipun saya mendengar satu orang Kristen pun yang memaki, mengumpat 
dan mempersalahkan Iblis, akibat kemalangan yang ia alami dalam kehidupan. Pernahkah 
Anda? 

Tapi, wow, betapa acap dan betapa biasa telingaku mendengar orang-orang Kristen 
menuding-nuding Tuhan dengan muka merah dan mata menyala, sebagai penyebab, si 
biang keladi, dari kegagalan-kegagalan mereka sendiri. "Di mana Engkau, Tuhan, pada 
saat aku membutuhkan-Mu? Mengapa Kau biarkan ini terjadi? Mengapa aku? Mengapa 
penyakit ini? Mengapa sekarang? Bagaimana Engkau begitu tega, padahal katanya 
Engkau baik dan murah hati? Kurang baik atau kurang setia bagaimana aku terhadap- 
Mu? Kurang banyak atau kurang apa lagi persembahan yang telah kuberikan kepada-Mu? 
Bila begini, apa gunanya aku membayar 'pajak' selama ini?!" 

* * * 

Secara fungsional, dalam bayangan kita, Allah adalah Allah yang memuntahkan lahar 
dan mengguncang bumi; bukan sumber rahmat dan pertolongan. Ia adalah Allah yang 
pemberang, pendendam, dan pembalas, berada di balik setiap derita dan musibah yang 
menimpa kita. Persoalan yang paling krusial adalah, apakah Allah yang kita tuduh berada 
di latar belakang setiap malapetaka, juga berkuasa mengendalikan dan menguasainya? 

Saya duga, dengan serta-merta, secara formal, kita akan mengatakan, "Tentu saja! Allah 
kita luar biasa! Allah kita Maha kuasa! Serba heran dan serba ajaib Dia!" Tapi, secara 
fungsional, sungguh-sungguhkah Ia Maha kuasa? Dan secara eksistensial, sungguh- 
sungguhkah Ialah Penguasa hidup keseharian Anda? Sebab tak ada gunanya, bukan, 
mengatakan betapa indah, betapa cemerlang, dan betapa hangat cahaya matahari, tapi 
Anda cuma mengatakannya namun tak pernah menikmatinya, sebab memilih mengeram 
diri terus di bilik Anda yang sempit dan tertutup rapat? 

Sudah waktunya kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Krisis kehidupan 
beragama di Indonesia sama sekali tidak disebabkan oleh kurangnya orang yang bersedia 
mematuhi formalitas-formalitas agama. Justru sebaliknya! Jumlahnya amat banyak, dan 
terlalu ketat! Persoalan kita adalah karena "roh" agama tidak lagi menyentuh, menyusupi, 
dan menggarami seluruh relung kehidupan keseharian manusia. Agama menjadi kostum. 
Yang tanpa roh. Yang kehilangan jiwa. 



Pertanyaan sekitar fungsionalitas Allah juga penting dan krusial, karena bila jawaban kita 
negatif, konsekuensinya adalah menahbiskan kekuatan-kekuatan angkara ke atas tahta 
yang paling berkuasa dalam hidup manusia. Kuasa-kuasa itu menjadi "Allah" kita yang 
sebenarnya. "Allah" kita yang fungsional. Dan bila ini yang terjadi, alangkah 
mengerikannya! 

Tetapi bila kita mengatakan, Allah kita—secara formal, fungsional, maupun eksistensial— 
adalah Allah yang Maha Kuasa, betapa pun hidup kita barangkali masih terbentur-bentur 
di labirin kehidupan yang pekat, tapi kita melihat ada secercah cahaya pengharapan jauh 
di depan. Dan, ini cukup untuk bekal kita melanjutkan perjalanan dan perjuangan. 

Untuk membahas ini, saya masih ingin mengundang Anda membicarakannya lebih 
panjang dan lebih mendalam lagi minggu depan. Mudah-mudahan Anda tertarik 
memenuhi undangan ini. 

KEJAHATAN MEMANG PERKASA, TAPI TIDAK MAHAKUASA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Orang Yunani kuno— seperti kita— percaya, Allah (= theos) itu baik. Sebab Ia baik, 
mustahillah dari sini muncul yang jahat. Jadi, kalau begitu, dari manakah kejahatan 
berasal? Jawab mereka: pasti dari "Tuhan" yang lain. Tuhan yang "bengis." Namanya, 
Demiourgos. 

Ada pula versi lain. Sebab Theos itu baik, yang disebut "jahat" itu tidak mungkin ada. 
Alias ilusi semata. Ilusi karena manusia yang telah terperangkap oleh kebendaan dan 
kedagingan, tak mampu lagi menangkap kebenaran yang sebenar-benarnya. 

Iman Kristen amat berbeda. Mewarisi iman Israel Perjanjian Lama, orang Kristen 
meyakini, pertama, kejahatan itu riil, nyata, fakta. Bukan sekadar fiksi, ilusi, atau fantasi. 
Dan, kedua, orang Kristen mempercayai dengan sepenuh hati, hanya ada satu Allah, tidak 
"allah" yang baik dan "allah yang "jahat." Allah yang satu itu adalah Khalik semua. Yang 
tampak maupun yang tidak. Yang baik maupun yang jahat. 

Kekristenan malah tidak cuma mengakui bahwa kejahatan itu ada, tetapi juga 
menekankan bahwa kuasa kejahatan itu perkasa luar biasa. Sebab itu, bila tak mau celaka, 
jangan sekali-kali meremehkannya. 

Dengan kemampuan serta kemauan maksimalnya sekalipun, manusia tak bakal mampu 
menandingi apalagi mengalahkan si Jahat. Buku terakhir Perjanjian Baru, Wahyu, secara 
dramatis melukiskan perang akhir yang imbang antara kuasa kebenaran versus kuasa 
kejahatan. Walaupun akhirnya, si Anak Domba itulah yang memenangkan pertarungan. 



* * * 



Namun, iman Kristen tidak cuma mengatakan bahwa kejahatan itu ada serta serba 
perkasa, titik. Sebab bila cuma itu, ya apa istimewanya? Dan apa manfaatnya? Yang 
istimewa adalah kekristenan menegaskan, secara intrinsik di dalam dirinya, kejahatan 
menyimpan benih-benih penghancuran dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, kejahatan 
menyimpan kekuatan yang self-destructive. Seperti kamikaze, pasukan bunuh diri Jepang 
di masa PD II dulu. 

Bisa saja untuk masa yang lama, kejahatan tampak tangguh dan perkasa, seolah-olah tak 
mungkin tergoyahkan. Tapi, lihatlah apa yang terjadi dalam sejarah! Tidak ada kelaliman 
yang tahan bertahta selama-lamanya. 

Pada suatu ketika—bisa lama bisa pendek—kuasa kejahatan akan digilas oleh kuasa 
keadilan. Keniscayaan ini berlaku untuk kekuasaan apa saja, di mana saja dan kapan saja. 

Manusia boleh saja melecehkan dan memandang remeh moral dan etika. Ketika 
pemimpin-pemimpin umat beragama baru-baru ini berkumpul, lalu bersepakat untuk 
melancarkan sebuah gerakan moral, saya tahu banyak yang menertawakannya di dalam 
hati. 

"Moral? Bisa apa moral?!" Toh sejarah membuktikan adanya sebuah hukum besi moral 
yang selalu berlaku, baik orang mau mengakuinya atau tidak. 

* * * 

Intinya adalah hidup ini berlangsung menurut aturan dan ketentuan-ketentuan moral 
tertentu. Anda mau melawannya? O, silakan! Tapi bersiap-siaplah menuai buahnya dan 
menanggung konsekuensinya. 

Anda tak mau mengakuinya? O, silakan! Anda tidak dipaksa. Tapi hukum itu akan 
berjalan terus, tanpa menunggu restu dan pengakuan Anda. 

Ada masa-masa di mana seakan-akan orang-orang seperti Hitler atau Mussolini, Idi 
Amin, atau Rasputin diberi keleluasaan menikmati kejayaannya. Bagaikan ilalang yang 
dibiarkan tumbuh bebas mengimpit gandum. 

Tapi ada saatnya, ketika ilalang akan dipisahkan dari gandum. Yang satu untuk dibakar 
menjadi abu, dan yang lain untuk disimpan di dalam lumbung. 

Dalam salah satu karya akbarnya, Les Miserables, Victor Hugo berbicara mengenai 
perang antara Wellington dan Napoleon, perang Waterloo yang terkenal itu. Ia menulis, 
"Mungkinkah Napoleon memenangkan peperangan? Jawab kita, tidak. Mengapa tidak? 
Apakah karena Wellington? Atau karena Bluecher? Juga tidak! Tapi karena Allah .... 
Vonis bagi Napoleon telah dijatuhkan sejak awal oleh Sang Maha Kekal. Kejatuhannya 
telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa. Napoleon telah membuat Allah jengkel. 
Waterloo bukanlah peperangan sebenarnya. Ia adalah gambaran dari ajang perang 
semesta yang sebenarnya." 



Ajang perang semesta yang sebenarnya? Apa maksudnya? Waterloo, menurut Victor 
Hugo, merepresentasikan peperangan moral yang terus-menerus terjadi. Waterloo adalah 
lambang kejatuhan yang pasti dari setiap "napoleon" yang ada di muka bumi. 

Sebuah peringatan abadi tentang rapuhnya sebuah angkatan anak manusia yang mabok 
oleh kemenangan militer. Penegasan bahwa kebenaran—atau apapun yang baik—tak 
mungkin dihasilkan oleh kuasa pedang, melainkan hanya oleh kuasa roh melalui 
kekuatan moral! 

* * * 

Anda masih kurang yakin? Telah lupakah Anda bahwa belum sampai seratus tahun yang 
lalu, selama berabad-abad, dunia— khususnya Asia dan Afrika— masih dikuasai oleh 
sistem kolonialisme? Sebuah sistem yang waktu itu diyakini sebagai kodrat yang hanya 
mesti diterima, dan tak mungkin diubah. 

Ternyata tidak. Suatu kekuatan yang tersembunyi juga bekerja di bawah permukaan. 
Kekuatan kemerdekaan dan keadilan. Ini disungguhkan tidak kurang oleh MacMillan, 
Perdana Menteri dari kekuatan kolonial terbesar di dunia, Inggris. Ia mengatakan bahwa 
"angin perubahan telah mulai bertiup." 

Kemudian hanya dalam waktu tidak lebih dari 15 tahun, kekuatan-kekuatan kolonial 
rubuh satu demi satu bagai deretan kartu domino, dan puluhan negara baru bermunculan. 

Siapa dan dari mana kekuatan ini? Kita tidak tahu. Yang jelas, inilah yang terjadi bila 
kuasa Tuhan bekerja. Inilah yang terjadi bila kekuatan moralitas dilawan. Inilah yang 
terjadi bila proses pembusukan telah sampai ke titik yang tak tersembuhkan. 

Allah mampu mengalahkan dan menaklukkan kuasa kejahatan. Mungkin tidak dengan 
cara menggelontor bumi dengan air bah seperti pada zaman Nuh; atau membelah lautan 
seperti pada zaman Musa, atau membakar bumi seperti yang terjadi atas Sodom dan 
Gomora. 

Mungkin memang tidak perlu. Sebab sebagaimana saya katakan, lambat atau cepat 
kuasa-kuasa kejahatan itu akan menghancurkan dirinya sendiri. 

Ini adalah bagian dari hukum besi moralitas yang tak mungkin dilawan. Membuktikan 
kebenaran kata-kata Yesus, orang yang bijaksana akan mendirikan rumahnya di atas batu. 
"Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi 
rumah itu tidak rubuh Berbeda dengan mereka yang mendirikan rumahnya di atas 
pasir. 

James Russell Lowell menulis, "Kebenaran selamanya terpuruk di lantai berdebu. Dan 
kejahatan selamanya bertahta di singgasana mulia. Tapi, jangan salah, sebab dari lantai 



berdebu ini, taufan masa depan menyapu. Dan di kesamaran yang tersembunyi, berdirilah 
Allah di bawah naungan bayang-bayang— memperhatikan." 

"Zaman ini zaman edan. Yang tidak ikut-ikutan edan tidak kebagian." Kata-kata ini amat 
terkenal, bukan? Tapi tolong jangan kutip Ronggowarsito cuma sampai di sini. Sebab 
yang tak kalah pentingnya adalah, ia juga mengatakan, "Seuntung-untungnya yang edan, 
masih lebih beruntunglah mereka yang eling dan waspada." (SH-090202) 

KITA TAK PERLU MENYERAH DAN BERPUTUS ASA 
Oleh: Eka Darmaputera 

Allah tidak hanya terbukti kekuasaan-Nya dalam mengendalikan seluruh pergerakan 
dalam alam semesta. Tidak juga cuma nyata kebisaan-Nya dalam mengarahkan jalannya 
sejarah umat manusia. Yang tak kalah—malah mungkin lebih langsung terasa— pentingnya 
adalah: Ia mampu mengaruniakan "stamina" dan "tenaga dalam" untuk menghadapi 
pencobaan dan kesulitan hidup kita masing-masing. Ah, benarkah? 

Anda tak perlu malu atau menutup-nutupinya. Saya tahu pasti, bahwa setiap orang— 
termasuk Anda dan saya— pasti punya "salib" untuk dipikul dari hari ke hari. Jenisnya 
berbeda-beda. Berat dan kadarnya pun bervariasi. Tapi tak seorang pun luput dan bebas 
dari padanya. Juga mereka yang dari luar hidupnya kelihatan begitu mapan, ceria, dan 
lengkap. 

Seperti pada kisah putra-putri Ayub, tanpa dinyana dan tanpa diduga, tornado datang 
menyerang hidup kita tiba-tiba sementara kita berpesta-pesta, dan sejak itu hidup kita pun 
berubah 180 derajat. Angin puyuh itu bisa perubahan drastis dari situasi di sekeliling kita; 
bisa kerugian besar dalam perdagangan dan usaha kita; bisa kabar buruk mengenai orang 
atau orang-orang yang paling kita cintai; bisa vonis dokter bahwa kita mengidap penyakit 
terminal. Dan macam-macam lagi. Bagaikan hujan deras yang turun tiba-tiba, memporak- 
porandakan suasana pesta kebun yang telah kita rencanakan dengan begitu lama dan 
begitu cermat. Padahal ramalan cuaca memberitahukan bahwa cuaca akan cerah 
sepanjang minggu. 

* * * 

Kekristenan tidak menutup mata terhadap realitas ini. Orang Kristen malah diajar untuk 
menghayati kenyataan yang pengap dan berbau apek ini, sebagai bagian yang tak 
terhindarkan dari kehidupan. Seperti durian yang lekat dengan baunya. 

Sebab itu, seperti Yesus, kita— walau enggan— kadang-kadang harus memantapkan hati, 
dan pergi juga ke "Yerusalem." Juga ketika seluruh dunia mencegah kita, dan kita pun 
tahu, bahwa di "Yerusalem" itu salib telah menunggu kita. Bukankah doa kita yang 
terbaik adalah: "Tuhan, karuniakan daku keberanian, untuk mengubah apa yang bisa 
diubah; keikhlasan untuk menerima apa yang tidak mungkin berubah; serta kebijakan 
untuk membedakan keduanya"? 



Kesulitan dan pencobaan adalah bagian dari ritme dalam musik kehidupan. Kita tidak 
dapat mengharapkan musim semi yang tak pernah bertukar. Suka tak suka, kita mesti 
bersedia dipanggang oleh panas musim kemarau, dan diguyur oleh air musim penghujan. 

Bahkan, seperti tulis Paul Laurence Dunbar, "Hidup adalah satu cuil roti kering dan satu 
sudut sempit untuk berbaring / satu menit tersenyum dan satu jam menangis / satu tetes 
sukacita dalam satu belanga air mata / tak pernah ada satu tawa tanpa diikuti raung 
kesakitan dua kali ganda. 

* * * 

Di samping mengakui kenyataan bahwa hidup manusia tak pernah sepi dari masalah- 
masalah besar maupun kecil, iman Kristen menegaskan bahwa Allah memberikan kepada 
kita daya serta kekuatan untuk menghadapinya. Yaitu kekuatan untuk menjaga 
keseimbangan sehingga kita tidak limbung tergagap-gagap, melainkan mampu berdiri 
tegak di tengah terpaan pencobaan serta beratnya beban kehidupan. 

Rasa mantap dan tidak mudah "grogi" ini, adalah salah satu peninggalan Yesus yang 
paling utama dan paling berharga bagi murid-murid-Nya. Ia tidak mewariskan sumber- 
sumber kekayaan materi atau resep-resep untuk memperolehnya dengan mudah. Ia juga 
tidak meninggalkan rumus-rumus mantra yang akan mengecualikan pengikut-pengikut- 
Nya dari penderitaan dan penganiayaan.. Tapi Ia memberikan kepada kita warisan yang 
tidak mungkin binasa, "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu." "Damai sejahtera" atau 
"shalom" yang, menurut Paulus, melampaui semua batas pengertian dan pemahaman 
manusia. Maksudnya, yang seharusnya tidak mungkin, eee ternyata mungkin. Kita 
mungkin untuk menjadi "daud" yang mengalahkan "goliat" kehidupan. 

Sering sekali kita menyepelekan Allah. Tapi ingatlah, bila taufan pencobaan menyerang 
garang , dan angin kekecewaan bertiup kencang; bila gelombang tinggi kesedihan nyaris 
menggulung dan menelan; maka hidup Anda pasti cabik terserpih-serpih, rantas bagaikan 
kain tua, sekiranya Anda tidak punya kekuatan iman serta ketabahan untuk menopang 
Anda! 

* * * 

Banyak frustrasi terjadi, karena orang menggantikan Allah dengan "illah," dan 
mempercayakan diri kepadanya. Dunia pernah memper'illah'kan iptek, untuk akhirnya 
mendapati bahwa iptek menghasilkan temuan-temuan, yang membuat manusia diliputi 
oleh kekhawatiran dan ketidakpastian yang jauh lebih dahsyat, yang iptek sendiri tidak 
mampu mengatasinya. 

Manusia lalu menyembah illah kesenangan, yang akhirnya membawa manusia kepada 
kesadaran, betapa konsumerisme dan hedonisme, pemujaan terhadap kemewahan materi 
serta kenikmatan ragawi, cuma mampu untuk memberi kepuasan yang singkat dan 
dangkal, tapi diikuti oleh kekosongan jiwa yang dalam dan kadang-kadang penyesalan 



yang panjang. Kemudian, pernah pula, bahkan sampai sekarang pun, manusia 
menaklukkan diri ke bawah duli illah uang dan harta benda, untuk digiring kepada 
kekecewaan, sebab betapa begitu banyak hal yang berharga dalam hidup ini-seperti cinta 
kasih, kesetiaan dan persahabatan-yang tak dapat dibeli dengan uang. Semua illah ini, 
pada dirinya bukannya tidak penting. Saya akui, semuanya begitu vital dan amat 
bermanfaat bagi manusia. Asal kita ingat batasnya. Mereka tidak bisa meninggalkan 
damai sejahtera dan bahagia sejati dalam hati manusia. 

* * * 

Cuma Allah yang bisa! Berlawananan dengan kecenderungan orang untuk kian skeptis 
terhadap setiap bentuk kepercayaan kepada Allah- -tahayul bentuk baru, kata mereka— 
saya justru ingin menegaskan betapa iman, dalam arti menghayati, mengalami dan 
mereaktualisasikan kembali, damai sejahtera yang telah dikaruniakan Allah, adalah 
jawaban atas semua permasalahan manusia zaman ini. Dengan iman-bahkan yang sekecil 
biji sesawi pun, kata Yesus—kita dapat menguruk lembah-lembah kesunyian dan 
menjadikannya bukit-bukit kegirangan. Dengan iman— yang menegaskan bahwa tidak ada 
yang mustahil bagi orang yang percaya— kita dapat menyalakan kembali cahaya 
pengharapan baru ke wilayah kekuasaan pesimisme dalam kehidupan manusia. 

Apakah ada di antara Anda yang kini sedang berjalan menapaki "lembah-lembah 
kematian"? Atau yang sedang berada di ambang ketidakpastian, sebab ditinggalkan oleh 
yang paling tercinta? Yang mulai membatu hatinya, sebab kekecewaan yang terlampau 
dalam dan menyakitkan, yang disebabkan justru oleh orang-orang yang paling dekat? 
Yang kehidupan rumah tangganya mulai retak dan rontok di sana sini? Ayo, berhentilah 
meratap dan menggugat! Bangkitlah dan hadapilah kehidupan seraya katakan: "Apa pun 
yang akan terjadi, terjadilah! Aku punya Allah yang bisa!" 

Jangan sampai tangan kita sendirilah yang menutup pintu bagi kuasa Allah untuk bekerja 
dengan leluasa dalam hidup kita! Jangan biarkan telinga kita menjadi tuli dan mata kita 
menjadi buta, sehingga tidak bisa lagi mendengar dan melihat tanganNya yang 
mengulurkan damai sejahtera! 

Apakah semua yang saya katakan ini bukan cuma hiburan kosong, yang manjur hanya 
bagi mereka yang tak pernah dewasa perkembangan jiwanya? Iming-iming sorga yang 
tak punya relevansi apa-apa di tengah-tengah kenyataan dunia? Jawab saya: "YA, semua 
itu memang nonsens bagi orang yang apriori sudah menutup diri, dan tidak memberi 
kesempatan kepada Allah untuk membuktikan ke"bisa"an-Nya." 

Siapa pun tidak bisa membuat Anda kenyang, bila Anda tidak mau makan nasi yang ada 
di depan Anda. Tak seorang pun serta-merta menjadi kaya, hanya karena di bawah 
kakinya di bawah permukaan tanah tersimpan emas berton-ton beratnya, sampai ia 
menggali tanah itu dan menjadikan emas itu benar-benar miliknya. (SH- 160202) 



SEMANGAT DAN DAYA HIDUP DALAM DIRI EKA 



Oleh: Djulisa Tarru 



Tulisan dalam Festchrift atau buku penghargaan yang diberi judul Bergumul dalam 
Pengharapan ini dipilah dalam sebelas rubrik, yaitu "Pembangunan Jemaat "(terdiri atas 
empat tulisan); "Gerakan Oikumene" (5 tulisan); "kehadiran Kristen di Indonesia" (3); 
"Kontekstualisasi Teologi" (4); "Ekonomi, Bisnis, Etika dan Agama" (5); "Perubahan 
Paradigma dan Dampaknya bagi Kegiatan Berteologi" (3); "Agama-agama di Indonesia 
dan Keprihatinannya" (5); "Perjumpaan antara Kristen dan Islam" (3); "Agama dan 
Kebudayaan" (5); "Agama, Politik dan Kesatuan Bangsa" (6); "Sekitar Kepemimpinan" 
(5); "Masih dalam kerangka rubrik terakhir terdapat Warnasari" (2); dan "Epilog" (2). 

Jumlah rubrik tersebut, mencerminkan luas cakupan buku yang diluncurkan 16 
November 1999 di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Bekasi Timur, Jakarta Timur 
ini. Sekaligus mencerminkan betapa luas bidang yang digeluti Eka Darmaputera. Setiap 
tulisan disajikan dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini 
tentu dimaksudkan agar lebih banyak orang dapat membaca bunga rampai tersebut. 

Judul buku (Bergumul dalam Pengharapan) ini merupakan semangat dan daya hidup 
yang terjalin erat dalam diri Eka Darmaputera, di samping- tentu saja- sebagai benang 
merah atau roh buku ini. Pengharapan, demikian ditulis Ferdy Suleeman, memampukan 
Eka untuk terus bertahan dalam pergumulan dan perjuangannya menghadapi pasang surut 
kehidupan (xiii). Sedangkan luasnya cakupan bahasan, merupakan medan pergumulan 
Eka selama masa pelayanan dan pekerjaannya selaku pendeta, dosen, pemikir, dan 
budayawan. 

Bukan Jabatan 

Sangat menarik memperhatikan tulisan Evang Darmaputera dengan judul "Peran 
Istri/Suami Pendeta dalam Pembangunan Jemaat" (halaman 47-65). Menarik bukan 
pertama-tama karena penulisnya adalah istri pendeta Eka Darmaputera, tetapi karena 
relevansi topik yang disoroti dalam kehidupan bergereja sekarang ini. 

Menurut Evang, keberadaan istri/suami pendeta di gereja tidak lebih tinggi atau lebih 
rendah daripada keberadaan seseorang anggota jemaat biasa, karena istri atau suami 
pendeta bukan sebuah jabatan. Itu sebabnya, demikian Evang, dalam struktur organisasi 
gereja tidak ada jabatan yang disebut istri/suami pendeta. Oleh karena itu, perannya juga 
tidak diatur oleh peraturan gereja. "Jadi, tidaklah tepat kalau orang mengharapakan istri 
pendeta berfungsi seperti seorang pendeta, sekalipun barangkali ia juga berpendidikan 
teologi" (halaman 50). 

Menurut Evang, masih banyak sekali anggota jemaat yang tidak memahami hal ini. 
Terlihat dari harapan mereka, bahkan menuntut, agar seorang istri pendeta berfungsi 
seperti pendeta. 

Disebutkan juga, sekalipun istri atau suami pendeta memiliki dasar yang sama, hidup 
dalam lingkungan yang sama, tetapi pengalaman keduanya amat berbeda. "Suami 
pendeta pengalamannya dapat dikatakan hampir selalu baik-baik saja, tidak ada masalah, 



semua berjalan wajar. Sedangkan pengalaman istri pendeta sering sarat dengan persoalan 
dan beban" (halaman 51). 

Sumber perbedaan itu, demikian ditulis Evang, terletak pada adanya perbedaan status 
antara laki-laki dan perempuan dalam budaya masyarakat di samping faktor penafsiran 
dan pemahaman Alkitab yang bias gender sehingga tidak menguntungkan posisi 
perempuan. Apa yang disoroti Evang dalam tulisannya, memang masih berlaku di 
sejumlah gereja di tanah air. Karena itu, tulisan ini patut dibaca dan diperhatikan 
terutama oleh warga gereja. 

Masih Relevan 

Hal lain yang tidak kalah relevan dalam buku ini, adalah tulisan Karlina Leksono Supelli 
berjudul"Memihak kepada Korban" (704-716). 

Dalam tulisannya, Karlina Leksono Supelli mengajukan serentetan pertanyaan yang 
menggelitik. Dia bertanya, apakah begitu banyaknya konflik horizontal yang muncul di 
berbagai tempat di Indonesia merupakan tanda bahwa rasa kebangsaan sudah luntur; 
Apakah komitmen untuk bersatu di dalam makna keindonesia-an juga sudah lenyap; 
akankah Indonesia tersisa dalam kelompok-kelompok kesukuan dan kedaerahan; apakah 
kebersatuan itu hanya tinggal cita-cita yang tidak lagi terasakan napasnya dalam 
kenyataan hidup sehari-hari. 

Dengan menyebut contoh kerusuhan Mei 1998, kasus Ambon, Ketapang dan Sambas, 
Karlina mengatakan, bila diperhatikan saksama, banyak dari kerusuhan massal itu 
sebetulnya dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan negara, apa pun 
pemicunya. "Selain bahwa beberapa di antaranya mempunyai ciri-ciri militeristik, 
sedikitnya hampir selalu ada faktor pengabaian oleh negara dalam bentuk keterlambatan 
pengambilan sikap oleh militer/aparat keamanan" (halaman 707) 

Disebutkan juga ketidakadilan struktural sebagai akibat kebijakan penguasa yang 
berpihak kepada kepentingan tertentu, telah ikut menciptakan struktur sosial yang siap 
dipicu berbagai bentuk ketegangan. 

Kerusuhan Mei 1998 juga disinggung Mely G Tan dalam tulisannya berjudul "The Ethnic 
Chinese in Indonesia: Trials and Tribulation" (halaman 683-703) 

Disebutkan dalam kerusuhan Mei 1998, kaum keturunan Tionghoa, kantor tempat usaha, 
shopping center, rumah tinggal serta harta milik mereka dijadikan sasaran amuk massa. 
Dipicu peristiwa ini, yang juga telah diawali berbagai praktik diskriminasi semasa 
pemerintahan Orde Baru, ada beberapa sikap keturunan Tionghoa yang tampak. 

Pertama, sebagian besar mereka tetap bekerja dengan tenang, acuh tak acuh, tanpa 
partisipasi politis apapun, kecuali berharap agar keluarganya tidak diganggu. 

Kedua, menolak sikap pasrah, dan berusaha berpartisipasi langsung dalam politik serta 
ikut ambil bagian dalam penegambilan keputusan. 



Ketiga, mereka yang merasa lebih membutuhkan kelompok pendukung yang disebut 
"paguyuban" untuk saling menopang di antara sesama teman senasib. 

Keempat, mereka yang bergabung dengan atau memberi suara kepada parpol yang sudah 
ada, ataupun yang baru dibentuk, yang mereka pandang memperjuangkan kepentingan 
mereka (halaman 684). 

Masih banyak tulisan menarik dalam buku ini yang pada umumnya relevan dengan masa 
kini bangsa Indonesia. Karena rubrik ini patut dibaca oleh siapa saja yang ingin 
memahami pergumulan Eka yang juga pergumulan kita semua. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;